Angelo berdiri mematung menatap Juan yang terlihat sangat terkejut.
"Pemimpin preman itu memberikannya padaku," jawab Angelo.
"Apa?"
"Apa kau mengenalnya, tuan Juan?" Tanya Angelo kembali.
"Mmm... Ti-tidak! Aku tidak mengenalnya!" Jawab Juan berbohong.
"Kau yakin, tuan?" Selidik Angelo.
"Cukup, Angelo! Aku ingin istirahat!" Seru Juam seraya merebahkan tubuhnya kembali di kasur.
Angelo yang merasakan ada keanehan pada diri Juan masih belum beranjak dari tempatnya. Pria itu masih memperhatikan Juan dengan seksama.
"Mengapa kau masih disini? Pergilah!" Usir Juan kesal.
Angelo akhirnya membungkukkan badannya memberi hormat pada Jaun dan segera keluar. Diluar Angelo masih terus memikirkan sikap Juan yang berubah aneh saat ia menyebut nama Celeste Ferrari.
"Aku rasa tuan Juan mengenal wanita bernama Celeste Ferrari ini," gumam Angelo dengan kening berkerut.
"Sikapnya tadi sungguh aneh, ia seperti menyembunyikan sesuatu," lanjut Angelo.
Tilililit! Tilililit!
Ponsel Angelo berbunyi, pria itu segera mengambilnya dari dalam saku jas. Tertera nama seseorang yang ia hubungi tadi.
"Apa kau sudah mendapatkan yang aku suruh?" Tanya Angelo tanpa basa-basi.
"Baik. Aku tunggu."
Angelo lalu mematikan sambungan telepon, tak berapa lama ada pesan masuk diponselnya. Angelo segera memeriksa pesan tersebut yang berisi data lengkap tentang Celeste Ferrari.
Angelo segera memeriksa data-data tersebut. Dan sedikit terkejut saat mengetahui wanita bernama Celeste ini memiliki hubungan dengan Juan.
"Ternyata dugaanku benar. Tuan Juan memiliki hubungan dengan wanita bernama Celeste ini," gumam Angelo.
"Kalau begitu, aku harus memberitahukannya apa yang telah dilakukan wanita bernama Celeste ini padanya selama ini."
Angelo mematikan ponselnya dan memasukkannya kembali kedalam saku. Lalu iapun pergi dari tempatnya berdiri dengan ekspresi geram.
****
Juan menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Benaknya dipenuhi berbagai macam pikiran dan juga pertanyaan.
Pertama ia memikirkan Bu Maurice yang saat ini pasti sendirian dirumah karena ia harus dirawat dirumah sakit.
Untungnya tadi Juan sempat menghubungi wanita tua itu agar ia tak terlalu khawatir. Juan mengatakan ia akan menginap ditempat kawannya karena sedang menyelesaikan suatu pekerjaan.
Awalnya Bu Maurice tak mempercayai alasan Juan. Namun setelah Juan meyakinkan berulang kali, dibantu salah satu anak buah Angelo ikut meyakinkan Bu Maurice. Akhirnya wanita tua itu mempercayainya juga.
Kedua, ia memikirkan Celeste, kekasihnya. Jika ia menerima tawaran Angelo untuk kembali ke pusat meneruskan bisnis papanya, itu artinya ia harus meninggalkan wanita yang dicintainya untuk waktu yang lama.
Itulah hal yang paling tidak diinginkan oleh Juan. Sedangkan untuk mengajak wanita itu ikut bersamanya tentu saja bukan hal yang mudah. Paling tidak ia harus meyakinkan Celeste.
Juan sendiri sangat mengenal sifat gadis itu, Celeste tidak akan percaya sebelum melihat dengan mata kepalanya sendiri. Dan jika ia ingin membawa Celeste paling tidak ia harus minta izin kedua orangtuanya.
Dan Juan sangat yakin, jika kedua orangtua Celeste jangankan mendengar ucapannya, menemui dirinya saja keduanya tidak akan mau. Mereka tidak menyukai dirinya karena miskin.
