“Mas, jangan marah dong. Mungkin maksud ibu baik, Mas.”
Aku duduk menghampirinya setelah menyelesaikan makan.
“Ibu keterlaluan, Dek. Masa cuma makan diatur juga. Mau makan banyak atau sedikit, itu terserah aku lah. Aku bukan anak kecil lagi lho, Dek.”
“Namanya orang tua, Mas. Pasti tetap menganggap anaknya seperti anak kecil meski dia sudah dewasa. Udah ya, jangan marah.”
“Jangan bela ibu terus, Dek. Emang orang tua nggak bisa salah? Mereka egois, Dek.”
“Iya, aku tau Mas. Tapi ‘kan itu orang tua kita. Harus tetap dihormati dong. Aku sering lho Mas, digituin sama ibu. Terus aku sering minta pindah dari sini ‘kan sama kamu. Tapi kamu nggak mau. Ya udah, ibu emang begitu kok. Apa mau pindah sekarang? Ayo, aku masih mau kok. Hehe.”
“Nggak mungkinlah, Dek. Kita nggak mungkin pindah dari sini.”
“Ya udah, kalau tau gitu ya jangan marah dong. Nggak malu apa sama aku?”
“Sini cium ….”
Jari telunjuknya, ia letakan di pipi.
“Dasar manja emang.”
“Biarin ….”
Kukecup pipinya sesuai permintaannya. Mungkin dengan begitu dia merasa lega.
“Lutfan … antar Ibu sama Eliza yuk.”
“Tuh ‘kan Dek, ibu mau bikin ulah lagi. Apa coba maunya sekarang.”
“Udah sana, samperin.”
Dengan langkah yang berat akhirnya mas Lutfan memenuhi panggilan pemilik surganya.
“Kemana, Bu?” tanya mas Lutfan.
Mereka berada di ruang tengah tak jauh dari kamarku.
“Mau ke rumah bu Susi. Ayo, buruan.”
“Ngapain?”
“Mau ngambil barangnya Liza, ketinggalan di sana. Dulu ‘kan sebelum kerja di sini Eliza memang tinggal di rumahnya bu Susi. Eliza itu perantauan, jadi tinggal sama bu Susi di sini. Dia masih saudaraan ‘kan. Kebetulan, bu Susi itu teman Ibu. Ayo!”
“Salwa ikut ya, Bu?”
“Ngapain? Cuma bentar kok. Udah gitu aja, nggak usah ganti baju. Keburu sore.”
“Iya … nggak ganti baju. Aku mau pamitan dulu sama Salwa, Bu. Takutnya dia nyariin.”
“Ck! Anak ini. Nanti juga pulang, pamitan segala.”
“Apa salahnya, pamitan sama istri.”
Mas Lutfan sepertinya menghampiriku. Langkahnya mulai terdengar mendekati kamar.
“Dek … aku disuruh anterin ibu sama Eliza. Nggak apa-apa ‘kan?”
“Kemana?” tanyaku, pura-pura tak tau. Padahal sih dengar semuanya.
“Ke rumah bu Susi, katanya ada barang Eliza yang tertinggal di sana. Nggak apa-apa ‘kan?”
Mas Lutfan masih saja meminta izin kepadaku.
“Ya udah nggak apa-apa, Mas. Kan ada ibu, nggak Cuma berdua sama Liza.”
“Nggak apa-apa beneran?”
“Iya Sayang, nggak apa-apa. Sana Mas. Pasti pada nungguin.”
“Ya udah, aku pergi dulu ya, Dek. Sini cium.”
Ya, demi mematuhi perintahnya. Aku yang sedang duduk santai harus bangkit dan berjalan kepadanya. Dia pasti akan mengecup keningku. Meski sangat manja, tapi aku suka. Tak lupa, aku pun mencium punggung tangannya. Padahal hanya akan pergi sebentar saja, tapi dramanya seperti akan pergi dalam waktu lama.
“Ayo antar aku keluar, Dek,” pintanya.
Padahal aku mau rebahan lagi di kasur.
“Iya udah, ayo ….”
