“Liza nggak bisa pakai mesin cuci?” tanya mas Lutfan heran.
“Eh itu Mas, soalnya mesin cucinya beda sama yang sering kupakai. Ini lebih bagus, ya jadi—“
“Benar Fan, Ibu memakluminya kok. Nggak apa-apa, Ibu senang bisa mengajarinya seperti ini.”
Mereka benar-benar bersekongkol mengatakan kebohongan ini. Aku bertambah penasaran, kenapa ibu mertua dengan Eliza bisa sekompak itu. Sudahlah … aku harus lolos dari kamar mandi ini terlebih dulu. Perlahan kubuka pintu kamar mandi dan cepat-cepat pergi dari sana.
Dengan langkah seperti orang berlari, aku pergi menuju kamar. Tentunya dengan tak mengeluarkan suara. Sesampainya dikamar, aku berusaha mengatur napas yang sedikit ngos-ngosan, padahal tak terlalu jauh tapi tetap saja terasa capek. Mungkin karena takut ketahuan menjadi adrenalinku ikut terkuras.
Aku berpura-pura duduk santai seperti tak terjadi apa-apa. Tinggal menunggu mas Lutfan datang saja.
“Salwa dimana sih!”
Suara gumaman mas Lutfan terdengar di telingaku. Sepertinya dia sudah ada di depan kamar. Saat langkahnya memasuki kamar dia belum sadar ada aku di sana.
“Eh Mas, cari apa?” tanyaku sebiasa mungkin.
“Lho? Kok kamu ada di sini, Dek?”
“Lha, kan emang di sini.” Tentu saja aku harus terus bersandiwara.
Dahinya mengernyit, alisnya yang tebal pun hampir saja bertabrakan karena saking bimbangnya.
“Tadi nggak ada kamu kok di sini. Kamu ngumpet ya, Dek?”
Aku terkekeh mendengar ucapannya dengan wajah khas orang kebingungan.
“Malah ngetawain aku ya?”
Dia menghampiriku, kini wajahnya berubah seolah ingin memangsaku.
“Kamu lucu sih, Mas. Orang dari tadi aku di sini.”
Dalam hati aku mengatakan ‘nas’, istilah orang Jawa jika dalam berkata tidak pas dengan kenyataan atau bisa dimaksudkan untuk mengurungkan perkataannya. Karena memang aku sedang berbohong.
“Nggak mungkin kamu dari tadi duduk di sini, Dek. Pasti kamu ngumpet ‘kan? Ayo, jujur dong Dek. Kamu ngumpet dimana?”
Tubuhnya yang berpawakan bak artis Korea itu dengan sedikit lemak yang mulai tampak di perut sengaja menubrukku tanpa ampun. Dia mulai iseng menggelitiki perutku.
“Ih Mas … hehe … geli tau Mas. Haha … ihhh, awas Mas … hahaha.”
Aku tak bisa mengelak, rasanya sungguh sangat geli sampai tak bisa menahan tawaku.
“Mangkanya, kamu jangan berani bohongin suamimu ini, Dek.”
“Hahaha, bohong apa sih, Mas? Udah dong, Mas. Hahaha. Geli banget tau!”
Tanganku mencubit lengannya yang kekar agar dia berhenti mnggelitikiku.
“Tuh ‘kan? Kamu beraninya nyubit sih?”
Dan akhirnya, karena cubitanku yang cukup keras itu menghentikan aksinya yang membuatku ketawa tak karuan.
“Impas dong, Mas. Kamu kira ketawa nggak pakai tenaga? Capek tau ….”
“Ya udah deh … emang dari tadi kamu di sini, Dek? Kayaknya nggak deh.”
Dia merebahkan tubuhnya di pangkuanku. Dia memang suka bermanja denganku. Mungkin mas Lutfan anak satu-satunya jadi terbiasa dimanja oleh keluarganya. Begitu pun saat denganku.
“Iya Sayang ….”
Kupegang hidungnya yang mancung dan sedikit menariknya.
“Udah ah, mau kamu dimana tadi kek, yang penting sekarang sudah bersamaku. Kamu emang sukanya iseng sih.”
“Nggak kok, hehehe.”
Syukurlah, permasalahan ini tidak diperpanjang. Aku bisa bernapas lega sekarang. Tapi sebenarnya apa rencana yang sedang dibuat oleh ibu mertu dan Eliza ya? Aku kembali terpikir tentang mereka.
“Fan … Lutfan ….”
Dari ruangan lain terdengar suara ibu mertua memanggil suamiku. Mas Lutfan yang tadi sedang bersantai kini dia bangkit dan memenuhi panggilan big bos di rumah ini.
“Iya Bu, ada apa?” tanya mas Lutfan.
Aku sengaja ikut di belakangnya.
