******Hari pernikahan digelar sederhana di rumahku. Namun, setelah akad aku diboyong keluarga Bagas ke rumahnya untuk resepsi. Saat baru pertama melihat tempat acara, aku tertegun. Meski bukan meriah bak artis-artis, tapi itu indah banget.“Maaf, jika dekor dan panggungnya tak tanya konsepnya sama kamu. Habisnya Aa bingung, semua pihak keluargaku yang mengurus,” ucap Bagas saat kami naik ke atas panggung.“Tak apa. Neng suka, kok,” jawabku. Nyatanya emang aku suka. Dari warna hingga hiasannya, semua terlihat hidup. Bahkan semua keluargaku turut diberikan seragam.“A, makasih udah sayang sama Neng. Baik sama keluarga Neng. Pokoknya, Neng terlope dah,” batinku tanpa bersuara. Mau bilang love you takut ketahuan, kan malu. Tentu saja rasanya seperti kemarin saat ijab kabul. Jantung rasanya mau copot dari tempatnya karena semua orang mengagumi kecantikanku, eh … tapi lebih dominan ke Bagas si. Wajah oriental dengan tinggi badan pelukable dan nyaris sempurna itu serasi dengan apa yang dike
"Tra, badan nggak berat lu makan terus gitu?" tanya Tania padaku."Enggak, biasa aja. Gue nggak makan aja gemuk, apalagi makan." Aku memang gemuk, sangat gemuk malah. Tapi tidak segemuk Oma dan Bunda. Timbangan mereka hampir satu kwintal, kalau aku baru mendekati angka sembilanpuluh. Ya, kami keturunan badan bongsor dan subur. Catet! Bongsor dan subur ya gaeess, bukan obesitas apalagi overweight. Kami hanya keturunan ginuk-ginuk yang layak mendapatkan apresiasi pemerintah sebagai keluarga sejahtera. Bagaimana tidak, kami ini tak pernah mengeluh saat bansos pemerintah turun dan kami hanya gigit jari melihatnya. Kami bukan orang kaya, tapi bukan juga miskin. Kami cukup sederhana dengan makan dan minum seadanya. Kami semua sepuluh bersaudara. Aku adalah anak pertama yang tadinya mengharap jadi anak satu-satunya ternyata Bunda hamidun dan lahirlah sembilan adiku yang jaraknya berdekatan, mereka sungguh sangat comel. Mereka bernama Oji, Radit
Aku membereskan semua barang yang hendak dibawa ke Bali besok pagi. Malam ini tidak boleh aku terlupa satu barang pun agar aku tidak kena marah si Bos menyebalkan yang satu itu. Aku harus membereskan malam ini karena besok harus pergi pagi dan tidak boleh terlambat."Mbak lagi ngapain sih, berisik banget jam segini belum tidur?" protes Desi, teman satu kosku."Mbak lagi beresin perlengkapan buat pergi ke Bali besok. Lu baik-baik, jagain kontrakan ini jangan sampai lu bawa cowok kedalam. Awas aja ya lengang dari pengawasan, Mbak nggak ada bukan berarti lu bebas ngapain aja," ujarku."Sendiko dawuh, Ibu Ratu," kelakarnya.Desi adalah anak tetangga di desa tempat Bunda tinggal. Kebetulan orang tuanya menitipkan dia untuk aku awasi saat bekerja. Dia karyawan di salah satu mall terbesar di kota ini."Bakal berapa hari di Bali, Mbak?""Enggak tahu pasti. Bos kadang suka memperpanjang waktu atau memperpend
