Perlahan Angelo memindahkan kakinya dari kepala pemimpin preman itu. Merasakan kepalanya tak lagi diinjak oleh Angelo, pria itu hendak menarik nafas lega. Namun dengan cepat Angelo menarik kencang baju pria itu hingga terduduk.
"Aku butuh nama lengkapnya, sialan!" desis Angelo diwajah pemimpin preman itu.
Pria itu membelalak terkejut dengan tindakan tak terduga itu.
"Ce-Celeste! Celeste Ferrari! Itu nama orang yang mengirimku!" seru pria itu ketakutan.
Angelo menatap tajam pria itu dan cengkramannya di kerah baju pria itu semakin kencang membuat pemimpin preman itu tercekik dan mulai kehabisan nafas.
"Be-benar! Ak-aku tidak bohong! Celestelah yang mengirim kami un-untuk mengganggu pria itu!"
Pemimpin preman itu berkata terburu-buru dengan leher semakin tercekik. Wajahnya semakin memerah akibat kurangnya suplai oksigen. Melihat hal itu, Angelo lalu melepaskan cengkramannya dengan kasar.
Pemimpin preman itu langsung mengusap lehernya dan menghirup udara dengan rakus.
"Aku percaya padamu, tapi. Jika kau membohongiku, kau akan mendapatkan balasannya," ucap Angelo yang berdiri menjulang dihadapannya.
"Ti-tidak, tuan. Aku mengatakan yang sebenarnya!" bela pria itu.
"Tentunya kau tahu, balasan yang kau dapat akan lebih dari ini jika kau membohongiku," ancam Angelo.
"Y-ya, tuan. Aku paham. Tolong lepaskan kami sekarang juga. Lihat? Anak buahku harus segera mendapat perawatan jika tidak mereka akan mati, tuan," rengek pemimpin preman itu.
"Baiklah. Kali ini kalian akan aku lepaskan. Aku harap kita tidak akan bertemu lagi," putus Angelo.
"Te-te-terima kasih, tuan. Anda sungguh baik hati. Kami pergi sekarang!"
Pemimpin preman itu lalu memanggil anak buahnya dan menyuruh mereka pergi dari sana. Sementara itu Angelo yang masih berdiri disana mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang.
"Carikan seorang wanita bernama Celeste Ferrari untukku."
Setelah itu Angelo menyimpan kembali ponselnya.
"Aku harus tahu siapa itu Celeste Ferrari dan apa hubungannya dengan tuan Juan," gumam Angelo.
Kemudian ia melihat jam ditangannya, lalu memanggil sebuah taxi yang lewat didepannya. Angelo segera masuk kedalam taxi.
"Ke rumah sakit pusat kota," ucapnya pada sang supir taxi.
Jalanan yang lengang membuat perjalanan Angelo kerumah sakit hanya membutuhkan waktu singkat. Angelo segera keluar dari taxi dan langsung disambut oleh dua orang anak buahnya yang menunggu dirinya dirumah sakit.
"Bagaimana keadaan tuan Juan?" tanya Angelo tanpa berhenti pada dua anak buahnya.
"Tuan Juan sudah menerima perawatan dengan baik dabn menurut dokter tidak ada luka yang serius. Namun tuan Juan tetap harus dirawat di rumah sakit sekitar 2 hari lagi."
Angelo menghela nafas panjang mendengar laporan dari anak buahnya itu. Ketiganya berhenti didepan lift. Menunggu lift datang.
"Dilantai berapa kamar tuan Juan?" tanya Angelo saat pintu lift terbuka.
"Di lantai 4 tuan. Apakah perlu kami sediakan pengawal didepan pintu kamar tuan Juan?" tanya salah satu anak buahnya.
"Kita lihat nanti, untuk sementara biarkan seperti ini dulu," jawab Angelo.
"Baik, tuan."
Pintu lift terbuka dan ketiganya segera masuk, salah satu anak buah Angelo memencet tombol angka 4 dan lift segera naik keatas.
Pintu lift kembali terbuka, mereka sudah sampai dilantai 4. Angelo melangkah keluar dan langsung menuju kamar Juan.
"Angelo! Kau disini!" sapa Juan ramah.
"Bagaimana keadaanmu, tuan Juan?" tanya Angelo ramah seraya berjalan meghampiri ranjang Juan.
