"Tra, badan nggak berat lu makan terus gitu?" tanya Tania padaku.
"Enggak, biasa aja. Gue nggak makan aja gemuk, apalagi makan." Aku memang gemuk, sangat gemuk malah. Tapi tidak segemuk Oma dan Bunda. Timbangan mereka hampir satu kwintal, kalau aku baru mendekati angka sembilanpuluh. Ya, kami keturunan badan bongsor dan subur. Catet! Bongsor dan subur ya gaeess, bukan obesitas apalagi overweight. Kami hanya keturunan ginuk-ginuk yang layak mendapatkan apresiasi pemerintah sebagai keluarga sejahtera. Bagaimana tidak, kami ini tak pernah mengeluh saat bansos pemerintah turun dan kami hanya gigit jari melihatnya. Kami bukan orang kaya, tapi bukan juga miskin. Kami cukup sederhana dengan makan dan minum seadanya. Kami semua sepuluh bersaudara. Aku adalah anak pertama yang tadinya mengharap jadi anak satu-satunya ternyata Bunda hamidun dan lahirlah sembilan adiku yang jaraknya berdekatan, mereka sungguh sangat comel. Mereka bernama Oji, Radit, Aldi, Nino, Gala, Khair, Aldo, Yana, Alga. Kalau diurutkan nama depan mereka menjadi ORANG KAYA. Semoga beneran kesampaian anak-anak bunda jadi orang kaya. Lah gue? Nama nggak masuk di dalamnya. Benar-benar bikin aku jengkolan saja. Namaku, Mantra. Entah kenapa Bunda memberiku nama itu. Mantra Sekar Widodari. Ah, kadang aku malu sendiri akan nama yang Bunda sematkan ini. Kata Oma, aku dilahirkan dengan susah payah dan harus mandi kembang tujuh rupa, sampai ngundang jamaah pengajian buat bikin aku mbrojol di waktu yang pas. Adikku yang bungsu sekarang ini sudah memasuki SMP, tapi badannya tak seperti kami para perempuan. Anehnya, dari sepuluh bersaudara aku cewek sendiri. Aneh kan! Makannya Bunda sayang sekali denganku karena aku yang mewarisi gen wanitanya. "Tra, pekerjaan bos kemarin udah lu laporin belum? Ditunggu tuh di ruang kerjanya," ucap Tania, rekan kerjaku."Sudah dong. Gue kan gercep kalau masalah kerjaan," ucapku santai."Tapi kok, lu suruh masuk ke ruangan bos?" tanya Mineral alias Lemi, menatapku tak percaya."Yakin aja deh, gue ini karyawan teladan. Paling si bos mau ajak gue dinner atau nggak kasih gue bonus," ucapku pede dan berlenggang masuk.Terdengar cekikikan para sahabatku di belakang. Sepede itulah aku, miskah. Jangan khawatirkan aku yang berbadan semok ini. Aku cukup produktif sebagai karyawan di bagian redaksi. Enam tahun sudah aku bekerja di sini, sebulan sekali aku pulang mengantar rindu dan yang pasti uang gajianku yang akan sampai tepat waktu. Jika tidak begitu, maka ke sembilan adikku akan menelponku sehari 60 kali, melebihi banyaknya jumlah detik dalam satu menit. Bukan main! "Duduk!" Tatapan Bos kali ini sungguh sangat mengerikan. Mata memerah dengan rahang yang mengeras membuatku yakin, dia sedang marah."Apa saya melakukan kesalahan, Bos?""Kamu berkemas untuk ke Bali besok. Kita akan ada kunjungan beberapa hari," jawabnya tegas dan menatapku dingin."Ba-li?! Ke-napa mendadak sih, Bos?" protesku."Saya butuh kamu untuk mengurus keperluan saya di sana. Jangan protes apalagi beralasan sakit perut lagi, atau gaji kamu saya potong 50 persen."Mataku membulat sempurna, sejahat inilah bosku. Jika sudah berkeinginan, apapun itu harus disegerakan. Tapi, ini Bali gaes. Baru sekali aku ke sana itupun saat piknik waktu duduk di sekolah menengah."Jam lima pagi saya tunggu di bandara. Jangan terlambat