Share

agni

Penulis: Budi Mae
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Aku merasa lega karena bisa duduk dengan tenang tanpa terganggu perilaku tidak mengenakan lelaki tadi.  Aku melirik sekilas pada Bos Zidan yang tampak tenang seperti tidak habis terjadi sesuatu.

Aku menggeserkan badan ke kanan dan ke kiri karena tempat ini terlalu sempit.

"Kamu bisa tenang apa tidak?"

"Hehehe iya, Pak, maaf." 

Aku kembali diam agar tidak mengganggu bos yang sudah mengeluarkan tanduknya. Namun, sepertinya kali ini aku akan sedikit merepotka. Mendadak kepalaku pusing dan perutku serasa di aduk-aduk. 

Sial! Aku mabuk pesawat ternyata. 

"Kenapa?" tanyanya yang melihatku memegangi perut dan menekuknya.

"Sa-ya pusing, pe-rut saya nggak enak," rintihku menahan mual dan sakit perut.

Dia berdiri dan mengulurkan tangannya.

"Ayo!"

"Ke-mana, Pak?" tanyaku sambil memegangi perutku.

"Kita ke belakang, kamu mau sembuh atau hanya duduk di sana dengan menangis dan merepotkan saya?" ucapnya lirih sambil menatapku tajam. Aku manut dan mengikutinya ke belakang. Aku memuntahkan isi perutku dan lagi-lagi aku harus merasakan sakit teramat sangat. Aku tak boleh pingsan di sini, siapa yang mau membantuku bangun jika pingsan. Dua orang saja sepertinya tidak kuat mengangkat berat badanku ini.

Aku keluar kamar mandi dengan wajah yang mungkin terlihat lemas.

"Nih!" Bos Zidan memberikan obat cair anti mabuk dan ini sungguh sangat membuatku ingin pindah ke planet Saturnus agar tak lagi menahan malu.

"Makasih, Pak."

"Jika ingin tak mabuk saat naik kendaraan, tidur saja. Jangan berulah lagi," ucapnya.

"Baiklah, makasih atas petuahnya, Pak Bos yang baik hati. " Aku dan Bos Zidan kembali ke kursi masing-masing. Ternyata obat mabuk tadi membuatku mengantuk.

Terlalu lama diam  juga ternyata bisa membuat mata sedikit merem melek dan akhirnya aku tertidur saking ngantuknya. Padahal ini masih sangat pagi tetapi sungguh Aku sangat mengantuk setelah meminum obat dari Pak Zidan.

Aku terbangun saat tepukan tangan Pak Zidan mengenai pipi gembulku.

"Bangun, Tra. Kita sudah sampai di Bali. Kamu mau tetap tidur di sini atau mau ikut saya turun?" ucapnya sembari beranjak meninggalkanku.

Tentu saja aku kaget dan langsung berdiri hendak mengikuti langkah bos Zidan. Bos berbalik dan menatapku tajam.

"Iler di lap dulu biar enggak bau kemana-mana." Aku langsung memeriksa wajahku dan mendapati sesuatu yang lengket di pipi. Ini sungguh hal yang memalukan, bisa-bisa nya aku tertidur dan sampai ngiler di dalam pesawat.

"Pak kita mau ke mana ini? Kenapa semua koper saya yang bawa?" protesku karena melihat si Bos hanya berjalan tanpa melihat ke arahku yang kerepotan membawakan koper miliknya.

Sepertinya dia marah. Bahkan dia sama sekali tidak merespon dan jujur aku sangat kesal karena langkahnya semakin cepat dan sulit untuk aku kejar. Karena lelah aku memilih duduk saja dan tidak mengikuti langkahnya. Pasti nanti akan berbalik dan mencariku. Rasain, emang enak aku kerjain.

Karena sudah terlalu lama duduk aku memilih berjalan kembali pelan tetapi aku kembali bingung karena tidak mempunyai arah dan tujuan.

Suara toa bandara membuatku kaget karena mengabarkan bahwa diriku sedang di tunggu oleh seseorang di ruang informasi bandara. Aku yakin itu si Bos yang kelabakan mencariku.

Aku langsung bergegas ke ruang informasi dan mencari keberadaan si Bos tetapi bukan si Bos yang kutemui melainkan seorang wanita cantik yang tersenyum ramah kepadaku.

"Hai Mbak Mantra," sapanya ramah.

"Hai juga, Mbak ini siapa ya? Kok bisa kenal sama saya," Tanyaku heran karena melihat dari penampilannya aku sedikit minder. 

"Saya, Agni. Kekasih Zidan Nadhirizky, Mbak asistennya kan?"

"Ya, saya karyawan yang merangkap sebagai asisten pribadi Bos kampret. Eh, maksud saya Bos Zidan," ucapku sampai keceplosan.

Mendengar ucapanku tadi, dia justru terkekeh kemudian menepuk bahu ku pelan.

"Tenang saja saya sudah paham dengan watak Kekasih saya yang terkadang memang sangat menyebalkan. Maafkan kesalahannya ya, nanti saya akan coba menasehatinya."

