"Gis, malam ini Kamu temenin Om-om itu, ya," tunjuk Mom Andita, Mommy tiriku yang juga sebagai partner kerjaku di dunia malam ini.
Aku melirik ke arah laki-laki bertubuh tambun dengan gaya parlentenya. Lumayan tampan untuk ukuran orang tua sepertinya.
"Okey, Mom. Mommy hari ini pulang duluan aja, istirahat, kasihan tubuh Mommy, Gisella lihat sekarang lebih kurusan," ujarku seraya menatap wanita yang merawatku sudah hampir sekitar 8 tahunan ini.
Wanita semok berkulit putih bersih itu balas menatapku sendu. Ia melayangkan ciuman di pipiku dengan sayang.
"Maafin Mommy, ya, Gis. Mommy tidak bisa memberikan hidup yang layak untukmu, karena--,"
Lagi-lagi wanita baik itu meneteskan air mata. Selalu begitu, jika Ia mengingat tentang keadaan kami saat ini.
Aku langsung memeluknya dan meyakinkan jika semua ini bukan salahnya. Ini kemauanku untuk membayar hutang ayahku yang jumlahnya tidak sedikit itu.
Aku Gisella Widi, gadis berumur 23 tahun yang sampai saat ini masih betah menyendiri.
Bukan karena aku tak ingin punya pasangan, tapi aku sadar siapa diri ini, dari semenjak lulus SMA aku sudah harus membantu untuk melunasi hutang ayah.
Ayah dan ibuku bercerai di saat umurku baru 15 tahun. Entah kenapa Ibu tak ingin membawaku Ibu hanya membawa kakakku Nindy, yang sampai saat ini kami tak pernah berjumpa lagi.
Sudah sekitar 4 tahun lamanya aku dan ibuku sudah tidak pernah bertukar kabar.
Semenjak lulus SMA aku menutup diri dari ibu maupun Kak Nindy. Bukan karena aku benci mereka, tapi karena aku sekarang harus membayar hutang ayah dan aku tidak ingin ibu dan juga kakakku mengetahui kesusahanku.
Ayah mengalami kebangkrutan sebelum aku lulus SMA. Semenjak bangkrut Ayah mencoba berhutang kepada temannya, tapi hingga aku lulus SMA perusahaan Ayah tidak juga bangkit kembali malah semakin parah.
Ayah yang tak sanggup menanggung beban derita akhirnya pergi meninggalkan kami untuk selamanya, Ia tewas bunuh diri dan meninggalkan hutang yang begitu banyak untukku dan juga mami Andita.
Setiap bulan kami harus menyetor sebanyak 20 juta ke perusahaan yang ayah pinjam uangnya. Kami yang habis-habisan akhirnya tak tahu lagi harus mencari uang dengan jalan apa.
Aku yang selalu penasaran dengan mommy akhirnya mengikuti mommy ketika malam karena mommy sering pergi malam dan pulang subuh.
Betapa terkejutnya aku melihat Mommy yang menjajakan diri di sebuah Bar yang cukup ramai pengunjungnya.
Pantaslah aku melihatmu biasa saja saat depkolektor datang untuk meminta hutang ayah.
Namun, itu tidak berlangsung lama, Mommy akhirnya mengalami sakit selama seminggu dan ia tidak sanggup untuk membayar hutang ayah.
Hutang Ayah menunggak 2 bulan dan akhirnya Mommy digebukin hingga wajahnya biru-biru.
Aku yang kasian kepada mommy akhirnya memilih untuk menggantikan posisi mami. Aku tak ingin wanita yang sedang mengurusku selama beberapa tahun belakangan tambah sakit, karena ini bukan hanya salahnya melainkan ini salah ayahku.
Aku yang dengan sadar memilih profesi ini sebagai cara satu-satunya untukku dan mau bertahan hidup hingga saat ini.
Hutang Ayah masih tersisa sekitar 500 juta lagi. Masih panjang perjalananku dan momi untuk membayar hutang ayah tapi semua kami jalani dengan suka hati saling menguatkan dan saling berbagi.
