Share

Part 8

Author: Khanna
last update Last Updated: 2021-08-29 12:00:18

“Mas, kira-kira Eliza udah tidur belum ya?” tanyaku saat di dalam mobil.

“Hmmm, mana aku tau, Dek. Dari tadi ‘kan aku bareng terus sama kamu. Kamu ini, tanyanya aneh-aneh saja deh.”

“Iya, iya … pertanyaanku aneh … aku ‘kan penasaran. Apa nggak boleh kalau tanya begitu?”

Bibirku sedikit manyun saat respon mas Lutfan seolah memojokkanku. Tinggal ngomong ‘nggak tau, Dek’ gitu aja kenapa sih? Tidak usah diembel-embeli dengan ucapan lain yang membuat perasaan ini menjadi merasa sebal.

“Boleh Sayang … maksudnya bukan gitu. Kamu ‘kan tau sendiri, sejak tadi aku selalu bersamamu, Dek. Kok kamu jadi manyun gitu sih?”

“Kamu sih, Mas. Tinggal ngomong nggak tau aja apa susahnya? Kenapa menganggapku aneh sih?”

“Ya ampun Sayang … kayak gitu aja kok dipermasalahin sih, Dek? Iya, iya … aku salah, aku minta maaf.”

Saat mengatakannya dia tersenyum lebar.

“Tuh ‘kan? Malah senyum-senyum gitu … kamu nggak ikhlas minta maafnya ya, Mas. Masa kayak lagi meledekku begitu sih?” ucapku, semakin merajuk.

“Ikhlas Sayang … ikhlas banget. Udah ya Sayang, jangan diterusin lagi. Ntar jatah malam ini jadi hilang deh.”

“Apaan sih, kamu Mas.”

Aku masih saja cemberut, namun sebenarnya sedang menahan senyuman. Ucapannya tadi membuat hatiku tergelitik.

“Iya ya? Harus pokoknya. Hehehe.”

“Kamu curang sih … aku jadi gagal ‘kan, marahnya ….”

Kucubit perutnya yang mulai ada sedikit lemak itu. Biar dia kapok sudah mengagalkan  kejengkelanku.

“Auw! Sakit Dek. Awas aja ntar. Hehehe.”

Tok, tok, tok ….

“Assalamu’alaikum!” sapa mas Lutfan saat berada di depan pintu rumah.

Gerbang depan sengaja dibiarkan tak terkunci. Namun, pintu rumah selalu saja terkunci jika dirasa sudah cukup malam. Sekitar jam Sembilan pintu rumah sudah terkunci dari dalam.

“Iya, wa’alaikumsalam.”

Seseorang yang menjawab salam terasa masih asing di telingaku. Benar saja, saat pintu dibuka Eliza-lah yang membukanya, tentu saja dia orang yang menjawab salam itu.

“Eh Bapak sama Ibu sudah pulang, silakan masuk,” sambutnya ramah.

Rasanya aneh saat orang lain yang membukakan pintu untuk kami. Biasanya ibu yang akan membukanya. Tentu saja dengan segala pertanyaan yang beliau lontarkan.

“Oh iya, terima kasih. Ibu sudah tidur ya?” tanya mas Lutfan, aku hanya mengekor saja.

“Tadi sih masih terjaga, Pak. Tapi nggak tau sekarang.”

“Oh begitu. Oh iya, Eliza. Panggil kami dengan sebutan mas sama mbak aja ya? Umur kita nggak terlalu jauh juga kok,” ucapnya kepada pembantu baru kami. “Ayo Dek.” Mas Lutfan menggandeng tanganku, pergi menuju ke dalam kamar.

Sedangkan Eliza kembali mengunci pintunya.

“Eh kalian udah pulang?”

Pertanyaan itu menghentikan langkah kami. Ya, suara itu milik ibu mertua.

“Iya ini, Bu. Baru aja sampai. Ibu kok belum tidur?” tanya mas Lutfan.