Dia sungguh terlihat baik, ramah dan tentunya mempesona dengan ucapan lembutnya yang menggoda siapa saja lawan bicaranya.

"Sama-sama, si bos kemana?" tanyaku yang tak melihat si bos ada di bandara.

"Oh, dia langsung pergi. Katanya ada urusan penting. Mbak Mantra ikut saya saja ke rumah kami."

"Rumah kami?" tanyaku bingung dengan sebutan 'kami' yang ia ucapkan.

"Kamu nggak usah bingung begitu. Mas Zie sudah memberikan satu apartemen untuk kami tinggal nanti setelah menikah. Ada rumah dan villa juga. Tetapi saya lebih suka berada di apartemen karena bebas melakukan hal apapun," ucapnya jujur.

"Mak-sudnya bebas?!"

Dia justru mencuil hidung miniku dan juga mau membawakan satu koper milik si bos.

"Bebas bertemu maksud saya. Ini koper mas Zidan ya? Biar saya bawa, Mbak." Aku mengangguk sembari tersenyum, alhamdulillah beban satu teratasi. Semoga nanti pas pulang Agni tetap baik sama aku dan juga pengertian seperti ini. Aku akan membuang jauh-jauh praduga burukku agar pikiran ini tetap aman dan berfungsi dengan sebaik-baiknya satu minggu ke depan.

Kami pergi meninggalkan bandara dengan diantar supir. Kami bahkan bercakap layaknya teman lama. Ya, Agni cukup simple dan juga humoris sama sepertiku. Dia juga tidak keberatan berkawan meskipun ya memang aku begini.

"Mbak Agni itu di Bali, kerja?" tanyaku.

"Iya, saya model. Jadi kalau pas kebetulan lagi foto shoot di tempat yang sama dengan Mas Zi begini, pasti ketemu. Dan saya memang menetap di Bali, kamu sendiri? Di Jakarta menetap atau_"

"Saya kos, sebenarnya rumah tak jauh dari tempat kerja. Hanya saja kalau bolak balik sayang bensin, sekitar setengah jam kalau dari rumah. Kalau dari kontrakan hanya sepuluh menitanlah."

"Oh, sudah lama kerja dengan Mas Zie?" 

"Sudah hampir enam tahun. Eh, kita ngobrol gini berasa saya lagi di wawancarai ini," kekehku. Dia tertawa. Wanita dengan senyum manis dan lesung pipi ini sungguh membuatku iri.

"Nggak apa, anggap saudara sendiri."

"Ogah ah. Saudara saya sudah banyak, Mbak. Kalau Mbak minta, jadi teman saya saja. Saya nggak banyak teman, hanya Tantri, Leminerale, Toto dan satu lagi Desi. Dia juga tetangga rasa saudara yang satu kampung dengan saya."

"Iyakah? Memang saudara Mbak Mantra berapa?"

"Sepuluh."

"What? Seriusan?"

"Iya, anehkan. Mungkin Bunda dulu niat bikin klub kesebelasan sepak bola kali ya, makannya bikin anak bisa sampai banyak gitu."

"Alhamdulillah kalau gitu, jadi rame kalau lebaran. Pasti pada kumpul, ya kan?"

"Saya nggak lebaran juga kumpul. Saya anak sulung, jadi saya yang menjadi patokan para adik-adik saya. Adik saya ke sembilan, delapan, tujuh, enam, kelima sudah bekerja. Sisanya masih sekolah dan kuliah. Kami para kakak-kakaknya dituntut kerja keras buat biaya sekolah para adik. Maklum, kami rakyat biasa."

Tampak dari wajahnya ia mungkin kagum. Mungkin ya, karena dia sempat diam lalu tersenyum.

"Kita dah sampai?" tanyaku saat mobil berbelok ke arah apartemen elit.

"Sudah. Ayo kita turun," ucapnya.

Aku mengikuti langkahnya turun. Mengambil koper yang tadi dibawa dan berjalan menuju lift untuk sampai ke kamar Agni.

"Ayo masuk aja nggak apa. Anggap tempat sendiri," ucap Agni setelah membuka pintu apartemennya.

Aku takjub dengan desain interior apartemen ini. Sungguh sangat indah dan juga elegant, kalau aku tinggal di sini pasti sangat betah dan nyaman. 

"Mbak Agni setiap hari di sini?" 

"Panggil Agni saja, jangan pake Mbak. Kayaknya umur kita sama," ucapnya.

"Saya kurang nyaman kalau hanya manggil nama, terkesan tak sopan. Mbak Agni tinggal di sini?"

"Baiklah, terserah kamu saja. Ini tempat bermukim ternyaman kami. Hm, kamu mau minum apa? Jus, susu atau_"

"Air putih saja," selaku. Aku tidak ingin berkesan merepotkan di hari pertama.

Dia berlalu ke belakang sedangkan aku duduk di sofa yang sangat empuk ini. Merentangkan tangan dan menikmati suasana yang nyaman ini.

"Mbak Mantra, ada telepon dari Mas Ze. Dia tanya kenapa telepon ke ponsel Mbak nggak diangkat?" ucap Agni seketika membuatku menoleh.