Aku mengikuti langkahnya, mengantarnya pergi hanya untuk sesaat.
“Kamu ini, emang manja banget ya, Mas,” ucapku seraya berjalan mendampinginya.
“Hanya kepadamu, Sayangku.”
“Ya ampun … gombal terus kamu sih, Mas. Tapi aku suka, hehehe.”
“Lama banget sih, Fan! Salwa ikut?”
Baru satu kaki yang terlihat di garasi, namun ibu mertua sudah mulai mengomel. Tentu saja langsung protes saat melihatku bersama mas Lutfan. Dikiranya aku mau ikut. Padahal mah ogah. Nurutin suami saja, jadinya aku ada di sini.
“Kata siapa? Salwa nggak ikut kok. Tapi kalau boleh ikut, aku malahan senang.”
Siapa lagi kalau bukan mas Lutfan yang berbicara seperti itu. Ke dua sifat mereka hampir sama. Atau bahkan memang sama, tak heran, memang mereka ibu dan anak ‘kan?
“Nggak usahlah … lha wong Cuma bentar kok. Ayo, cepat Fan.”
“Ya ya ya … berangkat dulu ya, Dek.”
“Iya, Mas ….”
“Eliza, kamu di depan sana.”
Lagi-lagi ibu menyuruh hal aneh kepada Eliza.
“Nggak, Bu! Aku nggak mau antar kalau Eliza duduk di depan,” ancam mas Lutfan.
“Maksud ibu apa sih?” gerutuku. Aku masih menyaksikan drama yang masih saja terjadi.
“Kenapa sih, Fan?”
“Aku udah punya istri, Bu! Ibu ini aneh.”
“Apa salahnya sih? Cuma duduk di sebelahmu kok.”
Ibu masih tetap keras kepala mempertahankan pendapatnya.
“Ya udah kalau mau duduk di depan. Aku nggak mau nganter, Bu. Sana naik ojek aja.”
Kini mas Lutfan benar-benar keluar dari mobil.
“Ya udah, Ibu yang di depan. Susah kamu diatur sekarang, Fan.”
Akhirnya ada yang mengalah juga. Jika tidak, entah kapan mereka berangkatnya.
“Ibu juga aneh kok! Nyuruh kok gitu.”
Setelah drama yang lumayan lama, akhirnya mereka pergi juga. Aku melambaikan tangan, karena mas Lutfan melambaikan tangannya duluan kepadaku.
“Akhirnya … selesai juga drama hari ini. Mumpung mereka pergi dan hanya ada aku sama bapak di rumah ini, coba deh aku cari tau sesuatu. Siapa tau dapat sesuatu.”
Tiba-tiba aku kembali terpikir untuk menyelidiki. Ada apa sebenarnya yang terjadi antara ibu dan Eliza. Kenapa mereka bisa sekompak itu?
“Gimana caranya ya? Agar aku bisa masuk ke kamar ibu dan Eliza. Ntar kalau ada bapak terus tanya, aku jawab apa dong?”
Aku duduk di ruang tengah sembari memikirkan rencana.
“Salwa ….”
Bapak mertua tiba-tiba memanggilku dari belakang.
“Iya Pak, ada apa?” Segera aku menghampiri beliau.
“Ibu kemana?” tanya beliau saat aku ada di hadapannya.
“Katanya pergi ke rumah teman, Pak.”
“Oh ….”
Sepertinya beliau sedang kebingungan. Apa salahnya aku bertanya. Siapa tahu bisa membantu.
“Emang kenapa, Pak? Bapak butuh apa?”
“Ini, Bapak juga mau pergi, Wa. Tapi Bapak tidak tau ibu menyimpan pecinya dimana. Bapak ‘kan ada acara pengajian. Baiknya pakai peci ‘kan? Di cari sampai ke tempat jemuran sama aja nggak ketemu.”
Biasalah, kalau suami dimanja istri. Ya begini jadinya. Segala macam kepunyaannya tak tahu dimana disimpannya. Padahal pasti ada di dalam lemari, tapi tetap saja tak bisa menemukannya.