"Mommy, semua bukan salah Mommy, Gisel sayang Mommy," ucapku seraya mengelus bahunya.
"Gisel pergi dulu, Mommy." Aku mengecup pipinya dan memutar tubuh, berlari kecil ke arah om-om yang tadi telah memesanku.
Kuseka air mata yang tadi sempat menetes di ujung mata, ku tepis semua lara dan liku hidup yang sudah kulalui selama ini, aku bisa dan aku bahagia, itulah yang selalu menjadi motoku selama ini.
Kudekati om-om tampan itu dan duduk di sebelahnya, sedikit mengerlingkan mata dan tersenyum menggoda, ia pun membalas senyuman itu, tapi Ia sama sekali tak mau mendekat denganku.
"Kenapa,sih, Om. Kok nggak mau dekat-dekat, katanya tadi Oom mesen aku," Aku berusaha merayunya, tapi Si Om hanya tersenyum kaku.
"Maaf Neng, bukan Aku, tapi bosku yang ingin mesan Eneng untuk nemenin dia malam ini," ujarnya dengan sangat sopan.
Aku tercenung mendengar ucapan lelaki matang itu. Menatapnya dalam dan berusaha mencari jawaban dari sinar matanya.
"Maksud Om apa?" tanyaku.
"Ya, bosku bernama Heru Prasetyo, Ia sudah menyiapkan hotel yang cukup besar untuk Ia tempati malam ini bersamamu, dan bayarannya tidak main-main."
Mendengar kata uang tentu saja aku langsung menggangguk setuju. Persetan dengan bagaimana perawakan laki-laki yang akan memesanku, yang penting ia bisa membayarku mahal dan itu bisa menutupi hutang-hutang ayahku.
Aku pun lalu mengikuti lelaki itu keluar dan naik mobil mahal, tak tahulah apa nama merk mobil itu, yang jelas mobil itu besar dan juga mengkilat dengan roda-roda yang besar.
Mataku menyisir dalam mobil saat masuk dan duduk di kursi empuk yang baru pertama kali ini aku rasakan.
"Mana Om, orangnya? kok cuma ada Om sama sopir?" tanyaku saat aku hanya melihat dua orang laki-laki duduk di dalam mobil.
"Bos Heru masih di rumah. Ia menyuruh Anda menunggu di Hotel yang telah Ia pesan," jawab Om tadi.
Aku pun akhirnya pasrah dan memilih bermain gadget, menghilangkan suntuk di dalam mobil.
Cukup lama aku berada di dalam mobil, sepertinya mereka sengaja membawaku berkeliling mencari angin.
Sesekali aku menatap ke arah luar, memandangi gedung-gedung yang bercahaya dan ramainya Ibukota.
Aku menghela napas dalam. Jika memang malam ini hari terakhirku, aku rela. Yang penting selama ini aku sudah berusaha membayar hutang Ayah, meski dengan jalan yang salah.
Mau bagaimana lagi, aku hanya tamatan SMA, tak punya skill lebih untuk bisa menghasilkan uang.
Hanya ini cara satu-satunya, cara instan meraih uang banyak, selain untuk bayar hutang, ya bisa beli-beli barang mewah.
Namun, entah kenapa perasaanku tak enak. Mereka-mereka ini terlalu misterius untukku, karena sepanjang perjalanan mereka hanya diam terpaku.
***
Kami akhirnya sampai. Aku terperangah melihat villa yang ada di depan mata.
"Villa?" desisku. Aku tertidur sepanjang perjalanan dan menjelang dini hari ini mereka membangunkanku. Aku sempat bertanya pada Om tadi dan Ia melirik jam YoungLex miliknya. Jam 02.00 pagi.
"Katanya tadi Hotel? kenapa aku di bawa ke Villa?" protesku dengan dua tangan bertumpu di pinggang.
"Kalian tidak ingin menipuku, 'kan? sebenarnya siapa kalian?" Kucecar mereka dengan banyak pertanyaan.