"Ponselku tertinggal di Jakarta." Terlihat dia menempelkan kembali ponselnya dan kemudian memberikannya padaku.

"Nih, mau ngomong penting katanya," ucap Agni. Aku menerima uluran ponsel Agni dan menempelkan pada telingaku.

"Tra, bawakan file yang ada di koper saya. File yang warna biru dan juga garapan semalam kamu. Saya lupa, cepat! Saya tunggu di lobby apartemen sepuluh menit lagi, kalau tidak_"

"Iya iya, saya langsung turun, Pak." Panggilan telepon terputus sepihak olehnya membuatku kesal. Aku langsung bergegas mengambil apa yang bos butuhkan sebelum ia mengeluarkan tanduknya.

"Loh, Mbak Mantra mau kemana?" tanya Agni bingung

"Saya mau ke bawah mengantar file ini. Bos sudah nunggu, terimakasih ponselnya," ucapku memberikan ponsel Agni

"Ish, Mas Zidan ini kebiasaan. Suka banget nyuruh tanpa perasaan," gerutu Agni saat aku hendak keluar. Dia yang melihatnya saja bisa kesal begitu, apalagi aku. Mau marah aku masih sayang karirku. Jika dipikir-pikir gajiku sebagai redaksi stasiun televisi lumayan, hanya saja sampai sekarang aku tak bisa menabung banyak. Hanya bisa menabung lemak yang semakin hari semakin berat, hadeh …

"Kamu tidur di apartemen?" tanya si bos ketus.

"Renang!" jawabku jengah.

"Masuk!"

"Pak, bukannya saya hanya disuruh mengantar file saja?" tanyaku kaget saat diminta ikut bos naik mobil.

"Kamu pikir kita ke Bali mau liburan? Kita ada urusan kerja," ucapnya tegas. Daripada berdebat di mobil, aku memilih diam dan menurut. Padahal dari tadi tenggorokan ini sangat gersang ingin disiram air minum.

"Biasakan tenang kalau duduk, Tra."

Aku yang memang sedikit bergeser kesana kemari karena ingin kencing saat ini. 

"Iya, Pak. Tapi, itu saya kebelet," ucapku jujur karena hal ini sangat menggangguku.

"Ck! Kenapa tidak di apartemen tadi? Kita sudah sangat terlambat dan kamu penyebab keterlambatan kita!" 

Huh, kenapa aku lagi yang disalahkan. Memangnya, bos ini maha benar atas segala keinginannya. Apa salahnya sih kebelet, lagian menahan baung hajat akan menyebabkan penyakit kronis. Kalau nggak caya, tanya aja sama Pak Haji.

Mobil nampak berbelok di sebuah SPBU. Akhirnya bos memberi kesempatan untukku buang air.

"Saya tunggu lima menit, jika lama kamu saya tinggal!"

Aku membulat sempurna tetapi daripada tidak bisa buang air kecil mending aku bergegas. Beruntung di toilet tak mengantri jadi aku bisa kembali dengan cepat.

Kami menuju tempat acara. Di sana aku menemani bos melakukan pertemuan dengan orang-orang penting diantaranya aku melihat ada artis papan atas. Mungkin bos sedang membahas masalah film atau iklan karena aku mendengar wanita yang ada di sana tersenyum dan mengucapkan terimakasih.

"Sudah, Pak?" tanyaku saat si bos mendekat ke arahku duduk. Ya, tadi aku hanya diminta menemai dan menunggu di meja yang lain. Nasib jadi kacung, harus ngalah. Sebenarnya diajak gabung tadi, tapi aku takut bos malu mengajakku secara aku bukan wanita yang layak untuk diajak kemanapun. Maka dari itu, aku memilih bekerja di bagian penyusun redaksi agar tak perlu bekerja di depan layar kaca.

"Kita langsung pulang?" tanyaku.

Dia tak menjawab hanya berjalan ke arah mobil. Apa boleh buat, aku ikuti saja daripada kena marah. 

Mobil melaju ke arah kami kembali. Berarti benar ini adalah jalan menuju apartemen. Akhirnya, aku bisa istirahat sejenak di sana.

Mobil sampai dan kami langsung masuk. Saat berjalan dengan bos kali ini, entah kenapa tatapannya serius dan langkahnya begitu cepat.

Saat pintu terbuka, aku melihat sesuatu yang sangat tidak pernah aku menduganya. Agni, dia sedang berada di dalam apartemen dengan seorang lelaki dan itu membuat kami terkejut. 

Baru sadar dengan kedatangan kami, Agni langsung mendekat meski dengan kancing baju yang sedikit terbuka sehingga mengekspos bagian belahan dadanya.

"Astaghfirulloh," pekikku sambil menutup wajah dengan kedua telapak tanganku.

"Pel**ur!"

