“Ibu bisikin apa ke kamu, Za?” tanya mas Lutfan, kami sudah jalan menuju pasar swalayan terdekat.
“Emm … itu Mas. Kata ibu rahasia,” ucap wanita berambut pendek itu.
“Hm? Rahasia?” Mas Lutfan semakin penasaran. Aku cukup mendengarkan saja.
“Iya, bilangnya gitu. Jadi saya nggak berani kasih tau sama Mas.”
Ya, benar juga sih apa katanya. Dia hanya berusaha menjaga rahasia yang ibu amanatkan kepadanya. Tapi kenapa Eliza yang harus menjaga rahasia itu? Semakin tak mengerti aku dengan kedekatan mereka.
Kini mas Lutfan hanya diam. Mungkin dia akan menanyakannya langsung kepada ibunya.
“Dek, aneh ‘kan?” bisiknya.
Lagi, aku hanya berekspresi tak mengerti dengan mengangkat ke dua pundakku.
“Mau ibu apa sih?” gumam mas Lutfan, namun telingaku masih bisa mendengarnya meski samar.
Sesampainya di pasar swalayan, aku dan mas Lutfan pergi bersama mencari kebutuhanku. Semetara Eliza berjalan sendiri memenuhi daftar belanjaan yang harus dibelinya.
Beberapa saat setelah semua kebutuhanku terbeli, aku pergi mencari Eliza. Supaya cepat juga pulangnya. Sementara mas Lutfan tak tahu entah kemana. Tiba-tiba saja sudah tak ada di belakangku.
“Liza? Kenapa kamu beli bunga mawar segala?” tanyaku saat mendapatinya mengambil beberapa tangkai.
“Eh Mbak … itu Mbak, soalnya dari dulu sudah terbiasa merawat wajah pakai air mawar, Mbak. Jadi bisa buat sendiri di rumah. Nanti saya yang bayar kok Mbak,” ucapnya, senyum tetap manis tersungging di bibirnya.
“Oh, begitu … udah selesai ‘kan, ya? Kita mau cepat-cepat pulang.”
Percaya tak percaya, aku hanya bisa berusaha untuk mempercayainya saja. Lagi pula dia sudah berniat membelinya pakai uangnya sendiri, jadi buat apa kupusingkan.
“Sudah semua, Dek?” tanya mas Lutfan, menyusulku dari belakang.
“Udah yuk.”
Saat itu Eliza sudah menyimpan bunga mawarnya, sehingga mas Lutfan tak melihatnya. Kalau saja dia melihat, sudah pasti dipertanyakan olehnya.
***
Sesampainya di rumah, ibu mertua sepertinya menunggu kami pulang. Beliau sengaja duduk di teras rumah.
“Udah pada pulang? Kamu beli apa aja, Wa?” Mata beliau tertuju pada barang yang sedang kutenteng di tangan.
“Beli sepatu sama kerudung, Bu. Ya, ada keperluan mandi juga sih,” jawabku, santai.
“Eliza nggak kamu beliin juga?” tanya beliau.
“Hm? Beliin, apa ya, Bu?”
Tentu saja aku bingung. Belum ada sebulan kerja, masa iya aku sudah mau membelikan sesuatu. Ya … sebenarnya boleh-boleh saja sih, hanya aku belum terpikir sampai ke situ.
“Ya … sepatu atau apa? Terserah kamu, Wa.”
Aku melirik ke arah mas Lutfan. Aku ingin dia membantuku menjawab pertanyaan ibu yang semakin aneh.
“Itu gampang, Bu. Kalau Eliza sudah lama kerja di sini pasti Salwa akan akrab sama dia. Sudah pasti akan sering membelikan sesuatu untuknya. Semua butuh proses, Bu.”
Syukurlah, mas Lutfan tahu maksudku. Dia bisa memberikan alasan yang masuk akal.
“Iya Ibu, nggak apa-apa. Saya ‘kan masih baru di sini. Permisi.”
