Gisella Widi, gadis jangkung itu melangkah pelan hendak keluar kamar.
Matanya memindai setiap sudut ruangan. Saat yakin semua aman, Ia lalu berjalan keluar kamar dan matanya tak henti menyisir sekitar.
Ruangan terang benderang, akan tetapi tak ada satupun orang di ruangan itu. 'Ke mana semua orang?' gadis itu bertanya-tanya dalam hatinya.
Wuzzzhhh!
Gisella Widi yang biasa di panggil Widi saat berada di rumah dan Gisella saat berada di tempat kerja itu mematung saat merasakan tubuhnya seperti di terpa angin yang cukup kencang.
Bulu kuduknya meremang seperti merasakan hal yang tak biasa. Lirih terdengar alunan suara nyanyian di luar dengan dentingan sayup-sayup gamelan.
Widi mempertajam pendengarannya. Kidung itu terdengar menyedihkan mesti Widi tak tau artinya.
"Apakah di sekitar sini ada pesta? mengapa di waktu malam menjelang subuh masih terdengar lantunan lagu?" Widi bertanya pada dirinya sendiri.
Pluk!
"Astaga!" Widi tersentak saat merasakan bahunya ditepuk pelan dari belakang.
Refleks Widi berpaling dan wajah nya tanpa sengaja menyentuh sesuatu yang keras di hadapannya.
Widi mematung beberapa saat, jantungnya berdegup kencang saat melihat pemandangan indah tercipta di hadapannya saat ini.
Dada bidang yang terekspose saat kemeja itu terbuka, menimbulkan rasa kagum di dirinya.
"Bagaimana? Kau menerima tawaranku?" suara seseorang itu seketika menyadarkan Widi. Ia mengangkat wajahnya dan menatap lelaki bergodek tipis yang sedang melihatnya.
Ekspresinya datar dan dingin. Sedikitpun lelaki itu tak tersenyum. Hanya matanya yang menatap nyalang.
Widi mundur beberapa langkah dan memutar tubuh. Ia berjalan ke arah kamar dan mengambil Map yang sudah di tanda tangani.
Wuzzhh!
Lagi-lagi terjadi sesuatu hal yang aneh. Widi merasakan ada sesuatu yang melewati dirinya. Meski tak tampak wujudnya, Widi merasakan keganjilan.
Bau bunga kantil seketika menyeruak di ruangan. Widi kembali mematung. Bingung dan juga takut. Rasanya ragu saat akan mengambil Map yang ada di atas tempat tidur.
"Kenapa hanya berdiri di sini? apa ada sesuatu yang mengganggumu?"
Widi terjingkat saat mendengar suara bariton di balik punggungnya. Jantungnya berdegup kian kencang bukan hanya karena terkejut dengan suaranya, tapi tubuh pria itu begitu dekat dan nyaris menempel di punggungnya, hingga hawa panasnya menciptakan kehangatan.
Baru kali ini Ia merasakan hal yang begitu aneh pada tubuhnya. Ia yang biasa hambar pada lelaki, merasa jika lelaki ini berbeda.
"Oh, i--ini, aku merasakan ada sesuatu yang melewatiku, tapi tak ada apa-apa. Aku yakin jika ada seseorang yang melewatiku barusan," Widi menarik dan menghembuskan napasnya sesering mungkin untuk menormalkan debaran dadanya yang berdegup kian kencang.
Aroma parfum Axis menguar mengalahkan bau kantil yang sejak tadi memenuhi ruangan.
Tap!
Laki-laki itu begitu saja menggenggam lengan Widi dan membawanya ke arah ranjang.
Widi semakin tak karuan, pikirannya di penuhi pikiran kotor. Apalagi melihat ranjang lebar dengan seprei indah yang membentang diatasnya.
Saat sampai di bibir ranjang laki-laki itu memutar tubuh Widi. Gadis itu hanya membeku dan menatap dada bidang itu.