"Bisa aku jelaskan, Mas. Ini tidak seperti yang Mas lihat. Aku dijebak, tidak mungkin aku melakukan hal seperti ini. Lelaki itu sudah masuk ke sini dengan paksa dan_" 

Agni tampak kacau. Ia menangis dan sungguh aku tak menyangka melihat adegan sedramatisir ini. Lelaki yang bersama Agni tadi juga tampak biasa saja. Justru dia mendekat dan memeluk pinggang ramping Agni.

"Dia pacarmu, Sayang?"

Aku melirik ke arah Pak Zidan dan nampaknya ia sangat marah terlihat dari caranya memandang Agni bersama lelaki lain.

"Tra, ambil koper kita sekarang! Cepat!"

Aku langsung bergegas mencari koperku yang tadi diletakkan di sudut kamar.

"Please dengerin aku dulu, Mas. Sam ini bukan siapa-siapa, dia hanya mampir untuk mengambil gambar saja." Agni berusaha mengahalau kepergian kami tapi keputusan bos mutlak adanya.

"Sekali saja berbuat salah, akan selamanya salah. Saya tak butuh penyangkalan karena bukti sudah jelas di depan mata! Ternyata selama ini saya salah mencintai orang. Jangan coba-coba menghubungi atau menemui saya lagi! Sia-sia sudah pengorbanan saya mencintai wanita murahan sepertimu!"

Aku mengikuti langkah bos Zidan yang hendak keluar. Namun, langkahku terhenti saat tangan Agni mencekalku.

"Tra, tolong bujuk Mas Zidan buat maafin aku. Ini semua tak seperti yang kalian pikirkan. Dia itu hanya fotografer yang sedang meminta gambar tubuhku," rengeknya.

"Akan aku usahakan. Permisi, Mbak." Lagi-lagi aku menyebutnya Mbak karena aku rasa berteman dengannya bukan sesuatu yang baik. Aku melirik bos Zidan yang tampak diam dengan wajah dinginnya. Aku tahu pasti dia sangat terpukul dan marah melihat kekasihnya yang sangat ia cintai hendak bercumbu dengan lelaki lain. Jika aku jadi dia, mungkin aku juga akan melakukan hal yang sama. Kadang meninggalkan dan melupakan adalah cara terbaik untuk menyembuhkan luka. Tetapi lelaki modelan Pak Zidan mah gampang cari penggantinya. Lah aku, bisa dapetin satu cowo aja udah beruntung dan girang banget kayak lagi menang lotre di warungnya Mpok Ijah. Kikiki

"Bapak tak apa?" tanyaku mencoba memecahkan keheningan.

"Kita ke bandara, Pak," ucap bos Zidan pada sopir yang mengantar kami.

Aku memilih diam tak bertanya. Takut membuatnya marah dan akhirnya aku diturunkan di pinggir jalan.

'Bandara?' batinku bertanya-tanya apakah kami akan langsung pulang ke Jakarta.

Bab terkait

  • Keturunan 100 kg   Rangga

    "Kita nggak jadi satu minggu di Bali, Pak?" tanyaku saat baru sampai di bandara.Wajahnya mendekat dan menatapku tajam."Bukankah ini doa yang kamu sematkan kepada Tuhan agar kita kembali ke Jakarta lebih awal?""A-pa yang Bapak katakan?" kataku gugup. Bagaimana tidak gugup, nafasnya sampai terasa berhembus di pipi gembul ku ini."Saya rasa Dewi Fortuna sedang berpihak kepadamu, maka bersyukurlah. Ingat! Rahasiakan perihal ini dari siapapun, dan kamu akan bertanggung jawab penuh atas hal ini.""Loh, kok saya?" tanyaku kaget dengan tuduhan si Bos."Kamu ikut saya," titahnya.Hendak membantah namun pasti akan Percuma saja. Toh, dia atasan yang jarang mendengarkan alasan bawahannya.Aku kira kita akan pulang ke Jakarta. Namun ternyata si bos hanya akan menjemput seseorang.Tampak wajahnya tidak seperti tadi baru melihat Agni. Bahkan ia sangat ramah dan tersenyum hangat ketika memeluk lelaki yang aku taksir umurnya lebih muda daripada si Bos."Siapa, Kak?" lelaki tadi menunjuk ke arahku,

  • Keturunan 100 kg   ketinggalan

    "Nggak ada yang berharga, Pak. Hati saya juga sering tertinggal di seseorang, tapi saya santai," celetukku sambil menerima ponsel dari Zidan. Mungkin ada yang salah dengan ucapanku barusan karena ia lalu menutup pintu keras dan aku sampai kaget dibuatnya.Aku langsung membalikkan badan dan mencoba acuh dengan sikapnya. Salah sendiri jatuh cinta, ya harus siap patah hati lah. Aku aja patah hati biasa aja, paling dua hari sembuh apalagi kalau diajak makan-makan gratis. Bisa langsung lupa seketika.Aku membolak balikan ponsel milik Zidan. Parahnya, aku tak tahu sandi untuk membuka ponselnya. Tiba-tiba panggilan masuk dari nomor bertuliskan Rangga dan aku segera mengangkatnya."Tra, nggak bisa pakai ponselnya ya?" Terdengar jelas dari seberang bahwa dia sedang terkikik menertawakanku. Syalan."Iya, berapa Mas Rangga?" tanyaku yang mulai memanggilnya Mas agar dia tak marah lagi aku panggil Pak."Sandinya tanggal lahir si kampret, 120788.""Oke, makasih." "Tra, kalau kamu tak keberatan nan