Dengan sopan Eliza membelaku, dia pun pergi membawa belanjaannya ke dapur.
“Wa, kamu terakhir datang bulan kapan? Tanggal berapa?”
Aku mengernyitkan keningku. Pertanyaan yang beliau ucapkan kembali terdengar aneh di telingaku. Sebelumnya ibu tak pernah menanyakan soal itu. Apa mungkin karena kemarin mas Lutfan mengatakan ingin segera punya buah hati, jadi sekarang ibu menanyakan hal ini. Entahlah, aku tak tahu maksud beliau apa.
“Tanggal lima, Bu. Emmm … kenapa ya, Bu?”
Rasa penasaranku tentu saja terpancing. Aku tanyakan saja kepada beliau.
“Nggak apa-apa sih, Wa. Ibu ingin tau aja. Siapa tau ibu cepat punya cucu. Sekarang ‘kan masih pertengahan bulan, lagi subur-suburnya, Wa. Semoga kamu cepat hamil ya?”
“Ya Bu, amin ….”
Sedikit mengganjal memang, saat ibu mertua seperhatian itu kepadaku. Alhamdulillah deh, kalau ibu memang bahagia jika aku cepat hamil. Berarti masalah yang lalu tentang perdebatan penundaan anak sudah tak lagi berlaku.
“Ibu mau bantu Eliza dulu.”
“Bu, tadi pagi Ibu bisikin apa ke Eliza?” tanya mas Lutfan, mencegah kepergian beliau.
“Emangnya Ibu melakukan itu?”
“Iya Bu. Ibu nggak usah pura-pura lupa ya? Aku tanya Eliza katanya rahasia. Rahasia apa sih, Bu?” Tanpa ragu, mas Lutfan tetap saja mempertanyakan hal itu.
“Bukan apa-apa, Fan. Sudahlah, nggak penting.”
Langkahnya yang tadi tertunda, kini beliau benar-benar meninggalkan kami. Pertanyaan mas Lutfan sama sekali tak mendapatkan jawaban.
“Tuh ‘kan, Dek. Ibu aneh. Kesel deh!”
Aku geli melihat ekspresinya yang kecewa. Benar seperti anak kecil saat tak mendapatkan hal yang dia mau.
“Udahlah, Mas … mungkin benar, semua itu hanya hal sepele. Yang penting ibu sudah kasih lampu hijau buat kita, Mas. Ibu sudah nggak marah kalau kita mau cepat-cepat punya anak. Harus bahagia dong, Sayang ….”
“Iya juga sih, Dek. Jadi tambah sering dong, bikinnya? Biar cepat jadi ‘kan, Dek. Tiap malam ya? Hehe … semangat Sayangku ….”
“Ah, kamu ini Mas. Semangat banget kalau mau begituan.”
“Lho? Ibadah lho Sayang. Enak lagi.”
“Sssttt! Udah Mas, aku malu kalau ada yang dengerin obrolan kita.”
“Kamu ini, masih aja malu-malu.”
“Udah Mas, aku mau nyusul ibu. Mau bantu-bantu juga di sana.”
“Oke Sayangku ….”
Setelah ganti baju, kini aku pergi ke dapur tempat ibu dan Eliza sedang memasak untuk makan siang. Perlahan aku melangkah, siapa tahu mereka sedang membahas rahasia di antara mereka.
“Kamu beli mawarnya ‘kan, Za?”
Tepat sekali, di saat seperti ini aku mendengar percakapan mereka. Ternyata ibu tahu soal bunga mawar itu. Apa Eliza sudah bercerita tentang kebiasaan merawat wajahnya juga kepada ibu mertua? Segitu dekatnya hubungan mereka?
“Ada kok, Bu. Sebentar aku ambil dulu. Tadi mas Lutfan nggak melihatnya, jadi nggak tanya aneh-aneh. Cuma mbak Salwa yang tau.”