Ia tak berani untuk menatap mata laki-laki yang terlihat dingin terhadapnya.
Laki-laki itu kemudian menekan bahu Widi, hingga gadis itu terduduk di atas ranjang.
Widi memejamkan matanya saat laki-laki itu perlahan menunduk dan menurunkan tubuhnya, ia bersiap-siap jika laki-laki itu nanti akan mengeksekusi tubuhnya sama seperti laki-laki lain di luar sana.
Ia menunggu beberapa saat tapi laki-laki itu tak jua menyentuh tubuhnya, perlahan Widi membuka matanya dan melihat laki-laki itu sudah berdiri dengan map di tangannya. Ia membolak-balikkan kertas di map tersebut, seperti memperhatikan isinya.
Wajah Widi seketika memerah, kenyataan di luar ekspektasinya. Ia pun membuang wajahnya saat bersih tetap dengan laki-laki di hadapannya itu.
"Kenapa? kau jangan berpikiran macam-macam, Aku tidak akan menyentuh tubuhmu jika kau tidak memintaku," laki-laki itu dengan santai berpaling dan duduk di kursi tak jauh dari Widi.
Widi tak menjawab. Jujur ia merasa malu dan juga kesal karena baru kali ini ia diacuhkan laki-laki.
"Kau sudah menandatangani perjanjian ini, berarti kau sudah menyetujui semua konsekuensi yang ada di dalam kertas ini, kan," laki-laki itu dengan santai menyeruput air minum yang berada di atas nakas. Ia mengambil beberapa butir anggur dan mengunyahnya.
"Sebenarnya apa tujuanmu menikah denganku?" Widi akhirnya memberanikan diri untuk bertanya. Sejujurnya ia malas untuk membaca poin demi poin yang terkandung dalam kertas selembar yang tadi sempat ia tanda tangani.
"Apa tujuanku itu tidak penting untukmu, sekarang kau telah menandatangani perjanjian ini, itu berarti kau sudah menjadi milikku. Suka tidak suka, mau tidak mau kau sudah berada di bawah kakiku saat ini," dengan suara tegas laki-laki itu pun berdiri dan berlalu dari hadapan Widi.
Gadis itu hanya termangu dan tak mampu berbuat apa-apa. Seketika sesal merajai hatinya. Apa yang telah dia perbuat? mengapa bisa dengan bodohnya menandatangani surat itu tanpa membacanya terlebih dahulu?
Hanya karena terpikat ketampanan laki-laki yang baru saja ia temui beberapa menit belakangan.
Widi menepuk kasur dengan kesal. Ia lalu merebahkan tubuhnya dengan kasar. Memejamkan matanya, karena kepalanya tiba-tiba terasa berat.
"Sial!!!"
***
Seperti yang tertera pada surat perjanjian yang telah Ia tanda tangani, Widi akhirnya terbebas dari jeratan hutang yang selama ini menghimpitnya.
Andita--ibu tiri Widi menatap anaknya dengan intens. Widi yang saat itu sedang mengemas bajunya menghentikan aktivitasnya.
Ia menoleh ke arah Andita dan tersenyum manis padanya. Senyuman yang terkesan dipaksakan itu membuat Andita semakin merasa jika saat ini anak tirinya itu sedang tidak baik-baik saja.
Meski Andita hanya ibu tiri tapi ia mempunyai ikatan batin yang kuat kepada Widi.
Sejak remaja Widi sudah ia rawat seperti layaknya anak sendiri. Ia begitu mencintai Widi dengan sepenuh hatinya.
"Kau yakin akan segera menikah dengan Heru Prasetyo, pengusaha kuliner itu, Wid?" Tanya Andita seraya mendekat ke arah Widi dan duduk di samping gadis itu.