apalagi tidak datang. Jika itu terjadi, maka kamu benar-benar akan jadi mantan karyawan Sinar Cahaya. Paham?" tegasnya."Inggih, Bos. Apa ada lagi?" tanyaku jengah."Kamu harus melakukan ini semua, pelajari dan hafalkan!" Sebuah kertas berisi banyak tulisan yang sedikit aku intip judulnya.What? Betulkah aku harus melakukan hal yang bukan pekerjaanku. Apa-apaan ini? Bos pasti sudah lupa kalau tugasku hanya menyiapkan berita, bukan menjadi asisten pribadinya."Pak, ini nggak salah? Ini bukannya pekerjaan Joni?" tanyaku tak percaya."Joni cuti seminggu. Orangtuanya sakit, jadi sementara kamu yang saya tunjuk untuk melakukan pekerjaan mulia ini," ucapnya santai.Apa dia bilang? Menjadi asistennya dibilang mulia? Bukan main, bosku yang satu ini. Kalian tahu tugas seorang asisten itu sangatlah berat, bangun pagi sudah harus ada di tempat untuk menyiapkan keperluan Bos. Belum lagi kemana-mana harus ikut membawa semua barang yang hendak dibutuhkan. Minta ini, minta itu, pokoknya harus siap dan itu sungguh sangat menyiksa tubuhku yang berat ini."Tapi, Pak, ini ....""Tidak ada penolakan, Mantra. Sekarang kamu keluar dari ruangan saya, pekerjaanmu harus segera selesai agar kamu bisa pulang lebih awal untuk bersiap berangkat besok pagi. Ingat, Tra, jangan buat saya menunggu atau kamu akan menerima akibatnya."" Inggih, Bos."Aku langsung keluar dari ruangan Pak Zidan dengan lesu. Bos menyebalkan yang suka memerintah sesuka hati tanpa memandang siapapun itu, termasuk aku yang sedang patah hati ini.Ya, minggu lalu aku baru saja jadian dengan seorang laki-laki yang kutemui di warung nasi goreng. Tapi saat hendak janjian kencan dengan dia, aku kembali kecewa. Tadinya aku kira dia mencintaiku apa adanya, ternyata dia hanya ingin memanfaatkan kebaikanku saja. Meminta dibelikan ini itu secara gratis. Beruntung baru jadian beberapa hari, kalau sudah lama kan bisa patah hati paten aku. Saat sedang membeli makanan di cafe dekat kontrakan, justru aku melihat dengan mata kepala sendiri bahwa dia berselingkuh dengan wanita yang lebih cantik dariku. Faktanya, aku memang belum layak atau mungkin tak layak dicintai. Tapi aku cukup paham sebenarnya, tapi rayuan mantan pacar yang satu ini sungguh menggiurkan. Dia menjanjikan aku akan dinikahinya setelah dia diterima kerja, eh ... tahunya hanya hoak yang aku terima. Nasib ... nasib.Seharusnya aku sadar diri bahwa diri ini tidak layak untuk dicintai siapapun. Badan bongsor dan gemuk ini sungguh bukan sebuah pilihan yang baik bagi para lelaki terbaik di luar sana. Mana ada seorang lelaki gagah dan tampan menginginkan gadis gemuk sepertiku, yang ada malah mereka ilfil dan menjauhiku."Kenapa tuh Muka kusut amat?" celetuk Tania di depanku dengan tersenyum mengejeknya."Asem bener dah nasib gue, udah kemarin habis putus sama Dino, eh sekarang si Bos nyuruh gue buat siap-siap pergi ke Bali besok. Bisa dibayangkan nggak pemirsa ini ke Bali, Bali guys," ucapku pasrah."Loh bukannya bagus pergi ke Bali bisa refresing otak dan nyembuhin patah hati sekalian lihat bule-bule tampan di pantai. Siapa tahu mereka ada yang tertarik dengan badan lu yang semok ini," cibir Tania."Ngehina nih ceritanya?" tanyaku sengaja membuat dia sadar bahwa perkataannya termasuk sebuah cibiran yang menyakitkan."Bukan gitu, Tra. Kita ini terlalu sayang sama loe dari dulu belum