Heru Prasetyo menatap dingin wanita yang saat itu masih terbaring di atas kasur. Sesekali Ia menatap jam tangannya.
"Kasihan juga Dia, apa Aku panggil Dokter saja?" Heru bicara pada dirinya sendiri.
Ia kemudian bangkit dari duduknya dan mendekat ke arah Widy yang saat itu bergumam sendiri dalam tidurnya, seperti bermimpi buruk.
"Swwssshhh... swwwasshh,"
Lelaki tinggi itu mengernyitkan dahi, heran dan juga penasaran saat mendengar gumaman tak jelas dari wanita cantik berkulit putih yang saat itu belum juga sadar.
Saking penasarannya, Heru menundukkan tubuhnya dan mendekatkan telinganya ke arah wajah Widy. Ia ingin mendengar lebih jelas apa yang baru saja Widy ucapkan, tapi ...
Tap!
Belum sempat mendengar apa yang Widy ucapkan, Heru mendapat serangan dadakan dari gadis yang sama sekali bukan tipenya itu.
Tangan Widy tiba-tiba melingkar di lehernya dan menariknya hingga Heru terjatuh, menimpa tubuh gadis itu yang masih menutup matanya.
"Emhh,"
Heru berusaha bangkit, tapi cengkeraman gadis itu begitu kuat
"Ayah! jangan tinggalin Widy! Widy ingin ikut Ayah!"
Heru tercenung saat mendengar suara gadis itu yang terdengar serak. Ia menoleh ke arah wajah Widy, menatap lekat wajah blasteran Cina-Indo itu dengan seksama.
Bulir bening merembes di ujung matanya dan jatuh. Untuk beberapa saat pemuda dingin itu seperti menemukan sesuatu yang lain dari diri Widy, gadis yang Ia anggap rendah itu.
Heru yang menumpu tubuhnya dengan kedua tangannya itu seperti terhipnotis beberapa saat, tapi begitu gadis itu tiba-tiba membuka mata, moment itu pun menjadi ambyar.
Entah apa yang membuat Widy terjaga, tapi begitu melihat laki-laki itu berada di atasnya, Widy langsung tersentak.
Ia begitu saja melepas tangannya yang melingkar di leher Heru dan mendorong pemuda tampan itu hingga Ia terdorong menjauh.
Beruntung Heru yang bertubuh tegap dengan gampang mengendalikan tubuhnya. Ia menatap tak suka atas perlakuan Widy yang berbuat kasar padanya.
"Nga--ngapain, Ka--Kamu, mau macem-macem, ya!" pekik Widy seraya memeriksa tubuhnya dan bangkit terduduk. Ia lalu bergeser ke kepala ranjang dan menyandar dengan menatap tajam ke arah Heru.
Laki-laki bergodek tipis itu mendengus kesal. Tatapannya sedikitpun tak teralihkan ke tempat lain, Ia malah menekuk kedua tangan di dada.
"Heh, Kamu lupa siapa Kamu? tanpa di lecehkan pun, Kamu yang minta sendiri. Lagian, ngapain Aku macam-macam sama cewek murahan seperti Kamu? buang-buang waktu!" hardik Heru dengan wajah berang.
Degh!
Widy terkesiap. Lidahnya rasa kelu seketika. Untuk beberapa saat Ia lupa, siapa dirinya dan apa profesi yang Ia lakoni selama ini.
Ucapan menohok Heru--pria berkemeja abu-abu itu menyadarkan ingatannya, bahwa dirinya hanya makhluk hina.
"Kamu jangan terlalu percaya diri, Kamu yang menarikku dan memelukku. Jangan buat modus, Aku bukan lelaki yang mudah tertipu, apalagi dengan wanita bayaran seperti Kamu!"
"Jadi, ingat! pernikahan ini bukan untukku, tapi untuk menuruti kemauan ibuku, tolong jaga jarak, karena Aku sedikit pun tak akan mungkin jatuh cinta dengan wanita malam sepertimu! sumber penyakit kelamin!"
Brak!
Tanpa ba-bi-bu lagi, Heru yang emosinya berada di ubun-ubun itu langsung keluar dan menghempas pintu kasar.
Widy hanya mampu terdiam. Menarik selimut dan menutup tubuhnya hingga sebatas dada.
Terhanyut pada kata-kata Heru yang meremukkan hatinya. Sebuah kenyataan yang tak mungkin di rubah dan tak mampu Ia sangkal, kalau memang segitu hinanya dan se-rendah itu di mata Heru Prasetyo.
Sementara Heru, dengan wajah kesalnya menjatuhkan tubuhnya begitu saja di sofa ruang tamu yang empuk.
"Huh, sialan!" dengusnya kesal. Tanpa Heru sangka, mamanya mendengar umpatannya. Wanita yang masih tampak cantik di usia yang tak lagi muda itu rupanya berada di ruangan sebelah.
"Kenapa, Heru? apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?" tanyanya seraya duduk di sofa yang sama dengan Heru.
