Heru Prasetyo-- lelaki berusia 30 tahun yang memiliki tubuh ideal dengan berat badan 70 kilogram itu menghempaskan tubuhnya begitu saja di spring bed nomor satu miliknya.
AC yang ia nyalakan sejak tadi terasa tidak berguna, panas, hawa panas seketika menyergap tubuhnya.
Heru melepas satu persatu kancing bajunya dan membuang pakaian itu ke sembarang arah. Ia bertelanjang dada dan hanya menggunakan celana panjang miliknya.
"Kenapa tubuhku tiba-tiba begini? Kenapa ruangan ini tiba-tiba panas seperti ini?" Heru bertanya pada dirinya sendiri.
Ia merasakan gerah, padahal AC menyala. Hero langsung menggeser tubuhnya mendekati bantal dan menutup matanya dengan tangannya.
Dia ingin tidur, karena tubuhnya teramat lelah, begitu juga batinnya. Bayangan seorang wanita cantik tiba-tiba terlintas begitu saja.
"Wirda...," desisnya.
Wirda adalah wanita yang ditaksir Heru, gadis cantik berkerudung berusia 27 tahun.
Heru selalu memperhatikan Wirda yang merupakan anak pemilik restoran rivalnya, restoran yang tempatnya berada di seberang restoran milik Heru.
Heru sangat suka melihat gadis itu, wajahnya benar-benar Ayu, merupakan peranakan Indonesia Arab, wajahnya sangat mirip dengan ibunya yang berdarah Arab.
Heru senang melihat struktur wajah Wirda yang berhidung mancung dan beralis tebal, memiliki bibir yang tipis dengan senyum yang menawan.
Namun, Heru hanya bisa memujinya dalam hati, karena sejatinya, mamanya i menentang perasaan Heru dengan Wirda.
"Mama tak mau anak mama menikah dengan rival restaurant milik Mama. Apalagi semenjak hadirnya restoran miliknya, pengunjung kita lebih senang makan di sana, sehingga restoran kita menjadi sepi,"
Kata-kata itulah yang terlontar dari bibir mamanya Heru setiap Heru terus jujur akan perasaannya pada Wirda.
Heru tak mampu menentang keinginan mamanya, Heru merasa semua yang ia punya adalah berkat kerja keras mamanya.
Hingga tibalah saat itu, Ia harus menerima apa yang diinginkan mamanya, menikah dengan seorang wanita penjaja cinta.
Bunyi dari pintu menyadarkan Heru dari lamunan. Samar-samar ia melihat seseorang mendekat.
"Wirda...," ia bergumam.
Kepala Heru tiba-tiba sakit, penglihatannya berbayang dan tidak fokus.
Ia hanya mencium aroma yang sangat memikat, membuat gairahnya bangkit secara tiba-tiba.
Seseorang itu kian mendekat dan menghempas tubuhnya tepat di sisi Heru.
"Wirda ... Sayang, kamu kenapa di sini? Wirda ...kamu cantik sekali,"
Heru menggeser tubuhnya dan meraih tubuh sintal itu, membawanya dalam pelukan.
Wanita yang kini berada di pelukannya itu menggeliat, tapi tak menolak.
Ia malah menarik tengkuk Heru dan langsung melumat bibir Heru dengan lahapnya.
"Eumhh,"
Heru bergumam. Ia tak menyangka gadis pemalu dengan senyum khasnya itu mempunyai inisiatif untuk melakukan hubungan dewasa itu terlebih dahulu.
Klek!
Lampu mati tiba-tiba tapi Heru mengabaikannya. Ia malah asik membalas lumatan yang terasa begitu nikmat.
Heru yang sulit jatuh cinta itu hanya merasakan punya pacar dua kali, dan kissing yang seperti ini hanya beberapa kali Ia rasakan.
Namun, ciuman malam ini terasa berbeda. Begitu hot dan penuh gairah.
Heru pun pasrah saat wanita itu malah lebih ganas darinya. Tak puas hanya bibirnya saja, Ia mulai menjelajahi dada Heru yang berotot dan berbentuk roti sobek.
Dan, malam itu terasa sangat panjang. Penuh gairah dan keringat. Suara derit ranjang yang bergerak disertai lenguhan kenikmatan itu menandakan betapa dua insan itu begitu menikmati malam yang tak biasa.
Tanpa Mereka sadari, ada sepasang mata memandang dengan senyum lebar melihat pertempuran dua anak manusia dalam kegelapan dan hanya sedikit sinar yang masuk dari celah horden jendela.
Orang misterius itu lalu keluar perlahan dan menutup pintu dengan hati yang bahagia. Membiarkan kedua manusia berlawanan jenis itu menikmati malam spesial mereka, hanya berdua dan tanpa gangguan.