“Ini juga mau tidur, Fan. Tadi haus, mangkanya ibu keluar lagi ke dapur. Fan, dompetnya kamu taruh sesuai perintah Ibu ‘kan?”

Sebelum menjawab, mas Lutfan melihat ke arahku. Entah apa maksudnya, aku pun tak tahu.

“Kenapa? Kok lihat Salwa? Atau jangan-jangan, Salwa melarangmu?”

“Ibu … kok bicaranya gitu sih? Apa nggak boleh aku melihat istriku sendiri. Ibu ini pikirannya aneh-aneh saja sih. Dompet itu sudah kami letakan sesuai perintah Ibu kok.”

Raut wajah mas Lutfan terlihat sedikit menahan rasa jengkel.

“Oh … bagus deh kalau gitu. Kamu nggak membukanya ‘kan, Fan?”

“Sebenarnya dompet itu isinya apa sih, Bu? Kenapa aku nggak boleh lihat?”

“Udah … nggak penting apa isinya. Yang penting kamu simpan dompet itu baik-baik. Dan ingat! Jangan sampai kamu buka dompet itu.”

Selesai mengucapkan kalimat yang sedikit dibumbui dengan ancaman itu, beliau pergi meninggalkan kami ke kamarnya kembali.

“Dek, kok ibu gitu sih?” tanya mas Lutfan kepadaku.

Sedari tadi aku hanya mendengarkan percakapan mereka berdua saja. Tidak mau ikut campur. Ada mas Lutfan ini yang bisa tegas menjawab segalanya.

“Aku juga nggak tau, Mas. Yang kutau ibu itu kayak kamu, sama-sama keras kepala. Hehe.”

“Eh, eh … kok malah meledek suamimu yang tampan ini sih? Awas aja kamu ya, Dek.”

Aku sedikit berlari menuju ke dalam kamar. Namun, sekejap mataku menangkap seseorang yang sepertinya sedang mengawasi kita berdua. Tapi sudahlah, paling hanya bayanganku saja.

“Dek, tunggu aku dong ….”

Mas  Lutfan mengejarku ke dalam kamar.

“Mulai hari ini, setiap pulang dari toko kamu harus mandi ya, Dek,” ucapnya di atas pangkuanku.

Kami baru saja selesai membersihkan diri.

“Dulu aku ‘kan mandi juga, Mas. Tapi kalau malas hanya membasuhnya saja sih. Hehe.”

“Nah itu maksudku, Dek. Kamu jangan malas. Pokoknya harus rajin mandi.”

“Dingin Mas, jadinya aku malas mandi.”

Tanganku membelai mesra rambutnya yang masih basah. Sesekali memainkan hidungnya yang mancung.

“Ada aku ‘kan, yang jadi selimutmu, Dek. Hehehe.”

“Oh ya? Hehe. Ayo Mas, tidur.”

Dia mengikuti perintahku. Kini kami sudah di posisi masing-masing.

“Sayang, aku ingin menagih janjimu padaku.”

“Ih … janji apa Sayangku. Hehe.”

Tak mau berlama-lama, mas Lutfan langsung saja memulai aksinya itu. Ya, katanya aku harus memberikan jatah yang tadi pagi kujanjikan untuknya. Padahal dia sendiri yang meminta jatah itu, bukan aku yang berjanji padanya. Ya sudahlah, seorang istri harus taat dengan segala titah sang raja. Tentunya dalam segala kebaikan.

*** 

Waktu terus bergulir. Sudah seminggu Eliza membantu ibu di rumah ini. Selama itu tidak ada hal aneh yang terjadi. Ya, dia layaknya seorang pembantu yang mengerti kesopanan kepada seorang majikannya. Semoga saja tetap saja begitu.

Kebetulan hari ini adalah hari minggu. Hari dimana bisa sedikit lebih bersantai saat di rumah karena memang jadwal toko untuk libur. Apa lagi sekarang ada Eliza, pekerjaan rumah sudah tak terlalu kupikirkan. Itu ‘kan maunya ibu kepadaku.

