DOR!
DOR!
Dua kali peluru itu menembus tubuh Bandit. Yang satu di bahu dan satunya lagi di punggung. Bandit menghentikan semua pukulannya.
Di depan sana Bhanu sudah sempoyongan. Ia berusaha bertumpu pada pintu. Namun, tangannya yang memegang pistol masih kokoh.
Izora terpaku dan tak bisa bergerak. Jantungnya seakan ingin keluar dari tempatnya. Untuk waktu yang lama Izora tak mampu menggerakkan kedua kakinya saat ia mendengar ledakan itu menembus daging Bandit.
Bhanu kembali mengangkat pistolnya. Sementara Bandit sudah terhuyung mundur menjauhi tubuh Darius yang melemah.
Bhanu sudah sangat siap menembak. Ia menarik pelatuk dan saat itu juga peluru melesat, tapi Izora sudah lebih dulu berlari. Ia pikir dia akan terlambat dan timah panas itu akan mengenai kepala Bandit.Namun, tidak. Dia tidak terlambat. Sebab peluru itu menembus lengan atasnya. Merobek kulit dan mengoyak dagingnya. Terasa panas, perih dan teramat sakit s
“Berani sekali kau!” Bhanu menatap Bandit dengan berang. Wajahnya mendadak menjadi merah.Bhanu sudah maju menerjang dan menindih Bandit di atas lantai. Sedang Izora memejamkan mata tidak percaya. Sebenarnya apa yang dilakukan Bandit?!“Kau meremehkanku? Berani sekali kau datang ke sini dan membuka penyamaranmu dengan santai di depanku!" Bhanu melancarkan tinju berulang kali dan Bandit berusaha menepisnya.Pergulatan itu berlangsung tidak lama ketika Bandit akhirnya menerima satu pukulan dari Bhanu. Wajah Bandit terpelanting ke samping dan darah menghiasi sudut bibirnya.Bhanu bersiap melancarkan satu pukulan lagi ketika Bandit menahan tangan pengawal itu. “Aku akan membawa Izora dan pergi dari sini. Aku tidak akan mengganggu majikanmu lagi.”Bhanu berhenti. Kepalan tangannya mengendur. Ia mengernyit menatap tak habis pikir.Bandit mendorong Bhanu menjauh kemudian berdiri, menunggu Bhanu ikut bangkit sebel
Tak perlu waktu lama untuk Bhanu berlari meninggalkan tempatnya setelah menyuruh keempat pengawal yang tadi dia tunjuk untuk ikut bersamanya.Tubuhnya terlihat panik, tapi tidak dengan hatinya. Dia hanya bergerak sesuai insting pengawal yang melayani majikannya. Dia segera masuk ke ruangan perawatan Darius dan mendapati lelaki itu sudah dikerumuni oleh dokter dan perawat.Bhanu mengharapkan laporan mengenai kondisi sang tuan, namun kerumunan dokter itu malah melewatinya begitu saja setelah saling berbicara secara pelan yang tidak bisa didengar Bhanu.Bhanu menunggu kerumunan dokter dan perawat itu meninggalkan ruangan lalu menghampiri ranjang sang tuan.Bhanu memperlihatkan raut wajah yang lega. “Syukurlah, Anda sudah sadar. Dokter tidak mengatakan apa pun kepada saya.”Darius hanya melirik sekilas. Perban tebal yang mengelilingi kepalanya dan memar-memar parah yang memenuhi wajahnya membuat lelaki itu cukup sulit bergerak.