Dua orang dihadapanku itu hanya memutar mata. Sopir yang membawa kami tadi malah melipat dua tangan di dada.
"Kenapa Bos mau dengan perempuan murah seperti ini, sih? menyusahkan. Banyak tanya," sungutnya pada Om ganteng tadi.
Om itu melirik temannya dan lantas berkata," dahlah, kita lakukan tugas dan segera pergi dari sini. Aku lelah."
"Oke," jawab sopir itu.
Sedangkan aku hanya terpaku, merasa di kacangin dan terpaksa ikut mereka menuju Villa besar dengan aksitektur kuno seperti rumah pada jaman Belanda.
Aku tak mampu melihat pemandangan sekitar Villa karena lampu hanya bertumpu pada bangunan dan sekitar gelap. Hanya terlihat pepohonan tinggi menjulang.
Meski mereka tak memperlakukanku secara kasar, aku tetap merasa curiga kepada mereka, kenapa mereka harus berbohong padaku?
Lamunanku akhirnya buyar saat mereka berhenti di salah satu kamar. Villa ini cukup besar dan terlihat sangat sepi. Hanya ada seorang wanita yang menyambut kami dengan berpakaian sangat rapi.
Wanita muda sekitar berumur 20 tahunan itu sama sekali tak menatap ke arahku seolah aku ini tidak ada, dialah yang membawa kami ke kamar.
Mereka meninggalkanku begitu saja saat kamar terbuka. Cukup membuat jantungku berdebar kencang, takut.
Mataku menyisir ke setiap ruangan, kamar di villa itu layaknya kamar bintang 5. Sofa besar, tebal, dibalut dengan sprei berwarna merah marun bermotif bunga-bunga.
Furniture di kamar itu terlihat mahal dan didominasi dengan warna putih abu-abu, pemandangan di luar ditutup dengan hordeng berwarna abu-abu tua yang tebal.
Begitu masuk wangi bunga sangat menyengat. Kakiku mulai melangkah menyusuri ruangan, celingukan mencari seseorang yang ingin memakaiku malam ini.
Tak ada seorang pun di ruangan itu kecuali aku sendiri. Membuatku semakin berpikir buruk tentang apa yang terjadi denganku malam ini.
Sebenarnya apa mau mereka ini? apakah aku ini sedang diculik? tapi, mengapa mereka menculik wanita sepertiku?
Aku akhirnya memutuskan untuk duduk di pinggir ranjang. Merasakan begitu empuknya tempat tidur yang layaknya tempat tidur seorang Sultan.
Melihat perlakuan orang-orang yang menjemputku dan tempat yang mereka sediakan, aku sangat yakin orang yang memesanku ini bukan orang sembarangan.
Namun, yang membuatku bertanya-tanya, apakah mungkin yang memesan ku sudah tua? sehingga ia takut menampakan wujudnya padaku?
Cukup lama aku menunggu sekitar 1 jam tapi lelaki itu tak juga muncul, rasa kantuk kian menyerangku dan tanpa sadar aku pun tertidur saat merebahkan tubuh ini di kasur.
Aku pun terbangun saat merasakan ranjang bergerak mendapati seseorang duduk di samping diriku, seseorang itu...