pernah punya gebetan, mau gue kenalin takut temen gue nggak mau gimana dong?" "Nggak usah repot-repot cariin gue laki, 'Jodoh Pasti Bertemu' entar lagi pasti dapat, caya deh," ucapku pede. Padahal aku juga belum tahu siapa lelaki yang Tuhan jodohkan untukku, mustahil rasanya mengingat berat badanku yang kian hari bertambah banyak angkanya. Awalnya 20 kilo saat berusia 5 tahun dan lama-kelamaan setiap tahunnya bertambah banyak lemak di badan membuat berat beban hidup ini bertambah pula karena kini sudah mencapai angka 90 kilo. Benar-benar rekor yang sangat membuat setiap orang tercengang melihatnya. Jika sudah menikah nggak masalah, ini aku masih gadis gaes. Mana ada coba lelaki ya naksir. Jangankan melirik, menatappun enggan.Aneh juga sih, bagiku karena semua keluarga perempuan dari pihak ibu berbadan semok dan gemuk aku pun harus bisa pasrah dan menerima segala sesuatu yang Tuhan berikan, siapa tahu calon suamiku nanti dia mencintaiku bukan karena fisik melainkan hatinya, hokyaaa ...."Tra, kenapa lu tidak mencoba diet saja? Pan siapa tahu ada lelaki yang mencintaimu saat lo nanti sedikit kurusan," ucap Tania sok tahu. "Gue cinta diri gue apa adanya. Bukan sekedar mencari lelaki yang hanya memandang fisik, tetapi hati. Gue yakin, banyak di luar sana lelaki yang mau sama cewek berbadan gemuk kayak gue. Buktinya, Bunda sama Ayah bisa menikah dan memiliki 10 anak. Berarti, penampilan bukanlah patokan mendapat jodoh. Karena jodoh, mutlak kuasa Allah," ucapku sok iya. Padahal, hati ngenes denger para haters yang suka bully badan montok aku ini."Iya-iya. Serah lu aja deh, Tra. Gue sih sekedar ngingetin. Lagian, gemuk itu nggak sehat. Gue saranin lu diet biar badan lu sehat bugar," ucapnya tak mau kalah dengan segala asumsi yang aku lontarkan tadi. Dasar otak bebal, mau aku bicara apa juga dia nggak bakal paham maksudnya.Lemi yang baru selesai makan siang mendekat ke arahku. Dia membawa berkas di tangannya dan meletakkan di meja kerjaku."Nih, disuruh bos buat selesaikan tugas si Joni. Lu katanya besok ikut si Bos ke Bali? Jadi, harus selesai dan dibawa besok pagi." Dengan wajah yang sedikit bingung, aku mengambil berkas yang dibawa Lemi tadi. File data pertemuan antar anggota dewan redaksi, hm ... ini semua bukan juga tugasku. Mungkin bos sedang memberiku kode dan mengujiku naik pangkat, eh siapa tahu beneran kan. Coba dulu, perihal nggak bisa dan berantakan hasilnya nanti, bukanlah salahku karena ini memang bukan bidangku. Aku tim redaksi, yang tugasnya menyusun agenda berita yang masuk. Mengkaji dan menyaring berita, bukan mengerjakan tugas penting yang berhubungan dengan relasi begini."Gila ntu si bos. Masa gue harus ngerjain tugas Joni nyusun ini bahan rapat di sana. Ini bos nguji bakat atau nguji nyali si. Serem banget dah tugasnya, mana gue nggak tahu beginian lagi," keluhku."Mang berkas apaan?""Nih!" Aku menunjukan pada Tantri susunan data dan juga bahan rapat kolega stasiun televisi yang akan mengikuti rapat besok. Tentu saja ini berat, selama ini tugasku hanya menyusun berita masuk kemudian memberinya pada reporter yang bertugas. "Ini sih gue juga nggak paham, coba lu tanya Joni. Lu telepon dia, tanyain gimana ngerjainnya. Siapa tahu dia mau bantu," ucap Tantri ada betulnya."Iya deh, gue coba. Siapa tahu ada jalan menuju Roma," ucapku bergaya sok