Saat sore hari, Aisyah sudah selesai bekerja ada suara-suara tidak enak yang menghina dirinya. Rina menghina dirinya sebagai wanita perebut pria lain dan disebut gan jen."Astaghfirullah, Rin, yang gan jen itu siapa? Saya di sini itu bekerja keras! Tidak ada waktu untuk menggoda pria. Kamu ke sini ngapain?" tanya Aisyah sambil menatap tajam ke arah Rina. Rina memicingkan mata. "Kamu itu, sukanya dekat sama Devan. Buktinya ia nyamperin kamu. Kamu juga kerjanya juga sama pria. Pria tampan pula! Apa kamu tidak malu?" ujar Rina yang tidak mau mengalah. Ia sudah sakit hati karena kalah dengan Aisyah.Aisyah berdiri mematung sambil mendengarkan ocehan Rina yang tidak bermutu. "Malu itu kalau aku berbuat zi na! Kalau aku kerja halal tidak akan malu! Nanti juga teman-temanku banyak!" Aisyah terbawa emosi dengan kata-kata pedas yang diucapkan oleh Rina."Selamat sore!"Saat Aisyah berdebat dengan Rina datanglah sepuluh orang wanita yang datang menemui Aisyah. "Selamat sore! Ini kesepuluh or
Aisyah tidak langsung menjawab notif dari Denis yang memerlukan bantuan. Ia masih berdiri mematung memikirkan kondisi Mawar yang memburuk. Ia sangat kesal dengan kelakuan Mawar yang selalu benci padanya. Namun, disisi lain ia juga iba karena ada nyawa bayi yang harus diselamatkan."Jiho, Kak Devan, aku pergi dulu ya? Sampai jumpa besok lagi!"Aisyah segera pergi ke rumah sakit menemui Mawar. Jiho mengangguk dan mempersilakan Aisyah untuk pulang. Sementara Devan mengikuti Aisyah hingga ia keluar dari pabrik tersebut."Syah, kamu mau pulang sekarang? Aku boleh mampir?" tanya Devan dengab raut wajah ramah.Aisyah murung. "Kak, aku harus ke rumah Sakit. Mawar harus diselamatkan. Aku nggak tega dengannya," ujar Aisyah dengan jujur.Devan terkejut. " Ada apa dengan Mawar, Syah? Barang kali aku bisa membantu," tanya Devan penasaran.Aisyah menatap tajam Devan. "Mawar mengalami pen da ra han. Setelah dicek Dokter, janin yang ada dalam rahimnya Mawar tidak sehat. Harus memilih dioperasi atau m
Saat hampir Maghrib, Keputusan terakhir dari Dokter, Mawar harus dioperasi walaupun Mawar tidak setuju."Mawar, kata Dokter, kamu harus dioperasi! Agar kamu sehat kembali," kata Denis kepada Mawar. Kini Denis sudah ada samping Mawar yang masih tergeletak di ranjang dan tidak berdaya."Apa kamu punya biaya Mas? Operasi kan mahal?"Akhirnya Mawar merespek perkataan Denis. "Biarkan aku yang menangani biaya operasi ini Mawar! Yang jelas kamu bisa diselamatkan!" sahut Devan yang juga sudah ada di ruangan rawat inap tersebut. Pada asalnya, Mawar dari ruang UGD. Kini dipindah di ruang rawat inap agar lebih nyaman ditunggu oleh keluarganya.Mawar memejamkan matanya. "Kalau itu yang terbaik. Aku pasrah saja. Mas Denis, doain aku selamat ya? Mas Devan, makasih sudah mau menanggung biaya operasi saya. Sungguh, saya sangat terpukul dengan kejadian ini," sahut Mawar yang akhirnya ia setuju jika dioperasi. Ia menangis. Menangisi janinnya yang terancam tidak bisa diselamatkan lagi. Padahal ia sud
