Aku menggeloyor pergi ke dapur, memanaskan semur masakan ibu tadi. Kemudian aku siapkan placemate kain dengan hiasan sulaman Ibu, yang diatasnya aku taruh piring dan sendok garpu. Gelas tinggi berisi air putih.Semur Daging aku sajikan di mangkuk besar dan ditaburi bawang goreng. Selesai."Mas Ilham! Makanannya sudah siap!" teriakku. Ibu sudah pergi, terlihat dia mengamati foto-foto lama yang dipajang di atas buffet. Mendengar panggilanku, dia langsung melangkah ke meja makan yang aku sudah duduk di sana."Semur buatan ibu pasti enak!" teriaknya sambil menyodorkan piring kosong minta di ambilkan."Kenapa, sih, tidak mau ambil sendiri? Semua sudah di siapkan!" ucapku sambil mengambilkan makanan untuknya."Kalau diambilkan kamu rasanya lain. Lebih enak," katanya langsung mengantap makanan dengan lahap."Lebih enak, bagaimana? Makanannya kan sama.""Ya bedalah. Berasa sudah punya istri.""Gombal!" sahutku mendengus kesal, menutupi rasa yang sebenarnya.Ibu ... cepet pulang, dong!*Sete
POV IBUNYA KARTIKAMempunyai anak seperti Kartika merupakan anugrah buatku. Dia tidak hanya cantik tetapi juga pintar, aku sangat bangga terhadapnya. Bagaimana tidak bangga, waktu itu dalam satu kecamatan dia sendiri yang diterima di perguruan tinggi negeri yang terkenal di negeri ini. Fakultas Pertanian pilihannya. Aku ingat saat mengadakan syukuran keberhasilannya, semua orang di kampung mendoakan kesuksesannya. Kampung kami yang mayoritas adalah petani, mempunyai harapan besar akan keberhasilan Kartika. Setiap ada yang bertanya tentang sekolahnya dimana, aku dengan bangga mengatakan bahwa Kartika kuliah di Fakultas Pertanian.Diapun sangat penurut. Semua yang aku ajarkan selalu dilakukan dengan benar. Anjuran dan perkataanku selalu dia dengar.Satu kali dia membantah, dan itu adalah keputusan besarnya, yaitu dia akan menikah langsung setelah wisuda. Antara senang dan sedih di perayaan wisuda saat itu. Senang karena aku naik ke panggung sebagai orang tua lulusan terbaik dan sedih
POV KARTIKA"Kartika, ini bagaimana? Ibu ditanya banyak orang tentang kalian berdua!" tanya ibu sepulang dari pasar.Kekawatiranku benar-benar terjadi. Ini baru ibu yang keluar dari rumah. Entah apa yang terjadi denganku ketika melangkahkan kaki keluar dari halaman. Bisa dipastikan tetangga menanyakan kabar yang sama."Kalian ini ke sana-sini berdua, pastilah orang-orang membicarakan kalian. Apalagi ada video di internet. Sudah ibu bilang, di sini ini bukan kota, ini kampung. Urusan kita, ya urusan mereka. Makanya jaga sikap! Hati-hati! Itu terus ibu ulang-ulang," ucap ibu panjang lebar.Ibu menaruh barang belanjaan di meja dapur. Ada daging, ayam, kentang dan sayuran lainnya. Banyak sekali belanjaannya, bisa satu minggu untuk kita berdua."Kamu sudah mandi, kan?" Aku jawab dengan anggukan."Ya, gitu. Jadi perempuan itu, pagi Subuh langsung mandi. Dulu, bapakmu bangun tidur sudah melihat ibu dalam keadaan sudah cantik, sudah mandi. Begitu juga kamu nantinya!" tambahnya.Aku menatap ib
Ada mobil sport berwarna hitam, baru terparkir di depan rumah Bu Asih. Pintunya sudah terbuka, terlihat kaki keluar melangkah kemudian terlihat dia siapa."Mas Faiz," ucapku lirih.Laki-laki yang dahulu aku rindukan, menghampiri kami dengan langkah panjangnya. Senyum yang dahulu selalu menghiasi wajahnya, sekarang terganti dengan wajah merah padam. Kemarahan terlihat jelas di sana."Itu Faizal mantan suamimu?" tanya Mas Ilham kepadaku. "Iya. Tidak tahu, kenapa dia ke sini," jawabku lirih.Aku langsung turun dari motor dan diikuti Mas Ilham. Dia langsung melangkah dan berdiri di depanku, menyembungikan wajah piasku dari pandangan Mas Faiz.Sama dengan Mas Faiz, wajah Mas Ilham sama-sama mengeras.Aku pegang lengan Mas Ilham yang sudah bersiap menjadi bentengku. "Kartika! Saya mau bicara denganmu!" teriak Mas Faiz. Dia mencoba menggapai tanganku. Dengan cepat Mas Ilham menepis tangannya, mereka saling berhadapan dengan sikap sudah bersiap. Kedua tangan mereka mengepal keras dengan