terzalimi."Semangat, Mantra Sekar Widodari. Lu pasti bisa," kata Lemi dengan senyum merekahnya. Aku balas dengan senyuman palsu yang aku paksakan. Ini semua gara-gara Joni yang nggak izin aku buat libur lama, seenggaknya aku bisa jaga-jaga atau paling nggak alasan tidak memilih jadi asisten. Jika sudah begini, mau gimana selain sabar dan ikhlas. Bismillah, Mantra. Keluarkan ajian mata melekmu, batinku menyemangati diri sendiriAku membereskan semua barang yang hendak dibawa ke Bali besok pagi. Malam ini tidak boleh aku terlupa satu barang pun agar aku tidak kena marah si Bos menyebalkan yang satu itu. Aku harus membereskan malam ini karena besok harus pergi pagi dan tidak boleh terlambat."Mbak lagi ngapain sih, berisik banget jam segini belum tidur?" protes Desi, teman satu kosku."Mbak lagi beresin perlengkapan buat pergi ke Bali besok. Lu baik-baik, jagain kontrakan ini jangan sampai lu bawa cowok kedalam. Awas aja ya lengang dari pengawasan, Mbak nggak ada bukan berarti lu bebas ngapain aja," ujarku."Sendiko dawuh, Ibu Ratu," kelakarnya.Desi adalah anak tetangga di desa tempat Bunda tinggal. Kebetulan orang tuanya menitipkan dia untuk aku awasi saat bekerja. Dia karyawan di salah satu mall terbesar di kota ini."Bakal berapa hari di Bali, Mbak?""Enggak tahu pasti. Bos kadang suka memperpanjang waktu atau memperpend
Aku merasa lega karena bisa duduk dengan tenang tanpa terganggu perilaku tidak mengenakan lelaki tadi. Aku melirik sekilas pada Bos Zidan yang tampak tenang seperti tidak habis terjadi sesuatu.Aku menggeserkan badan ke kanan dan ke kiri karena tempat ini terlalu sempit."Kamu bisa tenang apa tidak?""Hehehe iya, Pak, maaf." Aku kembali diam agar tidak mengganggu bos yang sudah mengeluarkan tanduknya. Namun, sepertinya kali ini aku akan sedikit merepotka. Mendadak kepalaku pusing dan perutku serasa di aduk-aduk. Sial! Aku mabuk pesawat ternyata. "Kenapa?" tanyanya yang melihatku memegangi perut dan menekuknya."Sa-ya pusing, pe-rut saya nggak enak," rintihku menahan mual dan sakit perut.Dia berdiri dan mengulurkan tangannya."Ayo!""Ke-mana, Pak?" tanyaku sambil memegangi perutku."Kita ke belakang, kamu mau sembuh atau hanya duduk di sana dengan menangis dan merepotkan saya?" ucapnya lirih sambil menatapku tajam. Aku manut dan mengikutinya ke belakang. Aku memuntahkan isi perutk
"Kita nggak jadi satu minggu di Bali, Pak?" tanyaku saat baru sampai di bandara.Wajahnya mendekat dan menatapku tajam."Bukankah ini doa yang kamu sematkan kepada Tuhan agar kita kembali ke Jakarta lebih awal?""A-pa yang Bapak katakan?" kataku gugup. Bagaimana tidak gugup, nafasnya sampai terasa berhembus di pipi gembul ku ini."Saya rasa Dewi Fortuna sedang berpihak kepadamu, maka bersyukurlah. Ingat! Rahasiakan perihal ini dari siapapun, dan kamu akan bertanggung jawab penuh atas hal ini.""Loh, kok saya?" tanyaku kaget dengan tuduhan si Bos."Kamu ikut saya," titahnya.Hendak membantah namun pasti akan Percuma saja. Toh, dia atasan yang jarang mendengarkan alasan bawahannya.Aku kira kita akan pulang ke Jakarta. Namun ternyata si bos hanya akan menjemput seseorang.Tampak wajahnya tidak seperti tadi baru melihat Agni. Bahkan ia sangat ramah dan tersenyum hangat ketika memeluk lelaki yang aku taksir umurnya lebih muda daripada si Bos."Siapa, Kak?" lelaki tadi menunjuk ke arahku,