Aisyah menoleh sesaat ketika Devan memanggilnya. "Ada apa lagi Kak?" tanya Aisyah yang berpura-pura tidak mendengar."Kamu marah sama aku, Syah?" tanya Devan dengan rasa panik."Ti—tidak Kak. Ini sudah malam, aku harus ke dalam secepatnya nggak enak sama tetangga!" jawab Aisyah yang menyembunyikan wajahnya yang bersemu merah jambu karena tersipu."Yasudah. Kamu ke dalam, tutup pintu dengan rapat. Jangan lupa dikunci!" kata Devan dengan nada serius. Aisyah mengangguk dan mengiyakan perintah Devan. Ia langsung masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu tersebut.Setelah itu, Aisyah mengintip di balik tirai jendela melihat apakah Devan susah pergi. Ia melihat Devan sedang melakukan mobil dengan kecepatan sedang. Itu artinya ia sudah beranjak pergi.Terlihat Zola sedang duduk di ruang tamu dan tertidur. Aisyah menggelengkan kepala. "Ya Tuhan, ternyata Zola kelelahan. Kasihan dia. Ini sudah jam delapan malam. Pasti Zola belum makan! Kasihan janinnya. Aku harus membeli bakso di Mang Udin se
"Ada apa Aisyah?" tanya Zola yang melihat wajah Aisyah panik saat melihat chat pada ponsel.Aisyah menatap Zola dengan tatapan sedih. "Janin yang dikandung Mawar telah meninggal dunia Zola. Mawar koma karena kehilangan banyak da rah. Mas Denis akhirnya terpaksa transfusi darah," ujar Aisyah yang mengatakan jujur kepada Zola.Zola terkejut. "Innalilahi wainnailaihi roji'un? Malang sekali nasib Mawar, Aisyah. Bagaimana ini? Apakah besok kita ke rumah sakit kembali?" tanya Zola yang kebingungan.Aisyah merenung sambil melihat ke bawah lantai. Ia masih duduk di ruang makan. "Aku juga bingung, Zola. Padahal besok aku harus bekerja. Aku izin saja terlebih dahulu. Janinnya Mawar harus segera dikuburkan! Jadi, kita nanti harus bilang kepada orang tuanya Mawar. Agar mereka menyiapkan segala sesuatu untuk menguburkan janin milik Mawar tersebut," ujar Aisyah. "Memangnya orang tua Mawar dekat dari rumah ini?" tanya Zola penasaran. Zola beda komplek, sehingga tidak kenal dengan Mawar. Ia hanya ke
Pagi itu, rumah Denis penuh dengan tamu. Banyak sekali yang menggunjing tentang rumah tangga Denis hingga terdengar oleh Mama Linda."Bu Ibu, tahu nggak, Denis itu kabarnya punya istri dua. Dan parahnya lagi, mau mempunyai istri tiga. Denis punya simpanan wanita lagi lho? Apa nggak parah? Kemarin aku mendengar ada wanita muda yang meminta pertanggung jawaban karena wanita muda itu hamil. Neng Aisyah kasihan sekali. Kalau jadi aku, Si Denis sudah tak ceraikan!" ujar seorang ibu-ibu yang berperawakan gendut yang memakai gamis biru dan berambut keriting. "Masa sih Bu? Orang ya ada nggak di sini. Biar kita usir saja! Malu-maluin kampung kita saja. Hamil di luar nikah ya?" tanya Ibu-Ibu bergaris hitam dan berjilbab instan."Ada di sini. Kabarnya dia diterima oleh Aisyah. Aisyah baik dan kaya. Ya apa-apa dia yang nanggung. Mungkin Aisyah mau nyelamatin hartanya Denis. Semoga orang seperti Aisyah rejekinya Berlipat-lipat. Mawar juga, sukanya foya-foya akhirnya janinnya nggak keurus!" Ibu-I
Saat siang Mama Linda sedang berbicara empat mata di ruang tengah dengan Denis."Denis, kamu harus jawab jujur dengan pertanyaan Mama!" ujar Mama Linda mengawali pembicaraan."Ber—bertanya soal apa Ma?" Denis gugup karena mata sang mama menatap tajam ke arahnya."Apa kamu punya wanita simpanan lagi? Dan wanita itu sedang hamil?" tanya Mama Linda kembali. Ia sangat penasaran."Eng—enggak kok Mah. Siapa sih yang bilang begitu, pasti orang-orang pada ngaco itu!" jawab Denis berbohong. Ia belum siap jika mamanya akan tahu. Ia takut Mama Linda akan marah."Bohong! Mama sudah tidak percaya dengan kamu, Denis. Sudah banyak orang yang bilang, kamu masih berbohong? Cepat jawab jujur Denis? Di mana wanita simpanan mu itu! Mama ingin melihatnya!" bentak Mama Linda karena hatinya sudah tidak kuat. Tidak kuat akan perlakuan Denis yang di luar batas.Wajah Denis berubah pucat dan memerah. "Maafkan aku Mah. Sekali lagi Denis meminta maaf. Aku hanya nggak mau Mama dan Papa murka kepadaku!"Denis menu