“Mau Salwa bantuin, Pak?”
Nah … kesempatan bagus untuku. Bisa melihat ke dalam lemari milik ibu tanpa harus takut dikira macam-macam. Tapi ‘kan bapak juga akan pergi, bisalah setelahnya aku cari lagi.
“Boleh banget, Wa.” Bapak menyambutnya dengan bahagia.
“Paling juga di lemari kamar, Pak.”
“Coba cari lagi, Wa. Tadi Bapak sampai pusing, nyari nggak ketemu-ketemu. Hehe.”
“Mungkin terselip, coba aku cari lagi ya, Pak?”
“Iya Wa ….”
Aku mulai menggeledah lemari yang ada di dalam kamar ibu. Sangat berharap jika menemukan sesuatu yang bisa sedikit menjelasakan tentang hubungan ibu dan Eliza.
“Ketemu, Wa?” tanya beliau setelah beberapa saat aku mencarinya. “Cepat ya Wa, waktunya mepet. Nanti Bapak ketinggalan rombongan.”
Sebenarnya aku memang memperlambat pencarian peci itu. Aku belum menemukan apa-apa tentang hal yang kucari.
“Iya Pak. Coba ke laci sebelah sana ya, Pak.”
‘Semoga ada sesuatu di dalam sini,’ batinku sangat berharap.
Tanganku mencari-cari peci yang hanya alasanku saja, sebenarnya bukan itu yang kucari. Entah apa, aku pun tak mengerti.
‘Eh ini apa?’ Tanganku memegang kertas seperti yang kutemukan di dalam tasku waktu itu.
“Ketemu Wa?”
“Eh belum, Pak. Ini apa, Pak?” Aku tunjukkan kertas itu kepada beliau.
“Eh apa itu? Bapak tidak tau, Wa. Mungkin punya ibu. Ayo cari lagi, di situ tidak ada ‘kan?”
‘Sebenarnya kertas apa ini?’
Di dalam pikiranku ada tanda tanya besar yang muncul tentang apa maksud dari kertas itu. Kenapa ibu menyimpannya?
‘Setelah Bapak pergi aku akan menggeledah semuanya.’
Kini kulanjutkan mencari peci milik bapak mertua.
POV Lutfan“Fan, Eliza cantik ‘kan?” tanya ibu tiba-tiba.Beliau tersenyum bangga. Untuk apa ibu bertanya semacam itu? Nggak penting banget sih!“Wanita pasti cantik, Bu. Ibu juga cantik ‘kan?”Tentu saja jawabanku ketus. Pertanyaan ibu benar-benar aneh.“Bukan gitulah, Fan. Maksud Ibu nggak kalah cantik sama Salwa ‘kan? Ibu pintar kalau pilih wanita, pasti cantik.”Beliau kembali membanggakan dirinya sendiri. Apa untungnya ibu melakukan hal semacam itu? Aku sama sekali tak terpengaruh.“Tentu saja cantikan Salwa, Bu. Dia ‘kan istriku. Sedangkan Eliza ….”Sengaja tak kuteruskan perkataanku. Dia ada di belakangku. Meski aku tak suka, bukan berarti aku menyakiti hatinya dengan perkataan kasar menurutku.“Yang penting dia cantik ‘kan? Ibu pintar pilihnya.” Kemba
“Gimana Wa?” Bapak mertua kembali mempertanyakan pencarianku.Sebenarnya aku sudah menemukan peci itu, namun sengaja pura-pura tak melihatnya. Aku belum puas mencari sesuatu yang bisa menjawab rasa penasaranku.“Nggak ada, Pak. Ibu nyimpennya dimana sih? Kok susah banget dicari,” ucapku, mendustai.“Nah ‘kan, apa kata Bapak.”“Coba cari lagi ya? Siapa tau ketemu.”Kini aku pergi ke nakas. Kucari sesuatu di dalam lacinya.‘Eh, air apa ini?’Aku kembali menemukan hal yang janggal. Ada botol bekas air mineral yang tersimpan di dalam laci nakas. Memangnya air apa yang ada di dalam botol bekas itu?‘Hmmm … baunya harum. Warnanya juga pink. Apa ya kira-kira?’Dalam benakku aku hanya bisa menerkanya.‘Eh, apa ini air rebusan mawar tadi? Kenapa ada di laci nakas kamar ibu?&