"Seperti yang kau lihat. Ini tak terlalu buruk dibandingkan yang sudah-sudah," jawab Juan malu-malu.
"Tapi sebenarnya aku tak perlu sampai harus dirawat seperti ini, Angelo. Aku sudah terbiasa dengan luka-luka ini," sambung Juan.
"Tuan, apakah anda tahu mengapa para preman itu selalu mengganggumu?" tanya Angelo.
Ia ingin tahu apakah Juan mengetahui sesuatu, mengapa sampai seorang Ferrari mengirimkan para preman untuk menghajarnya terus menerus.
"Entahlah. Aku juga bingung mengapa mereka selalu menggangguku," jawab Juan berbohong.
"Benarkah itu, tuan Juan?" tanya Angelo menyelidik.
"Benar. Tiba-tiba saja mereka sering mengejekku, menghajarku dan terakhir mereka membakar toko musik yang sangat berharga bagiku."
Mata Juan berkaca-kaca saat ia menceritakan toko musiknya. Rasa sedih masih terus datang jika ia teringat akan toko musik kesayangannya yang hangus terbakar.
Semua alat musik, partitur serta buku-buku lagu terbakar hangus. Tak ada lagi yang tersisa dalam kebakaran itu. Juan menundukkan kepalanya berusaha menyembunyikan kesedhannya dari Angelo.
Namun Angelo telah melihat kesedihan diwajah Juan. Tapi ia tak tahu harus memberi kata-kata penghiburan seperti apa. Ia tak pandai merangkai kalimat, namun jika menyangkut kekuatan Angelo adalah ahlinya.
"Sudahlah, tuan Juan. Yang lalu biarlah berlalu. Lagipula kau tak akan bisa mengelola toko musikmu lagi jika kau meneruskan bisnis papamu," ucap Angelo.
Setelah tertegun sebentar karena mendegar kalimat Angelo, akhirnya Juan membalas ucapan pria itu.
"Kau benar. Aku tak akan bisa membuka toko musik lagi jika meneruskan bisnis papaku. Jadi memang lebih baik toko itu musnah sekarang."
"Maafkan aku, tuan Juan. Bukan maksudku untuk berkata kasar padamu."
"Tak mengapa, Angelo. Kata-katamu benar adanya. Aku tak boleh berlarut-larut dengan kesedihan ini," ucap Juan seraya tersenyum tipis.
Angelo terdiam melihat senyum diwajah Juan. Dirinya merasa tak enak hati karena telah melukai perasaan pemuda didepannya ini.
"Oh Ya. Jika aku menerima tawaranmu untuk meneruskan bisnis papaku. Apakah kau akan mengabulkan semua permintaanku?" tanya Juan tiba-tiba.
"K-kau bersedia meneruskan bisnis Keluarga Maximo, tuan Juan?" tanya Angelo tak percaya.
"Yah, sebenarnya aku masih mempertimbangkannya. Karena ada beberapa hal yang harus kuselesaikan terlebih dahulu sebelum pergi dari sini," balas Juan ragu.
"Apa itu, tuan? Aku akan melakukan semua perintahmu!" seru Angelo bersemangat.
"Tidak sekarang, Angelo. Nanti. Nanti aku akan memberitahumu apa yang harus kau lakukan untukku," jawab Juan berahasia.
"Oh. Aku pikir kau ingin aku melakukan sesuatu untukmu sekarang, tuan. Baiklah kalau begitu. Aku akan menunggu perintahmu," ucap Angelo tak mampu mneyembunyikan kekecewaannya.
"Aku ingin tidur, kau boleh pergi, Angelo," usir Juan seraya merebahkan badannya dikasur.
"Baik, tuan Juan. Beristirahtlah, jika kau membutuhkan sesuatu panggil saja aku kapanpun. Aku pamit dulu."
Angelopun berbalik dan melangkah menuju pintu, namun baru berapa langkah ia teringat sesuatu. Jadi ia berhenti dan berbalik.
"Tuan Juan, apakah anda mengenal wanita bernama Celeste Ferrari?"
Juan yang sudah memejamkan matanya spontan membukanya kembali saat mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Angelo. Iapun bangkit dalam posisi duduk dan menatap Angelo penuh tanda tanya.
"Darimana kau tahu nama itu?"