  • Keturunan 100 kg   Pertemuan dengan Agni

    Kuketuk kembali kamar Zidan, sekarang yang membukanya adalah Rangga."Mas, ini sarapan paginya. Apa ada yang harus saya kerjakan lagi?" tanyaku."Wah, baunya enak sekali. Masuk aja yuk! Kita makan di kamar bareng-bareng, kamu belum sarapan 'kan?" "Sudah. Mas dan Pak Zidan saja silahkan sarapan. Jika sudah tak ada yang dibutuhkan, saya kembali dahulu ke kamar," pamitku. Aku sengaja berbohong agar tak diajak makan bertiga di kamar. Mau ditaruh dimana muka ini kalau makan bareng sama mereka dan ketahuan makan versi aku adalah super jumbo dengan dua porsi aku habiskan sendiri."Oh, baiklah. Sepertinya belum ada pekerjaan, Kak Zie lagi bersiap mandi mau pergi kayaknya. Makasih ya sarapannya," ucap Rangga dibalas senyuman manisku.Dengan memakai baju sedikit formal, aku menggunakan pakaian kerjaku. Aku lirik agenda hari ini yang sempat bos Zidan perintahkan untukku mengikutinya.Benar-benar padat. Bertemu produser, melihat proses pembuatan film, habis itu mencatat semua hasil pertemuan dan

  • Keturunan 100 kg   baver

    "Tra, kamu jujur sama aku. Kamu tahu yang terjadi sama Kakakku 'kan? Jadi, katakan sebenarnya ada apa antara Kakak sama Mbak Agni?" tanya Rangga penuh selidik. Aku yang sudah diminta agar tidak memberitahu siapapun tak bisa mengatakan pada Rangga apa yang sudah terjadi."Kok ta-nya Mantra? Ya mana tahu," jawabku sambil terbata. Jujur, aku nervous ditanyai hal semacam ini. Merahasiakan hal besar dan harus berbohong untuk menutupinya."Sayangnya aku tak percaya. Apa kamu diminta kakak untuk merahasiakannya?" Dia kini menyilangkan kedua tangannya di depan dada dan menatap ke depan serius."Ya, me-mang saya tak tahu. Mo gimana lagi, jangan paksa untuk mengaku kalau nyatanya tak tahu apa-apa," dustaku."Tak tahu apa-apa atau tahu tapi menganggap ini bukan apa-apa? Tra, Mbak Agni pernah dibawa ke depan keluargaku. Dia sudah diminta secara khusus untuk menjadi istri Kakak setelah melihat betapa mencintainya Kak Zidan pada Agni. Melihat tadi, aku yakin telah terjadi hal besar. Kakak itu orang

  • Keturunan 100 kg   Sakit Hati

    *Happy Reading*Banyak pasang mata yang melihatku iri. Bagaimana tidak, aku dan rangga ibarat langit dan bumi. Mana dia selalu menggandeng tanganku, dih murahan sekali. Tapi, sesekali tak apa lah. Kapan lagi bisa jalan sama cowok tajir plus ganteng kayak Rangga."Kamu mau nonton apa?" tanya Rangga saat hendak membeli tiket."Apa aja."Aku selama ini jarang nonton bioskop. Bukan jarang sih, tapi kayaknya nggak pernah. Bukan karena tak mau, tapi karena tak ada yang mengajak dan tak ada yang mau kuajak. Aku kadang lebih suka melihat di rumah atau nggak di ponsel. Terdengar aneh, tapi ini kenyataan. Di kampung ada punya banyak teman tapi nggak ada bioskop, di Jakarta ada bioskop tapi yang diajak tak ada. Ngenes gaes …Aku kaget saat Rangga ternyata mengajakku nonton horor. Ya ampun ni laki, mana aku orangnya penakut lagi."Mas, ini nggak salah?" tanyaku saat film sudah mulai ditayangkan."Nggak, kamu coba lihat aja. Ini film terbaru, kamu takut ya?" tanyanya terlihat khawatir."Eh, enggak

  • Keturunan 100 kg   tak selera

    Terdengar pintu terbuka dan kembali tertutup. Rangga ternyata masuk sendiri ke restoran dan keluar dengan membawa kotak makanan."Nih! Nanti kita makan bersama dengan Kakak di villa. Dia pasti lapar juga karena nungguin kita," ucapnya.Aku masih tak menjawab. Hanya menerima bungkusan berisi makanan yang dibelikan Rangga tadi. Sepuluh menit kemudian, mobil sampai di depan villa. Aku langsung turun dan rasanya ingin bergegas menuju ke kamar. Bos Zidan tampak sedang menunggu di gazebo depan villa sambil memainkan ponselnya."Sudah kencannya? Lama bener," ucapnya dengan wajah sedikit tertekuk."Nih, Pak. Mas Rangga yang belikan ini buat Bapak, saya mau ke kamar dulu. Capek!" Aku meletakkan semua makanan itu di depan Zidan dan langsung pergi.Sampai kamar, aku merebahkan badan di kasur. Mengenang hari indah yang sangat berkesan dengan Rangga, adik bos yang super handsome itu. Seharusnya aku sadar dari awal, ini semua hanya formalitas saja. Bukan hanya dengan Rangga, dengan lelaki lainnya