Aku merasa lega karena bisa duduk dengan tenang tanpa terganggu perilaku tidak mengenakan lelaki tadi. Aku melirik sekilas pada Bos Zidan yang tampak tenang seperti tidak habis terjadi sesuatu.Aku menggeserkan badan ke kanan dan ke kiri karena tempat ini terlalu sempit."Kamu bisa tenang apa tidak?""Hehehe iya, Pak, maaf." Aku kembali diam agar tidak mengganggu bos yang sudah mengeluarkan tanduknya. Namun, sepertinya kali ini aku akan sedikit merepotka. Mendadak kepalaku pusing dan perutku serasa di aduk-aduk. Sial! Aku mabuk pesawat ternyata. "Kenapa?" tanyanya yang melihatku memegangi perut dan menekuknya."Sa-ya pusing, pe-rut saya nggak enak," rintihku menahan mual dan sakit perut.Dia berdiri dan mengulurkan tangannya."Ayo!""Ke-mana, Pak?" tanyaku sambil memegangi perutku."Kita ke belakang, kamu mau sembuh atau hanya duduk di sana dengan menangis dan merepotkan saya?" ucapnya lirih sambil menatapku tajam. Aku manut dan mengikutinya ke belakang. Aku memuntahkan isi perutk
"Kita nggak jadi satu minggu di Bali, Pak?" tanyaku saat baru sampai di bandara.Wajahnya mendekat dan menatapku tajam."Bukankah ini doa yang kamu sematkan kepada Tuhan agar kita kembali ke Jakarta lebih awal?""A-pa yang Bapak katakan?" kataku gugup. Bagaimana tidak gugup, nafasnya sampai terasa berhembus di pipi gembul ku ini."Saya rasa Dewi Fortuna sedang berpihak kepadamu, maka bersyukurlah. Ingat! Rahasiakan perihal ini dari siapapun, dan kamu akan bertanggung jawab penuh atas hal ini.""Loh, kok saya?" tanyaku kaget dengan tuduhan si Bos."Kamu ikut saya," titahnya.Hendak membantah namun pasti akan Percuma saja. Toh, dia atasan yang jarang mendengarkan alasan bawahannya.Aku kira kita akan pulang ke Jakarta. Namun ternyata si bos hanya akan menjemput seseorang.Tampak wajahnya tidak seperti tadi baru melihat Agni. Bahkan ia sangat ramah dan tersenyum hangat ketika memeluk lelaki yang aku taksir umurnya lebih muda daripada si Bos."Siapa, Kak?" lelaki tadi menunjuk ke arahku,
"Nggak ada yang berharga, Pak. Hati saya juga sering tertinggal di seseorang, tapi saya santai," celetukku sambil menerima ponsel dari Zidan. Mungkin ada yang salah dengan ucapanku barusan karena ia lalu menutup pintu keras dan aku sampai kaget dibuatnya.Aku langsung membalikkan badan dan mencoba acuh dengan sikapnya. Salah sendiri jatuh cinta, ya harus siap patah hati lah. Aku aja patah hati biasa aja, paling dua hari sembuh apalagi kalau diajak makan-makan gratis. Bisa langsung lupa seketika.Aku membolak balikan ponsel milik Zidan. Parahnya, aku tak tahu sandi untuk membuka ponselnya. Tiba-tiba panggilan masuk dari nomor bertuliskan Rangga dan aku segera mengangkatnya."Tra, nggak bisa pakai ponselnya ya?" Terdengar jelas dari seberang bahwa dia sedang terkikik menertawakanku. Syalan."Iya, berapa Mas Rangga?" tanyaku yang mulai memanggilnya Mas agar dia tak marah lagi aku panggil Pak."Sandinya tanggal lahir si kampret, 120788.""Oke, makasih." "Tra, kalau kamu tak keberatan nan
Kuketuk kembali kamar Zidan, sekarang yang membukanya adalah Rangga."Mas, ini sarapan paginya. Apa ada yang harus saya kerjakan lagi?" tanyaku."Wah, baunya enak sekali. Masuk aja yuk! Kita makan di kamar bareng-bareng, kamu belum sarapan 'kan?" "Sudah. Mas dan Pak Zidan saja silahkan sarapan. Jika sudah tak ada yang dibutuhkan, saya kembali dahulu ke kamar," pamitku. Aku sengaja berbohong agar tak diajak makan bertiga di kamar. Mau ditaruh dimana muka ini kalau makan bareng sama mereka dan ketahuan makan versi aku adalah super jumbo dengan dua porsi aku habiskan sendiri."Oh, baiklah. Sepertinya belum ada pekerjaan, Kak Zie lagi bersiap mandi mau pergi kayaknya. Makasih ya sarapannya," ucap Rangga dibalas senyuman manisku.Dengan memakai baju sedikit formal, aku menggunakan pakaian kerjaku. Aku lirik agenda hari ini yang sempat bos Zidan perintahkan untukku mengikutinya.Benar-benar padat. Bertemu produser, melihat proses pembuatan film, habis itu mencatat semua hasil pertemuan dan