Angelo berdiri mematung menatap Juan yang terlihat sangat terkejut. "Pemimpin preman itu memberikannya padaku," jawab Angelo. "Apa?" "Apa kau mengenalnya, tuan Juan?" Tanya Angelo kembali. "Mmm... Ti-tidak! Aku tidak mengenalnya!" Jawab Juan berbohong. "Kau yakin, tuan?" Selidik Angelo. "Cukup, Angelo! Aku ingin istirahat!" Seru Juam seraya merebahkan tubuhnya kembali di kasur. Angelo yang merasakan ada keanehan pada diri Juan masih belum beranjak dari tempatnya. Pria itu masih memperhatikan Juan dengan seksama. "Mengapa kau masih disini? Pergilah!" Usir Juan kesal. Angelo akhirnya membungkukkan badannya memberi hormat pada Jaun dan segera keluar. Diluar Angelo masih terus memikirkan sikap Juan yang berubah aneh saat ia menyebut nama Celeste Ferrari. "Aku rasa tuan Juan mengenal wanita bernama Celeste Ferrari ini," gumam Angelo dengan kening berkerut. "Sikapnya tadi sungguh aneh, ia seperti menye
Tiba-tiba kedua mata Celeste terbuka. Melihat ada seorang pria tak dikenal sangat dekat dengan wajahnya, spontan Celeste berteriak. "Aaa! Apa yang kau lakukan?!" Celeste mendorong Angelo hingga pria itu jatuh terjengkang kebelakang. Angelo yang tak menduga Celeste akan sadar dari biusnya tentu saja sangat terkejut dan sekaligus malu dengan perbuatannya tadi. "Apa yang kau lakukan padaku, hah? Mengapa kau membawaku kesini? Siapa kau sebenarnya?!" Celeste memberondong Angelo dengan beberapa pertanyaan. Sementara itu Celeste sudah berdiri disudut kamar itu dengan sangat waspada. Angelo bangkit dari jatuhnya sambil tersenyum menahan malu. Ia kemudian berjalan mendekati Celeste. "Tak kuduga kau wanita yang sangat pemberani, Celeste," puji Angelo. "Apa maumu, hah?!" Seru Celeste menyembunyikan rasa takutnya. "Jangan takut padaku. Aku tak akan menyakitimu, nona," ucap Angelo sambil menjaga jarak dengan Celeste. "
Celeste termenung didepan jendela kamarnya. Ia memikirkan setiap kalimat yang diucapkan pria bernama Angelo itu. "Juan kekasihmu adalah putera tunggal Dominica 'Don' Maximo, nama aslinya adalah Juan Alessandra Maximo." "Maukah kau ikut bersama Juan kembali ketempat asalnya?" Celeste memijit kepalanya yang tak sakit, ia hanya sedikit pusing memikirkan pertanyaan yang diajukan oleh Angelo. Celeste tidak ingin gegabah mengambjl keputusan. Jadi ia meminta waktu pada pria itu. Celeste lalu diantar pulang kerumahnya. "Ah, memikirkan hal ini membuatku jadi ingin minum-minum," ucap Celeste dalam hati. Jadi iapun beranjak dari kamarnya menuju mini bar yang berada diruang santai dilantai satu. Celeste mengambil sebotol red wine dan membukanya. Dituangkannya cairan berwarna merah pekat itu kedalam gelas dan Celeste menyesapnya perlahan. "Hm... Pilihan apa yang harus aku ambil, Juan?" Gumam Celeste seraya melihat bayangannya digela
Wajah Celeste memerah, ekspresinya berubah marah pada sang ayah. "Papa! Apa kau sadar dengan apa yang kau ucapkan?!" seru Celeste. "Memangnya apa yang salah dari ucapanku, Celeste?" Armando balik bertanya tanpa rasa bersalah. "Papa mencoba menjualku pada pria gendut menjijikkan itu!" sembur Celeste marah. "Hahahaha! Apa maksudmu, nak? Pikiranmu terlalu jauh!" balas Armando tertawa terbahak-bahak. Celeste memandang ayahnua dengan sengit seraya memutar bola matanya. "Tentu saja aku tak menjualmu! Pikiran macam apa itu? Aku menyuruhmu menikah dengannya, sayang. Me-ni-kah! Secara RESMI," jelas Armando dengan menekankan kata 'resmi'. "Sama saja, papa. Apa bedanya?!" "Tentu saja beda, sayang. Jika aku menjualmu, kau hanya akan menjadi simapanannya. Sedangkan jika kau menikah, kau akan dikenal semua orang sebagai istri Walikota," jelas Armando seraya tersenyum puas. "Kau gila, papa. Aku anggap pembicaraan ini tak perna
