Aku melajukan kendaraanku menuju ke rumah, seperti apa nanti sikap Eva saat mendengar aku sudah tak bekerja lagi di galeri, aku harus siap.Sepanjang perjalanan pikiranku tak menentu, aku harus berpikir keras di mana aku harus mencari pekerjaan baru, tak mungkin aku berlama-lama menganggur, yang ada nanti bisa-bisa aku di tendang pula sama Eva, karena dia begitu boros, setiap uang yang kuberikan selalu habis tak tersisa. Jika tak menuruti kemauannya, bisa-bisa aku tak di beri jatah di atas ranjang, dan ia bisa betah berlama-lama merajuk.Beberapa meter lagi aku sampai di rumah, dari kejauhan sudah mulai tampak rumah yang aku tinggali bersama istri mudaku.Aku sedikit heran melihat sebuah mobil Xeni* berwarna hitam, bertengger di tepi jalan, tepat di depan rumah, apa ada tamu, tapi siapa, apa teman Eva, hatiku bertanya-tanya.Belum juga sirna rasa heranku, kini aku di buat terkejut dengan apa yang ku lihat. Eva tengah berjalan mesra dengan seorang laki-laki yang aku taksir usianya le
Hingga malam datang, Eva belum juga kembali, entah kemana perginya wanita itu. Selama aku hidup bersamanya, ini kali pertama ia belum pulang hingga selarut ini.Jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam, tapi belum ada tanda-tanda Eva pulang, beberapa kali aku coba menghubungi ponselnya, tapi masih sama seperti siang tadi, tidak tersambung.Aku menyalakan televisi agar tidak terlalu sepi, pikiranku kacau, melayang kemana-mana, terbayang apa yang mereka lakukan di luar sana, bagaimana jika benar Eva menghianatiku, hancur luluh lantah sudah semuanya. Tidak, aku tidak boleh berpikiran buruk terlebih dahulu, lebih baik nanti aku minta penjelasan pada Eva mengenai lelaki itu. Tak terasa mata ini terpejam, entah berapa lama aku tertidur, waktu sudah menunjuk pukul satu dini hari, Eva belum juga pulang, kemana dia sebenarnya.Televisi masih menyala, bukan aku yang menonton, tapi justru televisi yang menontonku tertidur.Aku mematikan televisi serta mematikan lampu, baru saja lampu ruang
Aku menggebrak meja dengan keras, membuat teh hangat yang di meja bergoyang-goyang bahkan sedikit ada yang tumpah ke meja, akibat getaran yang aku timbulkan.Eva terdiam membisu, sikapnya santai menikmati teh hangat, dan roti sandwich yang kubuat, membuat kesabaranku semakin habis."Apaan sih, Mas! Pagi-pagi udah berisik! Kamu mau tau dia siapa? Yang jelas dia lebih baik darimu, Mas!" Aku tak percaya dengan apa yang di katakan Eva, ia bahkan berkata dengan mudahnya."Jadi kamu selingkuh sama Dia?! Eva ingat! Kamu itu masih sah istriku!" sungutku"Iya aku memang masih istrimu, Mas! Kalau kamu tidak suka, silahkan kamu talak aku! toh juga kita cuma nikah siri, bercerai pun tak perlu sampai ke pengadilan, kan!" Eva kembali berucap dengan entengnya.Aku menggeleng tak percaya, semudah itu ia berubah setelah aku korbankan semua untuknya. Oh tuhan! Aku benar-benar laki-laki paling bodoh sedunia, rela meninggalkan Sintya yang setia dan lebih memilih wanita seperti Eva, yang tak lebih adalah