“Kami menemukan rekaman CCTV yang menunjukkan mereka sedang menghentikan taksi di jalan depan rumah sakit.” Bhanu menatap kaku seperti biasa. “Kau yakin itu mereka?” “Postur pria itu sama dengan dokter yang masuk ke ruangan Nyonya terakhir kali. Dia menggendong seseorang yang tak sadarkan diri sampai ke lobi. Saat dia keluar, jas dokternya sudah dilepas dan dia melakukan kamuflase sampai rekan-rekan pengawal yang lain tidak curiga padanya.” “Teruskan.” “Dia menaiki taksi. Kami sudah melacak nomor platnya.” Bhanu mengembuskan napas. Ekspresi wajahnya sukar dimengerti. “Lanjutkan pencariannya.” Pengawal yang melapor itu pergi dan meninggalkan Bhanu sendirian di ruang tunggu khusus. Bhanu menumpukan kedua siku pada lutut sambil mengusap wajah. “Aku hanya bisa membantu mereka sampai di sini, Claudia.” Bhanu terlihat frustrasi. Beberapa hari batinnya terus berperang. Sangat sulit baginya untuk memilih antara menjaga ke
Izora belum jua melepaskan tangan Bandit bahkan ketika mereka sudah berada di gudang. Dari dadanya yang kembang kempis dan wajah pucatnya yang mengeras, Bandit tahu kemarahan wanita itu belum surut.Dengan kasar Izora melepaskan gips di tangannya. Gemelutuk giginya terdengar sangat jelas.Bandit segera menahan Izora yang ingin melepas semua perban yang melekat pada lukanya. “Apa yang kau lakukan? Kau bisa infeksi.”“Aku tidak peduli! Ronald sialan! Dia ingin aku tetap di sana? Apa bedanya dia dengan keluargaku?!”Bandit bisa melihat setitik kekecewaan di manik mata Izora. Dia pasti sangat mempercayai pria bernama Ronald itu.“Aku bukan pengecut! Aku akan kembali dan menghabisi Darius!” Izora menghentakkan kaki luar biasa kesal.Di luar dugaan Bandit malah menarik sudut bibir ke atas. Merasa sedikit geli. Izora terlihat seperti anak kecil yang merajuk karena dilarang bermain.“Kuran
“Jangan sentuh aku, Berengsek!” Dihunjamnya preman itu tajam dan tegas.“Kalau kau tidak cantik, sudah kupukul kepalamu itu. Bicaranya jangan kasar-kasar begitu dong, Sayang ... karena aku bisa marah, hm?”Tangan-tangan lain mendarat di rambut Izora, di lengannya, bahkan hampir menyentuh dadanya. Izora mengernyit luar biasa jijik.“Kubilang jangan sentuh aku!!”Alih-alih berhenti, sentuhan-sentuhan itu malah semakin berani dan kasar. Izora bahkan merasakan rambutnya ditarik dengan keras. Kepalanya sampai mendongak karena tarikan itu.“Heh, wanita jalang! Jangan sok jual mahal. Malam ini kau harus bersikap manis kalau tidak ingin salah satu anggota tubuhmu menghilang!”“Kita juga bisa menghilangkan nyawamu loh~”Bukannya merasa takut, Izora malah semakin marah.“Sudah kubilang bersikap manislah. Hilangkan tatapan jijikmu itu! kami ini wangi!&rdqu
Malam itu hujan turun dengan deras, namun Izora tak ingin berhenti. Tak ada payung dan ia hanya memakai jaket Bandit. Basah kuyup bersama lelaki itu. Meski sekujur tubuhnya remuk redam, ia tak peduli.Ternyata seperti ini rasanya keluar dari penjara neraka yang mengurungnya selama ini. Meski kesakitan, meski kehujanan, meski kelaparan, Izora merasa senang. Hatinya meletup-letup seakan semua beban yang selama ini ditanggungnya sirna.“Kita berteduh.” Bandit menuntun Izora ke bawah ruko yang tertutup.“Sebenarnya aku senang, kita bisa lanjut berjalan.”“Kau bisa sakit, Sayang.”Untuk kedua kalinya, Izora mendengar panggilan sayang yang dalam itu dan ia selalu saja tertegun. Hatinya gemetar.“Kita akan ke mana setelah ini?" Izora mendongak mempertemukan matanya dengan mata Bandit yang menatapnya lekat.“Ke luar—“ Lalu ucapan Bandit terhenti begitu saja. Mata le