POV Lutfan“Fan!”Ibu memanggilku dari depan pintu rumah. Aku baru saja selesai video call dengan Salwa dan menyimpan gawai ke dalam saku celana jeans-ku.“Iya, Bu ….” Aku menjawabnya seraya menghampiri beliau.“Ayo pamitan dulu sama bu Susi. Katanya tadi mau ke sini lagi. Kok malah nggak datang-datang. Kamu ini ya? Keburu pulang ini ‘kan?”Lagi, aku kena semprot sang paduka ratu ibunda tercinta. Aku lupa karena tadi asyik video call dengan Salwa. Biarlah, sudah sering ini kena omelan beliau.“Iya Bu, maaf … aku lupa. Tadi video call-an sama Salwa.”“Haduh … kamu ini. Nggak bisa jauh banget ya sama istrimu.”“Biarinlah Bu, Salwa ‘kan istriku.”“Aduh Bu … anakmu satu-satunya ini, kata anak-anak jaman sekarang dibilangnya bucin ya, Bu &hell
“Mas, udah pulang?”Aku bangkit dari rebahan santai dan memenuhi panggilan mas Lutfan. Dia pun berjalan menghampiriku.“Ruang rindu di dalam hatiku sudah penuh dengan dirimu, Sayang ….”Tak ada habisnya mas Lutfan selalu saja membuatku terbuai dengan segala ucapannya.“Sudah mulai nih?”“Mulai apa, Dek?” ucapnya, sembari mencium pipiku.“Gombalnya dong, Sayang ….”Kini aku yang bergelayut manja kepadanya. Kami berjalan ke tempat tidur dan duduk di atas kasur.“Aku nggak pernah gombal sama kamu, Dek. Kuucapkan tulus sepenuh hati, hehe.”“Hehe … iya deh, aku percaya kok, Mas. Udah sore, kamu udah sholat belum?”Dia hanya tersenyum dan bergegas pergi ke kamar mandi untuk mengambil wudhu.“Salwa ….”Ibu mertua s
Setelah sholat maghrib, kami bersiap untuk makan malam bersama. Ya … jam waktu makan setiap harinya harus sama. Itu sudah menjadi peraturan yang wajib dipatuhi oleh anggota keluarga di sini. Tentu saja semua peraturan itu dibuat oleh paduka ratu ibu mertua terhormat. Tak ada yang bisa mengganggu gugat.Kecuali hari minggu kami memang tak akan makan siang dan malam di rumah, karena memang kami masih berada di toko belum pulang ke rumah.“Fan, makan yang banyak lho?”Ibu kembali membahas persoalan itu, padahal baru saja tadi siang mas Lutfan ngambek karena hal itu.“Ah Ibu! Nggak usah bikin napsu makanku hilang lagi, Bu!” sentak mas Lutfan, alis tebalnya pun hampir menyatu. Mungkin dia sangat tak suka jika diatur tentang persoalan makannya.“Bu … udah, tidak baik kalau diterusin. Siang tadi Ibu lihat sendiri ‘kan? Lutfan tidak menghabiskan makannya? Ibu mau dia begitu lag
“Dek, kenapa ibu makin ke sini makin nyebelin ya? Atau memang dari dulu begitu? Baru akhir-akhir ini saja aku yang kena terus. Kamu pasti sering begini ya, Dek?”Kami sudah menyendiri di dalam kamar, mendiskusikan semua yang sedang terjadi.Mendengar perkataannya seperti itu, mungkin dia baru menyadari jika selama ini alasanku menginginkan untuk pindah dari rumah ini adalah karena masalah yang sedang dirasakan olehnya saat ini. Ibunya terlalu keras kepala dan selalu berkomentar tentang segala hal.“Iya … emang begitu, Mas. Kamu merasakannya ‘kan sekarang? Semenjak kita memutuskan untuk punya anak, ibu semakin berlebihan gini. Masa iya, kebutuhanmu Eliza yang memenuhi segalanya. Kalau masalah sepele nggak mungkin aku merasa lelah ‘kan Mas.”“Nah itu makanya, Dek. Soal makanku segala, ibu mengomentarinya. Aku makan banyak buat apa coba? Ngomongnya buat kebaikanku. Emangnya selama ini p