"Nggak ada yang berharga, Pak. Hati saya juga sering tertinggal di seseorang, tapi saya santai," celetukku sambil menerima ponsel dari Zidan. Mungkin ada yang salah dengan ucapanku barusan karena ia lalu menutup pintu keras dan aku sampai kaget dibuatnya.Aku langsung membalikkan badan dan mencoba acuh dengan sikapnya. Salah sendiri jatuh cinta, ya harus siap patah hati lah. Aku aja patah hati biasa aja, paling dua hari sembuh apalagi kalau diajak makan-makan gratis. Bisa langsung lupa seketika.Aku membolak balikan ponsel milik Zidan. Parahnya, aku tak tahu sandi untuk membuka ponselnya. Tiba-tiba panggilan masuk dari nomor bertuliskan Rangga dan aku segera mengangkatnya."Tra, nggak bisa pakai ponselnya ya?" Terdengar jelas dari seberang bahwa dia sedang terkikik menertawakanku. Syalan."Iya, berapa Mas Rangga?" tanyaku yang mulai memanggilnya Mas agar dia tak marah lagi aku panggil Pak."Sandinya tanggal lahir si kampret, 120788.""Oke, makasih." "Tra, kalau kamu tak keberatan nan
Kuketuk kembali kamar Zidan, sekarang yang membukanya adalah Rangga."Mas, ini sarapan paginya. Apa ada yang harus saya kerjakan lagi?" tanyaku."Wah, baunya enak sekali. Masuk aja yuk! Kita makan di kamar bareng-bareng, kamu belum sarapan 'kan?" "Sudah. Mas dan Pak Zidan saja silahkan sarapan. Jika sudah tak ada yang dibutuhkan, saya kembali dahulu ke kamar," pamitku. Aku sengaja berbohong agar tak diajak makan bertiga di kamar. Mau ditaruh dimana muka ini kalau makan bareng sama mereka dan ketahuan makan versi aku adalah super jumbo dengan dua porsi aku habiskan sendiri."Oh, baiklah. Sepertinya belum ada pekerjaan, Kak Zie lagi bersiap mandi mau pergi kayaknya. Makasih ya sarapannya," ucap Rangga dibalas senyuman manisku.Dengan memakai baju sedikit formal, aku menggunakan pakaian kerjaku. Aku lirik agenda hari ini yang sempat bos Zidan perintahkan untukku mengikutinya.Benar-benar padat. Bertemu produser, melihat proses pembuatan film, habis itu mencatat semua hasil pertemuan dan
"Tra, kamu jujur sama aku. Kamu tahu yang terjadi sama Kakakku 'kan? Jadi, katakan sebenarnya ada apa antara Kakak sama Mbak Agni?" tanya Rangga penuh selidik. Aku yang sudah diminta agar tidak memberitahu siapapun tak bisa mengatakan pada Rangga apa yang sudah terjadi."Kok ta-nya Mantra? Ya mana tahu," jawabku sambil terbata. Jujur, aku nervous ditanyai hal semacam ini. Merahasiakan hal besar dan harus berbohong untuk menutupinya."Sayangnya aku tak percaya. Apa kamu diminta kakak untuk merahasiakannya?" Dia kini menyilangkan kedua tangannya di depan dada dan menatap ke depan serius."Ya, me-mang saya tak tahu. Mo gimana lagi, jangan paksa untuk mengaku kalau nyatanya tak tahu apa-apa," dustaku."Tak tahu apa-apa atau tahu tapi menganggap ini bukan apa-apa? Tra, Mbak Agni pernah dibawa ke depan keluargaku. Dia sudah diminta secara khusus untuk menjadi istri Kakak setelah melihat betapa mencintainya Kak Zidan pada Agni. Melihat tadi, aku yakin telah terjadi hal besar. Kakak itu orang