Di tengah pelukan Izora yang mendebarkan jantungnya dengan brutal, Bandit mengingat waktu saat mereka berteduh di emperan toko karena kehujanan.Izora hanya memakai baju rumah sakit yang ditutupi dengan kaus kebesaran Bandit pada malam itu. Dia ingat napas wanita itu terasa panas selang tiga jam berada di bawah atap toko yang tertutup.Izora tidur dengan badan yang panas dan deru napas yang lemah. Bandit sangat khawatir dan takut. Lagi-lagi dia membuat Izora begini. Terhitung sudah berapa kali dia membuat Izora kesakitan seperti ini?Wajah Bandit mengernyit kesakitan. Dadanya berdenyut perih melihat bagaimana Izora bahkan tidak bisa membuka mata meski berapa kali pun ia menepuk pipi wanita itu dan memanggil namanya berulang kali.Badannya amat panas, tapi ia menggigil sampai gemetaran. Bandit tak membuang waktu untuk segera mendekapnya. Demi Tuhan, dia akan sangat menyesal jika Izora sampai kenapa-kenapa.“Kumohon … jangan sakit lagi.&
“Kau bisa tersenyum dan tertawa sepuasnya di sini.”Alih-alih mengikuti perkataan yang meneduhkan itu, Izora mengunci rapat-rapat bibirnya. “Aku lapar.” Suaranya kembali menjadi dingin seolah Izora yang melompat-lompat kecil tadi hanyalah bayangannya.Bandit menyajikan mie hangat itu di atas meja bundar dengan dua kursi. Satu mangkuk untuknya, satu untuk Izora. Khusus buat Izora, dia berikan bagian yang paling banyak dengan isi yang melimpah.“Dari mana kau ambil ayam?” tanya Izora sambil mengangkat mie-nya dengan sumpit.“Itu bukan ayam, tapi kelinci.”Serta merta kening Izora mengerut. “Dari mana?”“Hutan.”Ah, berburu. Izora jadi membayangkan penampilan Bandit tanpa baju dengan memegang tombak dari kayu runcing dan mengendap waspada mencari mangsa. Mata buasnya memicing tajam pada kelinci yang sedang asyik makan.Izora membayangkannya sambil mengun
Halo, ini author Mustacis. Terima kasih sudah mengikuti dan mendukung Izora dan Bandit. Jangan sungkan untuk kasih masukan yang berarti supaya aku bisa terus memperbaiki tulisan aku dan mempersembahkan yang terbaik untuk kalian 😘 Cerita Pembunuh Suamiku adalah tantangan kedua yang aku berikan kepada diri sendiri setelah 'Tertawan Dua Suami' juga tamat. Semoga kalian bisa terhibur, ada sedikit pelajaran yang bisa diambil dan puas dengan cerita ini. Kalau kalian suka dengan cerita-cerita aku, kalian bisa pantengi akun F4ceb00k aku: Mustacis Kim untuk dapet info-info seputar cerita aku. Terima kasih banyak. Jangan lupa masukkan komentar yang banyak supaya cerita ini bisa masuk di beranda promosi dan Izora-Bandit bisa semakin dikenal banyak pembaca 🙏🏻 Sampai jumpa di karya-karya aku selanjutnya ❤️❤️
“Dia sudah tidur?”Bandit mengintip dari balik bahu Izora, pada Ciara yang sudah telentang nyenyak. Kedua tangan kecilnya mengepal di sisi kepala dan napasnya berembus hangat dengan teratur.Sedang Izora menyangga kepala dengan sebelah tangan dan tangan yang lain masih menepuk pelan paha Ciara. Ia menoleh sebentar kepada Bandit.“Dia baru saja tidur,” bisiknya.Bandit mengangguk lalu menyandarkan dagunya pada lengan Izora. Menatap pemandangan Ciara yang tertidur damai tidak punya beban dan ketakutan apa pun.“Dia sangat menggemaskan.”Izora menyetujui dengan senyuman. Entah sejak kapan dia seringkali tersenyum konyol, tapi saat ini pikirannya sama dengan pikiran sang suami.Suami.Dulu dia membenci kata itu, sekarang ia menyanjungnya. Menghitung berapa banyak istri yang bahagia di dunia ini seperti dirinya.Bisakah ia sebut ini sebagai keluarga?Keluarga