Kedua netraku mengerejap, aku harus tinggal dimana, jika aku keluar dari rumah ini. Tapi tak mungkin juga aku hidup bersama wanita arogan yang di kepalanya hanya uang, uang dan uang!"Oke! Aku akan keluar dari rumah ini hari ini juga."Aku melenggang masuk ke dalam kamar, mengemasi semua baju-bajuku, dan memasukkannya ke dalam koper berwarna hitam yang beberapa hari lalu aku bawa dari rumah Sintya, aku benar-benar tak menyangka hidupku demikian tragis, di usir oleh dua wanita dalam rentan waktu yang tak begitu lama.Semua baju aku masukkan ke dalam koper, pakaian yang tergantung di balik pintu kamar pun tak luput dari sapuanku.Hingga kedua netraku menangkap sebuah benda kecil tergeletak di lantai samping lemari, aku mendekat dan memungut benda itu. Betapa terkejutnya diriku, saat meyakini jika benda itu adalah sebuah alat kontrasepsi, yang biasa di gunakan oleh lelaki, padahal aku sendiri tidak pernah memakai benda itu selama berhubungan dengan Eva, lalu benda ini milik siapa? Inga
POV SintyaAku dan Mas Yudi telah resmi bercerai, semua harta jatuh ke tanganku sesuai dengan yang kuinginkan, perempuan murahan itu bahkan datang ke rumah meluapkan emosinya, karena tak terima dengan putusan sidang.Aku tak mau kalah, kedatangan mereka ke rumah ini justru memudahkan aku untuk menarik motor milik Mas Yudi yang kini sudah beralih menjadi milikku, dan menyerahkan sebuah koper berisi baju-baju miliknya.Aku tak habis pikir perempuan itu, macam orang yang kurang waras, datang-datang marah-marah nggak jelas, padahal sudah pernah kukatakan, jika dia menginginkan Mas Yudi, silahkan ambil, tapi jangan harap ia juga bisa memiliki semua yang sudah aku perjuangkan. Enak saja. Memangnya aku ini bodoh, tidak bisa melihat gelagatnya.Sekarang aku sudah tenang, biarlah Mas Yudi, nanti akan merasakan balasan dari Allah karena telah menyakitiku. Sebisa mungkin aku tegar demi Rizki putraku.Beberapa kali Rizki bertanya soal ayahnya yang tak pulang-pulang, tapi dengan hati-hati aku jela
"Suamimu, mana? Kok nggak ikut ngobrol santai sore di sini!" Aku terdiam mendengar pertanyaannya.Rasanya tak pantas aku mengatakan jika aku baru saja bercerai dari Mas Yudi, apapun itu alasannya, menjadi janda adalah status yang kurang enak di dengar."Hm, Dhani masih lama di sini?" Ayah mencoba mengalihkan pembicaraan. Beliau sepertinya tau isi hati ini."Seperti biasa, Pak. Seminggu paling lama, Pak! Kerjaan di sana juga nggak bisa di tinggal lama-lama soalnya, Pak." Aku dan Ayah mengangguk."Saya ke rumah Bude Aminah dulu, Pak Imran, takutnya dia nungguin," pamitnya.Bu Aminah rumahnya di belakang rumah Ayah, selang dua rumah.Dhani pun pergi usai pamit, sepintas ia menatapku, hingga netra kami bertemu, tapi aku buru-buru mengalihkan pandangan."Si Dhani itu seorang duda, istrinya meninggal, yang Ayah dengar, istrinya meninggal karena sakit. Mereka belum di karunia seorang anak." Ayah menjelaskan status Dhani, padahal aku sendiri tak bertanya."Sekitar setahun yang lalu istrinya D
Tak lama berselang kereta mulai melaju, awalnya pelan, kemudian mulai melaju dengan cepat. Rizki terlihat sudah lelap dalam tidurnya, walaupun hanya bersandar di kursi dengan sedikit memiringkan kepalanya menyender di bahuku, ia tetap terlihat nyenyak menikmati perjalanannya.Mata ini perlahan terpejam, saat rasa kantukku mulai melanda, menempuh perjalanan malam, memang lebih banyak untuk tidur di dalam kereta karena tak dapat menikmati pemandangan ke luar jendela yang gelap, di selimuti pekatnya malam.Hingga beberapa jam mata ini terjaga, aku lirik jam yang melingkar di pergelangan tanganku, ternyata hampir enam jam sudah perjalanan yang ku tempuh, cukup lama aku tertidur rupanya. Aku sedikit terkejut melihat Dhani sudah duduk di sebelah kiriku, terpisah jalan pembatas antara kursi. Ia tampak sedang memainkan ponselnya, entah sejak kapan ia pindah tempat duduk, yang jelas sebelum aku tidur yang duduk di sana adalah seorang gadis muda memakai jilbab.Melihat aku sudah bangun, Dhani