"Tra, kamu jujur sama aku. Kamu tahu yang terjadi sama Kakakku 'kan? Jadi, katakan sebenarnya ada apa antara Kakak sama Mbak Agni?" tanya Rangga penuh selidik. Aku yang sudah diminta agar tidak memberitahu siapapun tak bisa mengatakan pada Rangga apa yang sudah terjadi."Kok ta-nya Mantra? Ya mana tahu," jawabku sambil terbata. Jujur, aku nervous ditanyai hal semacam ini. Merahasiakan hal besar dan harus berbohong untuk menutupinya."Sayangnya aku tak percaya. Apa kamu diminta kakak untuk merahasiakannya?" Dia kini menyilangkan kedua tangannya di depan dada dan menatap ke depan serius."Ya, me-mang saya tak tahu. Mo gimana lagi, jangan paksa untuk mengaku kalau nyatanya tak tahu apa-apa," dustaku."Tak tahu apa-apa atau tahu tapi menganggap ini bukan apa-apa? Tra, Mbak Agni pernah dibawa ke depan keluargaku. Dia sudah diminta secara khusus untuk menjadi istri Kakak setelah melihat betapa mencintainya Kak Zidan pada Agni. Melihat tadi, aku yakin telah terjadi hal besar. Kakak itu orang
******Hari pernikahan digelar sederhana di rumahku. Namun, setelah akad aku diboyong keluarga Bagas ke rumahnya untuk resepsi. Saat baru pertama melihat tempat acara, aku tertegun. Meski bukan meriah bak artis-artis, tapi itu indah banget.“Maaf, jika dekor dan panggungnya tak tanya konsepnya sama kamu. Habisnya Aa bingung, semua pihak keluargaku yang mengurus,” ucap Bagas saat kami naik ke atas panggung.“Tak apa. Neng suka, kok,” jawabku. Nyatanya emang aku suka. Dari warna hingga hiasannya, semua terlihat hidup. Bahkan semua keluargaku turut diberikan seragam.“A, makasih udah sayang sama Neng. Baik sama keluarga Neng. Pokoknya, Neng terlope dah,” batinku tanpa bersuara. Mau bilang love you takut ketahuan, kan malu. Tentu saja rasanya seperti kemarin saat ijab kabul. Jantung rasanya mau copot dari tempatnya karena semua orang mengagumi kecantikanku, eh … tapi lebih dominan ke Bagas si. Wajah oriental dengan tinggi badan pelukable dan nyaris sempurna itu serasi dengan apa yang dike
***Aku dan Bagas mengurus kepentingan menikah bersama. Dari capeng hingga kelengkapan dokumen ke KUA, kami berdua bersama. Ibarat kata, aku dan dia sudah seperti pasangan yang sama-sam bucin.“Kak, hari H tinggal dua hari lagi. Semoga acaranya lancar,” pesanku saat kami esok hendak dipingit.“Iya. Eh, keluarga besar kamu orang Bogor semua?” tanyanya terlihat aneh. Sudah hampir sah baru menanyakan keluarga besar.“Nggak, ada juga yang di Bandung. Neng teh orang sunda, Aa Bagas. Kumaha atuh,” ujarku.“Ya kan nanti banyak yang hadir di resepsi kita. Ehm, panggilan Kakak ganti Aa, kitu?”“Bisa, kalau Aa mau teh. Neng seneng malah, jadi berasa kayak Akang kasep si Ucup di desa sana.”“Ucup?’