"Bukankah ada Angelo? Ia pasti dengan mudah dapat langsung meyakinkan orangtua Celeste," batin Juan
"Tapi... Jika Celeste mengikutiku kesana, bukankah membahayakan nyawanya?"
Juan mengusap wajahnya, ia pusing sendiri memikirkan kelanjutan hidupnya.
"Apa yang harus kulakukan?"
Sementara Juan masih terus berkutat dengan masalah soal kehidupannya, malam semakin larut. Bulan telah membulat sempurna tinggi dikelamnya malam.
****
Tok! Tok! Tok!
Tok! Tok! Tok!
"Ya! Ya! Aku datang! Tunggu sebentar!"
Suara nyaring Bu Maurice terdengar dari balik pintu. Celeste yang berdiri menunggu dipintu depan rumah Juan bersama Bu Maurice langsung menurunkan tangannya dari pintu.
CKLEK!
Pintu terbuka dan Bu Maurice langsung memutar bola matanya ketika dilihatnya sosok Celeste berdiri didepan pintu rumahnya.
"Ada apa kau pagi-pagi kesini?" Tanya Bu Maurice ketus.
"Aku ingin bertemu Juan. Dia ada dirumah? Soalnya aku menghubungi ponselnya tidak aktif," jawab Celeste dengan nada cemas.
"Dia tidak ada dirumah. Diabmengunap dirumah temannya semalam," balas Bu Maurice yang langsung ingin menutup pintu.
Namun Celeste dengan cepat menahan pintu tersebut, "apakah dia baik-baik saja? Kau tahu dia menginap dirumah temannya yang mana?"
"Aku tak tahu! Lepaskan tanganmu! Aku banyak kerjaan didalam!" Hardik Bu Maurice galak.
Celeste seketika melepaskan pegangannya pada pintu dan Bu Maurice langsung menutup pintu tersebut dengan kasar.
Celeste menghela nafas panjang melihat sikap Bu Maurice padanya.
"Mengapa wanita tua itu sangat membenciku? Sebenarnya apa salahku padanya? Hah!" Keluh Celeste.
Ia lalu berbalik dan melangkah pergi dari depan rumah Bu Maurice dengan gontai. Benaknya dipenuhi Juan, kekasihnya. Dari semalam ia menghubungi ponsel pria itu namun tak ada jawaban. Pagi ini ponselnya malah tidak aktif.
"Juan, semoga tidak terjadi hal yang buruk padamu."
Celeste membuka pintu mobilnya hendak masuk, namun pundaknya tiba-tiba ada yang menyentuh. Celeste menoleh dan melihat seorang pria tampan berkumis dan berjenggot tipis dengan pakaian rapi.
"Nona... Celeste?" Sapa pria itu sopan.
"Ya. Itu aku," jawab Celeste ragu.
"Perkenalkan, aku Angelo," ucap Angelo seraya mengulurkan tangannya yang disambut ragu-ragu oleh Celeste.
"Mmm.. apa aku mengenalmu?" Tanya Celeste bingung.
Angelo tertawa kecil melihat wajah kebingungan Celeste.
"Oh, maafkan aku karena sudah tak sopan," tukas Angelo.
"Kita memang tak saling kenal, nona. Aku mengetahui namamu dari seseorang," ucap Angelo.
"Siapa?" Tanya Celeste mulai curiga.
Tiba-tiba dari arah belakang seorang pria langsung membekap mulut Celeste dengan sebuah sapu tangan yang telah diberi obat bius. Seketika itu Celeste kehilangan kesadarannya. Tubuh wanita itu terkulai lemas.
"Masukkan kedalam mobil!" Perintah Angelo pada anak buahnya.
Pria itu segera membawa Celeste masuk kedalam mobil hitam yang terparkir tak jauh dari sana. Angelo yang duduk didepan bersama anak buahnya melirik Celeste sekilas dibelakang.