***
Suara kokok ayam jantan terdengar bersahut-sahutan di luar. Kumandang adzan menggema merdu, mengajak insan manusia untuk bangun dan bersiap untuk melakukan kewajiban sebagai makhluk Tuhan.
Heru yang jarang melakukan kewajibannya itu tetap tertidur dengan pulas, sedari kecil Ia tidak pernah diajarkan solat.
Jadi, meski suara Adzan terdengar begitu jelas dan memekakkan telinga karena jarak rumah dan mesjid yang berdekatan tak membuat Heru tergugah untuk bangun dan solat.
Namun, subuh itu lelaki gagah itu merasa terganggu dengan pergerakan di ranjangnya.
Ia membalikkan tubuhnya dan berusaha membuka matanya yang terasa lengket.
"Aaaa!"
Seketika Heru membuka matanya saat mendengar suara jeritan. Netranya membola menatap tubuh polos berkulit putih seputih susu tanpa balutan apa pun.
Gadis itu langsung bangun dan meraih apa yang bisa Ia jangkau. Bedcover berwarna maroon yang ia raih itu langsung ia pakai untuk menutupi tubuhnya.
Berbeda dengan Heru, Ia dengan sigap meraih celananya dan memakainya.
"Kamu ngapain tidur di kasurku!" Heru menatap tajam gadis yang kini membekap tubuhnya dengan selimut itu.
"A--aku juga ga tahu, terakhir aku ingat kita menikah dan melihatmu pergi begitu saja," jawabnya dengan suara yang bergetar.
"Bohong! ini pasti kesalahan. Aku tak mungkin melakukan apa-apa denganmu! najis!" pekik Heru seraya menjambak rambutnya, frustasi.
Gadis itu meremas bedcover yang menutupi tubuhnya. Hatinya bagai ditusuk beribu berlati. Sakit dan perih.
Ia menunduk. Air mata jatuh membanjiri pipinya. Apa Ia begitu hinanya di mata lelaki yang kini telah sah menjadi suaminya?
Saat itu matanya tertuju pada sesuatu diatas seprei. Noda yang langsung Ia dekati dan menyentuhnya.
Gadis itu juga meraba daerah kemaluannya yang basah. Lengket. Cairan yang sangat Ia hapal.
"Kau bisa saja jijik kepadaku, tapi kau tak bisa bohong, tadi malam kau menikmati tubuhku, dan ini buktinya, cairan sperm*, punya siapa?" gadis itu menggeser tubuhnya dan beringsut mendekati Heru yang terpaku. Menunjukkan cairan yang masih tersisa.
"Itu ...,"
"Kau masih mau mengelak? ini bukti nyata! kau meniduriku tadi malam!jadi jangan sok jual mahal, Tuan Heru yang terhormat! kau telah memakai barang bekas orang!"
Gadis itu menyeka sisa air matanya, berbalik dan meraih pakaiannya yang terlempar ke sembarang arah.
Dengan kesalnya ia melempar bedcover hingga tubuhnya polos dan cuek memakai pakaiannya.
Heru memalingkan tubuhnya. Tangannya mengepal keras. Ia tak habis pikir bisa berada satu kasur dengan gadis itu. Apalagi tidur dengannya!
Brakk!
Terdengar suara pintu yang di hempas keras. Heru sempat terjingkat, tapi Ia tak merubah posisinya.
Ia masih tak percaya. Bukankah tadi malam Ia bersama Wirda? kenapa malah gadis itu? apa karena mabuk? tapi Heru tak menegak alkohol.
"Tidakk! tidak mungkin! keperjakaanku hilang di tangan pelacur itu!"
Heru merutuki dirinya yang bisa berhubungan dengan wanita yang sama sekali tak Ia suka. Dan, parahnya wanita itulah yang merebut keperjakaannya! keterlaluan!
Heru Prasetyo-- lelaki berusia 30 tahun yang memiliki tubuh ideal dengan berat badan 70 kilogram itu menghempaskan tubuhnya begitu saja di spring bed nomor satu miliknya.
AC yang ia nyalakan sejak tadi terasa tidak berguna, panas, hawa panas seketika menyergap tubuhnya.
Heru melepas satu persatu kancing bajunya dan membuang pakaian itu ke sembarang arah. Ia bertelanjang dada dan hanya menggunakan celana panjang miliknya.
"Kenapa tubuhku tiba-tiba begini? Kenapa ruangan ini tiba-tiba panas seperti ini?" Heru bertanya pada dirinya sendiri.
Ia merasakan gerah, padahal AC menyala. Hero langsung menggeser tubuhnya mendekati bantal dan menutup matanya dengan tangannya.