Heru menoleh dengan wajah masamnya. " Apa tidak bisa dengan wanita lain, Ma? Aku rasanya jijik dengan wanita itu," ujarnya dengan suara di tekan.
"Tidak, tidak bisa! Kamu jangan macam-macam, Ru. Mama akan sangat marah jika Kamu menghancurkan rencana ini!" ancam wanita itu.
Heru memalingkan wajahnya yang tampak kesal ke arah lain. Entah kenapa, Ia tak mampu berkata tidak pada wanita yang sudah melahirkannya itu.
Ia ingat bagaimana dulu mamanya itu berjuang keras demi dirinya dan juga adiknya saat Ayahnya belum sukses, dan itu membuat Heru berjanji untuk selalu menuruti apapun mau mamanya itu.
Widyawati lalu berdiri dan menatap ke arah luar, di mana langit berwarna jingga dan matahari yang hampir tenggelam.
"Persiapkan dirimu, karena malam ini juga kalian akan menikah. Mama akan menemui calon istrimu," ujarnya seraya melangkah meninggalkan Heru.
***
Widi menatap takut-takut wanita paruh baya yang baru saja memasuki kamarnya. Wanita itu tersenyum lembut, tapi tak Widi pungkiri, ada sesuatu dibalik senyum yang tersungging itu.
"Kamu jangan takut, Nak. Karena mulai hari ini, Kamu adalah bagian dari kami. Persiapkan dirimu, Aku akan memanggil asisten untuk mendandanimu," ucap wanita itu dan berlalu pergi begitu saja dari hadapan Widi.
***
Heru menurut saja saat dirinya di bawa ke sebuah ruangan di salah satu rumah yang baru beberapa tahun di beli mamanya.
Aroma semerbak melati mendominasi, belum lagi ruangan yang temaram dan hanya dihiasi lilin, tanpa bunga-bunga ataupun kain berwarna-warni yang menghiasi.
Ruangan itu tak beda seperti tempat pemujaan dan berbeda jauh dari suasana pesta pernikahan yang di penuhi pernak-pernik, tak ada semarak sama sekali.
Namun, Heru tak berani protes. Ia yang dijadikan sebagai boneka bagi mamanya itu hanya menatap malas, dan ingin segera mengakhirinya.
Sementara Widi yang telah selesai didandani pun, mau tak mau menurut saat di bawa seorang pelayan menuju salah satu ruangan tertutup.
Matanya mengedar ke segala arah saat memasuki ruangan. Heran. Tempat pernikahan yang harusnya ramai, bercahaya dan penuh ornamen bunga-bunga itu tampak berbeda, hanya ruangan kosong dan temaram yang dihiasi lilin di berbagai tempat.
Di sana, Ia melihat Heru tengah duduk bersama dengan mamanya. Widy yang saat itu memakai dress hitam pas badan dengan model duyung itu pun duduk disamping Heru sesuai arahan pelayan yang tadi mengantarnya.
Aroma melati yang sangat menyengat mengusik indra penciuman Widi, tapi bukan hanya itu, Heru yang tampak tampan dengan tuxedonya itu pun berhasil mencuri perhatian Widi yang tak sengaja meliriknya.
Namun, gadis itu cepat tersadar saat tatapan Heru melesat ke arahnya. Seketika gadis itu memalingkan wajahnya, karena ingat apa yang di katakan Heru sebelumnya, kalau Ia hanya wanita hina yang terpaksa dinikahi olehnya.
Widy pun hanya terdiam saat suasana itu perlahan mencair saat wanita yang saat itu ada di dekat Heru mulai mengajaknya berbincang.
Tak lama seorang laki-laki berjas datang dan memimpin acara pernikahan. Meski orang itu sempat merasa aneh dengan suasana pernikahan yang terkesan horor, tapi pernikahan berjalan lancar dan Widi sah menjadi istri Heru.
"Kamu mau ke mana, Ru?" tanya Widyawati saat Heru beranjak dari duduknya sembari membuka dasi yang mengikat lehernya.
"Heru mau istirahat, Ma. Heru capek," ucapnya seraya berlalu pergi.
Widyawati lalu mendekat ke arah Widi. "Susul suamimu, dan lakukan tugasmu,"
Wushhh!
Entah apa yang di hembuskan Widyawati saat itu. Asap mengepul keluar dari mulut wanita itu dan menerpa wajah Widi.
Seketika pandangan Widi kosong, dan ....
Heru Prasetyo menatap dingin wanita yang saat itu masih terbaring di atas kasur. Sesekali Ia menatap jam tangannya.
"Kasihan juga Dia, apa Aku panggil Dokter saja?" Heru bicara pada dirinya sendiri.
Ia kemudian bangkit dari duduknya dan mendekat ke arah Widy yang saat itu bergumam sendiri dalam tidurnya, seperti bermimpi buruk.