"Kita berangkat sekarang," ucap Angelo pada anak buahnya.
Mobil itu segera melaju meninggalkan daerah tersebut menuju sebuah hotel berbintang lima yang merupakan salah satu bisnis Keluarga Maximo.
Mobil mereka menuju kebasement, terus menyusuri lorong berlampu remang-remang. Setelah berjalan sekitar 50 meter, mobil itu berhenti. Angelo dan anak buahnya segera keluar.
"Bawa gadis itu ke kamar 705!" Perintah Angelo dingin.
Tubuh Celeste yang terkulai lemas segera diangkat keatas pundak salah satu anak buah Angelo yang berbadan kekar. Mereka lalu masuk kedla lift dan memencet tombol lantai 7.
Lift segera naik dan kembali membuka setelah sampai dilantai 7. Angelo dan anak buahnya melangkah ringan menuju kamar 702.
Tentu saja ia tak khawatir akan ada yang memergoki dirinya membawa seorang gadis dengan paksa. Sebab hotel ini adalah salah satu yang dimiliki Keluargq Maximo dan sangat terjamin keamanannya. Aparat penegak hukumpun tidak akan bisa menyentuh hotel ini.
Mereka telah sampai dikamar 702. Tubuh lemas Celeste dibaringkan diatas kasur satu-satunya yang berada dikamar itu.
"Pergilah! Tinggalkan aku berdua dengan gadis ini!" Angelo mengusir anak buahnya.
Setelah para anak buahnya pergi dan hanya ada dirinya dam Celeste dikamar itu, perlahan Angelo mendekati Celeste yang masih terbaring pingsan akibat dibius.
Diperhatikannya dengan seksama kontur wajah gadis itu. Alisnya, bulu matanya, hidungnya yang mancung, tulang pipinya yang tinggi dan bibirnya... Bibirnya yang begitu penuh dan indah.
Angelo menelan ludah menatap bibir gadis itu. Tiba-tiba ia merasakan desakan untuk mencicipi bibir penuh dan merona merah milik gadis itu.
Perlahan Angelo mulai mendekatkan wajahnya kewajah gadis itu. Jarak diantara mereka mulai memendek. Dan saat tinggal 1 senti lagi jarak diantara bibirnya dengan bibir Celeste, Angelo memejamkam kedua matanya.
#####
Tiba-tiba kedua mata Celeste terbuka. Melihat ada seorang pria tak dikenal sangat dekat dengan wajahnya, spontan Celeste berteriak. "Aaa! Apa yang kau lakukan?!" Celeste mendorong Angelo hingga pria itu jatuh terjengkang kebelakang. Angelo yang tak menduga Celeste akan sadar dari biusnya tentu saja sangat terkejut dan sekaligus malu dengan perbuatannya tadi. "Apa yang kau lakukan padaku, hah? Mengapa kau membawaku kesini? Siapa kau sebenarnya?!" Celeste memberondong Angelo dengan beberapa pertanyaan. Sementara itu Celeste sudah berdiri disudut kamar itu dengan sangat waspada. Angelo bangkit dari jatuhnya sambil tersenyum menahan malu. Ia kemudian berjalan mendekati Celeste. "Tak kuduga kau wanita yang sangat pemberani, Celeste," puji Angelo. "Apa maumu, hah?!" Seru Celeste menyembunyikan rasa takutnya. "Jangan takut padaku. Aku tak akan menyakitimu, nona," ucap Angelo sambil menjaga jarak dengan Celeste. "