“Hooh, orang Sunda asli Bandung yang dulu suka buli Eneng. Dia cakep, tapi mulutnya nyebelin.”Entah kenapa kami jadi membahas dia yang dulu pernah aku taksir. Dia yang menyebalkan tapi sayangnya aku suka, tapi dulu pas masih jadi monyet. Eh, maksudnya cinta monyet. Astaghfirullah! Aku langsung beris
Pagi ini keluargaku benar-benar disibukkan dengan acara lamaran yang akan dilangsungkan nanti siang. Keluarga Bagas sudah mengabarkan jika mereka sudah sampai di perbatasan kota Bogor. Aku yang sudah berhias sederhana, merasa grogi saat semua adikku menggodaku. "Al, perasaan kita nggak punya keluarga yang mirip bidadari gitu. Ini siapa ya?" tanya Oji yang berusaha menggodaku. "Kak Oji cem mana, Mbak kita kan juga mirip bidadari. Tapi… kalau lagi makan, berubah menjadi hulk. Serem," ejek Aldo. Sialan."Kalian bisa diem nggak? Mbak slepet nih,” omelku. Bocah tua, dasar. Nggak tahu hatiku lagi kembang kempis kaya pompa balon.“Belum juga jadi manten, cantiknya dah kentara. Apa nggak pengin buru-buru dihalalin hari ini juga si Bagas. Opa yakin, anak itu nggak akan tahan lihat cucu opa yang cantiknya melebihi Eyang waktu muda,” ujar Opa.“Emang Eyang dulu nggak cantik, Opa? Wah. Al aduin sama EYang ah, biar Opa kena sembur,” ledek Aldi yang kemudian di hadiahi pentung tongkat kayu yang
."Tapi, bukannya yang mau menikah sama lo itu … Pak Zidan? Lo jangan jadi playgirl gini, Tra. Awas lo ya kalau gonta ganti calon suami," cetus Tantri.Aku tertawa lepas sambil menepuk paha Lemi yang kebetulan ada di sampingku duduk. Mau nepuk Bagas, kasihan ayangku itu. Akhirnya, Lemi jadi bahan pelampiasan bahagiaku."Njirrr, sakit tau. Resek emang ya, lu. Ni paha bukan lawan tinju, sembarangan main pukul-pukul," omel Lemi."Habisnya kalian lucu. Sejak kapan Mantra Sekar Widodari ini suka mainin hati cowok? Yang ada dimainin sama cowok dan diputusin pas lagi sayang-sayangnya. Kalian itu salah kira ternyata. Gue itu udah temenan sama Rangga dan Pak Zidan, gue juga dah mau nikah. Nih calon suami gue, masih nggak percaya juga?" tanya aja sama orangnya. Nih, masih ada. Ya kan, Kak?" Paparku.Bagas mengangguk dengan menampakkan senyum termanisnya. Siapa sangka jika calon suamiku yang gantengnya mirip Kyungsoo dan manisnya mirip Lee Min Ho ini, adalah lelaki yang akan mendampingiku sehidu
."Apa-apaan ini?!" teriaknya. Sontak kami terkejut karena wanita di depanku ini tiba-tiba merebut barang yang diberikan Bagas untukku. Aku berdiri dan tangan mulus wanita tersebut menampar wajah oriku.Plak!"Dasar jalang!""Keysa! Apa yang kamu lakukan?!" Bagas mencoba melindungiku dan menyembunyikanku di belakang badannya. Aku yang tak mengerti apapun hanya bisa memegangi pipi yang terasa panas, perih dan ngilu.Terdengar dari teriakan nama tadi, Keysa, dialah wanita yang kini sedang menatap tajam ke arahku. Sayangnya, aku nggak ngaruh digitukan. Hanya sedikit bingung saja, kenapa dia tiba-tiba datang tanpa permisi."Mas Bagas tega! Aku nunggu Mas selama dua tahun di Jakarta, tapi Mas kembali justru melamar gadis ini. Mas janji pulang dari Ausy menikahiku, mana janjinya? Ternyata kepergian Mas waktu itu hanyalah alasan untuk menghindariku. Ya kan, Mas?" teriak wanita bernama Keysa itu."Iya. Memang aku sengaja menghindar dan meninggalkanmu. Kamu tahu apa sebabnya? Tanya sama Anton!