Seketika aku bangun dari tempat tidur. Tadinya malas-malasan, kini terpaksa harus bangun mencari mas Lutfan. Baru hari ini dia seperti ini. Tak pernah kita tidur terpisah meski hanya semalam.Aku segera pergi keluar kamar. Aku pun belum sempat mandi demi mencari keberadaan mas Lutfan.“Mas … kamu kenapa sih? Kenapa pagi-pagi sudah nggak ada di kamar. Biasanya aku yang selalu membangunkanmu. Kamu tuh susah bangun sendiri, tapi kenapa sekarang kamu nggak ada di kamar?”Aku hanya bergumam sendiri. Sekhawatir ini saat mengetahui tak ada mas Lutfan di sampingku.Kaki ini kubawa pergi ke dapur. Namun di sana masih gelap belum ada siapa-siapa.“Tumben ibu belum di dapur.”Aku kembali bergumam dan tak memikirkannya begitu dalam. Aku masih fokus untuk mencari keberadaan mas Lutfan.‘Mas Lutfan dimana sih?’ batinku semakin khawatir.Dari arah ruang
“Udah mateng belum, Dek? Tumben nih, aku udah kerasa lapar.”Mas Lutfan datang menghampiriku. Jam di dinding belum genap pukul enam, masih seperempat jam lagi. Tapi dia sudah meminta makan kepadaku. Tumben sekali.“Tumben kamu, Mas? Belum ada jam enam lho ini,” ucapku.Tanpa sengaja aku melihat ibu mertua tersenyum puas. Tapi mulutnya belum berkomentar apa-apa. Biasanya beliau langsung berkomentar.”Ya … mungkin, karena tadi malam, Dek. Hehe ….”Seketika tanganku mencubitnya. Bisa-bisanya berbicara seperti itu dihadapan banyak orang. Meski mereka memahami, aku tuh yang merasa malu. Nadanya pun sepertinya bercanda dan sedang meledekku, tapi apa pun itu, aku tetap malu.“Aduh Dek, sakit,” pekiknya seraya memegang lengan bekas cubitanku.Aku tak membalas ucapan mas Lutfan, hanya saja mataku mengisyaratkan jika aku tak suka.
“Dek, Zidan belum bangun?”Pertanyaan yang wajib bagi mas Lutfan saat pagi hari. Setelah menyelesaikan sholat subuh, dia akan menghampiriku dan mempertanyakan hal tersebut.“Belum dong, Mas. Tau sendiri ‘kan? Jadwal Zidan bangun pagi jam berapa? Agak siang biasanya.”“Hehe, tau sih. Kalau nggak tanya rasanya ada yang kurang, Dek.”“Kamu ini, Mas.”Aku sudah ada di dapur memasak untuk sarapan mumpung Zidan—anak kami masih terlelap tidur.“Dek, ternyata enak ya punya rumah sendiri. Bisa bermesraan dimana aja. Hehehe,” ucapnya seraya memeluku dari belakang.“Iya ‘kan? Kamu suka ‘kan, Mas?”“Iya Dek. Lebih enak kayak gini. Bebas, hati juga tenang.”“Tapi Mas, apa kamu mau memeluku begini terus? Aku mau masak dulu lho, mumpung Zidan belum bangun. Kalau bangun m
Cklek!Mas Lutfan membuka pintu.“Ayo, kalian langsung saja masuk ke rumah.”“Iya Fan, kami bermaksud datang ke sini kalau sudah pagi. Ternyata kamu menelponku untuk segera datang ke sini. Kebetulan, kami sudah mendapatkan bukti dan jawaban atas penyelidikan ini.”“Bagus, Fif. Sekalian jelaskan di depan kami semua. Ada kejadian lain yang harus kuusut agar semua menjadi bertambah jelas. Ayo masuk dulu.”“Iya, ini sekalian aku bawa tersangka yang menaburkan tanah kuburan itu, Fan.”Mereka memasuki ruang tamu. Semua sudah berkumpul.“Bu Susi … ada apa ini? Kenapa Bu Susi datang dengan teman-teman Lutfan?”Wajah ibu mertua terlihat sangat khawatir. Apa semua akan terbuka hari ini? Ya, semoga saja semua terungkap. Aku capek dengan apa yang sudah terjadi.“Aku sudah ngomong ‘kan, Bu. Ibu akan men