Celeste termenung didepan jendela kamarnya. Ia memikirkan setiap kalimat yang diucapkan pria bernama Angelo itu. "Juan kekasihmu adalah putera tunggal Dominica 'Don' Maximo, nama aslinya adalah Juan Alessandra Maximo." "Maukah kau ikut bersama Juan kembali ketempat asalnya?" Celeste memijit kepalanya yang tak sakit, ia hanya sedikit pusing memikirkan pertanyaan yang diajukan oleh Angelo. Celeste tidak ingin gegabah mengambjl keputusan. Jadi ia meminta waktu pada pria itu. Celeste lalu diantar pulang kerumahnya. "Ah, memikirkan hal ini membuatku jadi ingin minum-minum," ucap Celeste dalam hati. Jadi iapun beranjak dari kamarnya menuju mini bar yang berada diruang santai dilantai satu. Celeste mengambil sebotol red wine dan membukanya. Dituangkannya cairan berwarna merah pekat itu kedalam gelas dan Celeste menyesapnya perlahan. "Hm... Pilihan apa yang harus aku ambil, Juan?" Gumam Celeste seraya melihat bayangannya digela
Wajah Celeste memerah, ekspresinya berubah marah pada sang ayah. "Papa! Apa kau sadar dengan apa yang kau ucapkan?!" seru Celeste. "Memangnya apa yang salah dari ucapanku, Celeste?" Armando balik bertanya tanpa rasa bersalah. "Papa mencoba menjualku pada pria gendut menjijikkan itu!" sembur Celeste marah. "Hahahaha! Apa maksudmu, nak? Pikiranmu terlalu jauh!" balas Armando tertawa terbahak-bahak. Celeste memandang ayahnua dengan sengit seraya memutar bola matanya. "Tentu saja aku tak menjualmu! Pikiran macam apa itu? Aku menyuruhmu menikah dengannya, sayang. Me-ni-kah! Secara RESMI," jelas Armando dengan menekankan kata 'resmi'. "Sama saja, papa. Apa bedanya?!" "Tentu saja beda, sayang. Jika aku menjualmu, kau hanya akan menjadi simapanannya. Sedangkan jika kau menikah, kau akan dikenal semua orang sebagai istri Walikota," jelas Armando seraya tersenyum puas. "Kau gila, papa. Aku anggap pembicaraan ini tak perna
"Sayang, aku tahu kau pasti akan terkejut dan tak mempercayai apa yang akan kusampaikan ini. Tapi, apa yang aku ucapkan padamu nanti adalah kenyataan sebenarnya," ucap Juan berhati-hati. "Oh, Juan. Cepat katakanlah apa itu? Kau membuatku sangat takut!" desak Celeste tak sabar. "Aku... Sebenarnya aku adalah putera dari Dominica 'Don' Maximo, mafia terbesar penguasa Sicilia," ucap Juan dengan suara pelan. Ia diam dengan kepala menunduk menunggu reaksi dari gadis yang dicintainya itu. Juan menunggu, namun tak ada sepatah katapun yang keluar dari bibir gadis dihadapannya itu. Juan memberanikan diri melihat Celeste dan terhenyak saat melihat sebuah senyum kecil tersungging diwajah cantik gadis itu. "Sayang, kau... tersenyum?" tanya Juan tak mengerti. "Ya. Aku memang tersenyum. Apakah aneh?" Celeste balik bertanya. "Ti-tidak. Hanya... aku tak mengerti. Mengapa kau tersenyum? Bukan ini reaksi yang kubayangkan," jawab Juan jujur.