Bhanu mengamati dua pusara yang berbaris rapi itu dengan nanar. Padahal baru satu minggu yang lalu dia datang ke sini dan dia harus datang lagi hari ini.Ia menarik napas dalam, merasa déjà vu melihat dua makam yang berdampingan itu. Segalanya berakhir tragis. Hidup sang tuan yang diperjuangkan selama dua tahun akhirnya menemui ajal.Mungkin inilah hukuman yang selalu ditunggu-tunggu sang nyonya. Bhanu merasa sangat sayang. Padahal mereka semua bisa hidup dengan baik.Rumput-rumput di bawah kakinya menyusut ketika ia melangkah meninggalkan area pemakaman yang sudah sepi. Di dalam kepalanya ia masih mengingat pusara yang bertuliskan nama Darius Farzan dan Raline Maharani yang baru saja dia tinggalkan.Ia masuk mobil, bukan lagi milik Farzan. sudah sejak lama Bhanu tidak memakai lagi fasilitas Farzan. Ia sendirian sekarang, tak ada pengawal lain atau bawahan yang bisa ia komando.Bersama dengan sang pemimpin keluarga yang ti
Izora baru saja hendak tidur ketika ponselnya bergetar di atas nakas. Nama Serina muncul di layar panggilan. Diamatinya sang suami yang tertidur pulas tanpa baju di sampingnya sambil memeluk Ciara, putri yang mereka rawat sejak kemarin malam.Namanya mirip dengan nama Ibu. Tiara. Karena Izora merindukannya. Ia merindukan sang ibu yang tak pernah lagi ia temui sejak dua tahun lalu. Mereka hanya berbicara lewat telepon sesekali.Ayah dan Adnan sudah mengira Izora meninggal dan diliputi perasaan bersalah setiap hari. Usaha Ayah bangkrut dan tentu saja mereka harus pindah ke rumah yang lebih kecil.Rumah yang dibelikan Izora secara diam-diam.Ayah berhenti bekerja dan Adnan menjadi pegawai kantoran biasa. Kehidupan mereka normal, hanya perasaan bersalah itu yang terus menghantui mereka.Biarlah. Anggap sebagai pembalasan dendam.Ponselnya masih berdering dan gegas Izora mengangkatnya. “Ada apa, Serina? Ini sudah larut malam.&rd
SPECIAL BAB 2PUNYA ANAK?Malam ini terasa lengang. Suara ketikan keyboard Izora mendominasi kamar sebelum dia menyadari bahwa malam sudah larut dan Kayman belum pulang.Ia menutup laptopnya dan keluar kamar. Menuruni tangga menuju ruang tengah yang hawanya cukup dingin. Angin berembus masuk lewat celah ventilasi di atas jendela, menerbangkan gorden dan meniup rambut Izora.Izora tidak menunjukkan gestur kedinginan sedikit pun. Ini sudah menjadi makanan kesehariannya. Tinggal di vila yang Darius berikan, terletak di daerah yang tinggi dan dingin. Izora sudah terbiasa kedinginan.Kayman belum pulang dan tidak memberikan kabar apa pun, membuat Izora khawatir. Jangan sampai lelaki itu pulang dalam keadaan terluka seperti yang sudah-sudah.Semoga pekerjaannya malam ini berjalan lancar. Kayman memang biasa pulang terlambat jika ada tugas penting, tapi malam ini Izora lebih khawatir dari biasanya. Firasatnya buruk.Gaun tidu