“Liza, tolong bantu Lutfan cuci mobilnya ya? Bilang aja Ibu yang nyuruh.”

Aku mendengarnya dari dalam kamar. Hari minggu sering digunakan oleh mas Lutfan untuk mencuci mobilnya sendiri. Dia tidak mau membawa ke tempat pencucian mobil yang menurutku lebih memudahkannya. Tapi entah apa alasannya, dia inginnya mencuci sendiri. Ya, mungkin itu sudah menjadi hobby-nya.

“Ngapain Liza disuruh bantu cuci mobil sih? Ngapain kek, asalkan jangan bantu cuci mobil,” gerutuku.

Sengaja aku keluar dari kamar. Segera menyusul ke halaman depan melihat mas Lutfan mencuci mobil. Biasanya aku tak pernah melakukan hal ini. Buat apa menonton orang yang sedang mencuci mobil, lebih baik melakukan hal yang lebih bermanfaat lainnya. Tapi karena ini urgent, mau tak mau aku harus melihatnya.

Related chapters

  • Ketika Mertua Ikut Campur   Part 9

    Saat aku berdiri melihat ke arah mobil yang sedang dicuci, di sana ada mas Lutfan yang masih belum melanjutkan hobby mencucinya itu. Dia masih berbicara dengan Eliza. Aku berinisiatif untuk mendekati mereka.“Mas …,” panggilku.Perbincangan mereka berhenti seketika. Terlihat dari raut wajah mas Lutfan terlihat ketidaksukaan.“Dek, tumben kamu mau mendatangiku pas lagi cuci mobil begini,” tanyanya.“Ya … pengin lihat kamu aja, Mas. Kalian ngomongin apa?”Eliza hanya terdiam, terlihat sungkan kepadaku.“Ini ibu aneh-aneh aja. Masa si Liza disuruh membantuku mencuci mobil. Aku bisa sendiri lho, Dek," sungutnya, terlihat jelas dari raut wajahnya jika dia benar-benar tidak suka.“Mungkin takut kamu capek kali, Mas. Jadi ibu menyuruh Liza untuk bantuin kamu.”Aku berusaha tenang meski hatiku ikut bergemuruh karena ulah ibu mertuaku itu.“Capek gimana, De

    Last Updated : 2021-08-29
  • Ketika Mertua Ikut Campur   Part 10

    “Liza nggak bisa pakai mesin cuci?” tanya mas Lutfan heran.“Eh itu Mas, soalnya mesin cucinya beda sama yang sering kupakai. Ini lebih bagus, ya jadi—““Benar Fan, Ibu memakluminya kok. Nggak apa-apa, Ibu senang bisa mengajarinya seperti ini.”Mereka benar-benar bersekongkol mengatakan kebohongan ini. Aku bertambah penasaran, kenapa ibu mertua dengan Eliza bisa sekompak itu. Sudahlah … aku harus lolos dari kamar mandi ini terlebih dulu. Perlahan kubuka pintu kamar mandi dan cepat-cepat pergi dari sana.Dengan langkah seperti orang berlari, aku pergi menuju kamar. Tentunya dengan tak mengeluarkan suara. Sesampainya dikamar, aku berusaha mengatur napas yang sedikit ngos-ngosan, padahal tak terlalu jauh tapi tetap saja terasa capek. Mungkin karena takut ketahuan menjadi adrenalinku ikut terkuras.Aku berpura-pura duduk santai seperti tak terjadi apa-apa. Tinggal menunggu mas Lutfan datang saja.