Siapa."Aku jemput ya, Tra?"Pesan dari Bagas ternyata masuk setengah jam yang lalu saat aku masih mandi. Pukul jam 7 dia sudah mengirimi pesan membuat batinku bertanya-tanya. Apa dia tak tidur semalam karena mau bertemu denganku? Wah, pede sekali aku ye."Berani?" Baru saja hendak aku sent, sebuah mobil berhenti di depan rumahku. Aku yakin, itu bukan anggota keluargaku.Aku intip dari dalam kamar, ternyata Bagas yang keluar dari mobil dengan membawa buah tangan."Assalamualaikum," salamnya yang masih terdengar olehku. Terdengar pula sahutan dari Bunda di luar. Tadi beliau memang sedang menyapu halaman. Aku merasa grogi. Kusisir kembali rambut lurusku dan menyemprotkan parfum babyswal kesukaanku.Bismillah. Semoga hari ini aku benar-benar dapat kabar baik. Kasihan adik-adikku, menungguku menikah selama ini."Mbak, ada Mas Bagas tuh!" Gala memanggilku dari luar kamar."Ya."Aku segera keluar dari kamar, meski harus dengan menetralkan detak jantung yang tak karuan. Kuhembuskan napas pe
."Mampir dulu, Pak?" tawarku saat baru sampai di depan pintu rumahnya."Sudah malam. Nggak enak, Tra. Ya sudah, kamu hati-hati. Maaf atas segala salahku padamu, semoga kamu memiliki jodoh yang tepat.""Aamiin, makasih doanya. Pak Zidan dan Mas Rangga juga, hati-hati di jalan. Semoga di jalan ketemu jodoh yang pas sesuai keinginan," kelakarku."Jodoh di malam hari begini? Yang ada kuntilanak, Tra," sahut Rangga, spontan membuatku terkekeh."Jodoh nggak kenal waktu, Pak. Yang kenal waktu hanya sholat lima waktu saja. Good bye and see you tomorrow."Aku membuka pintu mobil namun Pak Zidan meraih tanganku."Tunggu, Tra."Pak Zidan meraih sesuatu di saku celananya dan meletakkan pada tanganku."Tadinya mau aku pakaikan di tanganmu. Hanya saja, kamu menolakku. Namun, aku berharap kamu mau menyimpannya sebagai kenang-kenangan dariku. Jika tidak menganggapku, setidaknya terimalah ini sebagai hadiah terakhirku.""Ish! Ngeri ih! Pakai hadiah terakhir, ada lagi juga nggak apa. Tapi ini apa, Pak?
.Menyiapkan mental untuk jujur itu memang sulit. Ya, aku sadar aku bukanlah wanita yang sempurna dan aku sadar jika aku harus memilih salah satunya."Mbak Mantra …."Suara Kania yang cempreng memanggilku untuk segera keluar makan malam. Di rumah sebesar ini, aku merasa tak nyaman. Padahal orangtua Zidan sangatlah baik, tapi aku tidak bisa sesantai biasanya. Mungkin karena aku hendak jujur. Ya, jujurly, aku gugup."Ya."Aku beranjak setelah membetulkan baju yang aku kenakan. Desi yang sedari tadi bersama Kania, membiarkanku di kamar sendiri dan alhasil aku turun ke bawah sendiri."Tra …."Kali ini sosok yang pernah membuatku baver dan salting ada di depanku. Ya, Rangga, dia lelaki yang aku kira bisa menjadi pendamping namun sekarang hanya jadi tokoh figuran. Ngenes …."Eh, Mas Rangga," sapaku."Ini seriusan kamu? Aku sampai pangling loh. Cantik beut dah, makanya Kakak sampai jatuh cinta. Yuk kita makan malam, Mami Papi dan nunggu di bawah." Rangga merangkulku dan mengajakku turun. Dia
Hati yang terlanjur gugup dan takut, membuatku berkeringat. Desi yang tadi ngoceh bak petasan lebaran, sepertinya tak lelah merepetkan suaranya dan aku menjawab seperlunya."Mbak jadi aneh ya? Biasanya kalau Desi ajak ngoceh Mbak jadi pemandunya. Paling nggak ikut ngegibah bareng. Ini seperti bukan Mbak Mantra yang Desi kenal," sungut Desi."Maunya aku ngapain? Ini di rumah orang loh. Dah, diem jangan berisik!" ujarku.Aku melihat Mami dan Papi Boz Zidan keluar dengan wajah bahagianya. "Wah, ini toh yang dimaksud calon mantu Mami. Cantik sekali, Mami kira kamu bakalan bawa si Mantra. Dah ganti?"Pak Zidan berdehem pelan."Tante, gimana kabarnya? Lama tidak berjumpa," sahutku setaya mencium tangannya takdim."Loh sudah pernah ketemu toh?" tanya Mami."Mami lupa atau gimana? Dia itu Mantra, sekarang memang sudah kurusan," sahut Pak Zidan. "Oh Mantra udah ganti casing toh. Sampai pangling Mami.""Selamat berjumpa kembali, Mantra. Mari kita ngobrol," ajak papinya Pal Zidan."Bagaimana k