Sepertinya Eliza sibuk mencari bunga mawar itu. Terdengar suara plastik kresek yang bertabrakan.
“Terus Salwa tanya apa?”
“Pertanyaan biasa aja sih, Bu. Terus kujelasin, dianya nggak tanya lagi. Ini, Bu ….”
“Oh iya, bagus. Jumlahnya pun pas.”
“Iya Bu. Sesuai pesanan Ibu.”
“Lho? Kenapa jadi pesanan ibu? Bukannya dia beli untuk membuat air mawar sendiri? Kenapa ibu?” gumamku, sungguh heran saat aku mendengar percakapan ini.
“Bagus kamu, Za. Nggak sia-sia Ibu bayar mahal. Kerjamu juga mulus. Siapin pancinya, kita rebus dulu.”
“Siap, Bu.”
Setelah itu, sudah tak ada percakapan yang penting menurutku. Kuputuskan untuk menghampiri mereka. Rasa kecewa pasti ada, semua seperti teka-teki yang sangat rumit bagiku. Sebenarnya mereka sedang merencanakan apa?
“Sedang masak apa, Bu?” tanyaku, muncul dari persembunyian yang tak mendapatkan jawaban apa-apa. Justru semakin membuat penasaran.
“Eh kamu, Wa? Kenapa ke sini? Kamu santai saja sana.”
“Lho? Kenapa Bu? Pengin bantu-bantu di sini, Bu.”
“Nggak usah Wa, udah ada Eliza. Kamu istirahat aja biar program hamilmu cepat jadi.”
“Kalau nggak ngapa-ngapain, capek juga lho, Bu? Kalau cuma masak, pasti nggak capek lah, Bu. Itu lagi ngerebus apa, Bu?”
“Dek ….”
“Tuh Wa, kamu dipanggil sama Lutfan. Sana samperin.”
‘Aduh … mas Lutfan, ngapain lagi sih? Nggak tau apa, kalau aku lagi jadi detektif.’ Aku hanya bisa menggeruti di dalam hati, seraya pergi meninggalkan dapur menemui mas Lutfan yang baru saja memanggilku.
“Ada apa sih, Mas?”Nadaku sedikit ketus. Tentu saja, karena aku ke sini—ke dalam kamar, jadi tidak bisa mencari tahu lebih lanjut apa tujuan mereka ‘kan?“Dek … kok gitu sih? Datang-datang malah kayak orang yang lagi marah?”“Lha kamu ngapain panggil aku. Aku lagi mau bantu ibu di dapur lho?”“Kan udah ada Eliza, Dek. Kamu santailah di sini sama aku.”“Tadi ‘kan katanya boleh, aku mau bantu ibu, Mas. Sekarang malah dipanggil ke sini lagi.”Perasaanku menjadi jengkel karena ul
“Mas, jangan marah dong. Mungkin maksud ibu baik, Mas.”Aku duduk menghampirinya setelah menyelesaikan makan.“Ibu keterlaluan, Dek. Masa cuma makan diatur juga. Mau makan banyak atau sedikit, itu terserah aku lah. Aku bukan anak kecil lagi lho, Dek.”“Namanya orang tua, Mas. Pasti tetap menganggap anaknya seperti anak kecil meski dia sudah dewasa. Udah ya, jangan marah.”“Jangan bela ibu terus, Dek. Emang orang tua nggak bisa salah? Mereka egois, Dek.”“Iya, aku tau Mas. Tapi ‘kan itu orang tua kita. Harus tetap dihormati dong. Aku sering lho Mas, digituin sama ibu.