Ajakan Rizki membuat kedua alisku bertaut, pun dengan Dhani. Dhani melirik ke arahku, aku hanya tersenyum tipis."Oke, nanti kapan-kapan Om main ke rumah Rizki." Dhani mengusap rambut tebal Rizki dengan gemas."Dari sini ke rumah, kalian naik apa?" tanya Dhani memandang ke arah kami bergantian."Nanti kami bisa pakai taksi, Dhan!" jawabku Tak berapa lama, dari pengeras suara terdengar suara bahwa kereta Jayabaya akan kembali melanjutkan perjalanan. Suara klakson kereta berbunyi, sebagai tanda bahwa kereta akan kembali melaju."Oke, hati-hati ya Sin!" Dhani naik kembali ke atas kereta setelah mengucapkan itu, aku dan Rizki mengangguk tersenyum.Aku berjalan menjauh menuju pintu keluar stasiun, karena kereta sebentar lagi akan kembali melaju hingga pemberhentian akhir di stasiun Malang.*****Selepas salat subuh, aku kembali merebahkan tubuhku di pembaringan, rasanya masih lelah setelah menempuh perjalanan semalam, Rizka juga sepertinya masih lelap dalam tidurnya, mengingat semalam ia
Aku tertunduk dalam, lidahku terasa kelu, seolah tak mampu lagi untuk bicara, degup jantungku terasa semakin cepat, ada rasa malu, ada rasa bahagia bersua dengannya, ada rasa takut aku ditolak, semuanya campur aduk jadi satu di dalam sini. Aku hirup udara banyak-banyak, kemudian Perlahan mengangkat wajahku, tampak Hesti masih setia menunggu aku melanjutkan kata-kataku."Mas, semua yang sudah terjadi biarlah terjadi, jadikan itu semua sebagai pelajaran berharga untuk menapaki kehidupan masa depan, agar tak terulang kembali." Pelan Hesti bicara, seolah mengerti apa yang kini kurasakan.Aku mengangguk setuju dengan perkataannya."Beberapa bulan terakhir, kita semakin dekat, dan kurasa tidak ada lagi yang harus kita tunggu, aku berniat ingin meminangmu, jika kau bersedia, aku ingin kau menjadi istriku, tapi ...."Mendengar ucapanku yang menggantung, keningnya mengerenyit, namun ia tak bertanya apapun."Ta–Tapi, aku seperti ini kondisinya, mungkin, bisa dibilang aku lelaki tak tahu malu,
Satu Minggu sudah kepergian Mbak Siska, segala tetek bengek keperluan administrasi saat di rumah sakit, Dhani banyak membantu, bahkan tak segan membantu biaya administrasi untuk membawa pulang jenazah Mbak Sintya.Selama tujuh hari kemarin, aku memang mengadakan acara tahlil di rumah, walaupun rumah kecil, aku mengundang tetangga dekat untuk hadir dalam acara tahlil kepergian Mbak Siska, tak lain harapanku hanyalah Doa kebaikan untuk Mbak Siska, semoga Doa dari semua jamaah tahlil bisa mengiringi kepergian Mbak Siska ke alam sana dengan kedamaian.Dua hari acara tahlil, Sintya ikut datang kemari, dan hari ke tiga hingga selesai tujuh hari, Dhani datang berdua dengan Rizki. Karena Sintya kurang enak badan katanya.Tiga hari Mbak Siska berpulang, aku memang izin tak masuk kerja, dan hari keempat hingga tujuh hari aku masuk kerja tapi hanya sampai siang, tak sampai sore, karena aku harus mengurus keperluan acara tahlil, beruntung tetangga di sini semuanya baik dan mau membantu untuk semu