"Sayang, aku tahu kau pasti akan terkejut dan tak mempercayai apa yang akan kusampaikan ini. Tapi, apa yang aku ucapkan padamu nanti adalah kenyataan sebenarnya," ucap Juan berhati-hati. "Oh, Juan. Cepat katakanlah apa itu? Kau membuatku sangat takut!" desak Celeste tak sabar. "Aku... Sebenarnya aku adalah putera dari Dominica 'Don' Maximo, mafia terbesar penguasa Sicilia," ucap Juan dengan suara pelan. Ia diam dengan kepala menunduk menunggu reaksi dari gadis yang dicintainya itu. Juan menunggu, namun tak ada sepatah katapun yang keluar dari bibir gadis dihadapannya itu. Juan memberanikan diri melihat Celeste dan terhenyak saat melihat sebuah senyum kecil tersungging diwajah cantik gadis itu. "Sayang, kau... tersenyum?" tanya Juan tak mengerti. "Ya. Aku memang tersenyum. Apakah aneh?" Celeste balik bertanya. "Ti-tidak. Hanya... aku tak mengerti. Mengapa kau tersenyum? Bukan ini reaksi yang kubayangkan," jawab Juan jujur.
Celeste pulang dalan suasana hati ceria. Ia masuk kekamarnya sambil bersenandung, benaknya dipenuhi bayangan hal-hal indah tentang dirinya dan Juan yang akan segera pergi menuju tempat kelahiran kekasihnya itu. "Papa!" seru Celeste terkejut. Armando Ferrari, ayah Celeste, tengah duduk didepan jendela kamar putri sulungnya itu. "Kau mengejutkanku!" rutuk Celeste. "Apa yang papa lakukan di kamarku?" Gadis itu berjalan mendekati lemari dan membukanya, ia hendak berganti pakaian. Armando tak segera menjawab pertanyaan Celeste. Pria paruh baya itu tetap diam namun matanya memperhatikan gerak-gerik putrinya itu. Sementara Celeste yang telah selesai memilih baju, tanpa mempedulikan sang ayah melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan berganti pakaian. Tak lama Celeste keluar dari kamar mandi dengan pakaian rumah yang terlihat nyaman. Ia mendekati sang ayah yang masih ditempatnya, namun kini pandangan Armando
Pagi itu Juan bangun dengan wajah cerah, secerah cuaca diluar. Pria itu turun dari ranjangnya lalu melangkah mendekati jendela dan membukanya. Udara pagi yang segar langsung menyambutnya. Juan menarik napas dalam-dalam, memenuhi paru-parunya dengan udara pagi. Lalu ia tersenyum dengan senyuman khasnya yang mampu membuat wanita manapun meleleh. "Ini harinya," gumam Juan. Pria itu menatap langit dengan sendu, "ah, akhirnya aku akan kembali ke tempat asalku. Meninggalkan mimpiku menjadi seorang pemusik profesional." "Jangan menyesalinya, Juan." Ia menegur dirinya sendiri. "Tentu saja kau harus kembali, papamu membutuhkanmu. Nyawanya berada dalam bahaya." "Kau tidak akan pernah tahu apa yang akan dilakukan paman dan putranya. Mereka akan melakukan apapun demi menguasai tahta Maximo." Juan menarik napas panjang. Menyayangkan perebutan kekuasaan yang dilakukan adik ibunya itu. Padahal jika ia membicarakannya baik-baik, ayahnya mungkin akan m
Angelo terpana melihat tindakan cepat sang penerus tahta Maximo. Sedetik kemudian ia tersadar dan bergegas masuk kedal mobil satunya bersama anak buahnya. "Tunggu apalagi? Segera ikuti tuan Juan!" perintah Angelo gusar. Mobil yang dikendarai Angelo dan anak buahnya pun melaju dengan kecepatan tinggi, berusaha mengejar mobil Juan yang jauh didepan sana. Sementara itu, Juan mengendarai mobilnya dengan rasa cemas yang amat besar. Sepanjang perjalanan menuju rumah Celeste, ia terus berdoa agar tak terjadi apa-apa pada kekasihnya itu. Dari awal ia memiliki perasaan aneh tentang Armando Ferrari. Walaupun dia adalah ayah dari Celeste, kekasihnya, tapi tak menutupi ada sesuatu yang mencurigakan dari pria itu. Pernah, suatu kali Juan menyampaikan kecurigaannya pada Celeste tentang Armando, ayahnya. Namun gadis itu justru tertawa geli mendengar kecurigaan yang disampaikan Juan. "Sayang, dia papaku. Tidak mungkin dia akan mencelakakanku. Sebalikn