Tok, tok, tok!Kencang mas Lutfan mengetuk pintu kamar ibu mertua. Wajahnya benar terlihat sangat marah. Apa dia jujur dan tidak membohongiku?“Ibu! Keluar!”Suara mas Lutfan sangat lantang. Tangannya tak henti menggedor pintu kamar beliau.Cklek!“Ada apa ini, Fan? Kenapa tengah malam begini kamu berisik banget sih?”Sepertinya ibu mertua sudah bangun tidur dari tadi. Wajahnya tidak memperlihatkan jika beliau baru saja bangun, matanya sudah terlihat segar.“Bu jelaskan segala yang Ibu perbuat pada kami. Maksud Ibu apa?”“Maksud kamu apa sih? Ibu nggak paham dengan semua ucapanmu.”Tangan mas Lutfan meraih lengan Eliza. Dia melemparnya kehadapan ibu.“Eliza! Bicara sama Ibu!”“Maksud kamu apa sih, Fan? Eliza kenapa?”“Ada apa ini?”Ba
Aku berjalan menyusuri setiap ruangan. Mataku fokus mencari keberadaan mas Lutfan.“Dimana dia? Sebenarnya apa yang sedang terjadi?”Dari ruang tamu sampai ke ruang tengah sudah kutelusuri, tidak ada batang hidungnya di sana. Aku semakin gusar.“Kamu dimana sih, Mas?”Sepanjang langkah ini, mulutku terus bergumam. Kini aku melangkah ke dapur. Entah mengapa langkahku justru tertuju ke kamar Eliza.“Kenapa aku berjalan ke sini sih?”Telingaku samar mendengar suara seseorang yang sedang mendesah. Kepalaku menjadi berpikir yang bukan-bukan. Apa mungkin mas Lutfan ada di dalam kamar ini? Dia yang setia apa mungkin melakukan perzinahan di belakangku? Lemas rasanya jika semua benar terjadi.Tanganku mencoba memutar gagang pintu. Siapa tahu pintu ini tidak dikunci. Rasa penasaranku terpanggil dan ingin segera mengetahui apa yang terjadi di dalam kamar.
POV Afif****Mobilku mulai memasuki halaman rumah bu Susi yang memang cukup luas. Damar yang dari tadi di belakang mobil kini memarkirkan motor di depan kami.“Ayo turun,” ucap Hari pada pak Dito.Terlihat jelas jika dia sangat ragu dan tidak ingin turun dari mobil.“Aku takut, Pak.”“Nggak usah takut. Dia polisi. Pasti akan menggunakan jalur hukum. Ayo turun. Nggak usah takut,” ucapku.Dengan raut wajah yang terlihat khawatir, akhirnya dia mau turun juga. Kami turun dari mobil. Ada Damar yang sudah menunggu kami.“Lama banget,” protesnya.“Dia takut, Mar.”“Oh, ada pak polisi, nggak usah takut. Ayo, Pak Dito jalan di depan.”Dengan begitu, pak Dito memandu jalan kami. Tangannya masih terborgol. Kami tidak mau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, lebih baik sem
POV Afif****“Bagus kamu bisa ikut sama kami, Har. Kita tunggu beberapa saat lagi, pasti orang itu akan muncul.”Kami sudah berada di dalam mobil. Kini kami tidak membawa motor. Ada Hari—teman polisiku juga yang sekarang ikut dalam penyelidikan. Aku sudah berbicara dengan Lutfan sebelumnya, dia sangat setuju dan ingin langsung diusut.“Iya, aku jadi ikut penasaran. Buat apa ada orang yang menabur tanah kuburan di depan toko seperi itu. Mendengar ceritamu saja, aku jadi ingin tau alasannya apa.”“Kamu ini ‘kan aparat keamanan, aku jadi merasa aman kalau melakukan penyelidikan kayak gini. Kalau Cuma aku dan Damar kayaknya kurang gereget.”“Iya, tapi ‘kan aku nggak pakai seragam. Pasti dia mengira aku orang biasa saja, bukan polisi maksudnya.”“Nggak apa-apa. Yang penting kami tau kamu siapa. Hehe.”