    Last Updated : 2021-08-29
  • Ketika Mertua Ikut Campur   Part 11

    “Ibu bisikin apa ke kamu, Za?” tanya mas Lutfan, kami sudah jalan menuju pasar swalayan terdekat.“Emm … itu Mas. Kata ibu rahasia,” ucap wanita berambut pendek itu.“Hm? Rahasia?” Mas Lutfan semakin penasaran. Aku cukup mendengarkan saja.“Iya, bilangnya gitu. Jadi saya nggak berani kasih tau sama Mas.”Ya, benar juga sih apa katanya. Dia hanya berusaha menjaga rahasia yang ibu amanatkan kepadanya. Tapi kenapa Eliza yang harus menjaga rahasia itu? Semakin tak mengerti aku dengan kedekatan mereka.Kini mas Lutfan hanya diam. Mungkin dia akan menanyakannya langsung kepada

    Last Updated : 2021-08-29
  • Ketika Mertua Ikut Campur   Part 12

    “Ada apa sih, Mas?”Nadaku sedikit ketus. Tentu saja, karena aku ke sini—ke dalam kamar, jadi tidak bisa mencari tahu lebih lanjut apa tujuan mereka ‘kan?“Dek … kok gitu sih? Datang-datang malah kayak orang yang lagi marah?”“Lha kamu ngapain panggil aku. Aku lagi mau bantu ibu di dapur lho?”“Kan udah ada Eliza, Dek. Kamu santailah di sini sama aku.”“Tadi ‘kan katanya boleh, aku mau bantu ibu, Mas. Sekarang malah dipanggil ke sini lagi.”Perasaanku menjadi jengkel karena ul

    Last Updated : 2021-08-29
  • Ketika Mertua Ikut Campur   Part 13

    “Mas, jangan marah dong. Mungkin maksud ibu baik, Mas.”Aku duduk menghampirinya setelah menyelesaikan makan.“Ibu keterlaluan, Dek. Masa cuma makan diatur juga. Mau makan banyak atau sedikit, itu terserah aku lah. Aku bukan anak kecil lagi lho, Dek.”“Namanya orang tua, Mas. Pasti tetap menganggap anaknya seperti anak kecil meski dia sudah dewasa. Udah ya, jangan marah.”“Jangan bela ibu terus, Dek. Emang orang tua nggak bisa salah? Mereka egois, Dek.”“Iya, aku tau Mas. Tapi ‘kan itu orang tua kita. Harus tetap dihormati dong. Aku sering lho Mas, digituin sama ibu.

    Last Updated : 2021-08-29
  • Ketika Mertua Ikut Campur   Part 14

    POV Lutfan“Fan, Eliza cantik ‘kan?” tanya ibu tiba-tiba.Beliau tersenyum bangga. Untuk apa ibu bertanya semacam itu? Nggak penting banget sih!“Wanita pasti cantik, Bu. Ibu juga cantik ‘kan?”Tentu saja jawabanku ketus. Pertanyaan ibu benar-benar aneh.“Bukan gitulah, Fan. Maksud Ibu nggak kalah cantik sama Salwa ‘kan? Ibu pintar kalau pilih wanita, pasti cantik.”Beliau kembali membanggakan dirinya sendiri. Apa untungnya ibu melakukan hal semacam itu? Aku sama sekali tak terpengaruh.“Tentu saja cantikan Salwa, Bu. Dia ‘kan istriku. Sedangkan Eliza ….”Sengaja tak kuteruskan perkataanku. Dia ada di belakangku. Meski aku tak suka, bukan berarti aku menyakiti hatinya dengan perkataan kasar menurutku.“Yang penting dia cantik ‘kan? Ibu pintar pilihnya.” Kemba

    Last Updated : 2021-08-29
  • Ketika Mertua Ikut Campur   Part 15

    “Gimana Wa?” Bapak mertua kembali mempertanyakan pencarianku.Sebenarnya aku sudah menemukan peci itu, namun sengaja pura-pura tak melihatnya. Aku belum puas mencari sesuatu yang bisa menjawab rasa penasaranku.“Nggak ada, Pak. Ibu nyimpennya dimana sih? Kok susah banget dicari,” ucapku, mendustai.“Nah ‘kan, apa kata Bapak.”“Coba cari lagi ya? Siapa tau ketemu.”Kini aku pergi ke nakas. Kucari sesuatu di dalam lacinya.‘Eh, air apa ini?’Aku kembali menemukan hal yang janggal. Ada botol bekas air mineral yang tersimpan di dalam laci nakas. Memangnya air apa yang ada di dalam botol bekas itu?‘Hmmm … baunya harum. Warnanya juga pink. Apa ya kira-kira?’Dalam benakku aku hanya bisa menerkanya.‘Eh, apa ini air rebusan mawar tadi? Kenapa ada di laci nakas kamar ibu?&