Dia ingin tidur, karena tubuhnya teramat lelah, begitu juga batinnya. Bayangan seorang wanita cantik tiba-tiba terlintas begitu saja.
"Wirda...," desisnya.
Wirda adalah wanita yang ditaksir Heru, gadis cantik berkerudung berusia 27 tahun.
Heru selalu memperhatikan Wirda yang merupakan anak pemilik restoran rivalnya, restoran yang tempatnya berada di seberang restoran milik Heru.
Heru sangat suka melihat gadis itu, wajahnya benar-benar Ayu, merupakan peranakan Indonesia Arab, wajahnya sangat mirip dengan ibunya yang berdarah Arab.
Heru senang melihat struktur wajah Wirda yang berhidung mancung dan beralis tebal, memiliki bibir yang tipis dengan senyum yang menawan.
Namun, Heru hanya bisa memujinya dalam hati, karena sejatinya, mamanya i menentang perasaan Heru dengan Wirda.
"Mama tak mau anak mama menikah dengan rival restaurant milik Mama. Apalagi semenjak hadirnya restoran miliknya, pengunjung kita lebih senang makan di sana, sehingga restoran kita menjadi sepi,"
Kata-kata itulah yang terlontar dari bibir mamanya Heru setiap Heru terus jujur akan perasaannya pada Wirda.
Heru tak mampu menentang keinginan mamanya, Heru merasa semua yang ia punya adalah berkat kerja keras mamanya.
Hingga tibalah saat itu, Ia harus menerima apa yang diinginkan mamanya, menikah dengan seorang wanita penjaja cinta.
Bunyi dari pintu menyadarkan Heru dari lamunan. Samar-samar ia melihat seseorang mendekat.
"Wirda...," ia bergumam.
Kepala Heru tiba-tiba sakit, penglihatannya berbayang dan tidak fokus.
Ia hanya mencium aroma yang sangat memikat, membuat gairahnya bangkit secara tiba-tiba.
Seseorang itu kian mendekat dan menghempas tubuhnya tepat di sisi Heru.
"Wirda ... Sayang, kamu kenapa di sini? Wirda ...kamu cantik sekali,"
Heru menggeser tubuhnya dan meraih tubuh sintal itu, membawanya dalam pelukan.
Wanita yang kini berada di pelukannya itu menggeliat, tapi tak menolak.
Ia malah menarik tengkuk Heru dan langsung melumat bibir Heru dengan lahapnya.
"Eumhh,"
Heru bergumam. Ia tak menyangka gadis pemalu dengan senyum khasnya itu mempunyai inisiatif untuk melakukan hubungan dewasa itu terlebih dahulu.
Klek!
Lampu mati tiba-tiba tapi Heru mengabaikannya. Ia malah asik membalas lumatan yang terasa begitu nikmat.
Heru yang sulit jatuh cinta itu hanya merasakan punya pacar dua kali, dan kissing yang seperti ini hanya beberapa kali Ia rasakan.
Namun, ciuman malam ini terasa berbeda. Begitu hot dan penuh gairah.
Heru pun pasrah saat wanita itu malah lebih ganas darinya. Tak puas hanya bibirnya saja, Ia mulai menjelajahi dada Heru yang berotot dan berbentuk roti sobek.
Dan, malam itu terasa sangat panjang. Penuh gairah dan keringat. Suara derit ranjang yang bergerak disertai lenguhan kenikmatan itu menandakan betapa dua insan itu begitu menikmati malam yang tak biasa.
Tanpa Mereka sadari, ada sepasang mata memandang dengan senyum lebar melihat pertempuran dua anak manusia dalam kegelapan dan hanya sedikit sinar yang masuk dari celah horden jendela.
Orang misterius itu lalu keluar perlahan dan menutup pintu dengan hati yang bahagia. Membiarkan kedua manusia berlawanan jenis itu menikmati malam spesial mereka, hanya berdua dan tanpa gangguan.
***
Suara kokok ayam jantan terdengar bersahut-sahutan di luar. Kumandang adzan menggema merdu, mengajak insan manusia untuk bangun dan bersiap untuk melakukan kewajiban sebagai makhluk Tuhan.Heru yang jarang melakukan kewajibannya itu tetap tertidur dengan pulas, sedari kecil Ia tidak pernah diajarkan solat.
Jadi, meski suara Adzan terdengar begitu jelas dan memekakkan telinga karena jarak rumah dan mesjid yang berdekatan tak membuat Heru tergugah untuk bangun dan solat.
Namun, subuh itu lelaki gagah itu merasa terganggu dengan pergerakan di ranjangnya.
Ia membalikkan tubuhnya dan berusaha membuka matanya yang terasa lengket.
"Aaaa!"
Seketika Heru membuka matanya saat mendengar suara jeritan. Netranya membola menatap tubuh polos berkulit putih seputih susu tanpa balutan apa pun.