  • Keturunan 100 kg   Tamparan

    "Apaan?""Bantu aku buat balikan sama Mas Zidan.""Bukannya kalian sudah balikan?""Belum. Justru dia hendak melamar gadis pilihan orang tuanya saja daripada denganku. Kamu tahu 'kan kalau aku cinta banget sama Mas Zidan?" Salah sendiri bikin ulah. Ibarat belum nikah, sah sah saja cari pengganti yang lebih baik. Lagianz wanita di luar sana banyak kok yang baik meski tak cantik, alu contohnya. Kikiki"Maaf, untuk yang satu itu aku nggak bisa bantu. Hati urusannya, berat.""Please, bantu aku. Kemarin dia mau pergi denganku karena dia memintaku untuk melupakannya. Aku nggak bisa, aku sangat mencintainya.""Coba saja sekarang, Pak Zidan lagi di kamarnya. Besok kami akan pulang ke Jakarta," ucapku. Daripada aku repot-repot melakukan permintaan Agni lebih baik dia ngomong sendiri saja."Antar aku ke kamarnya ya? Please," rengeknya. Aku dasar orangnya nggak tegaan akhirnya memilih untuk menurut saja. Lagian hanya mengantar, bukan sebagai juru bicara Agni.Aku melangkah keluar kamar, mengetu

  • Keturunan 100 kg   perjalanan

    Perjalanan dari Bali ke Jakarta cukup melelahkan. Malam ini aku sampai di jakarta pukul 11 malam. Pak Zidan mengantarku menggunakan mobil jemputan supir pribadinya. Mau menolak tetapi dia memaksa karena memang hari ini sudah sangat larut dan aku akhirnya menyetujuinya."Makasih, Pak. Selamat malam," ucapku setelah turun di depan kamar kos."Tunggu, Tra. Maafin saya dan Agni ya, besok kamu tetap saya antar. Jangan nolak atau kamu saya coret dari_""Iya-iya. Serah Bapak aja deh, saya masuk dulu."Aku menundukan setengah badanku lalu pergi meninggalkan Pak Zidan yang masih menungguku benar-benar masuk kamar. Perhatian begini jika sang kekasih yang melakukan pasti lumer tuh hati, sayangnya baik Rangga dan Pak Zidan semuanya sama-sama menyebalkan.Tok! Tok! Tok!Kuketuk pintu kamar. Berulang kali aku ketuk dari ritme pelan hingga keras, Desi tak kunjung membuka pintu."Des, ini Mbak."Setelah aku menyuarakan nama, barulah Desi keluar. Dengan gagang sapu ia membuka pintu."Ngapain pegang sa

Bab terbaru

  • Keturunan 100 kg   akhirnya

    ******Hari pernikahan digelar sederhana di rumahku. Namun, setelah akad aku diboyong keluarga Bagas ke rumahnya untuk resepsi. Saat baru pertama melihat tempat acara, aku tertegun. Meski bukan meriah bak artis-artis, tapi itu indah banget.“Maaf, jika dekor dan panggungnya tak tanya konsepnya sama kamu. Habisnya Aa bingung, semua pihak keluargaku yang mengurus,” ucap Bagas saat kami naik ke atas panggung.“Tak apa. Neng suka, kok,” jawabku. Nyatanya emang aku suka. Dari warna hingga hiasannya, semua terlihat hidup. Bahkan semua keluargaku turut diberikan seragam.“A, makasih udah sayang sama Neng. Baik sama keluarga Neng. Pokoknya, Neng terlope dah,” batinku tanpa bersuara. Mau bilang love you takut ketahuan, kan malu. Tentu saja rasanya seperti kemarin saat ijab kabul. Jantung rasanya mau copot dari tempatnya karena semua orang mengagumi kecantikanku, eh … tapi lebih dominan ke Bagas si. Wajah oriental dengan tinggi badan pelukable dan nyaris sempurna itu serasi dengan apa yang dike