Seseorang berbadan tegap memunggungiku dengan setelan kemeja berwarna abu-abu muda. Ia terlihat sedang memainkan ponsel dan tak menyadari aku sudah sadar dari tidurku. Perlahan aku duduk dan sepertinya lelaki itu pun menyadari jika aku sudah terbangun. Ia kemudian menggeser tubuhnya dan berdiri lalu memutar tubuhnya menghadap ke arahku. Aku terpaku saat melihat sosok itu begitu dingin menatapku, tatapannya tajam menyusuri setiap lekuk tubuhku. "Apakah Anda yang bernama Heru Prasetyo? kenapa Anda membawaku kemari? bukankah tadi Mereka bilang kalau aku akan dibawa ke hotel?" tanyaku bertubi-tubi, tapi laki-laki itu hanya menghela nafas dan meletakkan ponselnya di atas nakas yang tak jauh dari kami. " Aku tidak nyaman di hotel, terlalu banyak pengunjung yang akan melihat keberadaanmu, aku lebih nyaman di sini, di mana kita hanya berdua dan bisa berbincang tanpa adanya gangguan," jawabnya seraya meletakkan bokongnya di sebuah sofa di sudut ruangan. Ia lalu mengambil anggur yang ada me
Gisella Widi, gadis jangkung itu melangkah pelan hendak keluar kamar. Matanya memindai setiap sudut ruangan. Saat yakin semua aman, Ia lalu berjalan keluar kamar dan matanya tak henti menyisir sekitar. Ruangan terang benderang, akan tetapi tak ada satupun orang di ruangan itu. 'Ke mana semua orang?' gadis itu bertanya-tanya dalam hatinya. Wuzzzhhh! Gisella Widi yang biasa di panggil Widi saat berada di rumah dan Gisella saat berada di tempat kerja itu mematung saat merasakan tubuhnya seperti di terpa angin yang cukup kencang. Bulu kuduknya meremang seperti merasakan hal yang tak biasa. Lirih terdengar alunan suara nyanyian di luar dengan dentingan sayup-sayup gamelan. Widi mempertajam pendengarannya. Kidung itu terdengar menyedihkan mesti Widi tak tau artinya. "Apakah di sekitar sini ada pesta? mengapa di waktu malam menjelang subuh masih terdengar lantunan lagu?" Widi bertanya pada dirinya sendiri. Pluk! "Astaga!" Widi tersentak saat merasakan bahunya ditepuk pelan dari bel
Widi turun dari mobil saat pintu dibuka oleh sopir. Ia berdecak kagum saat melihat rumah besar di depannya. Rumah dengan desain Eropa yang punya pekarangan yang luas dan arsitektur modern layaknya seperti istana. Cat putih mendominasi, seolah menunjukkan jika pemilik Rumah itu adalah orang yang sangat kaya. Derap langkah kaki Heru Prasetyo menghentak lantai ubin yang begitu mengkilat. Suara hentakan kakinya itu membuat Widi mengalihkan pandangan ke arahnya. Tak dapat dipungkiri, Heru Prasetyo mempunyai pesona yang tidak kaleng-kaleng. Iya melangkah mantap dengan tubuh idealnya dan jas hitam yang rapi. Lelaki berkacamata itu berjalan begitu saja meninggalkan Widi masih berdiri terpaku di samping mobil. Aroma parfum Heru Prasetyo yang terbawa angin membuat Widi semakin terlena. Jika saja lelaki itu tidak dingin terhadapnya, Widi yakin akan sangat mudah baginya untuk jatuh cinta padanya. Tiba-tiba saja Heru menghentikan langkahnya dan menggerakkan kepalanya menoleh ke arah Widi sa