Gadis itu langsung bangun dan meraih apa yang bisa Ia jangkau. Bedcover berwarna maroon yang ia raih itu langsung ia pakai untuk menutupi tubuhnya.
Berbeda dengan Heru, Ia dengan sigap meraih celananya dan memakainya.
"Kamu ngapain tidur di kasurku!" Heru menatap tajam gadis yang kini membekap tubuhnya dengan selimut itu.
"A--aku juga ga tahu, terakhir aku ingat kita menikah dan melihatmu pergi begitu saja," jawabnya dengan suara yang bergetar.
"Bohong! ini pasti kesalahan. Aku tak mungkin melakukan apa-apa denganmu! najis!" pekik Heru seraya menjambak rambutnya, frustasi.
Gadis itu meremas bedcover yang menutupi tubuhnya. Hatinya bagai ditusuk beribu berlati. Sakit dan perih.
Ia menunduk. Air mata jatuh membanjiri pipinya. Apa Ia begitu hinanya di mata lelaki yang kini telah sah menjadi suaminya?
Saat itu matanya tertuju pada sesuatu diatas seprei. Noda yang langsung Ia dekati dan menyentuhnya.
Gadis itu juga meraba daerah kemaluannya yang basah. Lengket. Cairan yang sangat Ia hapal.
"Kau bisa saja jijik kepadaku, tapi kau tak bisa bohong, tadi malam kau menikmati tubuhku, dan ini buktinya, cairan sperm*, punya siapa?" gadis itu menggeser tubuhnya dan beringsut mendekati Heru yang terpaku. Menunjukkan cairan yang masih tersisa.
"Itu ...,"
"Kau masih mau mengelak? ini bukti nyata! kau meniduriku tadi malam!jadi jangan sok jual mahal, Tuan Heru yang terhormat! kau telah memakai barang bekas orang!"
Gadis itu menyeka sisa air matanya, berbalik dan meraih pakaiannya yang terlempar ke sembarang arah.
Dengan kesalnya ia melempar bedcover hingga tubuhnya polos dan cuek memakai pakaiannya.
Heru memalingkan tubuhnya. Tangannya mengepal keras. Ia tak habis pikir bisa berada satu kasur dengan gadis itu. Apalagi tidur dengannya!
Brakk!
Terdengar suara pintu yang di hempas keras. Heru sempat terjingkat, tapi Ia tak merubah posisinya.
Ia masih tak percaya. Bukankah tadi malam Ia bersama Wirda? kenapa malah gadis itu? apa karena mabuk? tapi Heru tak menegak alkohol.
"Tidakk! tidak mungkin! keperjakaanku hilang di tangan pelacur itu!"
Heru merutuki dirinya yang bisa berhubungan dengan wanita yang sama sekali tak Ia suka. Dan, parahnya wanita itulah yang merebut keperjakaannya! keterlaluan!
Widi menghempas tubuhnya diatas kasur saat ia masuk kamar yang di sediakan untuknya.Air matanya tak surut membanjiri pipinya yang memerah. Hatinya sakit, mengingat penghinaan lelaki bertubuh bagus itu.Ia meremas bedcover bermotif monokrom dengan warna hitam putih itu dengan keras, hingga salah satu kuku panjangnya patah dan mengeluarkan darah."Akh," rintihnya.Refleks, Widi mengangkat tubuhnya dan terduduk. Ia menarik tangannya dan mendapati ujung jari tengahnya mengeluarkan darah segar.Wussshhh!Di saat itulah ia merasakan angin yang cukup kencang menerpa kuduknya dan menyibak rambutnya.Widi yang saat itu hanya memakai lingerie berwarna peach itu sontak tertegun dan menyentuh bagian belakang lehernya.Wajahnya perlahan terangkat dan mata bulatnya menyusuri setiap sudut kamar.Aneh. Dalam posisi berdiri, Widi merasa keheranan. Darimana datangnya angin yang begitu dahsyat sedang kamarnya tertutup rapat. Horden dan barang-barang lain pun tak ada yang bergerak. Ia tertegun, berpiki
Ruangan temaram, hanya lampu tidur yang menyala. Widyawati duduk di depan cermin lonjong berukir, menatap wajah yang memantul samar-samar. Matanya tampak awas dengan senyum terkembang. Satu syarat telah berhasil ia lakukan. Heru sudah tidur bersama wanita pilihannya. Syuttt! Tiba-tiba horden tersibak dan dari luar jendela berdiri seorang wanita cantik dengan rambut terurai, memakai mahkota dan kemben berwarna merah dengan manik-manik seperti emas, beserta kain jarik yang melilit di pinggang. Widyawati menatap dengan senyum yang tertimbang, seolah menyambut kedatangan wanita misterius yang tidak tahu dari mana datangnya. Widyawati melenggang ke arah jendela kaca dan membukanya. Ia lalu bersujud dan menangkupkan kedua tangannya seperti seseorang tengah menyembah. Di balkon lantai dua wanita itu berdiri dengan senyum misteriusnya. "Nyai Damarwasih, terima kasih sudah datang, tumbal akan segera saya berikan. Hanya butuh beberapa hari saja, menjelang kematiannya, biar dia menikmati