"Ya, Mommy. Bagaimanapun Mas Heru telah menepati janjinya untuk membayar semua hutang-hutang kita, Mommy tak perlu lagi bekerja seperti ini, karena Widi sudah meminta Mas Heru untuk memberikan Mommy uang bulanan," Widi berusaha menepis perasaan gundah yang kini merajai hatinya, Ia mengulas senyum selebar mungkin untuk membuat mommynya itu yakin jika dirinya baik-baik saja.
"Mommy masih merasa ragu, Wid, kenapa laki-laki itu bersikeras ingin menikah denganmu, sedangkan Mommy tidak pernah melihat laki-laki itu datang ke tempat kita. Dari mana ia tahu tentang dirimu, Wid?"
Widi ingin sekali menjelaskan, tapi ia pun tak tahu apa yang ingin Ia ungkapkan. Heru seperti menutup rapat rahasia dalam dirinya.
Saat Widi ingin berucap, tiba-tiba terdengar suara klakson mobil yang sangat kencang dari luar rumahnya. Widi tahu itu adalah mobil dari Heru Prasetyo yang telah sampai dan ingin menjemputnya.
"Mom, besok datang ya, kepernikahan Widi," gadis itu menatap ibu tirinya dengan penuh harap.
Andita mengangguki. Ia tak mampu menahan sesak di dadanya. Air matanya tumpah begitu saja. Ia memeluk tubuh Widi erat, tapi tak berlangsung lama karena bunyi klakson berulang kali menggema di luar.
Dengan perasaan kesal Widi akhirnya mengurai pelukannya dan mencium pipi mommynya dengan sayang.
"Widi pergi Mom, berhati-hatilah di rumah, Widi sayang Mommy. Terima kasih sudah menyayangi Widi dengan sepenuh hati selama ini, Mom,"
Andita mengangguk pelan dan mengusap air mata yang tadi sempat tumpah. Ia kemudian menemani Widi hingga di ambang pintu depan rumahnya.
Sopir membuka pintu begitu melihat Widi sudah berada di luar, sedangkan Heru hanya bermain smartphone dan mengacuhkan Widi dan juga Mommynya.
Widi tak enak hati, berpamitan kepada Andita untuk yang terakhir kali.
Andita melepas kepergian Widi hingga mobil itu melaju kencang dan hilang depan dari pandangannya.
Sedangkan di dalam mobil, Widi berdecak kesal melihat ke arah Heru yang sama sekali tak menyapanya.
"Kamu jangan terlalu banyak berpikir, jalani saja pernikahan ini sesuai dengan yang aku mau," ujar Heru tanpa sedikitpun mengalihkan pandangannya dari gadget miliknya.
"Maksudmu apa?"
"Persiapkan saja dirimu karena malam ini juga kita akan menikah,"
"Apa? malam ini?"
****
Widi turun dari mobil saat pintu dibuka oleh sopir. Ia berdecak kagum saat melihat rumah besar di depannya. Rumah dengan desain Eropa yang punya pekarangan yang luas dan arsitektur modern layaknya seperti istana. Cat putih mendominasi, seolah menunjukkan jika pemilik Rumah itu adalah orang yang sangat kaya. Derap langkah kaki Heru Prasetyo menghentak lantai ubin yang begitu mengkilat. Suara hentakan kakinya itu membuat Widi mengalihkan pandangan ke arahnya. Tak dapat dipungkiri, Heru Prasetyo mempunyai pesona yang tidak kaleng-kaleng. Iya melangkah mantap dengan tubuh idealnya dan jas hitam yang rapi. Lelaki berkacamata itu berjalan begitu saja meninggalkan Widi masih berdiri terpaku di samping mobil. Aroma parfum Heru Prasetyo yang terbawa angin membuat Widi semakin terlena. Jika saja lelaki itu tidak dingin terhadapnya, Widi yakin akan sangat mudah baginya untuk jatuh cinta padanya. Tiba-tiba saja Heru menghentikan langkahnya dan menggerakkan kepalanya menoleh ke arah Widi sa