Waktu bergulir begitu cepat. Toko kami masih laris seperti biasa. Ya, tentunya bertambah banyak orang yang datang membeli di toko kami. Sudah beberapa kali juga, ada uang yang tiba-tiba muncul di dalam laci. Jumlahnya pun lumayan besar, sekitar lima jutaan. Seperti awal kejadian ini dimulai. Kami tak percaya, namun kejadian itu benar terjadi di depan mata kepalaku sendiri. Hanya ditinggal sebentar saja, sudah ada segepok uang yang muncul di sana.Hari ini malam ju’mat. Saatnya Afif dan temannya beraksi kembali. Semoga saja dia menemukan jawabannya malam ini juga. Semua menjadi gamblang dan tak ada lagi kecurigaan.“Dek, malam ini penyelidikan ke dua. Semoga semua lancar dan mendapat jawabannya ya? Aku mau hidup tenang. Masalah ini selesai. Uang aneh yang tiba-tiba muncul, bisa terjawab juga. Aku nggak mau nafkah yang kuberikan padamu dan anak kita nggak halal, Dek. Aku nggak mau.”“Iya Mas, semoga saja penyelidikannya la
Seperti pagi-pagi biasanya, aku akan bangun lebih dulu. Mas Lutfan tak akan mau bangun meski alarm berdering sangat nyaring. Sama sekali tak mengganggu tidurnya. Jadi heran, ada orang yang seperti itu.“Mas, bangun dong. Udah tambah siang lho. Ayo sholat subuh dulu.”Aku mengucapkannya di dekat telinganya. Dia suka kalau aku melakukannya. Semoga saja masih mempan dan mau cepat bangkit dari kasur.“Iya Sayang … udah pagi aja ya?”Untung saja, dia langsung sadar. Jurus itu, ternyata masih manjur.“Iya, ayo bangun. Mandi sekalian biar segar.”“Lho, kan tadi malam kita nggak begituan, Dek. Kamu katanya capek, jadi aku nggak tega. Masa harus mandi sekarang.”“Biasanya juga gitu ‘kan? Mau habis itu atau nggak, ya kita mandi.”“Apa iya, Dek? Kamu nggak gitu lho? Kadang juga nunggu selesai masak baru mandi.&rdq
POV Afif****“Mar, buruan. Ntar malah orangnya jadi curiga.”“Iya, ini mau turun.”Dengan sangat berhati-hati, Damar turun dari mobil. Dia sengaja menuntun motor menjauhi mobil sebelum menyalakannya. Takutnya, orang tadi justru melihat lagi ke arah kami.Damar sudah lumayan menjauh dariku. Kini dia menyalakan motornya, menyelinap agar tak ketahuan. Sedangkan aku, menunggu orang itu benar-benar menyalakan motornya dan mencari jarak aman untuk membututinya. Ada Damar yang sudah siap sedia, dia akan langsung membuntuti orang itu dengan bergerilya.“Lho, malahan ngerokok dulu.”Aku geregetan saat mengetahui orang itu justru santai menghisap rokoknya. Dia santai sekali, apa nggak mau cepat-cepat pulang?“Eh, kamu sembunyi dimana? Dia malah ngerokok.”Damar memasang earphone di telinganya. Kami terhubung dengan sambun