Dua tahun kemudian. “Ah, Kayman …” Tautan jari-jemari itu kian menguat ketika lagi-lagi Izora menggaungkan nama Kayman ke seluruh sudut-sudut kamar. Napasnya yang berembus panas beradu dengan napas pria yang bergerak dengan lihai di atas tubuhnya. Lelaki itu menggila, wajahnya mengeras, keningnya mengernyit menikmati gulungan gairah yang menghantamnya tanpa ampun. Hari yang cerah itu terasa sangat panas, membuat dua tubuh yang telanjang di atas ranjang bermandikan peluh. Sudah sejak tadi dan tak ada siapa pun di antara mereka yang berniat menghentikan aktivitas yang meleburkan hasrat itu. Otot-otot Bandit terdenyut-denyut menggoda Izora. Kulit kecokelatannya basah dan mengalirkan tetesan keringat berbau jantan ke perut Izora. Dari bawah, Izora bisa melihat betapa indahnya lelaki itu. Dari ekor matanya, ia bisa melihat cahaya raja siang mulai memudar dan menyiarkan semburat berwarna oranye dari balik jendela kaca. Berarti hari sud
“Saya dengar Anda sudah sadar.” Tipikal Bhanu. Kaku dan tegas. Tidak banyak basa-basi.“Ya, seperti yang kau lihat.” Izora masih berada di atas tempat tidur keesokan harinya di saat Bhanu datang.“Saya ikut senang.”Izora mengangguk dan hening merayap kemudian. Hingga lima menit kemudian Serina masuk dan memecahan keheningan itu.“Oh, siapa ini? Bagaimana keadaan tuanmu itu?” Serina melompat ke atas ranjang, di samping Izora sambil memegang apel yang sudah tergigit di beberapa bagian.“Buruk. Beliau koma.”“Bukannya kau sudah memberikan penawarnya?” Serina menggigit apelnya.“Seperti kata laki-laki yang mengaku sebagai orang Nyonya. Tuan menolak obatnya dan berakhir koma.”“Aku bukan lagi nyonya-mu, Bhanu.”“Hmm … kau membingungkan, Tuan Bhanu. Kau setia pada tuanmu tapi malah membantu nyonya-mu berkhianat.&
Pukul lima pagi, Ronald yang berbaring tidak nyaman di sofa ruang tengah bangun dengan tergesa. Sudah lebih dari 72 jam Izora belum sadar.Jantungnya berdebar hebat. Jika Izora betul-betul pergi maka Ronald akan sangat menyesali mengapa dia tidak menahan wanita itu untuk berbuat nekat.Ronald melangkah ragu ke kamar yang ditempati Izora. Ronald takut jika terjadi hal-hal yang buruk. Ia sudah sampai di ambang pintu ketika menemukan Izora berada dalam pelukan Bandit.Ronald mematung. Izora membalas pelukan Bandit dan itu artinya dia sudah sadar.Betapa leganya hati Ronald. Ia langsung menjauh dari kamar itu dan menumpahkan napas selega-leganya.“Oh, Tuhan … aku hampir mati karena khawatir. Syukurlah.”Tanpa basa-basi, Ronald berlari ke kamar sebelah. Melihat Serina dan Flora yang tertidur di atas lantai tanpa alas dan ibu Izora di ranjang.Kesenangan yang melimpah ruah membuat Ronald membangunk
“Saya Izora Farzan, istri dari Darius Farzan.” Izora menunduk, agak ragu untuk mengatakan kalimat selanjutnya.“Saya pernah mengandung, anak kembar. Saya sudah memegang hasil USG mereka ketika suami saya memaksa saya untuk menggugurkan mereka. Waktu itu saya tidak mengerti apa alasannya dan kenapa saya juga harus mengangkat rahim dan tidak boleh hamil lagi. Saya tidak tahu.”Wajah sendu Izora memenuhi seluruh stasiun TV nasional dan tersiar ke layar-layar besar gedung pencakar langit di tengah-tengah kota dan pusat perbelanjaan.Orang-orang membeku melihat dirinya di dalam layar. Tanpa air mata dan tanpa wajah yang sedih, tapi sorot matanya sudah mengungkap segalanya.“Saya bertahan untuk mendapatkan penjelasan karena saya tidak pernah melakukan kesalahan apa pun, tapi bukannya mendapat penjelasan, saya malah dilecehkan. Dia memanggil saya Marina—mendiang istri pertamanya—setiap kali dia meniduri saya.&rdquo