"Swwssshhh... swwwasshh,"
Lelaki tinggi itu mengernyitkan dahi, heran dan juga penasaran saat mendengar gumaman tak jelas dari wanita cantik berkulit putih yang saat itu belum juga sadar.
Saking penasarannya, Heru menundukkan tubuhnya dan mendekatkan telinganya ke arah wajah Widy. Ia ingin mendengar lebih jelas apa yang baru saja Widy ucapkan, tapi ...
Tap!
Belum sempat mendengar apa yang Widy ucapkan, Heru mendapat serangan dadakan dari gadis yang sama sekali bukan tipenya itu.
Tangan Widy tiba-tiba melingkar di lehernya dan menariknya hingga Heru terjatuh, menimpa tubuh gadis itu yang masih menutup matanya.
"Emhh,"
Heru berusaha bangkit, tapi cengkeraman gadis itu begitu kuat
"Ayah! jangan tinggalin Widy! Widy ingin ikut Ayah!"
Heru tercenung saat mendengar suara gadis itu yang terdengar serak. Ia menoleh ke arah wajah Widy, menatap lekat wajah blasteran Cina-Indo itu dengan seksama.
Bulir bening merembes di ujung matanya dan jatuh. Untuk beberapa saat pemuda dingin itu seperti menemukan sesuatu yang lain dari diri Widy, gadis yang Ia anggap rendah itu.
Heru yang menumpu tubuhnya dengan kedua tangannya itu seperti terhipnotis beberapa saat, tapi begitu gadis itu tiba-tiba membuka mata, moment itu pun menjadi ambyar.
Entah apa yang membuat Widy terjaga, tapi begitu melihat laki-laki itu berada di atasnya, Widy langsung tersentak.
Ia begitu saja melepas tangannya yang melingkar di leher Heru dan mendorong pemuda tampan itu hingga Ia terdorong menjauh.
Beruntung Heru yang bertubuh tegap dengan gampang mengendalikan tubuhnya. Ia menatap tak suka atas perlakuan Widy yang berbuat kasar padanya.
"Nga--ngapain, Ka--Kamu, mau macem-macem, ya!" pekik Widy seraya memeriksa tubuhnya dan bangkit terduduk. Ia lalu bergeser ke kepala ranjang dan menyandar dengan menatap tajam ke arah Heru.
Laki-laki bergodek tipis itu mendengus kesal. Tatapannya sedikitpun tak teralihkan ke tempat lain, Ia malah menekuk kedua tangan di dada.
"Heh, Kamu lupa siapa Kamu? tanpa di lecehkan pun, Kamu yang minta sendiri. Lagian, ngapain Aku macam-macam sama cewek murahan seperti Kamu? buang-buang waktu!" hardik Heru dengan wajah berang.
Degh!
Widy terkesiap. Lidahnya rasa kelu seketika. Untuk beberapa saat Ia lupa, siapa dirinya dan apa profesi yang Ia lakoni selama ini.
Ucapan menohok Heru--pria berkemeja abu-abu itu menyadarkan ingatannya, bahwa dirinya hanya makhluk hina.
"Kamu jangan terlalu percaya diri, Kamu yang menarikku dan memelukku. Jangan buat modus, Aku bukan lelaki yang mudah tertipu, apalagi dengan wanita bayaran seperti Kamu!"
"Jadi, ingat! pernikahan ini bukan untukku, tapi untuk menuruti kemauan ibuku, tolong jaga jarak, karena Aku sedikit pun tak akan mungkin jatuh cinta dengan wanita malam sepertimu! sumber penyakit kelamin!"
Brak!
Tanpa ba-bi-bu lagi, Heru yang emosinya berada di ubun-ubun itu langsung keluar dan menghempas pintu kasar.
Widy hanya mampu terdiam. Menarik selimut dan menutup tubuhnya hingga sebatas dada.
Terhanyut pada kata-kata Heru yang meremukkan hatinya. Sebuah kenyataan yang tak mungkin di rubah dan tak mampu Ia sangkal, kalau memang segitu hinanya dan se-rendah itu di mata Heru Prasetyo.
Sementara Heru, dengan wajah kesalnya menjatuhkan tubuhnya begitu saja di sofa ruang tamu yang empuk.
"Huh, sialan!" dengusnya kesal. Tanpa Heru sangka, mamanya mendengar umpatannya. Wanita yang masih tampak cantik di usia yang tak lagi muda itu rupanya berada di ruangan sebelah.
"Kenapa, Heru? apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?" tanyanya seraya duduk di sofa yang sama dengan Heru.
Heru menoleh dengan wajah masamnya. " Apa tidak bisa dengan wanita lain, Ma? Aku rasanya jijik dengan wanita itu," ujarnya dengan suara di tekan.
"Tidak, tidak bisa! Kamu jangan macam-macam, Ru. Mama akan sangat marah jika Kamu menghancurkan rencana ini!" ancam wanita itu.
Heru memalingkan wajahnya yang tampak kesal ke arah lain. Entah kenapa, Ia tak mampu berkata tidak pada wanita yang sudah melahirkannya itu.