"Mawar, jaga bicara kamu! Janin dari rahim kamu itu meninggal karena takdir, bukan karena kurang gizi. Kamu saja suka foya-foya 'kan? Harusnya uangmu itu kamu pakai untuk membeli gizi, bukan membeli barang yang nggak penting. Denis, istri seperti itu kok kamu pilih. Mama itu, sudah berusaha menjadi mertua yang adil, tapi istri kamu malah ingin menggugurkan kandungan Zola? Saya harap kamu bisa tanggung jawab, Denis?" Mama Linda menyarankan untuk menikah dengan Zola secepatnya. Sebelum beliau malu digunjing oleh para tetangga.Mama Linda sempat melirik Aisyah yang diam mematung menyimak pembicaraan mereka."Oke! Saya akan menikah dengan Zola secara sederhana. Mama bisa meminjamkan uang untuk saya dalam acara pernikahan ini? ATM Denis hilang Mah, Mawar, saya harap kamu jangan membantah keputusan dariku!" tutur Denis dengan lesu.Ia terpaksa harus menikahi Zola dalam waktu dekat ini. Karena ia takut mamanya akan murka."Oke Mama kasih kesempatan terakhir buat kamu Denis. Mama akan membi
"Ada apa dengan Dokter Virginia? Apa ini erat kaitannya dengan racun kue itu? Oke, nanti aku akan ke sana lagi, tapi aku harus izin Aisyah dulu. Kalau perlu Aisyah ikut! Aisyah harus tahu kelicikan Rina!" batin Devan sambil melihat Aisyah yang sudah membayar totalan beberapa buah yang ia beli. "Mas, yuk kita pulang?" Ketika Aisyah sudah membayar seluruh buah yang ia beli, ia berbalik dan menatap Devan dengan wajah yang berbinar. "Sayang, kita jangan pulang dulu! Kita langsung ke Klinik milik Dokter Virginia. Lihat chat ini!" Devan langsung memberikan chat dari Bu Dokter Virginia yang baru saja muncul. Ia tidak mau ada yang ditutupi. Ia ingin selalu terbuka dengan Aisyah. Dengan terbuka, Aisyah akan semakin percaya pada dirinya. Devan tidak mau ia dianggap sebagai pria yang memiliki watak seperti Denis. "Maksud dari beliau apa ya? Yasudah, ayo kita ke Klinik. Mas, coba telepon Mbok Ginah bahwa kita tidak bisa sarapan dengan menu beliau soalnya ada keperluan penting. Kamu punya no
"Neli, kamu ngikutin kita? Kenapa tatapan kamu benci seperti itu kepada kita?" tanya Devan kepada Neli yang sudah ada tepat di belakangnya."Eng—nggak benci, saya hanya kepedasan ini Kak. Ingin beli es jeruk di taman ini," jawab Neli secara berbohong. Padahal Neli ingin mengintai pergerakan Devan dan Aisyah. Diam-diam, Neli menyembunyikan sesuatu dalam hatinya. "Jangan berbohong kamu Neli. Aku tahu kamu itu berbohong. Kamu pulang saja temani Mbok Ginah. Jangan ganggu acara kami!" jawab Devan dengan muka sinis ke arah Neli yang memang berbohong. Devan sudah pengalaman dengan wanita berwatak seperti Neli. Ia mungkin tidak akan terjebak dengan tipu muslihatnya. "Sudah, kalian jangan bertengkar. Neli, kalau kamu mau beli es jeruk lanjutkan. Jangan lupa nanti bayar sendiri, kamu masih pinjam uang aku loh. Hutang harus dibayar!" tegas Aiayah yang masih mengingat jika Neli pinjam uang kepadanya. "Eh, iya Kak, tenang saja. Nanti kalau aku sudah kerja dan gajian, hutang Kak Aisyah akan saya