Saat wanita itu keluar dari kamar, asisten rumah tangganya lari tergopoh-gopoh menuju ke arahnya, asistennya itu menatapnya dengan penuh kekhawatiran. "Ada apa Widarsih? kenapa kamu terlihat ketakutan seperti itu?" Tanya Widyawati--ibunya Heru saat asisten rumah tangganya itu berhenti tepat hanya berjarak beberapa meter darinya. "Mohon maaf Ndoro, calon istri Tuan Heru sampai saat ini belum juga sadar, saya takut terjadi apa-apa pada wanita itu Ndoro," tutur wanita berumur 35 tahunan itu dengan lembut. Ia berusaha sesopan mungkin pada wanita penguasa rumah mewah itu. Widyawati tampak biasa saja. Wajahnya datar seolah ia sudah mengetahui apa yang akan terjadi pada gadis itu. "Oh, sebentar lagi juga dia akan sadar, kamu jangan terlalu khawatir. Tugasmu itu adalah mengurusi rumah dan dapur, bukan mengurusi calon istri Heru Prasetyo, anakku," jawabnya seraya menautkan dua tangannya dan meletakkan di perutnya. Gaya Ayu seorang ningrat seperti wanita-wanita kuno Jawa zaman dulu. Heru
Heru Prasetyo menatap dingin wanita yang saat itu masih terbaring di atas kasur. Sesekali Ia menatap jam tangannya. "Kasihan juga Dia, apa Aku panggil Dokter saja?" Heru bicara pada dirinya sendiri.Ia kemudian bangkit dari duduknya dan mendekat ke arah Widy yang saat itu bergumam sendiri dalam tidurnya, seperti bermimpi buruk."Swwssshhh... swwwasshh,"Lelaki tinggi itu mengernyitkan dahi, heran dan juga penasaran saat mendengar gumaman tak jelas dari wanita cantik berkulit putih yang saat itu belum juga sadar.Saking penasarannya, Heru menundukkan tubuhnya dan mendekatkan telinganya ke arah wajah Widy. Ia ingin mendengar lebih jelas apa yang baru saja Widy ucapkan, tapi ...Tap!Belum sempat mendengar apa yang Widy ucapkan, Heru mendapat serangan dadakan dari gadis yang sama sekali bukan tipenya itu.Tangan Widy tiba-tiba melingkar di lehernya dan menariknya hingga Heru terjatuh, menimpa tubuh gadis itu yang masih menutup matanya."Emhh," Heru berusaha bangkit, tapi cengkeraman g
Heru Prasetyo-- lelaki berusia 30 tahun yang memiliki tubuh ideal dengan berat badan 70 kilogram itu menghempaskan tubuhnya begitu saja di spring bed nomor satu miliknya.AC yang ia nyalakan sejak tadi terasa tidak berguna, panas, hawa panas seketika menyergap tubuhnya.Heru melepas satu persatu kancing bajunya dan membuang pakaian itu ke sembarang arah. Ia bertelanjang dada dan hanya menggunakan celana panjang miliknya."Kenapa tubuhku tiba-tiba begini? Kenapa ruangan ini tiba-tiba panas seperti ini?" Heru bertanya pada dirinya sendiri.Ia merasakan gerah, padahal AC menyala. Hero langsung menggeser tubuhnya mendekati bantal dan menutup matanya dengan tangannya. Dia ingin tidur, karena tubuhnya teramat lelah, begitu juga batinnya. Bayangan seorang wanita cantik tiba-tiba terlintas begitu saja."Wirda...," desisnya.Wirda adalah wanita yang ditaksir Heru, gadis cantik berkerudung berusia 27 tahun.Heru selalu memperhatikan Wirda yang merupakan anak pemilik restoran rivalnya, restoran