Celeste pulang dalan suasana hati ceria. Ia masuk kekamarnya sambil bersenandung, benaknya dipenuhi bayangan hal-hal indah tentang dirinya dan Juan yang akan segera pergi menuju tempat kelahiran kekasihnya itu. "Papa!" seru Celeste terkejut. Armando Ferrari, ayah Celeste, tengah duduk didepan jendela kamar putri sulungnya itu. "Kau mengejutkanku!" rutuk Celeste. "Apa yang papa lakukan di kamarku?" Gadis itu berjalan mendekati lemari dan membukanya, ia hendak berganti pakaian. Armando tak segera menjawab pertanyaan Celeste. Pria paruh baya itu tetap diam namun matanya memperhatikan gerak-gerik putrinya itu. Sementara Celeste yang telah selesai memilih baju, tanpa mempedulikan sang ayah melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan berganti pakaian. Tak lama Celeste keluar dari kamar mandi dengan pakaian rumah yang terlihat nyaman. Ia mendekati sang ayah yang masih ditempatnya, namun kini pandangan Armando
Pagi itu Juan bangun dengan wajah cerah, secerah cuaca diluar. Pria itu turun dari ranjangnya lalu melangkah mendekati jendela dan membukanya. Udara pagi yang segar langsung menyambutnya. Juan menarik napas dalam-dalam, memenuhi paru-parunya dengan udara pagi. Lalu ia tersenyum dengan senyuman khasnya yang mampu membuat wanita manapun meleleh. "Ini harinya," gumam Juan. Pria itu menatap langit dengan sendu, "ah, akhirnya aku akan kembali ke tempat asalku. Meninggalkan mimpiku menjadi seorang pemusik profesional." "Jangan menyesalinya, Juan." Ia menegur dirinya sendiri. "Tentu saja kau harus kembali, papamu membutuhkanmu. Nyawanya berada dalam bahaya." "Kau tidak akan pernah tahu apa yang akan dilakukan paman dan putranya. Mereka akan melakukan apapun demi menguasai tahta Maximo." Juan menarik napas panjang. Menyayangkan perebutan kekuasaan yang dilakukan adik ibunya itu. Padahal jika ia membicarakannya baik-baik, ayahnya mungkin akan m
Angelo terpana melihat tindakan cepat sang penerus tahta Maximo. Sedetik kemudian ia tersadar dan bergegas masuk kedal mobil satunya bersama anak buahnya. "Tunggu apalagi? Segera ikuti tuan Juan!" perintah Angelo gusar. Mobil yang dikendarai Angelo dan anak buahnya pun melaju dengan kecepatan tinggi, berusaha mengejar mobil Juan yang jauh didepan sana. Sementara itu, Juan mengendarai mobilnya dengan rasa cemas yang amat besar. Sepanjang perjalanan menuju rumah Celeste, ia terus berdoa agar tak terjadi apa-apa pada kekasihnya itu. Dari awal ia memiliki perasaan aneh tentang Armando Ferrari. Walaupun dia adalah ayah dari Celeste, kekasihnya, tapi tak menutupi ada sesuatu yang mencurigakan dari pria itu. Pernah, suatu kali Juan menyampaikan kecurigaannya pada Celeste tentang Armando, ayahnya. Namun gadis itu justru tertawa geli mendengar kecurigaan yang disampaikan Juan. "Sayang, dia papaku. Tidak mungkin dia akan mencelakakanku. Sebalikn
Angelo dan anak buahnya yang baru tiba di kediaman Ferrari mengurungkan niatnya untuk berhenti saat melihat mobil yang dikendarai Juan kembali berjalan. "Sialan! Mau kemana dia!" umpat Angelo. "Cepat ikuti! Kali ini jangan sampai ketinggalan lagi!" perintah Angelo pada salah satu anak buahnya yang menyetir. "Mau kemana kau, tuan Juan? Waktu kita tak banyak lagi, tuan Dominica sangat menunggu kedatanganmu," gumam Angelo cemas. Sementara itu di mobil yang dikendarai Juan, pria itu tengah menatap jalan didepannya dengan mata berkilat-kilat marah. "Armando, ternyata kecurigaanku selama ini kepadamu benar adanya," geram Juan. Ia mencengkram erat kemudinya hingga buku-buku jarinya memutih. "Jika terjadi sesuatu pada Celeste... Akan kupastikan kau menyesal karena telah melakukan hal itu pada gadis yang kucintai." Dengan gigi gemeretak, Juan melontarkan ancamannya pada Armando Ferrari. Dengan tidak sabar, Juan kembali menginjak gas mob
Juan dan Celeste tercengang menatap wanita yang tiba-tiba muncul dihadapan mereka. Wanita yang dibawa oleh Angelo yang dikenal dingin dan anti perempuan."Angelo?" ucap Celeste bingung."Perkenalkan, namanya Fiorella. Maafkan jika aku telah lancang mengajaknya untuk tinggal disini tanpa memberitahu kalian berdua terlebih dahulu. Tapi, ada alasan mengapa aku melakukan hal ini, tuan Juan, nona Celeste," jelas Angelo."Aku Fiorella, senang berkenalan dengan anda berdua," ucap Fiorella gugup."Ada apa ini, Angelo? Tidak biasanya kau membawa wanita seperti ini?" tanya Juan blak-blakkan didepan Fiorella."Dia adalah wanita yang diceritakan oleh Davidde tadi pagi, tuan Juan," jelas Angelo.