Ia ingat bagaimana dulu mamanya itu berjuang keras demi dirinya dan juga adiknya saat Ayahnya belum sukses, dan itu membuat Heru berjanji untuk selalu menuruti apapun mau mamanya itu.
Widyawati lalu berdiri dan menatap ke arah luar, di mana langit berwarna jingga dan matahari yang hampir tenggelam.
"Persiapkan dirimu, karena malam ini juga kalian akan menikah. Mama akan menemui calon istrimu," ujarnya seraya melangkah meninggalkan Heru.
***
Widi menatap takut-takut wanita paruh baya yang baru saja memasuki kamarnya. Wanita itu tersenyum lembut, tapi tak Widi pungkiri, ada sesuatu dibalik senyum yang tersungging itu.
"Kamu jangan takut, Nak. Karena mulai hari ini, Kamu adalah bagian dari kami. Persiapkan dirimu, Aku akan memanggil asisten untuk mendandanimu," ucap wanita itu dan berlalu pergi begitu saja dari hadapan Widi.
***
Heru menurut saja saat dirinya di bawa ke sebuah ruangan di salah satu rumah yang baru beberapa tahun di beli mamanya.Aroma semerbak melati mendominasi, belum lagi ruangan yang temaram dan hanya dihiasi lilin, tanpa bunga-bunga ataupun kain berwarna-warni yang menghiasi.
Ruangan itu tak beda seperti tempat pemujaan dan berbeda jauh dari suasana pesta pernikahan yang di penuhi pernak-pernik, tak ada semarak sama sekali.
Namun, Heru tak berani protes. Ia yang dijadikan sebagai boneka bagi mamanya itu hanya menatap malas, dan ingin segera mengakhirinya.
Sementara Widi yang telah selesai didandani pun, mau tak mau menurut saat di bawa seorang pelayan menuju salah satu ruangan tertutup.
Matanya mengedar ke segala arah saat memasuki ruangan. Heran. Tempat pernikahan yang harusnya ramai, bercahaya dan penuh ornamen bunga-bunga itu tampak berbeda, hanya ruangan kosong dan temaram yang dihiasi lilin di berbagai tempat.
Di sana, Ia melihat Heru tengah duduk bersama dengan mamanya. Widy yang saat itu memakai dress hitam pas badan dengan model duyung itu pun duduk disamping Heru sesuai arahan pelayan yang tadi mengantarnya.
Aroma melati yang sangat menyengat mengusik indra penciuman Widi, tapi bukan hanya itu, Heru yang tampak tampan dengan tuxedonya itu pun berhasil mencuri perhatian Widi yang tak sengaja meliriknya.
Namun, gadis itu cepat tersadar saat tatapan Heru melesat ke arahnya. Seketika gadis itu memalingkan wajahnya, karena ingat apa yang di katakan Heru sebelumnya, kalau Ia hanya wanita hina yang terpaksa dinikahi olehnya.
Widy pun hanya terdiam saat suasana itu perlahan mencair saat wanita yang saat itu ada di dekat Heru mulai mengajaknya berbincang.
Tak lama seorang laki-laki berjas datang dan memimpin acara pernikahan. Meski orang itu sempat merasa aneh dengan suasana pernikahan yang terkesan horor, tapi pernikahan berjalan lancar dan Widi sah menjadi istri Heru.
"Kamu mau ke mana, Ru?" tanya Widyawati saat Heru beranjak dari duduknya sembari membuka dasi yang mengikat lehernya.
"Heru mau istirahat, Ma. Heru capek," ucapnya seraya berlalu pergi.
Widyawati lalu mendekat ke arah Widi. "Susul suamimu, dan lakukan tugasmu,"
Wushhh!
Entah apa yang di hembuskan Widyawati saat itu. Asap mengepul keluar dari mulut wanita itu dan menerpa wajah Widi.
Seketika pandangan Widi kosong, dan ....