POV Lutfan“Fan, Eliza cantik ‘kan?” tanya ibu tiba-tiba.Beliau tersenyum bangga. Untuk apa ibu bertanya semacam itu? Nggak penting banget sih!“Wanita pasti cantik, Bu. Ibu juga cantik ‘kan?”Tentu saja jawabanku ketus. Pertanyaan ibu benar-benar aneh.“Bukan gitulah, Fan. Maksud Ibu nggak kalah cantik sama Salwa ‘kan? Ibu pintar kalau pilih wanita, pasti cantik.”Beliau kembali membanggakan dirinya sendiri. Apa untungnya ibu melakukan hal semacam itu? Aku sama sekali tak terpengaruh.“Tentu saja cantikan Salwa, Bu. Dia ‘kan istriku. Sedangkan Eliza ….”Sengaja tak kuteruskan perkataanku. Dia ada di belakangku. Meski aku tak suka, bukan berarti aku menyakiti hatinya dengan perkataan kasar menurutku.“Yang penting dia cantik ‘kan? Ibu pintar pilihnya.” Kemba
“Gimana Wa?” Bapak mertua kembali mempertanyakan pencarianku.Sebenarnya aku sudah menemukan peci itu, namun sengaja pura-pura tak melihatnya. Aku belum puas mencari sesuatu yang bisa menjawab rasa penasaranku.“Nggak ada, Pak. Ibu nyimpennya dimana sih? Kok susah banget dicari,” ucapku, mendustai.“Nah ‘kan, apa kata Bapak.”“Coba cari lagi ya? Siapa tau ketemu.”Kini aku pergi ke nakas. Kucari sesuatu di dalam lacinya.‘Eh, air apa ini?’Aku kembali menemukan hal yang janggal. Ada botol bekas air mineral yang tersimpan di dalam laci nakas. Memangnya air apa yang ada di dalam botol bekas itu?‘Hmmm … baunya harum. Warnanya juga pink. Apa ya kira-kira?’Dalam benakku aku hanya bisa menerkanya.‘Eh, apa ini air rebusan mawar tadi? Kenapa ada di laci nakas kamar ibu?&
POV Lutfan“Fan!”Ibu memanggilku dari depan pintu rumah. Aku baru saja selesai video call dengan Salwa dan menyimpan gawai ke dalam saku celana jeans-ku.“Iya, Bu ….” Aku menjawabnya seraya menghampiri beliau.“Ayo pamitan dulu sama bu Susi. Katanya tadi mau ke sini lagi. Kok malah nggak datang-datang. Kamu ini ya? Keburu pulang ini ‘kan?”Lagi, aku kena semprot sang paduka ratu ibunda tercinta. Aku lupa karena tadi asyik video call dengan Salwa. Biarlah, sudah sering ini kena omelan beliau.“Iya Bu, maaf … aku lupa. Tadi video call-an sama Salwa.”“Haduh … kamu ini. Nggak bisa jauh banget ya sama istrimu.”“Biarinlah Bu, Salwa ‘kan istriku.”“Aduh Bu … anakmu satu-satunya ini, kata anak-anak jaman sekarang dibilangnya bucin ya, Bu &hell
“Mas, udah pulang?”Aku bangkit dari rebahan santai dan memenuhi panggilan mas Lutfan. Dia pun berjalan menghampiriku.“Ruang rindu di dalam hatiku sudah penuh dengan dirimu, Sayang ….”Tak ada habisnya mas Lutfan selalu saja membuatku terbuai dengan segala ucapannya.“Sudah mulai nih?”“Mulai apa, Dek?” ucapnya, sembari mencium pipiku.“Gombalnya dong, Sayang ….”Kini aku yang bergelayut manja kepadanya. Kami berjalan ke tempat tidur dan duduk di atas kasur.“Aku nggak pernah gombal sama kamu, Dek. Kuucapkan tulus sepenuh hati, hehe.”“Hehe … iya deh, aku percaya kok, Mas. Udah sore, kamu udah sholat belum?”Dia hanya tersenyum dan bergegas pergi ke kamar mandi untuk mengambil wudhu.“Salwa ….”Ibu mertua s