    Last Updated : 2021-08-29
  • Ketika Mertua Ikut Campur   Part 16

    POV Lutfan“Fan!”Ibu memanggilku dari depan pintu rumah. Aku baru saja selesai video call dengan Salwa dan menyimpan gawai ke dalam saku celana jeans-ku.“Iya, Bu ….” Aku menjawabnya seraya menghampiri beliau.“Ayo pamitan dulu sama bu Susi. Katanya tadi mau ke sini lagi. Kok malah nggak datang-datang. Kamu ini ya? Keburu pulang ini ‘kan?”Lagi, aku kena semprot sang paduka ratu ibunda tercinta. Aku lupa karena tadi asyik video call dengan Salwa. Biarlah, sudah sering ini kena omelan beliau.“Iya Bu, maaf … aku lupa. Tadi video call-an sama Salwa.”“Haduh … kamu ini. Nggak bisa jauh banget ya sama istrimu.”“Biarinlah Bu, Salwa ‘kan istriku.”“Aduh Bu … anakmu satu-satunya ini, kata anak-anak jaman sekarang dibilangnya bucin ya, Bu &hell

    Last Updated : 2021-08-29

Latest chapter

  • Ketika Mertua Ikut Campur   Part 55

    “Dek, Zidan belum bangun?”Pertanyaan yang wajib bagi mas Lutfan saat pagi hari. Setelah menyelesaikan sholat subuh, dia akan menghampiriku dan mempertanyakan hal tersebut.“Belum dong, Mas. Tau sendiri ‘kan? Jadwal Zidan bangun pagi jam berapa? Agak siang biasanya.”“Hehe, tau sih. Kalau nggak tanya rasanya ada yang kurang, Dek.”“Kamu ini, Mas.”Aku sudah ada di dapur memasak untuk sarapan mumpung Zidan—anak kami masih terlelap tidur.“Dek, ternyata enak ya punya rumah sendiri. Bisa bermesraan dimana aja. Hehehe,” ucapnya seraya memeluku dari belakang.“Iya ‘kan? Kamu suka ‘kan, Mas?”“Iya Dek. Lebih enak kayak gini. Bebas, hati juga tenang.”“Tapi Mas, apa kamu mau memeluku begini terus? Aku mau masak dulu lho, mumpung Zidan belum bangun. Kalau bangun m

  • Ketika Mertua Ikut Campur   Part 54

    Cklek!Mas Lutfan membuka pintu.“Ayo, kalian langsung saja masuk ke rumah.”“Iya Fan, kami bermaksud datang ke sini kalau sudah pagi. Ternyata kamu menelponku untuk segera datang ke sini. Kebetulan, kami sudah mendapatkan bukti dan jawaban atas penyelidikan ini.”“Bagus, Fif. Sekalian jelaskan di depan kami semua. Ada kejadian lain yang harus kuusut agar semua menjadi bertambah jelas. Ayo masuk dulu.”“Iya, ini sekalian aku bawa tersangka yang menaburkan tanah kuburan itu, Fan.”Mereka memasuki ruang tamu. Semua sudah berkumpul.“Bu Susi … ada apa ini? Kenapa Bu Susi datang dengan teman-teman Lutfan?”Wajah ibu mertua terlihat sangat khawatir. Apa semua akan terbuka hari ini? Ya, semoga saja semua terungkap. Aku capek dengan apa yang sudah terjadi.“Aku sudah ngomong ‘kan, Bu. Ibu akan men