Widi menghempas tubuhnya diatas kasur saat ia masuk kamar yang di sediakan untuknya.Air matanya tak surut membanjiri pipinya yang memerah. Hatinya sakit, mengingat penghinaan lelaki bertubuh bagus itu.Ia meremas bedcover bermotif monokrom dengan warna hitam putih itu dengan keras, hingga salah satu kuku panjangnya patah dan mengeluarkan darah."Akh," rintihnya.Refleks, Widi mengangkat tubuhnya dan terduduk. Ia menarik tangannya dan mendapati ujung jari tengahnya mengeluarkan darah segar.Wussshhh!Di saat itulah ia merasakan angin yang cukup kencang menerpa kuduknya dan menyibak rambutnya.Widi yang saat itu hanya memakai lingerie berwarna peach itu sontak tertegun dan menyentuh bagian belakang lehernya.Wajahnya perlahan terangkat dan mata bulatnya menyusuri setiap sudut kamar.Aneh. Dalam posisi berdiri, Widi merasa keheranan. Darimana datangnya angin yang begitu dahsyat sedang kamarnya tertutup rapat. Horden dan barang-barang lain pun tak ada yang bergerak. Ia tertegun, berpiki
Ruangan temaram, hanya lampu tidur yang menyala. Widyawati duduk di depan cermin lonjong berukir, menatap wajah yang memantul samar-samar. Matanya tampak awas dengan senyum terkembang. Satu syarat telah berhasil ia lakukan. Heru sudah tidur bersama wanita pilihannya. Syuttt! Tiba-tiba horden tersibak dan dari luar jendela berdiri seorang wanita cantik dengan rambut terurai, memakai mahkota dan kemben berwarna merah dengan manik-manik seperti emas, beserta kain jarik yang melilit di pinggang. Widyawati menatap dengan senyum yang tertimbang, seolah menyambut kedatangan wanita misterius yang tidak tahu dari mana datangnya. Widyawati melenggang ke arah jendela kaca dan membukanya. Ia lalu bersujud dan menangkupkan kedua tangannya seperti seseorang tengah menyembah. Di balkon lantai dua wanita itu berdiri dengan senyum misteriusnya. "Nyai Damarwasih, terima kasih sudah datang, tumbal akan segera saya berikan. Hanya butuh beberapa hari saja, menjelang kematiannya, biar dia menikmati
"Gis, malam ini Kamu temenin Om-om itu, ya," tunjuk Mom Andita, Mommy tiriku yang juga sebagai partner kerjaku di dunia malam ini. Aku melirik ke arah laki-laki bertubuh tambun dengan gaya parlentenya. Lumayan tampan untuk ukuran orang tua sepertinya. "Okey, Mom. Mommy hari ini pulang duluan aja, istirahat, kasihan tubuh Mommy, Gisella lihat sekarang lebih kurusan," ujarku seraya menatap wanita yang merawatku sudah hampir sekitar 8 tahunan ini. Wanita semok berkulit putih bersih itu balas menatapku sendu. Ia melayangkan ciuman di pipiku dengan sayang. "Maafin Mommy, ya, Gis. Mommy tidak bisa memberikan hidup yang layak untukmu, karena--," Lagi-lagi wanita baik itu meneteskan air mata. Selalu begitu, jika Ia mengingat tentang keadaan kami saat ini. Aku langsung memeluknya dan meyakinkan jika semua ini bukan salahnya. Ini kemauanku untuk membayar hutang ayahku yang jumlahnya tidak sedikit itu. Aku Gisella Widi, gadis berumur 23 tahun yang sampai saat ini masih betah menyendiri.