  • Keturunan 100 kg   pra nikah

    ***Aku dan Bagas mengurus kepentingan menikah bersama. Dari capeng hingga kelengkapan dokumen ke KUA, kami berdua bersama. Ibarat kata, aku dan dia sudah seperti pasangan yang sama-sam bucin.“Kak, hari H tinggal dua hari lagi. Semoga acaranya lancar,” pesanku saat kami esok hendak dipingit.“Iya. Eh, keluarga besar kamu orang Bogor semua?” tanyanya terlihat aneh. Sudah hampir sah baru menanyakan keluarga besar.“Nggak, ada juga yang di Bandung. Neng teh orang sunda, Aa Bagas. Kumaha atuh,” ujarku.“Ya kan nanti banyak yang hadir di resepsi kita. Ehm, panggilan Kakak ganti Aa, kitu?”“Bisa, kalau Aa mau teh. Neng seneng malah, jadi berasa kayak Akang kasep si Ucup di desa sana.”“Ucup?’“Hooh, orang Sunda asli Bandung yang dulu suka buli Eneng. Dia cakep, tapi mulutnya nyebelin.”Entah kenapa kami jadi membahas dia yang dulu pernah aku taksir. Dia yang menyebalkan tapi sayangnya aku suka, tapi dulu pas masih jadi monyet. Eh, maksudnya cinta monyet. Astaghfirullah! Aku langsung beris

  • Keturunan 100 kg   lamaran

    Pagi ini keluargaku benar-benar disibukkan dengan acara lamaran yang akan dilangsungkan nanti siang. Keluarga Bagas sudah mengabarkan jika mereka sudah sampai di perbatasan kota Bogor. Aku yang sudah berhias sederhana, merasa grogi saat semua adikku menggodaku. "Al, perasaan kita nggak punya keluarga yang mirip bidadari gitu. Ini siapa ya?" tanya Oji yang berusaha menggodaku. "Kak Oji cem mana, Mbak kita kan juga mirip bidadari. Tapi… kalau lagi makan, berubah menjadi hulk. Serem," ejek Aldo. Sialan."Kalian bisa diem nggak? Mbak slepet nih,” omelku. Bocah tua, dasar. Nggak tahu hatiku lagi kembang kempis kaya pompa balon.“Belum juga jadi manten, cantiknya dah kentara. Apa nggak pengin buru-buru dihalalin hari ini juga si Bagas. Opa yakin, anak itu nggak akan tahan lihat cucu opa yang cantiknya melebihi Eyang waktu muda,” ujar Opa.“Emang Eyang dulu nggak cantik, Opa? Wah. Al aduin sama EYang ah, biar Opa kena sembur,” ledek Aldi yang kemudian di hadiahi pentung tongkat kayu yang

  • Keturunan 100 kg   ciye

    ."Tapi, bukannya yang mau menikah sama lo itu … Pak Zidan? Lo jangan jadi playgirl gini, Tra. Awas lo ya kalau gonta ganti calon suami," cetus Tantri.Aku tertawa lepas sambil menepuk paha Lemi yang kebetulan ada di sampingku duduk. Mau nepuk Bagas, kasihan ayangku itu. Akhirnya, Lemi jadi bahan pelampiasan bahagiaku."Njirrr, sakit tau. Resek emang ya, lu. Ni paha bukan lawan tinju, sembarangan main pukul-pukul," omel Lemi."Habisnya kalian lucu. Sejak kapan Mantra Sekar Widodari ini suka mainin hati cowok? Yang ada dimainin sama cowok dan diputusin pas lagi sayang-sayangnya. Kalian itu salah kira ternyata. Gue itu udah temenan sama Rangga dan Pak Zidan, gue juga dah mau nikah. Nih calon suami gue, masih nggak percaya juga?" tanya aja sama orangnya. Nih, masih ada. Ya kan, Kak?" Paparku.Bagas mengangguk dengan menampakkan senyum termanisnya. Siapa sangka jika calon suamiku yang gantengnya mirip Kyungsoo dan manisnya mirip Lee Min Ho ini, adalah lelaki yang akan mendampingiku sehidu

  • Keturunan 100 kg   serius

    ."Apa-apaan ini?!" teriaknya. Sontak kami terkejut karena wanita di depanku ini tiba-tiba merebut barang yang diberikan Bagas untukku. Aku berdiri dan tangan mulus wanita tersebut menampar wajah oriku.Plak!"Dasar jalang!""Keysa! Apa yang kamu lakukan?!" Bagas mencoba melindungiku dan menyembunyikanku di belakang badannya. Aku yang tak mengerti apapun hanya bisa memegangi pipi yang terasa panas, perih dan ngilu.Terdengar dari teriakan nama tadi, Keysa, dialah wanita yang kini sedang menatap tajam ke arahku. Sayangnya, aku nggak ngaruh digitukan. Hanya sedikit bingung saja, kenapa dia tiba-tiba datang tanpa permisi."Mas Bagas tega! Aku nunggu Mas selama dua tahun di Jakarta, tapi Mas kembali justru melamar gadis ini. Mas janji pulang dari Ausy menikahiku, mana janjinya? Ternyata kepergian Mas waktu itu hanyalah alasan untuk menghindariku. Ya kan, Mas?" teriak wanita bernama Keysa itu."Iya. Memang aku sengaja menghindar dan meninggalkanmu. Kamu tahu apa sebabnya? Tanya sama Anton!