"Maaf kejadian tadi, ya. Kita jadi tertunda ke rumahmu," ucapku setelah semuanya menjadi tenang. Mamanya pasti menunggu kami sejak tadi pagi."Tidak apa-apa. Tadi aku sempat mengabarkan ke Mama, kalau kita tidak bisa datang pagi. Kita berangkat sekarang?""Iya, berangkat sekarang saja. Sebelum panas. Kasihan Bu Aisyah menunggu kalian," ujar ibu.Kami berangkat menuju rumah Mas Ilham dengan menggunakan motor. Benar dugaanku, sepanjang jalan orang memandang kami. Tak jarang mereka menghentikan aktifitasnya hanya sekedar menyapa kami. Mas Ilham terlihat menikmati itu. Tanganku ditangkup di pinggangnya, dan sesekali dipastikan kembali seperti semula ketika aku menariknya. Dia malah melajukan motor dengan pelan, menebar senyuman dan sapaan ke semua orang yang menatap kami.Aku merasa menjadi tontonan orang sekampung.Setiba di rumahnya, kami langsung disambut Ibu Aisyah. Benar apa yang dikatakannya, Ibu Aisyah cantik, lembut dan baik. Kami langsung digiring ke meja makan dengan hidangan
"Kartika, aku tidak bisa ikut pertemuan. Kamu temani Pak Lurah, ya. Saya ke kantor ada yang harus diselesaikan, kamu tidak marah, kan?" tanya Mas Ilham ketika menjemputku."Aku tidak apa-apa, Pak Lurah bagaimana?""Tadi malam sudah aku telpon. Tidak apa-apa, kok. Yang penting kamu datang karena yang dibahas bidang pertanian. Aku antar kamu sekarang.""Lebih baik aku berangkat dengan rombongan kelurahan," usulku. Karena kalau dia ke kantornya akan mengambil jalan memutar. Tidak efektif."Tidak! Aku harus mengantarmu. Pakde tadi sudah berangkat. Nanti pulangnya, kamu juga aku jemput," tandasnya.Semakin lama aku merasa sikapnya semakin protektif. Kemana-mana harus berdua. Alasan tidak aman, atau sekedar hanya kangen. Awalnya aku merasa senang sih, dilindungi dan dirindukan oleh seseorang seperti Mas Ilham. Walaupun kadang-kadang merasa risih.Dahulu Mas Faiz walaupun sering cemburu, dia tidak seprotektif ini. Aku bisa melaksanakan kegiatanku tanpa dikuntitnya."Di pertemuan nanti kamu
Aku mengikutinya ke panggung diiringi tatapan semua peserta. "Kartika, saya mau bertanya. Kenapa anda bilang kalau kita harus fokus dengan pengolahan hasil pertanian. Kenapa tidak di pemasaran saja yang diperluas?" tanya Pak Pemateri.Ini sebenarnya yang menjadi pemateri siapa sih. Kok sekarang aku yang ditanya? Apa dia tidak suka dengan apa yang aku bicarakan tadi dan sekarang dia membalasku? Tetapi dari ekspresi wajahnya yang tersenyum, tidak menunjukkan hal demikian.Okey, aku tanggapi tantangannya. Aku tarik nafas dalam-dalam kemudian menjawabnya."Pertama, hasil pertanian tidak tahan lama. Pilihannya menjual atau mengolah. Menjual berarti menyerah dengan harga yang rendah. Mengolah berarti kita membutuhkan kreatifitas dan tehnologi. Pemasaran tetap diperluas, tetapi dengan produk yang beragam. Bisa produk yang segar dan bisa juga hasil olahan," terangku. "Kalau sudah tahu solusinya, kenapa tidak dilaksanakan?" tanyanya kembali.Aku menoleh ke arahnya dengan membulatkan mataku,
"Kamu bertemu dimana dengan baj*ngan itu?" Akhirnya, dia mulai bersuara dan dengan nada yang rendah."Dia pemateri di pertemuan tadi. Mas Ilham jangan salah paham. Tadi aku duduk di sini menunggumu dan orang itu datang. Akupun sudah bilang kalau sa ....""Stop! Aku tahu kamu tidak salah. Aku tidak marah dengan kamu, Tika," ucapnya dengan nada mulai lembut.Dia mengambil tanganku dan menggenggamnya erat. "Aku tahu benar siapa baj*ngan itu. Penjahat wanita yang kemana-mana tebar pesona. Kenapa aku harus bertemu lagi dengannya?" ucapnya dengan geram.Aku semakin heran, kemungkinan mereka pernah bertemu atau, bahkan pernah berurusan. Sikap dan perkataan Mas Ilham seperti punya dendam terhadapnya."Mas ... lebih baik kita pergi. Mencari tempat yang tenang," ucapku. Dia mengangguk dan segera berdiri. Kami menuju tempat dimana dia memarkir mobil, dengan tanganku masih tergenggam erat olehnya."Ilham ...! Tunggu!" Pak Pemateri lagi, dia berlari menghampiri kami, entah apa maunya dia. Mas