"Gis, malam ini Kamu temenin Om-om itu, ya," tunjuk Mom Andita, Mommy tiriku yang juga sebagai partner kerjaku di dunia malam ini. Aku melirik ke arah laki-laki bertubuh tambun dengan gaya parlentenya. Lumayan tampan untuk ukuran orang tua sepertinya. "Okey, Mom. Mommy hari ini pulang duluan aja, istirahat, kasihan tubuh Mommy, Gisella lihat sekarang lebih kurusan," ujarku seraya menatap wanita yang merawatku sudah hampir sekitar 8 tahunan ini. Wanita semok berkulit putih bersih itu balas menatapku sendu. Ia melayangkan ciuman di pipiku dengan sayang. "Maafin Mommy, ya, Gis. Mommy tidak bisa memberikan hidup yang layak untukmu, karena--," Lagi-lagi wanita baik itu meneteskan air mata. Selalu begitu, jika Ia mengingat tentang keadaan kami saat ini. Aku langsung memeluknya dan meyakinkan jika semua ini bukan salahnya. Ini kemauanku untuk membayar hutang ayahku yang jumlahnya tidak sedikit itu. Aku Gisella Widi, gadis berumur 23 tahun yang sampai saat ini masih betah menyendiri.
Seseorang berbadan tegap memunggungiku dengan setelan kemeja berwarna abu-abu muda. Ia terlihat sedang memainkan ponsel dan tak menyadari aku sudah sadar dari tidurku. Perlahan aku duduk dan sepertinya lelaki itu pun menyadari jika aku sudah terbangun. Ia kemudian menggeser tubuhnya dan berdiri lalu memutar tubuhnya menghadap ke arahku. Aku terpaku saat melihat sosok itu begitu dingin menatapku, tatapannya tajam menyusuri setiap lekuk tubuhku. "Apakah Anda yang bernama Heru Prasetyo? kenapa Anda membawaku kemari? bukankah tadi Mereka bilang kalau aku akan dibawa ke hotel?" tanyaku bertubi-tubi, tapi laki-laki itu hanya menghela nafas dan meletakkan ponselnya di atas nakas yang tak jauh dari kami. " Aku tidak nyaman di hotel, terlalu banyak pengunjung yang akan melihat keberadaanmu, aku lebih nyaman di sini, di mana kita hanya berdua dan bisa berbincang tanpa adanya gangguan," jawabnya seraya meletakkan bokongnya di sebuah sofa di sudut ruangan. Ia lalu mengambil anggur yang ada me
Gisella Widi, gadis jangkung itu melangkah pelan hendak keluar kamar. Matanya memindai setiap sudut ruangan. Saat yakin semua aman, Ia lalu berjalan keluar kamar dan matanya tak henti menyisir sekitar. Ruangan terang benderang, akan tetapi tak ada satupun orang di ruangan itu. 'Ke mana semua orang?' gadis itu bertanya-tanya dalam hatinya. Wuzzzhhh! Gisella Widi yang biasa di panggil Widi saat berada di rumah dan Gisella saat berada di tempat kerja itu mematung saat merasakan tubuhnya seperti di terpa angin yang cukup kencang. Bulu kuduknya meremang seperti merasakan hal yang tak biasa. Lirih terdengar alunan suara nyanyian di luar dengan dentingan sayup-sayup gamelan. Widi mempertajam pendengarannya. Kidung itu terdengar menyedihkan mesti Widi tak tau artinya. "Apakah di sekitar sini ada pesta? mengapa di waktu malam menjelang subuh masih terdengar lantunan lagu?" Widi bertanya pada dirinya sendiri. Pluk! "Astaga!" Widi tersentak saat merasakan bahunya ditepuk pelan dari bel