  • Keturunan 100 kg   Siapa

    Siapa."Aku jemput ya, Tra?"Pesan dari Bagas ternyata masuk setengah jam yang lalu saat aku masih mandi. Pukul jam 7 dia sudah mengirimi pesan membuat batinku bertanya-tanya. Apa dia tak tidur semalam karena mau bertemu denganku? Wah, pede sekali aku ye."Berani?" Baru saja hendak aku sent, sebuah mobil berhenti di depan rumahku. Aku yakin, itu bukan anggota keluargaku.Aku intip dari dalam kamar, ternyata Bagas yang keluar dari mobil dengan membawa buah tangan."Assalamualaikum," salamnya yang masih terdengar olehku. Terdengar pula sahutan dari Bunda di luar. Tadi beliau memang sedang menyapu halaman. Aku merasa grogi. Kusisir kembali rambut lurusku dan menyemprotkan parfum babyswal kesukaanku.Bismillah. Semoga hari ini aku benar-benar dapat kabar baik. Kasihan adik-adikku, menungguku menikah selama ini."Mbak, ada Mas Bagas tuh!" Gala memanggilku dari luar kamar."Ya."Aku segera keluar dari kamar, meski harus dengan menetralkan detak jantung yang tak karuan. Kuhembuskan napas pe

  • Keturunan 100 kg   Tunggu saja

    ."Mampir dulu, Pak?" tawarku saat baru sampai di depan pintu rumahnya."Sudah malam. Nggak enak, Tra. Ya sudah, kamu hati-hati. Maaf atas segala salahku padamu, semoga kamu memiliki jodoh yang tepat.""Aamiin, makasih doanya. Pak Zidan dan Mas Rangga juga, hati-hati di jalan. Semoga di jalan ketemu jodoh yang pas sesuai keinginan," kelakarku."Jodoh di malam hari begini? Yang ada kuntilanak, Tra," sahut Rangga, spontan membuatku terkekeh."Jodoh nggak kenal waktu, Pak. Yang kenal waktu hanya sholat lima waktu saja. Good bye and see you tomorrow."Aku membuka pintu mobil namun Pak Zidan meraih tanganku."Tunggu, Tra."Pak Zidan meraih sesuatu di saku celananya dan meletakkan pada tanganku."Tadinya mau aku pakaikan di tanganmu. Hanya saja, kamu menolakku. Namun, aku berharap kamu mau menyimpannya sebagai kenang-kenangan dariku. Jika tidak menganggapku, setidaknya terimalah ini sebagai hadiah terakhirku.""Ish! Ngeri ih! Pakai hadiah terakhir, ada lagi juga nggak apa. Tapi ini apa, Pak?

  • Keturunan 100 kg   Jujur

    .Menyiapkan mental untuk jujur itu memang sulit. Ya, aku sadar aku bukanlah wanita yang sempurna dan aku sadar jika aku harus memilih salah satunya."Mbak Mantra …."Suara Kania yang cempreng memanggilku untuk segera keluar makan malam. Di rumah sebesar ini, aku merasa tak nyaman. Padahal orangtua Zidan sangatlah baik, tapi aku tidak bisa sesantai biasanya. Mungkin karena aku hendak jujur. Ya, jujurly, aku gugup."Ya."Aku beranjak setelah membetulkan baju yang aku kenakan. Desi yang sedari tadi bersama Kania, membiarkanku di kamar sendiri dan alhasil aku turun ke bawah sendiri."Tra …."Kali ini sosok yang pernah membuatku baver dan salting ada di depanku. Ya, Rangga, dia lelaki yang aku kira bisa menjadi pendamping namun sekarang hanya jadi tokoh figuran. Ngenes …."Eh, Mas Rangga," sapaku."Ini seriusan kamu? Aku sampai pangling loh. Cantik beut dah, makanya Kakak sampai jatuh cinta. Yuk kita makan malam, Mami Papi dan nunggu di bawah." Rangga merangkulku dan mengajakku turun. Dia

  • Keturunan 100 kg   Diantara dua pilihan

    Hati yang terlanjur gugup dan takut, membuatku berkeringat. Desi yang tadi ngoceh bak petasan lebaran, sepertinya tak lelah merepetkan suaranya dan aku menjawab seperlunya."Mbak jadi aneh ya? Biasanya kalau Desi ajak ngoceh Mbak jadi pemandunya. Paling nggak ikut ngegibah bareng. Ini seperti bukan Mbak Mantra yang Desi kenal," sungut Desi."Maunya aku ngapain? Ini di rumah orang loh. Dah, diem jangan berisik!" ujarku.Aku melihat Mami dan Papi Boz Zidan keluar dengan wajah bahagianya. "Wah, ini toh yang dimaksud calon mantu Mami. Cantik sekali, Mami kira kamu bakalan bawa si Mantra. Dah ganti?"Pak Zidan berdehem pelan."Tante, gimana kabarnya? Lama tidak berjumpa," sahutku setaya mencium tangannya takdim."Loh sudah pernah ketemu toh?" tanya Mami."Mami lupa atau gimana? Dia itu Mantra, sekarang memang sudah kurusan," sahut Pak Zidan. "Oh Mantra udah ganti casing toh. Sampai pangling Mami.""Selamat berjumpa kembali, Mantra. Mari kita ngobrol," ajak papinya Pal Zidan."Bagaimana k

DMCA.com Protection Status