Setelah sholat maghrib, kami bersiap untuk makan malam bersama. Ya … jam waktu makan setiap harinya harus sama. Itu sudah menjadi peraturan yang wajib dipatuhi oleh anggota keluarga di sini. Tentu saja semua peraturan itu dibuat oleh paduka ratu ibu mertua terhormat. Tak ada yang bisa mengganggu gugat.Kecuali hari minggu kami memang tak akan makan siang dan malam di rumah, karena memang kami masih berada di toko belum pulang ke rumah.“Fan, makan yang banyak lho?”Ibu kembali membahas persoalan itu, padahal baru saja tadi siang mas Lutfan ngambek karena hal itu.“Ah Ibu! Nggak usah bikin napsu makanku hilang lagi, Bu!” sentak mas Lutfan, alis tebalnya pun hampir menyatu. Mungkin dia sangat tak suka jika diatur tentang persoalan makannya.“Bu … udah, tidak baik kalau diterusin. Siang tadi Ibu lihat sendiri ‘kan? Lutfan tidak menghabiskan makannya? Ibu mau dia begitu lag
“Dek, kenapa ibu makin ke sini makin nyebelin ya? Atau memang dari dulu begitu? Baru akhir-akhir ini saja aku yang kena terus. Kamu pasti sering begini ya, Dek?”Kami sudah menyendiri di dalam kamar, mendiskusikan semua yang sedang terjadi.Mendengar perkataannya seperti itu, mungkin dia baru menyadari jika selama ini alasanku menginginkan untuk pindah dari rumah ini adalah karena masalah yang sedang dirasakan olehnya saat ini. Ibunya terlalu keras kepala dan selalu berkomentar tentang segala hal.“Iya … emang begitu, Mas. Kamu merasakannya ‘kan sekarang? Semenjak kita memutuskan untuk punya anak, ibu semakin berlebihan gini. Masa iya, kebutuhanmu Eliza yang memenuhi segalanya. Kalau masalah sepele nggak mungkin aku merasa lelah ‘kan Mas.”“Nah itu makanya, Dek. Soal makanku segala, ibu mengomentarinya. Aku makan banyak buat apa coba? Ngomongnya buat kebaikanku. Emangnya selama ini p
“Dek, Zidan belum bangun?”Pertanyaan yang wajib bagi mas Lutfan saat pagi hari. Setelah menyelesaikan sholat subuh, dia akan menghampiriku dan mempertanyakan hal tersebut.“Belum dong, Mas. Tau sendiri ‘kan? Jadwal Zidan bangun pagi jam berapa? Agak siang biasanya.”“Hehe, tau sih. Kalau nggak tanya rasanya ada yang kurang, Dek.”“Kamu ini, Mas.”Aku sudah ada di dapur memasak untuk sarapan mumpung Zidan—anak kami masih terlelap tidur.“Dek, ternyata enak ya punya rumah sendiri. Bisa bermesraan dimana aja. Hehehe,” ucapnya seraya memeluku dari belakang.“Iya ‘kan? Kamu suka ‘kan, Mas?”“Iya Dek. Lebih enak kayak gini. Bebas, hati juga tenang.”“Tapi Mas, apa kamu mau memeluku begini terus? Aku mau masak dulu lho, mumpung Zidan belum bangun. Kalau bangun m
Cklek!Mas Lutfan membuka pintu.“Ayo, kalian langsung saja masuk ke rumah.”“Iya Fan, kami bermaksud datang ke sini kalau sudah pagi. Ternyata kamu menelponku untuk segera datang ke sini. Kebetulan, kami sudah mendapatkan bukti dan jawaban atas penyelidikan ini.”“Bagus, Fif. Sekalian jelaskan di depan kami semua. Ada kejadian lain yang harus kuusut agar semua menjadi bertambah jelas. Ayo masuk dulu.”“Iya, ini sekalian aku bawa tersangka yang menaburkan tanah kuburan itu, Fan.”Mereka memasuki ruang tamu. Semua sudah berkumpul.“Bu Susi … ada apa ini? Kenapa Bu Susi datang dengan teman-teman Lutfan?”Wajah ibu mertua terlihat sangat khawatir. Apa semua akan terbuka hari ini? Ya, semoga saja semua terungkap. Aku capek dengan apa yang sudah terjadi.“Aku sudah ngomong ‘kan, Bu. Ibu akan men