*Happy Reading*Banyak pasang mata yang melihatku iri. Bagaimana tidak, aku dan rangga ibarat langit dan bumi. Mana dia selalu menggandeng tanganku, dih murahan sekali. Tapi, sesekali tak apa lah. Kapan lagi bisa jalan sama cowok tajir plus ganteng kayak Rangga."Kamu mau nonton apa?" tanya Rangga saat hendak membeli tiket."Apa aja."Aku selama ini jarang nonton bioskop. Bukan jarang sih, tapi kayaknya nggak pernah. Bukan karena tak mau, tapi karena tak ada yang mengajak dan tak ada yang mau kuajak. Aku kadang lebih suka melihat di rumah atau nggak di ponsel. Terdengar aneh, tapi ini kenyataan. Di kampung ada punya banyak teman tapi nggak ada bioskop, di Jakarta ada bioskop tapi yang diajak tak ada. Ngenes gaes …Aku kaget saat Rangga ternyata mengajakku nonton horor. Ya ampun ni laki, mana aku orangnya penakut lagi."Mas, ini nggak salah?" tanyaku saat film sudah mulai ditayangkan."Nggak, kamu coba lihat aja. Ini film terbaru, kamu takut ya?" tanyanya terlihat khawatir."Eh, enggak
Terdengar pintu terbuka dan kembali tertutup. Rangga ternyata masuk sendiri ke restoran dan keluar dengan membawa kotak makanan."Nih! Nanti kita makan bersama dengan Kakak di villa. Dia pasti lapar juga karena nungguin kita," ucapnya.Aku masih tak menjawab. Hanya menerima bungkusan berisi makanan yang dibelikan Rangga tadi. Sepuluh menit kemudian, mobil sampai di depan villa. Aku langsung turun dan rasanya ingin bergegas menuju ke kamar. Bos Zidan tampak sedang menunggu di gazebo depan villa sambil memainkan ponselnya."Sudah kencannya? Lama bener," ucapnya dengan wajah sedikit tertekuk."Nih, Pak. Mas Rangga yang belikan ini buat Bapak, saya mau ke kamar dulu. Capek!" Aku meletakkan semua makanan itu di depan Zidan dan langsung pergi.Sampai kamar, aku merebahkan badan di kasur. Mengenang hari indah yang sangat berkesan dengan Rangga, adik bos yang super handsome itu. Seharusnya aku sadar dari awal, ini semua hanya formalitas saja. Bukan hanya dengan Rangga, dengan lelaki lainnya
******Hari pernikahan digelar sederhana di rumahku. Namun, setelah akad aku diboyong keluarga Bagas ke rumahnya untuk resepsi. Saat baru pertama melihat tempat acara, aku tertegun. Meski bukan meriah bak artis-artis, tapi itu indah banget.“Maaf, jika dekor dan panggungnya tak tanya konsepnya sama kamu. Habisnya Aa bingung, semua pihak keluargaku yang mengurus,” ucap Bagas saat kami naik ke atas panggung.“Tak apa. Neng suka, kok,” jawabku. Nyatanya emang aku suka. Dari warna hingga hiasannya, semua terlihat hidup. Bahkan semua keluargaku turut diberikan seragam.“A, makasih udah sayang sama Neng. Baik sama keluarga Neng. Pokoknya, Neng terlope dah,” batinku tanpa bersuara. Mau bilang love you takut ketahuan, kan malu. Tentu saja rasanya seperti kemarin saat ijab kabul. Jantung rasanya mau copot dari tempatnya karena semua orang mengagumi kecantikanku, eh … tapi lebih dominan ke Bagas si. Wajah oriental dengan tinggi badan pelukable dan nyaris sempurna itu serasi dengan apa yang dike
***Aku dan Bagas mengurus kepentingan menikah bersama. Dari capeng hingga kelengkapan dokumen ke KUA, kami berdua bersama. Ibarat kata, aku dan dia sudah seperti pasangan yang sama-sam bucin.“Kak, hari H tinggal dua hari lagi. Semoga acaranya lancar,” pesanku saat kami esok hendak dipingit.“Iya. Eh, keluarga besar kamu orang Bogor semua?” tanyanya terlihat aneh. Sudah hampir sah baru menanyakan keluarga besar.“Nggak, ada juga yang di Bandung. Neng teh orang sunda, Aa Bagas. Kumaha atuh,” ujarku.“Ya kan nanti banyak yang hadir di resepsi kita. Ehm, panggilan Kakak ganti Aa, kitu?”“Bisa, kalau Aa mau teh. Neng seneng malah, jadi berasa kayak Akang kasep si Ucup di desa sana.”