Saat wanita itu keluar dari kamar, asisten rumah tangganya lari tergopoh-gopoh menuju ke arahnya, asistennya itu menatapnya dengan penuh kekhawatiran. "Ada apa Widarsih? kenapa kamu terlihat ketakutan seperti itu?" Tanya Widyawati--ibunya Heru saat asisten rumah tangganya itu berhenti tepat hanya berjarak beberapa meter darinya. "Mohon maaf Ndoro, calon istri Tuan Heru sampai saat ini belum juga sadar, saya takut terjadi apa-apa pada wanita itu Ndoro," tutur wanita berumur 35 tahunan itu dengan lembut. Ia berusaha sesopan mungkin pada wanita penguasa rumah mewah itu. Widyawati tampak biasa saja. Wajahnya datar seolah ia sudah mengetahui apa yang akan terjadi pada gadis itu. "Oh, sebentar lagi juga dia akan sadar, kamu jangan terlalu khawatir. Tugasmu itu adalah mengurusi rumah dan dapur, bukan mengurusi calon istri Heru Prasetyo, anakku," jawabnya seraya menautkan dua tangannya dan meletakkan di perutnya. Gaya Ayu seorang ningrat seperti wanita-wanita kuno Jawa zaman dulu. Heru
Heru Prasetyo menatap dingin wanita yang saat itu masih terbaring di atas kasur. Sesekali Ia menatap jam tangannya. "Kasihan juga Dia, apa Aku panggil Dokter saja?" Heru bicara pada dirinya sendiri.Ia kemudian bangkit dari duduknya dan mendekat ke arah Widy yang saat itu bergumam sendiri dalam tidurnya, seperti bermimpi buruk."Swwssshhh... swwwasshh,"Lelaki tinggi itu mengernyitkan dahi, heran dan juga penasaran saat mendengar gumaman tak jelas dari wanita cantik berkulit putih yang saat itu belum juga sadar.Saking penasarannya, Heru menundukkan tubuhnya dan mendekatkan telinganya ke arah wajah Widy. Ia ingin mendengar lebih jelas apa yang baru saja Widy ucapkan, tapi ...Tap!Belum sempat mendengar apa yang Widy ucapkan, Heru mendapat serangan dadakan dari gadis yang sama sekali bukan tipenya itu.Tangan Widy tiba-tiba melingkar di lehernya dan menariknya hingga Heru terjatuh, menimpa tubuh gadis itu yang masih menutup matanya."Emhh," Heru berusaha bangkit, tapi cengkeraman g
Heru Prasetyo-- lelaki berusia 30 tahun yang memiliki tubuh ideal dengan berat badan 70 kilogram itu menghempaskan tubuhnya begitu saja di spring bed nomor satu miliknya.AC yang ia nyalakan sejak tadi terasa tidak berguna, panas, hawa panas seketika menyergap tubuhnya.Heru melepas satu persatu kancing bajunya dan membuang pakaian itu ke sembarang arah. Ia bertelanjang dada dan hanya menggunakan celana panjang miliknya."Kenapa tubuhku tiba-tiba begini? Kenapa ruangan ini tiba-tiba panas seperti ini?" Heru bertanya pada dirinya sendiri.Ia merasakan gerah, padahal AC menyala. Hero langsung menggeser tubuhnya mendekati bantal dan menutup matanya dengan tangannya. Dia ingin tidur, karena tubuhnya teramat lelah, begitu juga batinnya. Bayangan seorang wanita cantik tiba-tiba terlintas begitu saja."Wirda...," desisnya.Wirda adalah wanita yang ditaksir Heru, gadis cantik berkerudung berusia 27 tahun.Heru selalu memperhatikan Wirda yang merupakan anak pemilik restoran rivalnya, restoran
Widi menghempas tubuhnya diatas kasur saat ia masuk kamar yang di sediakan untuknya.Air matanya tak surut membanjiri pipinya yang memerah. Hatinya sakit, mengingat penghinaan lelaki bertubuh bagus itu.Ia meremas bedcover bermotif monokrom dengan warna hitam putih itu dengan keras, hingga salah satu kuku panjangnya patah dan mengeluarkan darah."Akh," rintihnya.Refleks, Widi mengangkat tubuhnya dan terduduk. Ia menarik tangannya dan mendapati ujung jari tengahnya mengeluarkan darah segar.Wussshhh!Di saat itulah ia merasakan angin yang cukup kencang menerpa kuduknya dan menyibak rambutnya.Widi yang saat itu hanya memakai lingerie berwarna peach itu sontak tertegun dan menyentuh bagian belakang lehernya.Wajahnya perlahan terangkat dan mata bulatnya menyusuri setiap sudut kamar.Aneh. Dalam posisi berdiri, Widi merasa keheranan. Darimana datangnya angin yang begitu dahsyat sedang kamarnya tertutup rapat. Horden dan barang-barang lain pun tak ada yang bergerak. Ia tertegun, berpiki