“Itu lho, Eliza mau belanja. Tolong kamu antar dia ya?” Titahnya terdengar aneh di telingaku.
“Lho? Ngapain nyuruh aku sih, Bu?”
Tentu dan sudah pasti mas Lutfan akan menolaknya.
“Ya nggak apa-apa. Emangnya kenapa?”
Mas Lutfan melihat ke arahku dengan tatapan kebingungan.
“Bolehkan Wa, Lutfan antar Eliza belanja sebentar saja?”
Kini ibu mertua meminta izin kepadaku. Ya sedikit ada nada memaksa sih yang terdengar dari ucapannya.
“Dek ….”
Mas Lutfan memanggilku dengan nada memelas. Aku tahu apa maksudnya.
“Iya Bu, boleh ….”
“Dek!” Mas Lutfan terlihat semakin panik. Matanya sedikit melotot kepadaku.
“Nah ‘kan pasti—“
“Tapi Bu, aku juga mau belanja. Boleh dong sekalian?”
Sengaja aku menabrak ucapan beliau. Tidak sopan sih, tapi memang aku belum menyelesaikan ucapanku tadi. Daripada disimpulkan sendiri lebih baik aku tabrak saja ucapan beliau. Sekali-kali nggak apa-apalah.
“Nah ayo, kalau gitu aku mau,” ucap mas Lutfan semangat. Wajahnya kini tersenyum memandangku.
“Tapi Fan—“
“Mana Elizanya, Bu?” potong mas Lutfan. “Kamu sana siap-siap, Dek.”
“Kamu sih, Mas? Kayak gitu aja?” tanyaku sebelum pergi ganti baju.
“Iya lah, mau bagaimana pun aku ini tetap tampan lho, Dek. Hehe.”
“Ihh … apaan?” Aku tinggalkan dia untuk ganti baju.
“Fan, kok Salwa ikut sih?”
Saat aku melangkah pergi, kembali telingaku mendengar pertanyaan yang menyebalkan keluar dari mulut ibu mertua.
“Maksud ibu apa sih? Apa sengaja mendekatkan pembantu itu sama mas Lutfan? Katanya menyuruh mas Lutfan jadi imam yang baik untukku. Kenapa sekarang justru ibu kayaknya berusaha mendekatkan antara mas Lutfan dengan Eliza. Aku ‘kan istrinya. Ibu semakin aneh saja sih.”
Di dalam kamar aku berganti baju seraya menggerutu.
“Dek, kok lama sih?”
Mas Lutfan datang menghampiriku.
“Sabar dong, Mas.”
“Di luar udah ada Eliza, ibu menyuruhku pergi berdua saja dengannya. Katanya kamu kelamaan. Jadinya aku samperin ke sini, Dek. Nggak maulah aku pergi berdua sama Eliza.”
Oh … jadi seperti itu alasannya. Kenapa ibu seperti ini sih? Membuat perasaan ini menjadi tak tenang saja.
“Ya udah, ayo Mas.”
Aku sengaja menggandeng tangannya. Dengan begitu, saat ibu melihatnya beliau tidak akan mengusik ketentraman rumah tangga kami. Maksudnya apa coba, mau mendekatkan suamiku kepada wanita lain. Tak sudi aku berbagi.
“Mas, kamu nggak suka Eliza ‘kan?” bisikku.
Kami masih berjalan menuju garasi. Ibu dan Eliza menunggu kami di sana.
“Mana mungkin aku suka sama dia, Dek. Aku ini milikmu seorang.” Dengan lantangnya dia mengatakan itu semua.
“Sssttt … jangan keras-keras, Mas.”
“Biarin aja semua dengar. Nyatanya kamu ini istriku, Dek. Nggak ada yang boleh menggantikanmu.”
“Iya Sayang, makasih ya?”
Hembusan angin semilir terasa di dalam hati. Senang rasanya saat mas Lutfan mengatakan itu semua.
“Kamu lama banget sih, Wa?” protes ibu mertua. “Lutfan Ibu suruh pergi berdua saja sama Eliza, malah dia nggak mau.”
‘Jelaslah, mas Lutfan itu menghargai perasaanku. Bukan kayak ibu yang semua kemauannya harus dituruti.’
“Iya Bu, lama. Dia mau cantik dihadapanku. Dia nggak mau malu-maluin aku. Jadi wajarlah, kalau lama. Yuk berangkat.”
Mas Lutfan menarik tanganku, menyuruhku naik ke mobil. Ya, dialah tamengku.
“Za, sini dulu sebentar,” panggil ibu mertua kepada Eliza.
Kami sudah duduk rapi di dalam mobil. Hanya menunggu Eliza saja. Tapi ibu mertua masih sibuk berbisik kepadanya.