“A-apa maksudmu, Angelo? K-kau mengajakku tinggal bersamamu? Apakah tidak terlalu cepat? Kita berdua baru saja kenal,” ucap Fiorella dengan wajah merona merah karena malu.Menyadari kalau kalimat yang diucapkannya membuat Fiorella berpikiran macam-macam, Angelo cepat-cepat mengoreksinya dengan wajah sama merahnya dengan wanita itu.“Ah, ti-tidak! Maksudku bukan seperti itu! Maafkan aku jika ucapanku membuatmu berpikiran macam-macam!”“Maksudku, aku selama ini tinggal di hotel K bersama atasanku dan juga pacarnya. Mereka menyewa seluruh lantai, sehingga banyak kamar kosong. Jika kau mau, kau bisa mengisi salah satu kamar kosong di sana sampai kami menangkap pembunuh itu,” jelas Angelo cepat-cepat.“Oh, seperti itu,” ko
Angelo melesat bagai peluru meninggalkan ruangan itu langsung masuk kedalam mobil tanpa memperdulikan Juan yang meneriakkan namanya. Saat ini yang ada dipikirannya hanya satu. Fiorella.Ciri-ciri yang diceritakan oleh Davidde sangat cocok dengan Fiorella. Apalagi wanita itu membawa sekeranjang bunga, seingatnya Fiorella pernah bercerita padanya kalau ia sering membawa pulang bunga-bunga yang mulai layu untuk dikeringkan di rumahnya.“Pantas saja, dia tak membuka tokonya hari ini. Dia pasti syok dan ketakutan dengan kejadian semalam,” gumam Angelo.Tak sabar untuk segera bertemu dengan wanita itu, Angelo bagai kerasukan menekan pedal gas dalam-dalam. Membawa mobil dengan kecepatan penuh. Hampir semua lalulintas dilewatinya tanpa perduli apakah sedang merah atau hijau. Yang ada dipikirannya sekarang adalah
Pagi itu, Angelo kembali berjalan-jalan disekitar hotel hingga ke pasaraya yang letaknya tak jauh dari sana. Ia berniat mengenal Fiorella lebih jauh lagi. Setelah percakapan pertama keduanya, sudah sekitar 3 hari ia tak melihat wanita itu. Ia disibukkan dengan pembunuhan Domenico.Pagi ini sedikit senggang, sebelum mereka kembali ke markas Klan Maximo siang ini. Angelo menyempatkan menemui Fiorella untuk bercakap-cakap.Dengan bersemangat dan dada berdebar, Angelo berjalan menuju toko bunga Fiorella. Namun seketika ia mengernyit saat melihat toko wanita itu tutup. Tidak seperti biasanya, setahu Angelo Fiorella tidak pernah menutup tokonya.Dengan rasa penasaran ia lalu mendekati penjual tembikar yang letaknya persis di samping toko bunga Fiorella."Permisi, apa kau tahu
Angelo segera memasukkan memory card tersebut kedalam saku jasnya. Setelah itu keduanya bergegas mengembalikan barang-barang tersebut pada petugas. Dengan tergesa-gesa keduanya kembali ke mobil dan segera pergi dari sana."Ini, tuan Juan," ucap Angelo sambil memberikan memory card yang disimpannya tadi."Haruskah aku lihat sekarang?" tanya Juan meminta pendapat Angelo."Mengapa tidak? Lebih cepat kita tahu isi memory card itu bukankah lebih baik? Siapa tahu disana ada petunjuk yang kita inginkan," balas Angelo ringan.