Ruangan temaram, hanya lampu tidur yang menyala. Widyawati duduk di depan cermin lonjong berukir, menatap wajah yang memantul samar-samar. Matanya tampak awas dengan senyum terkembang. Satu syarat telah berhasil ia lakukan. Heru sudah tidur bersama wanita pilihannya. Syuttt! Tiba-tiba horden tersibak dan dari luar jendela berdiri seorang wanita cantik dengan rambut terurai, memakai mahkota dan kemben berwarna merah dengan manik-manik seperti emas, beserta kain jarik yang melilit di pinggang. Widyawati menatap dengan senyum yang tertimbang, seolah menyambut kedatangan wanita misterius yang tidak tahu dari mana datangnya. Widyawati melenggang ke arah jendela kaca dan membukanya. Ia lalu bersujud dan menangkupkan kedua tangannya seperti seseorang tengah menyembah. Di balkon lantai dua wanita itu berdiri dengan senyum misteriusnya. "Nyai Damarwasih, terima kasih sudah datang, tumbal akan segera saya berikan. Hanya butuh beberapa hari saja, menjelang kematiannya, biar dia menikmati
Ruangan temaram, hanya lampu tidur yang menyala. Widyawati duduk di depan cermin lonjong berukir, menatap wajah yang memantul samar-samar. Matanya tampak awas dengan senyum terkembang. Satu syarat telah berhasil ia lakukan. Heru sudah tidur bersama wanita pilihannya. Syuttt! Tiba-tiba horden tersibak dan dari luar jendela berdiri seorang wanita cantik dengan rambut terurai, memakai mahkota dan kemben berwarna merah dengan manik-manik seperti emas, beserta kain jarik yang melilit di pinggang. Widyawati menatap dengan senyum yang tertimbang, seolah menyambut kedatangan wanita misterius yang tidak tahu dari mana datangnya. Widyawati melenggang ke arah jendela kaca dan membukanya. Ia lalu bersujud dan menangkupkan kedua tangannya seperti seseorang tengah menyembah. Di balkon lantai dua wanita itu berdiri dengan senyum misteriusnya. "Nyai Damarwasih, terima kasih sudah datang, tumbal akan segera saya berikan. Hanya butuh beberapa hari saja, menjelang kematiannya, biar dia menikmati
Widi menghempas tubuhnya diatas kasur saat ia masuk kamar yang di sediakan untuknya.Air matanya tak surut membanjiri pipinya yang memerah. Hatinya sakit, mengingat penghinaan lelaki bertubuh bagus itu.Ia meremas bedcover bermotif monokrom dengan warna hitam putih itu dengan keras, hingga salah satu kuku panjangnya patah dan mengeluarkan darah."Akh," rintihnya.Refleks, Widi mengangkat tubuhnya dan terduduk. Ia menarik tangannya dan mendapati ujung jari tengahnya mengeluarkan darah segar.Wussshhh!Di saat itulah ia merasakan angin yang cukup kencang menerpa kuduknya dan menyibak rambutnya.Widi yang saat itu hanya memakai lingerie berwarna peach itu sontak tertegun dan menyentuh bagian belakang lehernya.Wajahnya perlahan terangkat dan mata bulatnya menyusuri setiap sudut kamar.Aneh. Dalam posisi berdiri, Widi merasa keheranan. Darimana datangnya angin yang begitu dahsyat sedang kamarnya tertutup rapat. Horden dan barang-barang lain pun tak ada yang bergerak. Ia tertegun, berpiki