Widi turun dari mobil saat pintu dibuka oleh sopir. Ia berdecak kagum saat melihat rumah besar di depannya. Rumah dengan desain Eropa yang punya pekarangan yang luas dan arsitektur modern layaknya seperti istana. Cat putih mendominasi, seolah menunjukkan jika pemilik Rumah itu adalah orang yang sangat kaya. Derap langkah kaki Heru Prasetyo menghentak lantai ubin yang begitu mengkilat. Suara hentakan kakinya itu membuat Widi mengalihkan pandangan ke arahnya. Tak dapat dipungkiri, Heru Prasetyo mempunyai pesona yang tidak kaleng-kaleng. Iya melangkah mantap dengan tubuh idealnya dan jas hitam yang rapi. Lelaki berkacamata itu berjalan begitu saja meninggalkan Widi masih berdiri terpaku di samping mobil. Aroma parfum Heru Prasetyo yang terbawa angin membuat Widi semakin terlena. Jika saja lelaki itu tidak dingin terhadapnya, Widi yakin akan sangat mudah baginya untuk jatuh cinta padanya. Tiba-tiba saja Heru menghentikan langkahnya dan menggerakkan kepalanya menoleh ke arah Widi sa
Saat wanita itu keluar dari kamar, asisten rumah tangganya lari tergopoh-gopoh menuju ke arahnya, asistennya itu menatapnya dengan penuh kekhawatiran. "Ada apa Widarsih? kenapa kamu terlihat ketakutan seperti itu?" Tanya Widyawati--ibunya Heru saat asisten rumah tangganya itu berhenti tepat hanya berjarak beberapa meter darinya. "Mohon maaf Ndoro, calon istri Tuan Heru sampai saat ini belum juga sadar, saya takut terjadi apa-apa pada wanita itu Ndoro," tutur wanita berumur 35 tahunan itu dengan lembut. Ia berusaha sesopan mungkin pada wanita penguasa rumah mewah itu. Widyawati tampak biasa saja. Wajahnya datar seolah ia sudah mengetahui apa yang akan terjadi pada gadis itu. "Oh, sebentar lagi juga dia akan sadar, kamu jangan terlalu khawatir. Tugasmu itu adalah mengurusi rumah dan dapur, bukan mengurusi calon istri Heru Prasetyo, anakku," jawabnya seraya menautkan dua tangannya dan meletakkan di perutnya. Gaya Ayu seorang ningrat seperti wanita-wanita kuno Jawa zaman dulu. Heru
Heru Prasetyo menatap dingin wanita yang saat itu masih terbaring di atas kasur. Sesekali Ia menatap jam tangannya. "Kasihan juga Dia, apa Aku panggil Dokter saja?" Heru bicara pada dirinya sendiri.Ia kemudian bangkit dari duduknya dan mendekat ke arah Widy yang saat itu bergumam sendiri dalam tidurnya, seperti bermimpi buruk."Swwssshhh... swwwasshh,"Lelaki tinggi itu mengernyitkan dahi, heran dan juga penasaran saat mendengar gumaman tak jelas dari wanita cantik berkulit putih yang saat itu belum juga sadar.Saking penasarannya, Heru menundukkan tubuhnya dan mendekatkan telinganya ke arah wajah Widy. Ia ingin mendengar lebih jelas apa yang baru saja Widy ucapkan, tapi ...Tap!Belum sempat mendengar apa yang Widy ucapkan, Heru mendapat serangan dadakan dari gadis yang sama sekali bukan tipenya itu.Tangan Widy tiba-tiba melingkar di lehernya dan menariknya hingga Heru terjatuh, menimpa tubuh gadis itu yang masih menutup matanya."Emhh," Heru berusaha bangkit, tapi cengkeraman g
Ruangan temaram, hanya lampu tidur yang menyala. Widyawati duduk di depan cermin lonjong berukir, menatap wajah yang memantul samar-samar. Matanya tampak awas dengan senyum terkembang. Satu syarat telah berhasil ia lakukan. Heru sudah tidur bersama wanita pilihannya. Syuttt! Tiba-tiba horden tersibak dan dari luar jendela berdiri seorang wanita cantik dengan rambut terurai, memakai mahkota dan kemben berwarna merah dengan manik-manik seperti emas, beserta kain jarik yang melilit di pinggang. Widyawati menatap dengan senyum yang tertimbang, seolah menyambut kedatangan wanita misterius yang tidak tahu dari mana datangnya. Widyawati melenggang ke arah jendela kaca dan membukanya. Ia lalu bersujud dan menangkupkan kedua tangannya seperti seseorang tengah menyembah. Di balkon lantai dua wanita itu berdiri dengan senyum misteriusnya. "Nyai Damarwasih, terima kasih sudah datang, tumbal akan segera saya berikan. Hanya butuh beberapa hari saja, menjelang kematiannya, biar dia menikmati