Aku lebih dulu ke bagian administrasi untuk mengurus semuanya, setelah semuanya selesai aku melenggang ke Musala rumah sakit ini. Setelah selesai aku kembali ke depan ruang UGD, tapi mereka semua sudah tidak ada di sana. Aku pun langsung masuk ke tempat dimana Mbak Siska terbaring. Kosong. "Maaf Pak, cari pasien atas nama Bu Siska ya?" tanya seorang perawat yang sedang jaga. "I–Iya Sus." "Tadi Dokter memutuskan untuk memindahkan ke ruang ICU Pak, Karen kondisinya Bu Siska terus menurun, ruang ICU ada di sebelah sana Pak," ucap perawat itu sambil menunjuk ke arah dimana ruang ICU itu berada. Degh. Mbak Siska semakin menurun. Sintya dan Dhani pasti sudah ikut ke ruang ICU tadi. "Terimakasih, Sus," ucapku kemudian setengah berlari aku menelusuri lorong rumah sakit menuju ruang ICU. Terlihat Sintya dan Dhani berdiri di depan sebuah ruangan berdinding kaca tebal. Juga ada Rizki diantara mereka. "Sintya, Dhani!" sapaku sembari mengatur napas. "Mbak Siska di dalam, Dokter masih men
Sintya membersihkan tangan Mbak Siska. Sedangkan Mbak Siska terlihat begitu lemas."Mas kita bawa Mbak Siska ke rumah sakit sekarang," tegas Sintya."I–Iya Sin.""Ayo Mas cepat, bawa dengan mobilku," ucap Dhani.Dengan sigap aku mengangkat tubuh Mbak Siska, Sintya pun mengekor di belakangku.Dhani yang sudah lebih dulu di depan, segera membuka pintu mobilnya, kemudian duduk di belakang kemudi, tak berapa lama Sintya dan Rizki, muncul dari dalam rumah, dan masuk ke dalam mobil, dengan langkah cepat, aku kembali masuk ke dalam rumah untuk mengambil dompet dan ponselku, juga mengunci pintu.Setelah itu aku pun ikut masuk mobil dan duduk di samping Dhani. Dhani mulai melajukan mobilnya. Aku menoleh ke belakang, tampak Mbak Siska terkulai lemah tak berdaya.Aku mohon Mbak, bertahanlah.Dhani mengemudikan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata, kami yang berada di dalam mobil, terdiam dengan pikiran masing-masing, Sintya menggenggam erat jemari Mbak Siska, seolah menyalurkan kekuatan d
"Cukup Mbak! Maaf saya bukan lelaki seperti itu. Jika Mbak Mau, silahkan cari orang lain, tapi bukan saya! Permisi!" Aku melenggang masuk usai mengucapkan itu, kemudian membuka pintu dan menutup serta mengunci pintunya, masih jelas kulihat bibirnya mencebik seperti tak suka dengan penolakan yang tadi aku katakan. Ada yah, wanita semurahan itu, bahkan menawarkan diri seperti itu. Memang awal aku tinggal di sini, dan berkenalan dengan Susi, kami sempat ngobrol dan Dia bertanya apa tidak ada niat untuk menikah lagi, dan waktu itu aku jawab belum ingin menikah lagi, karena memang aku belum menemukan sosok yang pas untuk mengisi ruang hati ini. Tapi bukan berarti aku mau menikah dengan Susi, Dia bukan wanita yang aku idamkan menjadi istri. Aku menarik napas panjang dan menghembuskanya perlahan, usai menutup rapat pintu rumah ini, tak kuperdulikan Susi yang masih berdiri di halaman rumah.Bergegas aku masuk untuk menengok kondisi Mbak Siska, Ia masih terbaring di tempat tidur, kemudian m
Pagi ini seperti biasa aku akan bekerja, sebelum berangkat aku siapkan makanan untuk aku dan Mbak Siska sarapan, juga untuk Mbak Siska makan siang, semenjak Dia sakit aku memang harus ekstra melakukan ini dan itu agar Mbak Siska tidak perlu repot memasak untuk makan siangnya.Setelah semuanya siap, aku mengajaknya sarapan, aku tatap wajah yang kian hari kian pucat itu."Mbak hari ini kita ke rumah sakit aja yuk," ajakku."Ah, tak perlu lah Yud, kamu juga kan harus kerja, lagian obat Mbak yang dari klinik juga masih ada," tolaknya."Mbak, soal kerjaan gampang, aku bisa ijin datang siang hari setelah mengantar Mbak dari rumah sakit." Lagi aku berusaha meyakinkan Mbak Siska, apapun alasannya kesehatannya adalah jauh lebih penting."Gampang nanti saja Yud, nunggu obat yang sekarang ini habis aja, ya!" "Hm, baiklah kalau begitu Mbak. Yudi cuma pengin Mbak bisa segera sembuh," pungkasku.Usai sarapan aku langsung berangkat ke tempat kerjaku. Entah mengapa aku merasa Mbak Siska seolah pasra