Malam itu Devan dan Aisyah sedang mengalami puncak kebahagiaan meski salah satu pihak sedang dilanda hamil muda. Devan melakukan hubungan dengan istrinya secara lembut hingga mereka sama-sama merasakan puncak kejayaan yanh memuaskan. Hingga mereka terlelap dalam mimpi. ***Pagi pun tiba. Devan sebelum subuh bangun dan mulai mandi besar. Sementara Aisyah masih saja tertidur pulas mungkin karena kelelahan. "Aisyah, bangun. Mandi besar sana. Nanti kita sholat subuh bareng."Ketika Devan sudah mandi, ia membangunkan sang istri dengan menepuk pundak. Tidak lama, Aisyah mulai terbangun. "Ada apa Mas? Haduh, kok aku belum pakai pakaian sih? Aku belum mandi ya? Ini sudah jam berapa?" Asiyah tidak sadar jika waktu itu sudah subuh karena saking lelapnya dan lelah setelah tadi malam bertempur dengan sang suami. "Sudah mandi besar sana. Nanti sholat bareng sama aku. Kamu lupa dengan pertempuran tadi malam?" Devan tersenyum kecil dan gemas melihat Aiayah yang lupa dan cemas. Seperti boneka B
Dia pinjam tiga ratus ribu, Mas? Tapi aku hanya beri dia dua ratus. Aku bilang, uang yang di dompet hanya sisa segitu," jawab Aisyah yang masih menelepon Devan."Oh, yasudah nanti kita bicarakan lagi empat mata di kamar. Ini mungkin udah satu jam, aku mau lihat uji coba yang dilakukan Dokter Virginia. Kamu tetap waspada dengan Neli!'Tidak lama, sambungan telepon diputus oleh Devan. Devan mulai menemui Dokter Virginia untuk memastikan apakah hasil labnya sudah jadi. Sebelum Devan sempat berdiri dari sofa, Dokter yang dimaksud Devan ternyata mendekatinya. "Mas Devan, ayo ikut saya ke ruangan lab. Ada yang perlu saya bicarakan kepada Mas Devan!" Dengan raut wajah serius, wanita tinggi berseragam khas dokter itu mengajak Devan untuk ke ruangan lab."Bagaimana hasilnya, Dokter?" tanya Devan ketika sudah sampai di ruangan lab. Ia berharap-harap cemas dengan hasil yang akan dijelaskan oleh dokter tersebut."Hasilnya positif mengandung zat beracun. Padahal awalnya roti ini aman dan saya b
Sore itu Pak Ujang sudah membawa Mbok Ginah dan wanita muda yang berpakaian sederhana. Namun, tidak berjilbab. Dari cara berpakaiannya wanita tersebut seperti orang desa. "Mbok Ginah? Pak Ujang? Mari silakan duduk ke sana!"Karena Devan sangat menghormati tamu yang datang, tamunya dipersilakan duduk di ruang tamu. Tidak lama, Aisyah datang menghampiri siapa tamunya tersebut dan sudah membawakan air teh dan beberapa jamuan makanan. Beberapa teko dan gelas, beserta jamuan, ia letakkan di meja tamu. "Ini Neng Aisyah? Istrinya Mas Devan ya? Manis sekali. Kenalin Neng, ini Mbok Ginah dan Ini Neli anak saya yang baru pulang kerja dari Arab. Kebetulan, dia sudah berhenti bekerja. Boleh kah dia sama Mbok bekerja di sini? Sekalian jagain Enang jika Nak Devan pergi. Nak Devan itu sudah saya anggap anak sendiri," tutur Mbok Ginah sambil duduk di samping anaknya berumur sekitar 22 tahun. Aisyah mengamati Neli dan Mbok Ginah. Kemudian ia menoleh kepada Devan. "Bagaimana Mas Devan? Apa mereka b
Sore itu, Devan ingin membawa kue pemberian wanita asing ke Klinik milik Dokter Virginia. Namun, pria itu bingung karena Aisyah tidak mau diajak. Padahal Devan hanya ingin mengungkap keganjilan pada kue tersebut. "Syah, sebelum kue ini basi, ayo kita ke Klinik. Aku nggak mau kamu di rumah sendirian karena nggak ada yang jaga. Plis, ikut yuk? Kita harus tahu siapa wanita asing yang memberi kue pada kita itu!" Devan masih mendesak Aisyah untuk pergi ke Klinik. Baginya, keselamatan Aisyah lebih penting dari segalanya. Sedikit pun Devan nggak mau jika istri tercintanya celaka atau dijahatin orang. Apalagi Aisyah sedang mengandung benihnya. Suatu keluarga kecil yang harus diperjuangkan. "Tapi Mas, aku masih sedikit mual. Aku di rumah sendiri nggak papa. Yang jelas, kamu jangan lama-lama di sana. Aku 'kan bawa ponsel, jadi kamu jangan khawatir. Kita Bisa teleponan." Aisyah masih kelelahan sehingga ia hanya ingin di rumah untuk istirahat. Devan mendengus pelan. "Apa aku panggilkan Mbok