“Eliza ngapain sih sama ibu, Dek?” tanya mas Lutfan.
Itulah pertanyaan yang saat ini sedang melayang-layang di pikiranku.
“Aku juga nggak tau, Mas. Mungkin ibu titip sesuatu.”
“Masa iya, harus bisik-bisik.”
Aku hanya mengangkat ke dua pundakku.
“Ibu bisikin apa ke kamu, Za?” tanya mas Lutfan, kami sudah jalan menuju pasar swalayan terdekat.“Emm … itu Mas. Kata ibu rahasia,” ucap wanita berambut pendek itu.“Hm? Rahasia?” Mas Lutfan semakin penasaran. Aku cukup mendengarkan saja.“Iya, bilangnya gitu. Jadi saya nggak berani kasih tau sama Mas.”Ya, benar juga sih apa katanya. Dia hanya berusaha menjaga rahasia yang ibu amanatkan kepadanya. Tapi kenapa Eliza yang harus menjaga rahasia itu? Semakin tak mengerti aku dengan kedekatan mereka.Kini mas Lutfan hanya diam. Mungkin dia akan menanyakannya langsung kepada
“Ada apa sih, Mas?”Nadaku sedikit ketus. Tentu saja, karena aku ke sini—ke dalam kamar, jadi tidak bisa mencari tahu lebih lanjut apa tujuan mereka ‘kan?“Dek … kok gitu sih? Datang-datang malah kayak orang yang lagi marah?”“Lha kamu ngapain panggil aku. Aku lagi mau bantu ibu di dapur lho?”“Kan udah ada Eliza, Dek. Kamu santailah di sini sama aku.”“Tadi ‘kan katanya boleh, aku mau bantu ibu, Mas. Sekarang malah dipanggil ke sini lagi.”Perasaanku menjadi jengkel karena ul
“Mas, jangan marah dong. Mungkin maksud ibu baik, Mas.”Aku duduk menghampirinya setelah menyelesaikan makan.“Ibu keterlaluan, Dek. Masa cuma makan diatur juga. Mau makan banyak atau sedikit, itu terserah aku lah. Aku bukan anak kecil lagi lho, Dek.”“Namanya orang tua, Mas. Pasti tetap menganggap anaknya seperti anak kecil meski dia sudah dewasa. Udah ya, jangan marah.”“Jangan bela ibu terus, Dek. Emang orang tua nggak bisa salah? Mereka egois, Dek.”“Iya, aku tau Mas. Tapi ‘kan itu orang tua kita. Harus tetap dihormati dong. Aku sering lho Mas, digituin sama ibu.
POV Lutfan“Fan, Eliza cantik ‘kan?” tanya ibu tiba-tiba.Beliau tersenyum bangga. Untuk apa ibu bertanya semacam itu? Nggak penting banget sih!“Wanita pasti cantik, Bu. Ibu juga cantik ‘kan?”Tentu saja jawabanku ketus. Pertanyaan ibu benar-benar aneh.“Bukan gitulah, Fan. Maksud Ibu nggak kalah cantik sama Salwa ‘kan? Ibu pintar kalau pilih wanita, pasti cantik.”Beliau kembali membanggakan dirinya sendiri. Apa untungnya ibu melakukan hal semacam itu? Aku sama sekali tak terpengaruh.“Tentu saja cantikan Salwa, Bu. Dia ‘kan istriku. Sedangkan Eliza ….”Sengaja tak kuteruskan perkataanku. Dia ada di belakangku. Meski aku tak suka, bukan berarti aku menyakiti hatinya dengan perkataan kasar menurutku.“Yang penting dia cantik ‘kan? Ibu pintar pilihnya.” Kemba
“Gimana Wa?” Bapak mertua kembali mempertanyakan pencarianku.Sebenarnya aku sudah menemukan peci itu, namun sengaja pura-pura tak melihatnya. Aku belum puas mencari sesuatu yang bisa menjawab rasa penasaranku.“Nggak ada, Pak. Ibu nyimpennya dimana sih? Kok susah banget dicari,” ucapku, mendustai.“Nah ‘kan, apa kata Bapak.”“Coba cari lagi ya? Siapa tau ketemu.”Kini aku pergi ke nakas. Kucari sesuatu di dalam lacinya.‘Eh, air apa ini?’Aku kembali menemukan hal yang janggal. Ada botol bekas air mineral yang tersimpan di dalam laci nakas. Memangnya air apa yang ada di dalam botol bekas itu?‘Hmmm … baunya harum. Warnanya juga pink. Apa ya kira-kira?’Dalam benakku aku hanya bisa menerkanya.‘Eh, apa ini air rebusan mawar tadi? Kenapa ada di laci nakas kamar ibu?&