Aku tersenyum dan kembali mendaratkan bobotku di sampingnya."Iya, Mbak. Aku baru pulang. Maaf ya Mbak, Yudi pulang malam karena memang baru selesai." Mbak Siska mengangguk."Mbak sudah makan? Obatnya sudah di minum?" tanyaku."Sudah, kamu sendiri sudah makan?" "Sudah Mbak, tadi makan di sana.""Gimana keadaan Mbak? Apa kita ke rumah sakit aja besok?" tawarku sesungguhnya aku tak tega melihat kondisinya yang semakin menurun. Tubuhnya kurus, kelopak matanya cekung, dengan bibir memucat, di tambah lagi batuk yang tak kunjung sembuh."Tak perlu lah Yud, lagi pula ke rumah sakit kan biayanya mahal, kita ndak punya banyak uang, Mbak nggak mau di sisa umur Mbak hanya merepotkan dan menjadi beban kamu," ucapnya lirih."Tapi Mbak, kondisi Mbak Siska makin menurun, Yudi nggak tega Mbak."Walaupun uang yang kupunya masih belum banyak tapi setidaknya cukup untuk berobat Mbak Siska.Namun, lagi-lagi Mbak Siska menolak untuk berobat ke rumah sakit. "Ya sudah sekarang sudah malam, Mbak istirahat
Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini tak pernah lepas dari ketentuan-Nya. Manusia di ciptakan dengan karakter dan watak yang berbeda, pun dengan nasib yang berbeda-beda, jika saat ini nasib kami seperti ini, mungkin ini adalah akibat dari perbuatan buruk di masa lalu.Setiap orang pasti akan menuai apa yang ditanamnya, hanya dengan Doa yang tulus aku persembahkan, agar Allah berkenan mengampuni semua dosa khilafku di masa lalu itu, karena kini aku hanya ingin hidup tenang dan tentram, dengan lembaran baru. Aku hanya ingin hidupku ke depan, lebih baik, dan lebih bermakna.Hari terus berganti hingga kini satu bulan sudah aku melewati waktu, kondisi kesehatan Mbak Siska makin menurun, badannya pun kurus, saat aku ajak untuk berobat ke rumah sakit, Ia selalu menolak, dengan berbagai alasan. Aku paham Mbak Siska mungkin berpikir seribu kali untuk berobat ke rumah sakit karena memikirkan biaya, kami berdua, untuk hidup dan makan saja pas-pasan. Penghasilanku bekerja di tempat fotokopi,
Hingga adzan Maghrib berkumandang, Pakde Mul mengajakku untuk salat berjamaah di masjid tak jauh dari rumah ini. Aku merasa seolah memiliki keluarga baru di sini, walaupun aku bukan siapa-siapa Mereka.Selepas Maghrib Ibunya Hesti mempersilahkan kami untuk makan bersama di ruang tengah, ada pula Bude Ning dan suaminya, Ibunya Hesti dan Hesti. Kami semua makan lesehan di ruang tengah, makanan yang tersaji bukanlah makanan mewah, tapi sangat enak dan dinikmati bersama. Beberapa kali aku melirik ke arah wanita cantik yang duduk di depanku, entah kenapa senyuman itu membuatku ingin selalu meliriknya.Setelah selesai makan, aku ngobrol-ngobrol santai dengan Pakde Mul, yang merupakan Suaminya Bude Ning, beliau seorang petani. Melihat perawakannya aku jadi teringat Pak Imran ayahnya Sintya. Jujur masih terselip di dalam sini rasa bersalah yang begitu besar terhadap Beliau. "Sudah mulai larut, saya pamit dulu Pakde," pamitku.Melihatku ngobrol dengan Pakde Mul, Hesti lebih banyak di dalam. K