Tok, tok, tok!Kencang mas Lutfan mengetuk pintu kamar ibu mertua. Wajahnya benar terlihat sangat marah. Apa dia jujur dan tidak membohongiku?“Ibu! Keluar!”Suara mas Lutfan sangat lantang. Tangannya tak henti menggedor pintu kamar beliau.Cklek!“Ada apa ini, Fan? Kenapa tengah malam begini kamu berisik banget sih?”Sepertinya ibu mertua sudah bangun tidur dari tadi. Wajahnya tidak memperlihatkan jika beliau baru saja bangun, matanya sudah terlihat segar.“Bu jelaskan segala yang Ibu perbuat pada kami. Maksud Ibu apa?”“Maksud kamu apa sih? Ibu nggak paham dengan semua ucapanmu.”Tangan mas Lutfan meraih lengan Eliza. Dia melemparnya kehadapan ibu.“Eliza! Bicara sama Ibu!”“Maksud kamu apa sih, Fan? Eliza kenapa?”“Ada apa ini?”Ba
Aku berjalan menyusuri setiap ruangan. Mataku fokus mencari keberadaan mas Lutfan.“Dimana dia? Sebenarnya apa yang sedang terjadi?”Dari ruang tamu sampai ke ruang tengah sudah kutelusuri, tidak ada batang hidungnya di sana. Aku semakin gusar.“Kamu dimana sih, Mas?”Sepanjang langkah ini, mulutku terus bergumam. Kini aku melangkah ke dapur. Entah mengapa langkahku justru tertuju ke kamar Eliza.“Kenapa aku berjalan ke sini sih?”Telingaku samar mendengar suara seseorang yang sedang mendesah. Kepalaku menjadi berpikir yang bukan-bukan. Apa mungkin mas Lutfan ada di dalam kamar ini? Dia yang setia apa mungkin melakukan perzinahan di belakangku? Lemas rasanya jika semua benar terjadi.Tanganku mencoba memutar gagang pintu. Siapa tahu pintu ini tidak dikunci. Rasa penasaranku terpanggil dan ingin segera mengetahui apa yang terjadi di dalam kamar.
POV Afif****Mobilku mulai memasuki halaman rumah bu Susi yang memang cukup luas. Damar yang dari tadi di belakang mobil kini memarkirkan motor di depan kami.“Ayo turun,” ucap Hari pada pak Dito.Terlihat jelas jika dia sangat ragu dan tidak ingin turun dari mobil.“Aku takut, Pak.”“Nggak usah takut. Dia polisi. Pasti akan menggunakan jalur hukum. Ayo turun. Nggak usah takut,” ucapku.Dengan raut wajah yang terlihat khawatir, akhirnya dia mau turun juga. Kami turun dari mobil. Ada Damar yang sudah menunggu kami.“Lama banget,” protesnya.“Dia takut, Mar.”“Oh, ada pak polisi, nggak usah takut. Ayo, Pak Dito jalan di depan.”Dengan begitu, pak Dito memandu jalan kami. Tangannya masih terborgol. Kami tidak mau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, lebih baik sem
POV Afif****“Bagus kamu bisa ikut sama kami, Har. Kita tunggu beberapa saat lagi, pasti orang itu akan muncul.”Kami sudah berada di dalam mobil. Kini kami tidak membawa motor. Ada Hari—teman polisiku juga yang sekarang ikut dalam penyelidikan. Aku sudah berbicara dengan Lutfan sebelumnya, dia sangat setuju dan ingin langsung diusut.“Iya, aku jadi ikut penasaran. Buat apa ada orang yang menabur tanah kuburan di depan toko seperi itu. Mendengar ceritamu saja, aku jadi ingin tau alasannya apa.”“Kamu ini ‘kan aparat keamanan, aku jadi merasa aman kalau melakukan penyelidikan kayak gini. Kalau Cuma aku dan Damar kayaknya kurang gereget.”“Iya, tapi ‘kan aku nggak pakai seragam. Pasti dia mengira aku orang biasa saja, bukan polisi maksudnya.”“Nggak apa-apa. Yang penting kami tau kamu siapa. Hehe.”