Juan dan Celeste tercengang menatap wanita yang tiba-tiba muncul dihadapan mereka. Wanita yang dibawa oleh Angelo yang dikenal dingin dan anti perempuan."Angelo?" ucap Celeste bingung."Perkenalkan, namanya Fiorella. Maafkan jika aku telah lancang mengajaknya untuk tinggal disini tanpa memberitahu kalian berdua terlebih dahulu. Tapi, ada alasan mengapa aku melakukan hal ini, tuan Juan, nona Celeste," jelas Angelo."Aku Fiorella, senang berkenalan dengan anda berdua," ucap Fiorella gugup."Ada apa ini, Angelo? Tidak biasanya kau membawa wanita seperti ini?" tanya Juan blak-blakkan didepan Fiorella."Dia adalah wanita yang diceritakan oleh Davidde tadi pagi, tuan Juan," jelas Angelo.
“A-apa maksudmu, Angelo? K-kau mengajakku tinggal bersamamu? Apakah tidak terlalu cepat? Kita berdua baru saja kenal,” ucap Fiorella dengan wajah merona merah karena malu.Menyadari kalau kalimat yang diucapkannya membuat Fiorella berpikiran macam-macam, Angelo cepat-cepat mengoreksinya dengan wajah sama merahnya dengan wanita itu.“Ah, ti-tidak! Maksudku bukan seperti itu! Maafkan aku jika ucapanku membuatmu berpikiran macam-macam!”“Maksudku, aku selama ini tinggal di hotel K bersama atasanku dan juga pacarnya. Mereka menyewa seluruh lantai, sehingga banyak kamar kosong. Jika kau mau, kau bisa mengisi salah satu kamar kosong di sana sampai kami menangkap pembunuh itu,” jelas Angelo cepat-cepat.“Oh, seperti itu,” ko
Angelo melesat bagai peluru meninggalkan ruangan itu langsung masuk kedalam mobil tanpa memperdulikan Juan yang meneriakkan namanya. Saat ini yang ada dipikirannya hanya satu. Fiorella.Ciri-ciri yang diceritakan oleh Davidde sangat cocok dengan Fiorella. Apalagi wanita itu membawa sekeranjang bunga, seingatnya Fiorella pernah bercerita padanya kalau ia sering membawa pulang bunga-bunga yang mulai layu untuk dikeringkan di rumahnya.“Pantas saja, dia tak membuka tokonya hari ini. Dia pasti syok dan ketakutan dengan kejadian semalam,” gumam Angelo.Tak sabar untuk segera bertemu dengan wanita itu, Angelo bagai kerasukan menekan pedal gas dalam-dalam. Membawa mobil dengan kecepatan penuh. Hampir semua lalulintas dilewatinya tanpa perduli apakah sedang merah atau hijau. Yang ada dipikirannya sekarang adalah
Pagi itu, Angelo kembali berjalan-jalan disekitar hotel hingga ke pasaraya yang letaknya tak jauh dari sana. Ia berniat mengenal Fiorella lebih jauh lagi. Setelah percakapan pertama keduanya, sudah sekitar 3 hari ia tak melihat wanita itu. Ia disibukkan dengan pembunuhan Domenico.Pagi ini sedikit senggang, sebelum mereka kembali ke markas Klan Maximo siang ini. Angelo menyempatkan menemui Fiorella untuk bercakap-cakap.Dengan bersemangat dan dada berdebar, Angelo berjalan menuju toko bunga Fiorella. Namun seketika ia mengernyit saat melihat toko wanita itu tutup. Tidak seperti biasanya, setahu Angelo Fiorella tidak pernah menutup tokonya.Dengan rasa penasaran ia lalu mendekati penjual tembikar yang letaknya persis di samping toko bunga Fiorella."Permisi, apa kau tahu
Angelo segera memasukkan memory card tersebut kedalam saku jasnya. Setelah itu keduanya bergegas mengembalikan barang-barang tersebut pada petugas. Dengan tergesa-gesa keduanya kembali ke mobil dan segera pergi dari sana."Ini, tuan Juan," ucap Angelo sambil memberikan memory card yang disimpannya tadi."Haruskah aku lihat sekarang?" tanya Juan meminta pendapat Angelo."Mengapa tidak? Lebih cepat kita tahu isi memory card itu bukankah lebih baik? Siapa tahu disana ada petunjuk yang kita inginkan," balas Angelo ringan.