Heru Prasetyo-- lelaki berusia 30 tahun yang memiliki tubuh ideal dengan berat badan 70 kilogram itu menghempaskan tubuhnya begitu saja di spring bed nomor satu miliknya.AC yang ia nyalakan sejak tadi terasa tidak berguna, panas, hawa panas seketika menyergap tubuhnya.Heru melepas satu persatu kancing bajunya dan membuang pakaian itu ke sembarang arah. Ia bertelanjang dada dan hanya menggunakan celana panjang miliknya."Kenapa tubuhku tiba-tiba begini? Kenapa ruangan ini tiba-tiba panas seperti ini?" Heru bertanya pada dirinya sendiri.Ia merasakan gerah, padahal AC menyala. Hero langsung menggeser tubuhnya mendekati bantal dan menutup matanya dengan tangannya. Dia ingin tidur, karena tubuhnya teramat lelah, begitu juga batinnya. Bayangan seorang wanita cantik tiba-tiba terlintas begitu saja."Wirda...," desisnya.Wirda adalah wanita yang ditaksir Heru, gadis cantik berkerudung berusia 27 tahun.Heru selalu memperhatikan Wirda yang merupakan anak pemilik restoran rivalnya, restoran
Heru Prasetyo menatap dingin wanita yang saat itu masih terbaring di atas kasur. Sesekali Ia menatap jam tangannya. "Kasihan juga Dia, apa Aku panggil Dokter saja?" Heru bicara pada dirinya sendiri.Ia kemudian bangkit dari duduknya dan mendekat ke arah Widy yang saat itu bergumam sendiri dalam tidurnya, seperti bermimpi buruk."Swwssshhh... swwwasshh,"Lelaki tinggi itu mengernyitkan dahi, heran dan juga penasaran saat mendengar gumaman tak jelas dari wanita cantik berkulit putih yang saat itu belum juga sadar.Saking penasarannya, Heru menundukkan tubuhnya dan mendekatkan telinganya ke arah wajah Widy. Ia ingin mendengar lebih jelas apa yang baru saja Widy ucapkan, tapi ...Tap!Belum sempat mendengar apa yang Widy ucapkan, Heru mendapat serangan dadakan dari gadis yang sama sekali bukan tipenya itu.Tangan Widy tiba-tiba melingkar di lehernya dan menariknya hingga Heru terjatuh, menimpa tubuh gadis itu yang masih menutup matanya."Emhh," Heru berusaha bangkit, tapi cengkeraman g
Saat wanita itu keluar dari kamar, asisten rumah tangganya lari tergopoh-gopoh menuju ke arahnya, asistennya itu menatapnya dengan penuh kekhawatiran. "Ada apa Widarsih? kenapa kamu terlihat ketakutan seperti itu?" Tanya Widyawati--ibunya Heru saat asisten rumah tangganya itu berhenti tepat hanya berjarak beberapa meter darinya. "Mohon maaf Ndoro, calon istri Tuan Heru sampai saat ini belum juga sadar, saya takut terjadi apa-apa pada wanita itu Ndoro," tutur wanita berumur 35 tahunan itu dengan lembut. Ia berusaha sesopan mungkin pada wanita penguasa rumah mewah itu. Widyawati tampak biasa saja. Wajahnya datar seolah ia sudah mengetahui apa yang akan terjadi pada gadis itu. "Oh, sebentar lagi juga dia akan sadar, kamu jangan terlalu khawatir. Tugasmu itu adalah mengurusi rumah dan dapur, bukan mengurusi calon istri Heru Prasetyo, anakku," jawabnya seraya menautkan dua tangannya dan meletakkan di perutnya. Gaya Ayu seorang ningrat seperti wanita-wanita kuno Jawa zaman dulu. Heru
Widi turun dari mobil saat pintu dibuka oleh sopir. Ia berdecak kagum saat melihat rumah besar di depannya. Rumah dengan desain Eropa yang punya pekarangan yang luas dan arsitektur modern layaknya seperti istana. Cat putih mendominasi, seolah menunjukkan jika pemilik Rumah itu adalah orang yang sangat kaya. Derap langkah kaki Heru Prasetyo menghentak lantai ubin yang begitu mengkilat. Suara hentakan kakinya itu membuat Widi mengalihkan pandangan ke arahnya. Tak dapat dipungkiri, Heru Prasetyo mempunyai pesona yang tidak kaleng-kaleng. Iya melangkah mantap dengan tubuh idealnya dan jas hitam yang rapi. Lelaki berkacamata itu berjalan begitu saja meninggalkan Widi masih berdiri terpaku di samping mobil. Aroma parfum Heru Prasetyo yang terbawa angin membuat Widi semakin terlena. Jika saja lelaki itu tidak dingin terhadapnya, Widi yakin akan sangat mudah baginya untuk jatuh cinta padanya. Tiba-tiba saja Heru menghentikan langkahnya dan menggerakkan kepalanya menoleh ke arah Widi sa