Widi menghempas tubuhnya diatas kasur saat ia masuk kamar yang di sediakan untuknya.Air matanya tak surut membanjiri pipinya yang memerah. Hatinya sakit, mengingat penghinaan lelaki bertubuh bagus itu.Ia meremas bedcover bermotif monokrom dengan warna hitam putih itu dengan keras, hingga salah satu kuku panjangnya patah dan mengeluarkan darah."Akh," rintihnya.Refleks, Widi mengangkat tubuhnya dan terduduk. Ia menarik tangannya dan mendapati ujung jari tengahnya mengeluarkan darah segar.Wussshhh!Di saat itulah ia merasakan angin yang cukup kencang menerpa kuduknya dan menyibak rambutnya.Widi yang saat itu hanya memakai lingerie berwarna peach itu sontak tertegun dan menyentuh bagian belakang lehernya.Wajahnya perlahan terangkat dan mata bulatnya menyusuri setiap sudut kamar.Aneh. Dalam posisi berdiri, Widi merasa keheranan. Darimana datangnya angin yang begitu dahsyat sedang kamarnya tertutup rapat. Horden dan barang-barang lain pun tak ada yang bergerak. Ia tertegun, berpiki
Heru Prasetyo-- lelaki berusia 30 tahun yang memiliki tubuh ideal dengan berat badan 70 kilogram itu menghempaskan tubuhnya begitu saja di spring bed nomor satu miliknya.AC yang ia nyalakan sejak tadi terasa tidak berguna, panas, hawa panas seketika menyergap tubuhnya.Heru melepas satu persatu kancing bajunya dan membuang pakaian itu ke sembarang arah. Ia bertelanjang dada dan hanya menggunakan celana panjang miliknya."Kenapa tubuhku tiba-tiba begini? Kenapa ruangan ini tiba-tiba panas seperti ini?" Heru bertanya pada dirinya sendiri.Ia merasakan gerah, padahal AC menyala. Hero langsung menggeser tubuhnya mendekati bantal dan menutup matanya dengan tangannya. Dia ingin tidur, karena tubuhnya teramat lelah, begitu juga batinnya. Bayangan seorang wanita cantik tiba-tiba terlintas begitu saja."Wirda...," desisnya.Wirda adalah wanita yang ditaksir Heru, gadis cantik berkerudung berusia 27 tahun.Heru selalu memperhatikan Wirda yang merupakan anak pemilik restoran rivalnya, restoran
Heru Prasetyo menatap dingin wanita yang saat itu masih terbaring di atas kasur. Sesekali Ia menatap jam tangannya. "Kasihan juga Dia, apa Aku panggil Dokter saja?" Heru bicara pada dirinya sendiri.Ia kemudian bangkit dari duduknya dan mendekat ke arah Widy yang saat itu bergumam sendiri dalam tidurnya, seperti bermimpi buruk."Swwssshhh... swwwasshh,"Lelaki tinggi itu mengernyitkan dahi, heran dan juga penasaran saat mendengar gumaman tak jelas dari wanita cantik berkulit putih yang saat itu belum juga sadar.Saking penasarannya, Heru menundukkan tubuhnya dan mendekatkan telinganya ke arah wajah Widy. Ia ingin mendengar lebih jelas apa yang baru saja Widy ucapkan, tapi ...Tap!Belum sempat mendengar apa yang Widy ucapkan, Heru mendapat serangan dadakan dari gadis yang sama sekali bukan tipenya itu.Tangan Widy tiba-tiba melingkar di lehernya dan menariknya hingga Heru terjatuh, menimpa tubuh gadis itu yang masih menutup matanya."Emhh," Heru berusaha bangkit, tapi cengkeraman g
Saat wanita itu keluar dari kamar, asisten rumah tangganya lari tergopoh-gopoh menuju ke arahnya, asistennya itu menatapnya dengan penuh kekhawatiran. "Ada apa Widarsih? kenapa kamu terlihat ketakutan seperti itu?" Tanya Widyawati--ibunya Heru saat asisten rumah tangganya itu berhenti tepat hanya berjarak beberapa meter darinya. "Mohon maaf Ndoro, calon istri Tuan Heru sampai saat ini belum juga sadar, saya takut terjadi apa-apa pada wanita itu Ndoro," tutur wanita berumur 35 tahunan itu dengan lembut. Ia berusaha sesopan mungkin pada wanita penguasa rumah mewah itu. Widyawati tampak biasa saja. Wajahnya datar seolah ia sudah mengetahui apa yang akan terjadi pada gadis itu. "Oh, sebentar lagi juga dia akan sadar, kamu jangan terlalu khawatir. Tugasmu itu adalah mengurusi rumah dan dapur, bukan mengurusi calon istri Heru Prasetyo, anakku," jawabnya seraya menautkan dua tangannya dan meletakkan di perutnya. Gaya Ayu seorang ningrat seperti wanita-wanita kuno Jawa zaman dulu. Heru