Heru Prasetyo-- lelaki berusia 30 tahun yang memiliki tubuh ideal dengan berat badan 70 kilogram itu menghempaskan tubuhnya begitu saja di spring bed nomor satu miliknya.AC yang ia nyalakan sejak tadi terasa tidak berguna, panas, hawa panas seketika menyergap tubuhnya.Heru melepas satu persatu kancing bajunya dan membuang pakaian itu ke sembarang arah. Ia bertelanjang dada dan hanya menggunakan celana panjang miliknya."Kenapa tubuhku tiba-tiba begini? Kenapa ruangan ini tiba-tiba panas seperti ini?" Heru bertanya pada dirinya sendiri.Ia merasakan gerah, padahal AC menyala. Hero langsung menggeser tubuhnya mendekati bantal dan menutup matanya dengan tangannya. Dia ingin tidur, karena tubuhnya teramat lelah, begitu juga batinnya. Bayangan seorang wanita cantik tiba-tiba terlintas begitu saja."Wirda...," desisnya.Wirda adalah wanita yang ditaksir Heru, gadis cantik berkerudung berusia 27 tahun.Heru selalu memperhatikan Wirda yang merupakan anak pemilik restoran rivalnya, restoran
Widi menghempas tubuhnya diatas kasur saat ia masuk kamar yang di sediakan untuknya.Air matanya tak surut membanjiri pipinya yang memerah. Hatinya sakit, mengingat penghinaan lelaki bertubuh bagus itu.Ia meremas bedcover bermotif monokrom dengan warna hitam putih itu dengan keras, hingga salah satu kuku panjangnya patah dan mengeluarkan darah."Akh," rintihnya.Refleks, Widi mengangkat tubuhnya dan terduduk. Ia menarik tangannya dan mendapati ujung jari tengahnya mengeluarkan darah segar.Wussshhh!Di saat itulah ia merasakan angin yang cukup kencang menerpa kuduknya dan menyibak rambutnya.Widi yang saat itu hanya memakai lingerie berwarna peach itu sontak tertegun dan menyentuh bagian belakang lehernya.Wajahnya perlahan terangkat dan mata bulatnya menyusuri setiap sudut kamar.Aneh. Dalam posisi berdiri, Widi merasa keheranan. Darimana datangnya angin yang begitu dahsyat sedang kamarnya tertutup rapat. Horden dan barang-barang lain pun tak ada yang bergerak. Ia tertegun, berpiki
Ruangan temaram, hanya lampu tidur yang menyala. Widyawati duduk di depan cermin lonjong berukir, menatap wajah yang memantul samar-samar. Matanya tampak awas dengan senyum terkembang. Satu syarat telah berhasil ia lakukan. Heru sudah tidur bersama wanita pilihannya. Syuttt! Tiba-tiba horden tersibak dan dari luar jendela berdiri seorang wanita cantik dengan rambut terurai, memakai mahkota dan kemben berwarna merah dengan manik-manik seperti emas, beserta kain jarik yang melilit di pinggang. Widyawati menatap dengan senyum yang tertimbang, seolah menyambut kedatangan wanita misterius yang tidak tahu dari mana datangnya. Widyawati melenggang ke arah jendela kaca dan membukanya. Ia lalu bersujud dan menangkupkan kedua tangannya seperti seseorang tengah menyembah. Di balkon lantai dua wanita itu berdiri dengan senyum misteriusnya. "Nyai Damarwasih, terima kasih sudah datang, tumbal akan segera saya berikan. Hanya butuh beberapa hari saja, menjelang kematiannya, biar dia menikmati
"Gis, malam ini Kamu temenin Om-om itu, ya," tunjuk Mom Andita, Mommy tiriku yang juga sebagai partner kerjaku di dunia malam ini. Aku melirik ke arah laki-laki bertubuh tambun dengan gaya parlentenya. Lumayan tampan untuk ukuran orang tua sepertinya. "Okey, Mom. Mommy hari ini pulang duluan aja, istirahat, kasihan tubuh Mommy, Gisella lihat sekarang lebih kurusan," ujarku seraya menatap wanita yang merawatku sudah hampir sekitar 8 tahunan ini. Wanita semok berkulit putih bersih itu balas menatapku sendu. Ia melayangkan ciuman di pipiku dengan sayang. "Maafin Mommy, ya, Gis. Mommy tidak bisa memberikan hidup yang layak untukmu, karena--," Lagi-lagi wanita baik itu meneteskan air mata. Selalu begitu, jika Ia mengingat tentang keadaan kami saat ini. Aku langsung memeluknya dan meyakinkan jika semua ini bukan salahnya. Ini kemauanku untuk membayar hutang ayahku yang jumlahnya tidak sedikit itu. Aku Gisella Widi, gadis berumur 23 tahun yang sampai saat ini masih betah menyendiri.