Rina sedang mengintai di balik celah jendela yang terbuka yang ada di samping kamar yang mengarah ke jalanan luar. Karena waktu itu Aisyah ada di kamar dan beristirahat dengan Devan. Wanita itu sedang memastikan apakah kita yang ia bawa benar-benar dimakan oleh Aisyah. "Kalau kamu suka dengan roti ini, saya ambilkan pisau pemotong kue dulu ya? Agar makanannya enak!" Devan mengambil pisau roti yang ada di atas piring kecil dekat dengan nakas. Kebetulan pisau tersebut ada di situ. Devan kemudian memotong-motong kue tersebut menjadi beberapa bagian. "Mas, kalau kamu suka, diicipin dulu ya rotinya. Kelihatannya enak banget! Porsinya juga jumbo. Pasti aku nek, jika makan kue sebanya itu!" Aisyah menyuruh Devan mencicipi kue yang dibawa oleh wanita yang katanya adalah suruhan dari Dokter Virginia. Yang sebenarnya wanita tersebut adalah Rina. "Oke deh, aku makan sepotong dulu!" Lalu Devan memakan sepotong kue berwarna coklat dan putih tersebut sepotong. Ia tergoda dengan ben
"Awas saja, aku tidak akan membiarkan janin yang dikandung Aisyah hidup. Kau telah mengambil Devan dariku. Aku juga bisa mengambil janinmu dan akan melenyapkannya." Siang itu, seorang wanita bergaun pink berdiri di balik pintu sambil menatap sinis ke arah Aisyah. "Ehm. Dek Rina, kenapa kamu di situ? Katanya ingin cepat pulang? Atau masih ingin mampir di sini. Nanti aku nitip uang ini untuk Mama ya?" Dokter Virginia ternyata adalah sepupunya Rina. Kebetulan Rina menjadi asisten baru Virginia saat ini. Jadi kesempatan untuk mencelakai Aisyah lebih besar. *** Pada siang itu, Aisyah sudah berada di rumahnya bersama Devan. Aisyah berbaring di ranjang tidurnya setelah meminum vitamin dari Dokter. "Sayang, kamu istirahat dulu ya? Kamu maunya dipesankan masakan apa agar nggak mual? Aku punya makanan rekomen yang sehat di restoran langgananku. Jadi, selama hamil, kamu nggak perlu repot," kata Devan sambil melihat-lihat layar ponselnya. Karena ia ingin memesan makanan online sehat
"Nggak papa. Terima kasih suamiku, aku menangis hari ini karena bahagia sekali," kata Aisyah yang masih dipeluk oleh Devan. Mereka menikmati pemandangan dari atas kemidi putar. "Udahlah jangan menangis lagi. Nanti kita turun beli es krim ya? Atau kita naik wahana lain?" tanya Devan yang masih di atas kemidi putar. Mereka berbincang saling tertawa dalam kesenangan sampai kemidi putar berhenti. Mereka turun dari kemidi putar menuju kantin yang menyediakan berbagai makanan dan minuman termasuk es krim. Dua wadah es krim coklat vanila sudah ia pesan. Devan dan Aisyah menikmati es krim sambil duduk di taman yang di depannya penuh dengan bunga. "Es krimnya nambah nggak? Kalau nambah, saya pesankan?" Devan menikmati es krim sambil menoleh ke Aisyah yang juka menikmati es krim dengan lahap. Dalam hati ia tertawa sendiri karena istrinya sangat menggemaskan. "Udah. Tapi Mas, perutku mual banget. Aku seperti ingin muntah! Di sini nggak ada kamar mandi ya?" Ketika Aisyah suda