Seseorang berbadan tegap memunggungiku dengan setelan kemeja berwarna abu-abu muda. Ia terlihat sedang memainkan ponsel dan tak menyadari aku sudah sadar dari tidurku. Perlahan aku duduk dan sepertinya lelaki itu pun menyadari jika aku sudah terbangun. Ia kemudian menggeser tubuhnya dan berdiri lalu memutar tubuhnya menghadap ke arahku. Aku terpaku saat melihat sosok itu begitu dingin menatapku, tatapannya tajam menyusuri setiap lekuk tubuhku. "Apakah Anda yang bernama Heru Prasetyo? kenapa Anda membawaku kemari? bukankah tadi Mereka bilang kalau aku akan dibawa ke hotel?" tanyaku bertubi-tubi, tapi laki-laki itu hanya menghela nafas dan meletakkan ponselnya di atas nakas yang tak jauh dari kami. " Aku tidak nyaman di hotel, terlalu banyak pengunjung yang akan melihat keberadaanmu, aku lebih nyaman di sini, di mana kita hanya berdua dan bisa berbincang tanpa adanya gangguan," jawabnya seraya meletakkan bokongnya di sebuah sofa di sudut ruangan. Ia lalu mengambil anggur yang ada me
Ruangan temaram, hanya lampu tidur yang menyala. Widyawati duduk di depan cermin lonjong berukir, menatap wajah yang memantul samar-samar. Matanya tampak awas dengan senyum terkembang. Satu syarat telah berhasil ia lakukan. Heru sudah tidur bersama wanita pilihannya. Syuttt! Tiba-tiba horden tersibak dan dari luar jendela berdiri seorang wanita cantik dengan rambut terurai, memakai mahkota dan kemben berwarna merah dengan manik-manik seperti emas, beserta kain jarik yang melilit di pinggang. Widyawati menatap dengan senyum yang tertimbang, seolah menyambut kedatangan wanita misterius yang tidak tahu dari mana datangnya. Widyawati melenggang ke arah jendela kaca dan membukanya. Ia lalu bersujud dan menangkupkan kedua tangannya seperti seseorang tengah menyembah. Di balkon lantai dua wanita itu berdiri dengan senyum misteriusnya. "Nyai Damarwasih, terima kasih sudah datang, tumbal akan segera saya berikan. Hanya butuh beberapa hari saja, menjelang kematiannya, biar dia menikmati
Widi menghempas tubuhnya diatas kasur saat ia masuk kamar yang di sediakan untuknya.Air matanya tak surut membanjiri pipinya yang memerah. Hatinya sakit, mengingat penghinaan lelaki bertubuh bagus itu.Ia meremas bedcover bermotif monokrom dengan warna hitam putih itu dengan keras, hingga salah satu kuku panjangnya patah dan mengeluarkan darah."Akh," rintihnya.Refleks, Widi mengangkat tubuhnya dan terduduk. Ia menarik tangannya dan mendapati ujung jari tengahnya mengeluarkan darah segar.Wussshhh!Di saat itulah ia merasakan angin yang cukup kencang menerpa kuduknya dan menyibak rambutnya.Widi yang saat itu hanya memakai lingerie berwarna peach itu sontak tertegun dan menyentuh bagian belakang lehernya.Wajahnya perlahan terangkat dan mata bulatnya menyusuri setiap sudut kamar.Aneh. Dalam posisi berdiri, Widi merasa keheranan. Darimana datangnya angin yang begitu dahsyat sedang kamarnya tertutup rapat. Horden dan barang-barang lain pun tak ada yang bergerak. Ia tertegun, berpiki