Seseorang berbadan tegap memunggungiku dengan setelan kemeja berwarna abu-abu muda. Ia terlihat sedang memainkan ponsel dan tak menyadari aku sudah sadar dari tidurku. Perlahan aku duduk dan sepertinya lelaki itu pun menyadari jika aku sudah terbangun. Ia kemudian menggeser tubuhnya dan berdiri lalu memutar tubuhnya menghadap ke arahku. Aku terpaku saat melihat sosok itu begitu dingin menatapku, tatapannya tajam menyusuri setiap lekuk tubuhku. "Apakah Anda yang bernama Heru Prasetyo? kenapa Anda membawaku kemari? bukankah tadi Mereka bilang kalau aku akan dibawa ke hotel?" tanyaku bertubi-tubi, tapi laki-laki itu hanya menghela nafas dan meletakkan ponselnya di atas nakas yang tak jauh dari kami. " Aku tidak nyaman di hotel, terlalu banyak pengunjung yang akan melihat keberadaanmu, aku lebih nyaman di sini, di mana kita hanya berdua dan bisa berbincang tanpa adanya gangguan," jawabnya seraya meletakkan bokongnya di sebuah sofa di sudut ruangan. Ia lalu mengambil anggur yang ada me
Gisella Widi, gadis jangkung itu melangkah pelan hendak keluar kamar. Matanya memindai setiap sudut ruangan. Saat yakin semua aman, Ia lalu berjalan keluar kamar dan matanya tak henti menyisir sekitar. Ruangan terang benderang, akan tetapi tak ada satupun orang di ruangan itu. 'Ke mana semua orang?' gadis itu bertanya-tanya dalam hatinya. Wuzzzhhh! Gisella Widi yang biasa di panggil Widi saat berada di rumah dan Gisella saat berada di tempat kerja itu mematung saat merasakan tubuhnya seperti di terpa angin yang cukup kencang. Bulu kuduknya meremang seperti merasakan hal yang tak biasa. Lirih terdengar alunan suara nyanyian di luar dengan dentingan sayup-sayup gamelan. Widi mempertajam pendengarannya. Kidung itu terdengar menyedihkan mesti Widi tak tau artinya. "Apakah di sekitar sini ada pesta? mengapa di waktu malam menjelang subuh masih terdengar lantunan lagu?" Widi bertanya pada dirinya sendiri. Pluk! "Astaga!" Widi tersentak saat merasakan bahunya ditepuk pelan dari bel
Widi turun dari mobil saat pintu dibuka oleh sopir. Ia berdecak kagum saat melihat rumah besar di depannya. Rumah dengan desain Eropa yang punya pekarangan yang luas dan arsitektur modern layaknya seperti istana. Cat putih mendominasi, seolah menunjukkan jika pemilik Rumah itu adalah orang yang sangat kaya. Derap langkah kaki Heru Prasetyo menghentak lantai ubin yang begitu mengkilat. Suara hentakan kakinya itu membuat Widi mengalihkan pandangan ke arahnya. Tak dapat dipungkiri, Heru Prasetyo mempunyai pesona yang tidak kaleng-kaleng. Iya melangkah mantap dengan tubuh idealnya dan jas hitam yang rapi. Lelaki berkacamata itu berjalan begitu saja meninggalkan Widi masih berdiri terpaku di samping mobil. Aroma parfum Heru Prasetyo yang terbawa angin membuat Widi semakin terlena. Jika saja lelaki itu tidak dingin terhadapnya, Widi yakin akan sangat mudah baginya untuk jatuh cinta padanya. Tiba-tiba saja Heru menghentikan langkahnya dan menggerakkan kepalanya menoleh ke arah Widi sa
Saat wanita itu keluar dari kamar, asisten rumah tangganya lari tergopoh-gopoh menuju ke arahnya, asistennya itu menatapnya dengan penuh kekhawatiran. "Ada apa Widarsih? kenapa kamu terlihat ketakutan seperti itu?" Tanya Widyawati--ibunya Heru saat asisten rumah tangganya itu berhenti tepat hanya berjarak beberapa meter darinya. "Mohon maaf Ndoro, calon istri Tuan Heru sampai saat ini belum juga sadar, saya takut terjadi apa-apa pada wanita itu Ndoro," tutur wanita berumur 35 tahunan itu dengan lembut. Ia berusaha sesopan mungkin pada wanita penguasa rumah mewah itu. Widyawati tampak biasa saja. Wajahnya datar seolah ia sudah mengetahui apa yang akan terjadi pada gadis itu. "Oh, sebentar lagi juga dia akan sadar, kamu jangan terlalu khawatir. Tugasmu itu adalah mengurusi rumah dan dapur, bukan mengurusi calon istri Heru Prasetyo, anakku," jawabnya seraya menautkan dua tangannya dan meletakkan di perutnya. Gaya Ayu seorang ningrat seperti wanita-wanita kuno Jawa zaman dulu. Heru