Angelo kembali ke hotel dengan suasana hati yang lebih cerah. Pertemuannya dengan wanita pemilik toko bunga, Fiorella, sedikit mencerahkan hatinya yang cukup lama berkabut.Dengan bersenandung kecil, Angelo memasuki kamar hotelnya. Ia terus teringat akan Fiorella, dadanya berdebar kencang setiap kali ia teringat wanita itu. Apakah ia jatuh cinta lagi? Pada wanita yang sama namun sedikit berbeda? Angelo menggeleng, mengusir pikiran melantur itu."Apa yang kau pikirkan, Angelo? Dia bukan Carina, dia Fiorella. Walaupun wajah mereka sama, itu bukan dia. Carina mu tidak akan kembali, sadarlah," tegurnya pada dirinya sendiri.Walau begitu, Angelo tetap memikirkan Fiorella. Memikirkan wanita itu diluar dugaan memberikan ketenangan dalam hatinya.****
Menuruti perintah Juan, Angelo segera mengumpulkan anak buah Klan Maximo kemudian memberi mereka perintah untuk menyelidiki Alonzo. Serta berpatroli minimal 3 orang, agar menghindari penyerangan yang tidak diinginkan.Sementara Domenico telah pergi meninggalkan hotel dengan mengemban tugas menyelidiki bosnya sendiri, Armando Ferrari.Juan masuk kedalam kamar hotelnya dengan semangat baru, wajahnya kini berseri-seri tidak lagi murung seperti beberapa hari lalu. Celeste yang tengah duduk santai sambil membaca majalah mode merasa senang melihat perubahan itu."Darimana kau sayang? Aku mencarimu dari tadi," tanya Celeste sambil menurunkan majalah yang dibacanya."Aku tadi habis bertemu Domenico, sayang," jawab Juan sambil mencium pipi Celeste.
Ottavio masuk ke dalam lift hotel dengan Domenico mengekor di belakang. Ia memencet tombol 7 yang artinya mereka akan ke lantai 7, dimana semua kamar di lantai itu adalah milik Juan untuk sementara dirinya tinggal di hotel itu.Domenico mengikuti Ottavio dalam diam, hanya matanya yang memperhatikan sepanjang perjalanan menuju tempat bertemu Juan dan Angelo. Tibalah keduanya di lantai 7 dan Ottavio segera keluar lift terus berjalan menuju kamar bernomor 710 sesuai instruksi yang diberikan.TOK! TOK! TOK!Ottavio mengetuk pelan pintu kamar nomor 710. Tak butuh waktu lama pintu kamar terbuka dan muncullah sosok sempurna Angelo. Ottavio terdiam, terpesona sekaligus terintimidasi oleh kehadiran Angelo. Apalagi pria itu tepat berdiri dihadapannya.Dengan bibir gemetar, Ottavio
Angelo berjalan dengan terburu-buru meninggalkan pasaraya. Wajahnya pucat dengan keringat tak berhenti mengalir."Apa ini? Perasaan apa ini?" batin Angelo tak mengerti."Mengapa aku tak punya keberanian untuk bertanya pada wanita itu," batin Angelo lagi.Kenangan masa lalu sekilas berkelebat di pelupuk mata Angelo. Senyum manisnya, tawa renyahnya, mata hijau teduhnya tak pernah Angelo lupakan sekalipun.Angelo memijat keningnya yang tiba-tiba terasa pusing. Kenangan itu serta wanita yang dilihatnya di pasaraya tadi menyakitkan kepalanya.Angelo bergegas membuka pintu kamarnya lalu melempar dirinya ke atas tempat tidur. Ia memejamkan kedua matanya dengan sebelah tangan diatas kening.