  • Ketika Mertua Ikut Campur   Part 53

    Tok, tok, tok!Kencang mas Lutfan mengetuk pintu kamar ibu mertua. Wajahnya benar terlihat sangat marah. Apa dia jujur dan tidak membohongiku?“Ibu! Keluar!”Suara mas Lutfan sangat lantang. Tangannya tak henti menggedor pintu kamar beliau.Cklek!“Ada apa ini, Fan? Kenapa tengah malam begini kamu berisik banget sih?”Sepertinya ibu mertua sudah bangun tidur dari tadi. Wajahnya tidak memperlihatkan jika beliau baru saja bangun, matanya sudah terlihat segar.“Bu jelaskan segala yang Ibu perbuat pada kami. Maksud Ibu apa?”“Maksud kamu apa sih? Ibu nggak paham dengan semua ucapanmu.”Tangan mas Lutfan meraih lengan Eliza. Dia melemparnya kehadapan ibu.“Eliza! Bicara sama Ibu!”“Maksud kamu apa sih, Fan? Eliza kenapa?”“Ada apa ini?”Ba

  • Ketika Mertua Ikut Campur   Part 52

    Aku berjalan menyusuri setiap ruangan. Mataku fokus mencari keberadaan mas Lutfan.“Dimana dia? Sebenarnya apa yang sedang terjadi?”Dari ruang tamu sampai ke ruang tengah sudah kutelusuri, tidak ada batang hidungnya di sana. Aku semakin gusar.“Kamu dimana sih, Mas?”Sepanjang langkah ini, mulutku terus bergumam. Kini aku melangkah ke dapur. Entah mengapa langkahku justru tertuju ke kamar Eliza.“Kenapa aku berjalan ke sini sih?”Telingaku samar mendengar suara seseorang yang sedang mendesah. Kepalaku menjadi berpikir yang bukan-bukan. Apa mungkin mas Lutfan ada di dalam kamar ini? Dia yang setia apa mungkin melakukan perzinahan di belakangku? Lemas rasanya jika semua benar terjadi.Tanganku mencoba memutar gagang pintu. Siapa tahu pintu ini tidak dikunci. Rasa penasaranku terpanggil dan ingin segera mengetahui apa yang terjadi di dalam kamar.

  • Ketika Mertua Ikut Campur   Part 51

    POV Afif****Mobilku mulai memasuki halaman rumah bu Susi yang memang cukup luas. Damar yang dari tadi di belakang mobil kini memarkirkan motor di depan kami.“Ayo turun,” ucap Hari pada pak Dito.Terlihat jelas jika dia sangat ragu dan tidak ingin turun dari mobil.“Aku takut, Pak.”“Nggak usah takut. Dia polisi. Pasti akan menggunakan jalur hukum. Ayo turun. Nggak usah takut,” ucapku.Dengan raut wajah yang terlihat khawatir, akhirnya dia mau turun juga. Kami turun dari mobil. Ada Damar yang sudah menunggu kami.“Lama banget,” protesnya.“Dia takut, Mar.”“Oh, ada pak polisi, nggak usah takut. Ayo, Pak Dito jalan di depan.”Dengan begitu, pak Dito memandu jalan kami. Tangannya masih terborgol. Kami tidak mau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, lebih baik sem

  • Ketika Mertua Ikut Campur   Part 50

    POV Afif****“Bagus kamu bisa ikut sama kami, Har. Kita tunggu beberapa saat lagi, pasti orang itu akan muncul.”Kami sudah berada di dalam mobil. Kini kami tidak membawa motor. Ada Hari—teman polisiku juga yang sekarang ikut dalam penyelidikan. Aku sudah berbicara dengan Lutfan sebelumnya, dia sangat setuju dan ingin langsung diusut.“Iya, aku jadi ikut penasaran. Buat apa ada orang yang menabur tanah kuburan di depan toko seperi itu. Mendengar ceritamu saja, aku jadi ingin tau alasannya apa.”“Kamu ini ‘kan aparat keamanan, aku jadi merasa aman kalau melakukan penyelidikan kayak gini. Kalau Cuma aku dan Damar kayaknya kurang gereget.”“Iya, tapi ‘kan aku nggak pakai seragam. Pasti dia mengira aku orang biasa saja, bukan polisi maksudnya.”“Nggak apa-apa. Yang penting kami tau kamu siapa. Hehe.”