Ruangan temaram, hanya lampu tidur yang menyala. Widyawati duduk di depan cermin lonjong berukir, menatap wajah yang memantul samar-samar. Matanya tampak awas dengan senyum terkembang. Satu syarat telah berhasil ia lakukan. Heru sudah tidur bersama wanita pilihannya. Syuttt! Tiba-tiba horden tersibak dan dari luar jendela berdiri seorang wanita cantik dengan rambut terurai, memakai mahkota dan kemben berwarna merah dengan manik-manik seperti emas, beserta kain jarik yang melilit di pinggang. Widyawati menatap dengan senyum yang tertimbang, seolah menyambut kedatangan wanita misterius yang tidak tahu dari mana datangnya. Widyawati melenggang ke arah jendela kaca dan membukanya. Ia lalu bersujud dan menangkupkan kedua tangannya seperti seseorang tengah menyembah. Di balkon lantai dua wanita itu berdiri dengan senyum misteriusnya. "Nyai Damarwasih, terima kasih sudah datang, tumbal akan segera saya berikan. Hanya butuh beberapa hari saja, menjelang kematiannya, biar dia menikmati
Widi menghempas tubuhnya diatas kasur saat ia masuk kamar yang di sediakan untuknya.Air matanya tak surut membanjiri pipinya yang memerah. Hatinya sakit, mengingat penghinaan lelaki bertubuh bagus itu.Ia meremas bedcover bermotif monokrom dengan warna hitam putih itu dengan keras, hingga salah satu kuku panjangnya patah dan mengeluarkan darah."Akh," rintihnya.Refleks, Widi mengangkat tubuhnya dan terduduk. Ia menarik tangannya dan mendapati ujung jari tengahnya mengeluarkan darah segar.Wussshhh!Di saat itulah ia merasakan angin yang cukup kencang menerpa kuduknya dan menyibak rambutnya.Widi yang saat itu hanya memakai lingerie berwarna peach itu sontak tertegun dan menyentuh bagian belakang lehernya.Wajahnya perlahan terangkat dan mata bulatnya menyusuri setiap sudut kamar.Aneh. Dalam posisi berdiri, Widi merasa keheranan. Darimana datangnya angin yang begitu dahsyat sedang kamarnya tertutup rapat. Horden dan barang-barang lain pun tak ada yang bergerak. Ia tertegun, berpiki
Heru Prasetyo-- lelaki berusia 30 tahun yang memiliki tubuh ideal dengan berat badan 70 kilogram itu menghempaskan tubuhnya begitu saja di spring bed nomor satu miliknya.AC yang ia nyalakan sejak tadi terasa tidak berguna, panas, hawa panas seketika menyergap tubuhnya.Heru melepas satu persatu kancing bajunya dan membuang pakaian itu ke sembarang arah. Ia bertelanjang dada dan hanya menggunakan celana panjang miliknya."Kenapa tubuhku tiba-tiba begini? Kenapa ruangan ini tiba-tiba panas seperti ini?" Heru bertanya pada dirinya sendiri.Ia merasakan gerah, padahal AC menyala. Hero langsung menggeser tubuhnya mendekati bantal dan menutup matanya dengan tangannya. Dia ingin tidur, karena tubuhnya teramat lelah, begitu juga batinnya. Bayangan seorang wanita cantik tiba-tiba terlintas begitu saja."Wirda...," desisnya.Wirda adalah wanita yang ditaksir Heru, gadis cantik berkerudung berusia 27 tahun.Heru selalu memperhatikan Wirda yang merupakan anak pemilik restoran rivalnya, restoran
Heru Prasetyo menatap dingin wanita yang saat itu masih terbaring di atas kasur. Sesekali Ia menatap jam tangannya. "Kasihan juga Dia, apa Aku panggil Dokter saja?" Heru bicara pada dirinya sendiri.Ia kemudian bangkit dari duduknya dan mendekat ke arah Widy yang saat itu bergumam sendiri dalam tidurnya, seperti bermimpi buruk."Swwssshhh... swwwasshh,"Lelaki tinggi itu mengernyitkan dahi, heran dan juga penasaran saat mendengar gumaman tak jelas dari wanita cantik berkulit putih yang saat itu belum juga sadar.Saking penasarannya, Heru menundukkan tubuhnya dan mendekatkan telinganya ke arah wajah Widy. Ia ingin mendengar lebih jelas apa yang baru saja Widy ucapkan, tapi ...Tap!Belum sempat mendengar apa yang Widy ucapkan, Heru mendapat serangan dadakan dari gadis yang sama sekali bukan tipenya itu.Tangan Widy tiba-tiba melingkar di lehernya dan menariknya hingga Heru terjatuh, menimpa tubuh gadis itu yang masih menutup matanya."Emhh," Heru berusaha bangkit, tapi cengkeraman g
Saat wanita itu keluar dari kamar, asisten rumah tangganya lari tergopoh-gopoh menuju ke arahnya, asistennya itu menatapnya dengan penuh kekhawatiran. "Ada apa Widarsih? kenapa kamu terlihat ketakutan seperti itu?" Tanya Widyawati--ibunya Heru saat asisten rumah tangganya itu berhenti tepat hanya berjarak beberapa meter darinya. "Mohon maaf Ndoro, calon istri Tuan Heru sampai saat ini belum juga sadar, saya takut terjadi apa-apa pada wanita itu Ndoro," tutur wanita berumur 35 tahunan itu dengan lembut. Ia berusaha sesopan mungkin pada wanita penguasa rumah mewah itu. Widyawati tampak biasa saja. Wajahnya datar seolah ia sudah mengetahui apa yang akan terjadi pada gadis itu. "Oh, sebentar lagi juga dia akan sadar, kamu jangan terlalu khawatir. Tugasmu itu adalah mengurusi rumah dan dapur, bukan mengurusi calon istri Heru Prasetyo, anakku," jawabnya seraya menautkan dua tangannya dan meletakkan di perutnya. Gaya Ayu seorang ningrat seperti wanita-wanita kuno Jawa zaman dulu. Heru