“Ucup?’“Hooh, orang Sunda asli Bandung yang dulu suka buli Eneng. Dia cakep, tapi mulutnya nyebelin.”Entah kenapa kami jadi membahas dia yang dulu pernah aku taksir. Dia yang menyebalkan tapi sayangnya aku suka, tapi dulu pas masih jadi monyet. Eh, maksudnya cinta monyet. Astaghfirullah! Aku langsung beris
Pagi ini keluargaku benar-benar disibukkan dengan acara lamaran yang akan dilangsungkan nanti siang. Keluarga Bagas sudah mengabarkan jika mereka sudah sampai di perbatasan kota Bogor. Aku yang sudah berhias sederhana, merasa grogi saat semua adikku menggodaku. "Al, perasaan kita nggak punya keluarga yang mirip bidadari gitu. Ini siapa ya?" tanya Oji yang berusaha menggodaku. "Kak Oji cem mana, Mbak kita kan juga mirip bidadari. Tapi… kalau lagi makan, berubah menjadi hulk. Serem," ejek Aldo. Sialan."Kalian bisa diem nggak? Mbak slepet nih,” omelku. Bocah tua, dasar. Nggak tahu hatiku lagi kembang kempis kaya pompa balon.“Belum juga jadi manten, cantiknya dah kentara. Apa nggak pengin buru-buru dihalalin hari ini juga si Bagas. Opa yakin, anak itu nggak akan tahan lihat cucu opa yang cantiknya melebihi Eyang waktu muda,” ujar Opa.“Emang Eyang dulu nggak cantik, Opa? Wah. Al aduin sama EYang ah, biar Opa kena sembur,” ledek Aldi yang kemudian di hadiahi pentung tongkat kayu yang
."Tapi, bukannya yang mau menikah sama lo itu … Pak Zidan? Lo jangan jadi playgirl gini, Tra. Awas lo ya kalau gonta ganti calon suami," cetus Tantri.Aku tertawa lepas sambil menepuk paha Lemi yang kebetulan ada di sampingku duduk. Mau nepuk Bagas, kasihan ayangku itu. Akhirnya, Lemi jadi bahan pelampiasan bahagiaku."Njirrr, sakit tau. Resek emang ya, lu. Ni paha bukan lawan tinju, sembarangan main pukul-pukul," omel Lemi."Habisnya kalian lucu. Sejak kapan Mantra Sekar Widodari ini suka mainin hati cowok? Yang ada dimainin sama cowok dan diputusin pas lagi sayang-sayangnya. Kalian itu salah kira ternyata. Gue itu udah temenan sama Rangga dan Pak Zidan, gue juga dah mau nikah. Nih calon suami gue, masih nggak percaya juga?" tanya aja sama orangnya. Nih, masih ada. Ya kan, Kak?" Paparku.Bagas mengangguk dengan menampakkan senyum termanisnya. Siapa sangka jika calon suamiku yang gantengnya mirip Kyungsoo dan manisnya mirip Lee Min Ho ini, adalah lelaki yang akan mendampingiku sehidu
."Apa-apaan ini?!" teriaknya. Sontak kami terkejut karena wanita di depanku ini tiba-tiba merebut barang yang diberikan Bagas untukku. Aku berdiri dan tangan mulus wanita tersebut menampar wajah oriku.Plak!"Dasar jalang!""Keysa! Apa yang kamu lakukan?!" Bagas mencoba melindungiku dan menyembunyikanku di belakang badannya. Aku yang tak mengerti apapun hanya bisa memegangi pipi yang terasa panas, perih dan ngilu.Terdengar dari teriakan nama tadi, Keysa, dialah wanita yang kini sedang menatap tajam ke arahku. Sayangnya, aku nggak ngaruh digitukan. Hanya sedikit bingung saja, kenapa dia tiba-tiba datang tanpa permisi."Mas Bagas tega! Aku nunggu Mas selama dua tahun di Jakarta, tapi Mas kembali justru melamar gadis ini. Mas janji pulang dari Ausy menikahiku, mana janjinya? Ternyata kepergian Mas waktu itu hanyalah alasan untuk menghindariku. Ya kan, Mas?" teriak wanita bernama Keysa itu."Iya. Memang aku sengaja menghindar dan meninggalkanmu. Kamu tahu apa sebabnya? Tanya sama Anton!