Widi turun dari mobil saat pintu dibuka oleh sopir. Ia berdecak kagum saat melihat rumah besar di depannya. Rumah dengan desain Eropa yang punya pekarangan yang luas dan arsitektur modern layaknya seperti istana. Cat putih mendominasi, seolah menunjukkan jika pemilik Rumah itu adalah orang yang sangat kaya. Derap langkah kaki Heru Prasetyo menghentak lantai ubin yang begitu mengkilat. Suara hentakan kakinya itu membuat Widi mengalihkan pandangan ke arahnya. Tak dapat dipungkiri, Heru Prasetyo mempunyai pesona yang tidak kaleng-kaleng. Iya melangkah mantap dengan tubuh idealnya dan jas hitam yang rapi. Lelaki berkacamata itu berjalan begitu saja meninggalkan Widi masih berdiri terpaku di samping mobil. Aroma parfum Heru Prasetyo yang terbawa angin membuat Widi semakin terlena. Jika saja lelaki itu tidak dingin terhadapnya, Widi yakin akan sangat mudah baginya untuk jatuh cinta padanya. Tiba-tiba saja Heru menghentikan langkahnya dan menggerakkan kepalanya menoleh ke arah Widi sa
Gisella Widi, gadis jangkung itu melangkah pelan hendak keluar kamar. Matanya memindai setiap sudut ruangan. Saat yakin semua aman, Ia lalu berjalan keluar kamar dan matanya tak henti menyisir sekitar. Ruangan terang benderang, akan tetapi tak ada satupun orang di ruangan itu. 'Ke mana semua orang?' gadis itu bertanya-tanya dalam hatinya. Wuzzzhhh! Gisella Widi yang biasa di panggil Widi saat berada di rumah dan Gisella saat berada di tempat kerja itu mematung saat merasakan tubuhnya seperti di terpa angin yang cukup kencang. Bulu kuduknya meremang seperti merasakan hal yang tak biasa. Lirih terdengar alunan suara nyanyian di luar dengan dentingan sayup-sayup gamelan. Widi mempertajam pendengarannya. Kidung itu terdengar menyedihkan mesti Widi tak tau artinya. "Apakah di sekitar sini ada pesta? mengapa di waktu malam menjelang subuh masih terdengar lantunan lagu?" Widi bertanya pada dirinya sendiri. Pluk! "Astaga!" Widi tersentak saat merasakan bahunya ditepuk pelan dari bel
Seseorang berbadan tegap memunggungiku dengan setelan kemeja berwarna abu-abu muda. Ia terlihat sedang memainkan ponsel dan tak menyadari aku sudah sadar dari tidurku. Perlahan aku duduk dan sepertinya lelaki itu pun menyadari jika aku sudah terbangun. Ia kemudian menggeser tubuhnya dan berdiri lalu memutar tubuhnya menghadap ke arahku. Aku terpaku saat melihat sosok itu begitu dingin menatapku, tatapannya tajam menyusuri setiap lekuk tubuhku. "Apakah Anda yang bernama Heru Prasetyo? kenapa Anda membawaku kemari? bukankah tadi Mereka bilang kalau aku akan dibawa ke hotel?" tanyaku bertubi-tubi, tapi laki-laki itu hanya menghela nafas dan meletakkan ponselnya di atas nakas yang tak jauh dari kami. " Aku tidak nyaman di hotel, terlalu banyak pengunjung yang akan melihat keberadaanmu, aku lebih nyaman di sini, di mana kita hanya berdua dan bisa berbincang tanpa adanya gangguan," jawabnya seraya meletakkan bokongnya di sebuah sofa di sudut ruangan. Ia lalu mengambil anggur yang ada me
"Gis, malam ini Kamu temenin Om-om itu, ya," tunjuk Mom Andita, Mommy tiriku yang juga sebagai partner kerjaku di dunia malam ini. Aku melirik ke arah laki-laki bertubuh tambun dengan gaya parlentenya. Lumayan tampan untuk ukuran orang tua sepertinya. "Okey, Mom. Mommy hari ini pulang duluan aja, istirahat, kasihan tubuh Mommy, Gisella lihat sekarang lebih kurusan," ujarku seraya menatap wanita yang merawatku sudah hampir sekitar 8 tahunan ini. Wanita semok berkulit putih bersih itu balas menatapku sendu. Ia melayangkan ciuman di pipiku dengan sayang. "Maafin Mommy, ya, Gis. Mommy tidak bisa memberikan hidup yang layak untukmu, karena--," Lagi-lagi wanita baik itu meneteskan air mata. Selalu begitu, jika Ia mengingat tentang keadaan kami saat ini. Aku langsung memeluknya dan meyakinkan jika semua ini bukan salahnya. Ini kemauanku untuk membayar hutang ayahku yang jumlahnya tidak sedikit itu. Aku Gisella Widi, gadis berumur 23 tahun yang sampai saat ini masih betah menyendiri.