Gisella Widi, gadis jangkung itu melangkah pelan hendak keluar kamar. Matanya memindai setiap sudut ruangan. Saat yakin semua aman, Ia lalu berjalan keluar kamar dan matanya tak henti menyisir sekitar. Ruangan terang benderang, akan tetapi tak ada satupun orang di ruangan itu. 'Ke mana semua orang?' gadis itu bertanya-tanya dalam hatinya. Wuzzzhhh! Gisella Widi yang biasa di panggil Widi saat berada di rumah dan Gisella saat berada di tempat kerja itu mematung saat merasakan tubuhnya seperti di terpa angin yang cukup kencang. Bulu kuduknya meremang seperti merasakan hal yang tak biasa. Lirih terdengar alunan suara nyanyian di luar dengan dentingan sayup-sayup gamelan. Widi mempertajam pendengarannya. Kidung itu terdengar menyedihkan mesti Widi tak tau artinya. "Apakah di sekitar sini ada pesta? mengapa di waktu malam menjelang subuh masih terdengar lantunan lagu?" Widi bertanya pada dirinya sendiri. Pluk! "Astaga!" Widi tersentak saat merasakan bahunya ditepuk pelan dari bel
Seseorang berbadan tegap memunggungiku dengan setelan kemeja berwarna abu-abu muda. Ia terlihat sedang memainkan ponsel dan tak menyadari aku sudah sadar dari tidurku. Perlahan aku duduk dan sepertinya lelaki itu pun menyadari jika aku sudah terbangun. Ia kemudian menggeser tubuhnya dan berdiri lalu memutar tubuhnya menghadap ke arahku. Aku terpaku saat melihat sosok itu begitu dingin menatapku, tatapannya tajam menyusuri setiap lekuk tubuhku. "Apakah Anda yang bernama Heru Prasetyo? kenapa Anda membawaku kemari? bukankah tadi Mereka bilang kalau aku akan dibawa ke hotel?" tanyaku bertubi-tubi, tapi laki-laki itu hanya menghela nafas dan meletakkan ponselnya di atas nakas yang tak jauh dari kami. " Aku tidak nyaman di hotel, terlalu banyak pengunjung yang akan melihat keberadaanmu, aku lebih nyaman di sini, di mana kita hanya berdua dan bisa berbincang tanpa adanya gangguan," jawabnya seraya meletakkan bokongnya di sebuah sofa di sudut ruangan. Ia lalu mengambil anggur yang ada me
"Gis, malam ini Kamu temenin Om-om itu, ya," tunjuk Mom Andita, Mommy tiriku yang juga sebagai partner kerjaku di dunia malam ini. Aku melirik ke arah laki-laki bertubuh tambun dengan gaya parlentenya. Lumayan tampan untuk ukuran orang tua sepertinya. "Okey, Mom. Mommy hari ini pulang duluan aja, istirahat, kasihan tubuh Mommy, Gisella lihat sekarang lebih kurusan," ujarku seraya menatap wanita yang merawatku sudah hampir sekitar 8 tahunan ini. Wanita semok berkulit putih bersih itu balas menatapku sendu. Ia melayangkan ciuman di pipiku dengan sayang. "Maafin Mommy, ya, Gis. Mommy tidak bisa memberikan hidup yang layak untukmu, karena--," Lagi-lagi wanita baik itu meneteskan air mata. Selalu begitu, jika Ia mengingat tentang keadaan kami saat ini. Aku langsung memeluknya dan meyakinkan jika semua ini bukan salahnya. Ini kemauanku untuk membayar hutang ayahku yang jumlahnya tidak sedikit itu. Aku Gisella Widi, gadis berumur 23 tahun yang sampai saat ini masih betah menyendiri.