Heru Prasetyo-- lelaki berusia 30 tahun yang memiliki tubuh ideal dengan berat badan 70 kilogram itu menghempaskan tubuhnya begitu saja di spring bed nomor satu miliknya.AC yang ia nyalakan sejak tadi terasa tidak berguna, panas, hawa panas seketika menyergap tubuhnya.Heru melepas satu persatu kancing bajunya dan membuang pakaian itu ke sembarang arah. Ia bertelanjang dada dan hanya menggunakan celana panjang miliknya."Kenapa tubuhku tiba-tiba begini? Kenapa ruangan ini tiba-tiba panas seperti ini?" Heru bertanya pada dirinya sendiri.Ia merasakan gerah, padahal AC menyala. Hero langsung menggeser tubuhnya mendekati bantal dan menutup matanya dengan tangannya. Dia ingin tidur, karena tubuhnya teramat lelah, begitu juga batinnya. Bayangan seorang wanita cantik tiba-tiba terlintas begitu saja."Wirda...," desisnya.Wirda adalah wanita yang ditaksir Heru, gadis cantik berkerudung berusia 27 tahun.Heru selalu memperhatikan Wirda yang merupakan anak pemilik restoran rivalnya, restoran
Heru Prasetyo menatap dingin wanita yang saat itu masih terbaring di atas kasur. Sesekali Ia menatap jam tangannya. "Kasihan juga Dia, apa Aku panggil Dokter saja?" Heru bicara pada dirinya sendiri.Ia kemudian bangkit dari duduknya dan mendekat ke arah Widy yang saat itu bergumam sendiri dalam tidurnya, seperti bermimpi buruk."Swwssshhh... swwwasshh,"Lelaki tinggi itu mengernyitkan dahi, heran dan juga penasaran saat mendengar gumaman tak jelas dari wanita cantik berkulit putih yang saat itu belum juga sadar.Saking penasarannya, Heru menundukkan tubuhnya dan mendekatkan telinganya ke arah wajah Widy. Ia ingin mendengar lebih jelas apa yang baru saja Widy ucapkan, tapi ...Tap!Belum sempat mendengar apa yang Widy ucapkan, Heru mendapat serangan dadakan dari gadis yang sama sekali bukan tipenya itu.Tangan Widy tiba-tiba melingkar di lehernya dan menariknya hingga Heru terjatuh, menimpa tubuh gadis itu yang masih menutup matanya."Emhh," Heru berusaha bangkit, tapi cengkeraman g
Saat wanita itu keluar dari kamar, asisten rumah tangganya lari tergopoh-gopoh menuju ke arahnya, asistennya itu menatapnya dengan penuh kekhawatiran. "Ada apa Widarsih? kenapa kamu terlihat ketakutan seperti itu?" Tanya Widyawati--ibunya Heru saat asisten rumah tangganya itu berhenti tepat hanya berjarak beberapa meter darinya. "Mohon maaf Ndoro, calon istri Tuan Heru sampai saat ini belum juga sadar, saya takut terjadi apa-apa pada wanita itu Ndoro," tutur wanita berumur 35 tahunan itu dengan lembut. Ia berusaha sesopan mungkin pada wanita penguasa rumah mewah itu. Widyawati tampak biasa saja. Wajahnya datar seolah ia sudah mengetahui apa yang akan terjadi pada gadis itu. "Oh, sebentar lagi juga dia akan sadar, kamu jangan terlalu khawatir. Tugasmu itu adalah mengurusi rumah dan dapur, bukan mengurusi calon istri Heru Prasetyo, anakku," jawabnya seraya menautkan dua tangannya dan meletakkan di perutnya. Gaya Ayu seorang ningrat seperti wanita-wanita kuno Jawa zaman dulu. Heru
Widi turun dari mobil saat pintu dibuka oleh sopir. Ia berdecak kagum saat melihat rumah besar di depannya. Rumah dengan desain Eropa yang punya pekarangan yang luas dan arsitektur modern layaknya seperti istana. Cat putih mendominasi, seolah menunjukkan jika pemilik Rumah itu adalah orang yang sangat kaya. Derap langkah kaki Heru Prasetyo menghentak lantai ubin yang begitu mengkilat. Suara hentakan kakinya itu membuat Widi mengalihkan pandangan ke arahnya. Tak dapat dipungkiri, Heru Prasetyo mempunyai pesona yang tidak kaleng-kaleng. Iya melangkah mantap dengan tubuh idealnya dan jas hitam yang rapi. Lelaki berkacamata itu berjalan begitu saja meninggalkan Widi masih berdiri terpaku di samping mobil. Aroma parfum Heru Prasetyo yang terbawa angin membuat Widi semakin terlena. Jika saja lelaki itu tidak dingin terhadapnya, Widi yakin akan sangat mudah baginya untuk jatuh cinta padanya. Tiba-tiba saja Heru menghentikan langkahnya dan menggerakkan kepalanya menoleh ke arah Widi sa