  • Ketika Mertua Ikut Campur   Part 49

    Waktu bergulir begitu cepat. Toko kami masih laris seperti biasa. Ya, tentunya bertambah banyak orang yang datang membeli di toko kami. Sudah beberapa kali juga, ada uang yang tiba-tiba muncul di dalam laci. Jumlahnya pun lumayan besar, sekitar lima jutaan. Seperti awal kejadian ini dimulai. Kami tak percaya, namun kejadian itu benar terjadi di depan mata kepalaku sendiri. Hanya ditinggal sebentar saja, sudah ada segepok uang yang muncul di sana.Hari ini malam ju’mat. Saatnya Afif dan temannya beraksi kembali. Semoga saja dia menemukan jawabannya malam ini juga. Semua menjadi gamblang dan tak ada lagi kecurigaan.“Dek, malam ini penyelidikan ke dua. Semoga semua lancar dan mendapat jawabannya ya? Aku mau hidup tenang. Masalah ini selesai. Uang aneh yang tiba-tiba muncul, bisa terjawab juga. Aku nggak mau nafkah yang kuberikan padamu dan anak kita nggak halal, Dek. Aku nggak mau.”“Iya Mas, semoga saja penyelidikannya la

  • Ketika Mertua Ikut Campur   Part 48

    Seperti pagi-pagi biasanya, aku akan bangun lebih dulu. Mas Lutfan tak akan mau bangun meski alarm berdering sangat nyaring. Sama sekali tak mengganggu tidurnya. Jadi heran, ada orang yang seperti itu.“Mas, bangun dong. Udah tambah siang lho. Ayo sholat subuh dulu.”Aku mengucapkannya di dekat telinganya. Dia suka kalau aku melakukannya. Semoga saja masih mempan dan mau cepat bangkit dari kasur.“Iya Sayang … udah pagi aja ya?”Untung saja, dia langsung sadar. Jurus itu, ternyata masih manjur.“Iya, ayo bangun. Mandi sekalian biar segar.”“Lho, kan tadi malam kita nggak begituan, Dek. Kamu katanya capek, jadi aku nggak tega. Masa harus mandi sekarang.”“Biasanya juga gitu ‘kan? Mau habis itu atau nggak, ya kita mandi.”“Apa iya, Dek? Kamu nggak gitu lho? Kadang juga nunggu selesai masak baru mandi.&rdq

  • Ketika Mertua Ikut Campur   Part 47

    POV Afif****“Mar, buruan. Ntar malah orangnya jadi curiga.”“Iya, ini mau turun.”Dengan sangat berhati-hati, Damar turun dari mobil. Dia sengaja menuntun motor menjauhi mobil sebelum menyalakannya. Takutnya, orang tadi justru melihat lagi ke arah kami.Damar sudah lumayan menjauh dariku. Kini dia menyalakan motornya, menyelinap agar tak ketahuan. Sedangkan aku, menunggu orang itu benar-benar menyalakan motornya dan mencari jarak aman untuk membututinya. Ada Damar yang sudah siap sedia, dia akan langsung membuntuti orang itu dengan bergerilya.“Lho, malahan ngerokok dulu.”Aku geregetan saat mengetahui orang itu justru santai menghisap rokoknya. Dia santai sekali, apa nggak mau cepat-cepat pulang?“Eh, kamu sembunyi dimana? Dia malah ngerokok.”Damar memasang earphone di telinganya. Kami terhubung dengan sambun

DMCA.com Protection Status