Angelo kembali ke hotel dengan suasana hati yang lebih cerah. Pertemuannya dengan wanita pemilik toko bunga, Fiorella, sedikit mencerahkan hatinya yang cukup lama berkabut.Dengan bersenandung kecil, Angelo memasuki kamar hotelnya. Ia terus teringat akan Fiorella, dadanya berdebar kencang setiap kali ia teringat wanita itu. Apakah ia jatuh cinta lagi? Pada wanita yang sama namun sedikit berbeda? Angelo menggeleng, mengusir pikiran melantur itu."Apa yang kau pikirkan, Angelo? Dia bukan Carina, dia Fiorella. Walaupun wajah mereka sama, itu bukan dia. Carina mu tidak akan kembali, sadarlah," tegurnya pada dirinya sendiri.Walau begitu, Angelo tetap memikirkan Fiorella. Memikirkan wanita itu diluar dugaan memberikan ketenangan dalam hatinya.****
Menuruti perintah Juan, Angelo segera mengumpulkan anak buah Klan Maximo kemudian memberi mereka perintah untuk menyelidiki Alonzo. Serta berpatroli minimal 3 orang, agar menghindari penyerangan yang tidak diinginkan.Sementara Domenico telah pergi meninggalkan hotel dengan mengemban tugas menyelidiki bosnya sendiri, Armando Ferrari.Juan masuk kedalam kamar hotelnya dengan semangat baru, wajahnya kini berseri-seri tidak lagi murung seperti beberapa hari lalu. Celeste yang tengah duduk santai sambil membaca majalah mode merasa senang melihat perubahan itu."Darimana kau sayang? Aku mencarimu dari tadi," tanya Celeste sambil menurunkan majalah yang dibacanya."Aku tadi habis bertemu Domenico, sayang," jawab Juan sambil mencium pipi Celeste.
Ottavio masuk ke dalam lift hotel dengan Domenico mengekor di belakang. Ia memencet tombol 7 yang artinya mereka akan ke lantai 7, dimana semua kamar di lantai itu adalah milik Juan untuk sementara dirinya tinggal di hotel itu.Domenico mengikuti Ottavio dalam diam, hanya matanya yang memperhatikan sepanjang perjalanan menuju tempat bertemu Juan dan Angelo. Tibalah keduanya di lantai 7 dan Ottavio segera keluar lift terus berjalan menuju kamar bernomor 710 sesuai instruksi yang diberikan.TOK! TOK! TOK!Ottavio mengetuk pelan pintu kamar nomor 710. Tak butuh waktu lama pintu kamar terbuka dan muncullah sosok sempurna Angelo. Ottavio terdiam, terpesona sekaligus terintimidasi oleh kehadiran Angelo. Apalagi pria itu tepat berdiri dihadapannya.Dengan bibir gemetar, Ottavio
Angelo berjalan dengan terburu-buru meninggalkan pasaraya. Wajahnya pucat dengan keringat tak berhenti mengalir."Apa ini? Perasaan apa ini?" batin Angelo tak mengerti."Mengapa aku tak punya keberanian untuk bertanya pada wanita itu," batin Angelo lagi.Kenangan masa lalu sekilas berkelebat di pelupuk mata Angelo. Senyum manisnya, tawa renyahnya, mata hijau teduhnya tak pernah Angelo lupakan sekalipun.Angelo memijat keningnya yang tiba-tiba terasa pusing. Kenangan itu serta wanita yang dilihatnya di pasaraya tadi menyakitkan kepalanya.Angelo bergegas membuka pintu kamarnya lalu melempar dirinya ke atas tempat tidur. Ia memejamkan kedua matanya dengan sebelah tangan diatas kening.