Gisella Widi, gadis jangkung itu melangkah pelan hendak keluar kamar. Matanya memindai setiap sudut ruangan. Saat yakin semua aman, Ia lalu berjalan keluar kamar dan matanya tak henti menyisir sekitar. Ruangan terang benderang, akan tetapi tak ada satupun orang di ruangan itu. 'Ke mana semua orang?' gadis itu bertanya-tanya dalam hatinya. Wuzzzhhh! Gisella Widi yang biasa di panggil Widi saat berada di rumah dan Gisella saat berada di tempat kerja itu mematung saat merasakan tubuhnya seperti di terpa angin yang cukup kencang. Bulu kuduknya meremang seperti merasakan hal yang tak biasa. Lirih terdengar alunan suara nyanyian di luar dengan dentingan sayup-sayup gamelan. Widi mempertajam pendengarannya. Kidung itu terdengar menyedihkan mesti Widi tak tau artinya. "Apakah di sekitar sini ada pesta? mengapa di waktu malam menjelang subuh masih terdengar lantunan lagu?" Widi bertanya pada dirinya sendiri. Pluk! "Astaga!" Widi tersentak saat merasakan bahunya ditepuk pelan dari bel
Seseorang berbadan tegap memunggungiku dengan setelan kemeja berwarna abu-abu muda. Ia terlihat sedang memainkan ponsel dan tak menyadari aku sudah sadar dari tidurku. Perlahan aku duduk dan sepertinya lelaki itu pun menyadari jika aku sudah terbangun. Ia kemudian menggeser tubuhnya dan berdiri lalu memutar tubuhnya menghadap ke arahku. Aku terpaku saat melihat sosok itu begitu dingin menatapku, tatapannya tajam menyusuri setiap lekuk tubuhku. "Apakah Anda yang bernama Heru Prasetyo? kenapa Anda membawaku kemari? bukankah tadi Mereka bilang kalau aku akan dibawa ke hotel?" tanyaku bertubi-tubi, tapi laki-laki itu hanya menghela nafas dan meletakkan ponselnya di atas nakas yang tak jauh dari kami. " Aku tidak nyaman di hotel, terlalu banyak pengunjung yang akan melihat keberadaanmu, aku lebih nyaman di sini, di mana kita hanya berdua dan bisa berbincang tanpa adanya gangguan," jawabnya seraya meletakkan bokongnya di sebuah sofa di sudut ruangan. Ia lalu mengambil anggur yang ada me
"Gis, malam ini Kamu temenin Om-om itu, ya," tunjuk Mom Andita, Mommy tiriku yang juga sebagai partner kerjaku di dunia malam ini. Aku melirik ke arah laki-laki bertubuh tambun dengan gaya parlentenya. Lumayan tampan untuk ukuran orang tua sepertinya. "Okey, Mom. Mommy hari ini pulang duluan aja, istirahat, kasihan tubuh Mommy, Gisella lihat sekarang lebih kurusan," ujarku seraya menatap wanita yang merawatku sudah hampir sekitar 8 tahunan ini. Wanita semok berkulit putih bersih itu balas menatapku sendu. Ia melayangkan ciuman di pipiku dengan sayang. "Maafin Mommy, ya, Gis. Mommy tidak bisa memberikan hidup yang layak untukmu, karena--," Lagi-lagi wanita baik itu meneteskan air mata. Selalu begitu, jika Ia mengingat tentang keadaan kami saat ini. Aku langsung memeluknya dan meyakinkan jika semua ini bukan salahnya. Ini kemauanku untuk membayar hutang ayahku yang jumlahnya tidak sedikit itu. Aku Gisella Widi, gadis berumur 23 tahun yang sampai saat ini masih betah menyendiri.