Siapa."Aku jemput ya, Tra?"Pesan dari Bagas ternyata masuk setengah jam yang lalu saat aku masih mandi. Pukul jam 7 dia sudah mengirimi pesan membuat batinku bertanya-tanya. Apa dia tak tidur semalam karena mau bertemu denganku? Wah, pede sekali aku ye."Berani?" Baru saja hendak aku sent, sebuah mobil berhenti di depan rumahku. Aku yakin, itu bukan anggota keluargaku.Aku intip dari dalam kamar, ternyata Bagas yang keluar dari mobil dengan membawa buah tangan."Assalamualaikum," salamnya yang masih terdengar olehku. Terdengar pula sahutan dari Bunda di luar. Tadi beliau memang sedang menyapu halaman. Aku merasa grogi. Kusisir kembali rambut lurusku dan menyemprotkan parfum babyswal kesukaanku.Bismillah. Semoga hari ini aku benar-benar dapat kabar baik. Kasihan adik-adikku, menungguku menikah selama ini."Mbak, ada Mas Bagas tuh!" Gala memanggilku dari luar kamar."Ya."Aku segera keluar dari kamar, meski harus dengan menetralkan detak jantung yang tak karuan. Kuhembuskan napas pe
."Mampir dulu, Pak?" tawarku saat baru sampai di depan pintu rumahnya."Sudah malam. Nggak enak, Tra. Ya sudah, kamu hati-hati. Maaf atas segala salahku padamu, semoga kamu memiliki jodoh yang tepat.""Aamiin, makasih doanya. Pak Zidan dan Mas Rangga juga, hati-hati di jalan. Semoga di jalan ketemu jodoh yang pas sesuai keinginan," kelakarku."Jodoh di malam hari begini? Yang ada kuntilanak, Tra," sahut Rangga, spontan membuatku terkekeh."Jodoh nggak kenal waktu, Pak. Yang kenal waktu hanya sholat lima waktu saja. Good bye and see you tomorrow."Aku membuka pintu mobil namun Pak Zidan meraih tanganku."Tunggu, Tra."Pak Zidan meraih sesuatu di saku celananya dan meletakkan pada tanganku."Tadinya mau aku pakaikan di tanganmu. Hanya saja, kamu menolakku. Namun, aku berharap kamu mau menyimpannya sebagai kenang-kenangan dariku. Jika tidak menganggapku, setidaknya terimalah ini sebagai hadiah terakhirku.""Ish! Ngeri ih! Pakai hadiah terakhir, ada lagi juga nggak apa. Tapi ini apa, Pak?
.Menyiapkan mental untuk jujur itu memang sulit. Ya, aku sadar aku bukanlah wanita yang sempurna dan aku sadar jika aku harus memilih salah satunya."Mbak Mantra …."Suara Kania yang cempreng memanggilku untuk segera keluar makan malam. Di rumah sebesar ini, aku merasa tak nyaman. Padahal orangtua Zidan sangatlah baik, tapi aku tidak bisa sesantai biasanya. Mungkin karena aku hendak jujur. Ya, jujurly, aku gugup."Ya."Aku beranjak setelah membetulkan baju yang aku kenakan. Desi yang sedari tadi bersama Kania, membiarkanku di kamar sendiri dan alhasil aku turun ke bawah sendiri."Tra …."Kali ini sosok yang pernah membuatku baver dan salting ada di depanku. Ya, Rangga, dia lelaki yang aku kira bisa menjadi pendamping namun sekarang hanya jadi tokoh figuran. Ngenes …."Eh, Mas Rangga," sapaku."Ini seriusan kamu? Aku sampai pangling loh. Cantik beut dah, makanya Kakak sampai jatuh cinta. Yuk kita makan malam, Mami Papi dan nunggu di bawah." Rangga merangkulku dan mengajakku turun. Dia
Hati yang terlanjur gugup dan takut, membuatku berkeringat. Desi yang tadi ngoceh bak petasan lebaran, sepertinya tak lelah merepetkan suaranya dan aku menjawab seperlunya."Mbak jadi aneh ya? Biasanya kalau Desi ajak ngoceh Mbak jadi pemandunya. Paling nggak ikut ngegibah bareng. Ini seperti bukan Mbak Mantra yang Desi kenal," sungut Desi."Maunya aku ngapain? Ini di rumah orang loh. Dah, diem jangan berisik!" ujarku.Aku melihat Mami dan Papi Boz Zidan keluar dengan wajah bahagianya. "Wah, ini toh yang dimaksud calon mantu Mami. Cantik sekali, Mami kira kamu bakalan bawa si Mantra. Dah ganti?"Pak Zidan berdehem pelan."Tante, gimana kabarnya? Lama tidak berjumpa," sahutku setaya mencium tangannya takdim."Loh sudah pernah ketemu toh?" tanya Mami."Mami lupa atau gimana? Dia itu Mantra, sekarang memang sudah kurusan," sahut Pak Zidan. "Oh Mantra udah ganti casing toh. Sampai pangling Mami.""Selamat berjumpa kembali, Mantra. Mari kita ngobrol," ajak papinya Pal Zidan."Bagaimana k