Widi turun dari mobil saat pintu dibuka oleh sopir. Ia berdecak kagum saat melihat rumah besar di depannya. Rumah dengan desain Eropa yang punya pekarangan yang luas dan arsitektur modern layaknya seperti istana. Cat putih mendominasi, seolah menunjukkan jika pemilik Rumah itu adalah orang yang sangat kaya. Derap langkah kaki Heru Prasetyo menghentak lantai ubin yang begitu mengkilat. Suara hentakan kakinya itu membuat Widi mengalihkan pandangan ke arahnya. Tak dapat dipungkiri, Heru Prasetyo mempunyai pesona yang tidak kaleng-kaleng. Iya melangkah mantap dengan tubuh idealnya dan jas hitam yang rapi. Lelaki berkacamata itu berjalan begitu saja meninggalkan Widi masih berdiri terpaku di samping mobil. Aroma parfum Heru Prasetyo yang terbawa angin membuat Widi semakin terlena. Jika saja lelaki itu tidak dingin terhadapnya, Widi yakin akan sangat mudah baginya untuk jatuh cinta padanya. Tiba-tiba saja Heru menghentikan langkahnya dan menggerakkan kepalanya menoleh ke arah Widi sa
Gisella Widi, gadis jangkung itu melangkah pelan hendak keluar kamar. Matanya memindai setiap sudut ruangan. Saat yakin semua aman, Ia lalu berjalan keluar kamar dan matanya tak henti menyisir sekitar. Ruangan terang benderang, akan tetapi tak ada satupun orang di ruangan itu. 'Ke mana semua orang?' gadis itu bertanya-tanya dalam hatinya. Wuzzzhhh! Gisella Widi yang biasa di panggil Widi saat berada di rumah dan Gisella saat berada di tempat kerja itu mematung saat merasakan tubuhnya seperti di terpa angin yang cukup kencang. Bulu kuduknya meremang seperti merasakan hal yang tak biasa. Lirih terdengar alunan suara nyanyian di luar dengan dentingan sayup-sayup gamelan. Widi mempertajam pendengarannya. Kidung itu terdengar menyedihkan mesti Widi tak tau artinya. "Apakah di sekitar sini ada pesta? mengapa di waktu malam menjelang subuh masih terdengar lantunan lagu?" Widi bertanya pada dirinya sendiri. Pluk! "Astaga!" Widi tersentak saat merasakan bahunya ditepuk pelan dari bel
Seseorang berbadan tegap memunggungiku dengan setelan kemeja berwarna abu-abu muda. Ia terlihat sedang memainkan ponsel dan tak menyadari aku sudah sadar dari tidurku. Perlahan aku duduk dan sepertinya lelaki itu pun menyadari jika aku sudah terbangun. Ia kemudian menggeser tubuhnya dan berdiri lalu memutar tubuhnya menghadap ke arahku. Aku terpaku saat melihat sosok itu begitu dingin menatapku, tatapannya tajam menyusuri setiap lekuk tubuhku. "Apakah Anda yang bernama Heru Prasetyo? kenapa Anda membawaku kemari? bukankah tadi Mereka bilang kalau aku akan dibawa ke hotel?" tanyaku bertubi-tubi, tapi laki-laki itu hanya menghela nafas dan meletakkan ponselnya di atas nakas yang tak jauh dari kami. " Aku tidak nyaman di hotel, terlalu banyak pengunjung yang akan melihat keberadaanmu, aku lebih nyaman di sini, di mana kita hanya berdua dan bisa berbincang tanpa adanya gangguan," jawabnya seraya meletakkan bokongnya di sebuah sofa di sudut ruangan. Ia lalu mengambil anggur yang ada me
"Gis, malam ini Kamu temenin Om-om itu, ya," tunjuk Mom Andita, Mommy tiriku yang juga sebagai partner kerjaku di dunia malam ini. Aku melirik ke arah laki-laki bertubuh tambun dengan gaya parlentenya. Lumayan tampan untuk ukuran orang tua sepertinya. "Okey, Mom. Mommy hari ini pulang duluan aja, istirahat, kasihan tubuh Mommy, Gisella lihat sekarang lebih kurusan," ujarku seraya menatap wanita yang merawatku sudah hampir sekitar 8 tahunan ini. Wanita semok berkulit putih bersih itu balas menatapku sendu. Ia melayangkan ciuman di pipiku dengan sayang. "Maafin Mommy, ya, Gis. Mommy tidak bisa memberikan hidup yang layak untukmu, karena--," Lagi-lagi wanita baik itu meneteskan air mata. Selalu begitu, jika Ia mengingat tentang keadaan kami saat ini. Aku langsung memeluknya dan meyakinkan jika semua ini bukan salahnya. Ini kemauanku untuk membayar hutang ayahku yang jumlahnya tidak sedikit itu. Aku Gisella Widi, gadis berumur 23 tahun yang sampai saat ini masih betah menyendiri.