Waktu bergulir begitu cepat. Toko kami masih laris seperti biasa. Ya, tentunya bertambah banyak orang yang datang membeli di toko kami. Sudah beberapa kali juga, ada uang yang tiba-tiba muncul di dalam laci. Jumlahnya pun lumayan besar, sekitar lima jutaan. Seperti awal kejadian ini dimulai. Kami tak percaya, namun kejadian itu benar terjadi di depan mata kepalaku sendiri. Hanya ditinggal sebentar saja, sudah ada segepok uang yang muncul di sana.Hari ini malam ju’mat. Saatnya Afif dan temannya beraksi kembali. Semoga saja dia menemukan jawabannya malam ini juga. Semua menjadi gamblang dan tak ada lagi kecurigaan.“Dek, malam ini penyelidikan ke dua. Semoga semua lancar dan mendapat jawabannya ya? Aku mau hidup tenang. Masalah ini selesai. Uang aneh yang tiba-tiba muncul, bisa terjawab juga. Aku nggak mau nafkah yang kuberikan padamu dan anak kita nggak halal, Dek. Aku nggak mau.”“Iya Mas, semoga saja penyelidikannya la
Seperti pagi-pagi biasanya, aku akan bangun lebih dulu. Mas Lutfan tak akan mau bangun meski alarm berdering sangat nyaring. Sama sekali tak mengganggu tidurnya. Jadi heran, ada orang yang seperti itu.“Mas, bangun dong. Udah tambah siang lho. Ayo sholat subuh dulu.”Aku mengucapkannya di dekat telinganya. Dia suka kalau aku melakukannya. Semoga saja masih mempan dan mau cepat bangkit dari kasur.“Iya Sayang … udah pagi aja ya?”Untung saja, dia langsung sadar. Jurus itu, ternyata masih manjur.“Iya, ayo bangun. Mandi sekalian biar segar.”“Lho, kan tadi malam kita nggak begituan, Dek. Kamu katanya capek, jadi aku nggak tega. Masa harus mandi sekarang.”“Biasanya juga gitu ‘kan? Mau habis itu atau nggak, ya kita mandi.”“Apa iya, Dek? Kamu nggak gitu lho? Kadang juga nunggu selesai masak baru mandi.&rdq
POV Afif****“Mar, buruan. Ntar malah orangnya jadi curiga.”“Iya, ini mau turun.”Dengan sangat berhati-hati, Damar turun dari mobil. Dia sengaja menuntun motor menjauhi mobil sebelum menyalakannya. Takutnya, orang tadi justru melihat lagi ke arah kami.Damar sudah lumayan menjauh dariku. Kini dia menyalakan motornya, menyelinap agar tak ketahuan. Sedangkan aku, menunggu orang itu benar-benar menyalakan motornya dan mencari jarak aman untuk membututinya. Ada Damar yang sudah siap sedia, dia akan langsung membuntuti orang itu dengan bergerilya.“Lho, malahan ngerokok dulu.”Aku geregetan saat mengetahui orang itu justru santai menghisap rokoknya. Dia santai sekali, apa nggak mau cepat-cepat pulang?“Eh, kamu sembunyi dimana? Dia malah ngerokok.”Damar memasang earphone di telinganya. Kami terhubung dengan sambun