POV Lutfan“Fan!”Ibu memanggilku dari depan pintu rumah. Aku baru saja selesai video call dengan Salwa dan menyimpan gawai ke dalam saku celana jeans-ku.“Iya, Bu ….” Aku menjawabnya seraya menghampiri beliau.“Ayo pamitan dulu sama bu Susi. Katanya tadi mau ke sini lagi. Kok malah nggak datang-datang. Kamu ini ya? Keburu pulang ini ‘kan?”Lagi, aku kena semprot sang paduka ratu ibunda tercinta. Aku lupa karena tadi asyik video call dengan Salwa. Biarlah, sudah sering ini kena omelan beliau.“Iya Bu, maaf … aku lupa. Tadi video call-an sama Salwa.”“Haduh … kamu ini. Nggak bisa jauh banget ya sama istrimu.”“Biarinlah Bu, Salwa ‘kan istriku.”“Aduh Bu … anakmu satu-satunya ini, kata anak-anak jaman sekarang dibilangnya bucin ya, Bu &hell
“Mas, udah pulang?”Aku bangkit dari rebahan santai dan memenuhi panggilan mas Lutfan. Dia pun berjalan menghampiriku.“Ruang rindu di dalam hatiku sudah penuh dengan dirimu, Sayang ….”Tak ada habisnya mas Lutfan selalu saja membuatku terbuai dengan segala ucapannya.“Sudah mulai nih?”“Mulai apa, Dek?” ucapnya, sembari mencium pipiku.“Gombalnya dong, Sayang ….”Kini aku yang bergelayut manja kepadanya. Kami berjalan ke tempat tidur dan duduk di atas kasur.“Aku nggak pernah gombal sama kamu, Dek. Kuucapkan tulus sepenuh hati, hehe.”“Hehe … iya deh, aku percaya kok, Mas. Udah sore, kamu udah sholat belum?”Dia hanya tersenyum dan bergegas pergi ke kamar mandi untuk mengambil wudhu.“Salwa ….”Ibu mertua s
Setelah sholat maghrib, kami bersiap untuk makan malam bersama. Ya … jam waktu makan setiap harinya harus sama. Itu sudah menjadi peraturan yang wajib dipatuhi oleh anggota keluarga di sini. Tentu saja semua peraturan itu dibuat oleh paduka ratu ibu mertua terhormat. Tak ada yang bisa mengganggu gugat.Kecuali hari minggu kami memang tak akan makan siang dan malam di rumah, karena memang kami masih berada di toko belum pulang ke rumah.“Fan, makan yang banyak lho?”Ibu kembali membahas persoalan itu, padahal baru saja tadi siang mas Lutfan ngambek karena hal itu.“Ah Ibu! Nggak usah bikin napsu makanku hilang lagi, Bu!” sentak mas Lutfan, alis tebalnya pun hampir menyatu. Mungkin dia sangat tak suka jika diatur tentang persoalan makannya.“Bu … udah, tidak baik kalau diterusin. Siang tadi Ibu lihat sendiri ‘kan? Lutfan tidak menghabiskan makannya? Ibu mau dia begitu lag
“Dek, Zidan belum bangun?”Pertanyaan yang wajib bagi mas Lutfan saat pagi hari. Setelah menyelesaikan sholat subuh, dia akan menghampiriku dan mempertanyakan hal tersebut.“Belum dong, Mas. Tau sendiri ‘kan? Jadwal Zidan bangun pagi jam berapa? Agak siang biasanya.”“Hehe, tau sih. Kalau nggak tanya rasanya ada yang kurang, Dek.”“Kamu ini, Mas.”Aku sudah ada di dapur memasak untuk sarapan mumpung Zidan—anak kami masih terlelap tidur.“Dek, ternyata enak ya punya rumah sendiri. Bisa bermesraan dimana aja. Hehehe,” ucapnya seraya memeluku dari belakang.“Iya ‘kan? Kamu suka ‘kan, Mas?”“Iya Dek. Lebih enak kayak gini. Bebas, hati juga tenang.”“Tapi Mas, apa kamu mau memeluku begini terus? Aku mau masak dulu lho, mumpung Zidan belum bangun. Kalau bangun m
Cklek!Mas Lutfan membuka pintu.“Ayo, kalian langsung saja masuk ke rumah.”“Iya Fan, kami bermaksud datang ke sini kalau sudah pagi. Ternyata kamu menelponku untuk segera datang ke sini. Kebetulan, kami sudah mendapatkan bukti dan jawaban atas penyelidikan ini.”“Bagus, Fif. Sekalian jelaskan di depan kami semua. Ada kejadian lain yang harus kuusut agar semua menjadi bertambah jelas. Ayo masuk dulu.”“Iya, ini sekalian aku bawa tersangka yang menaburkan tanah kuburan itu, Fan.”Mereka memasuki ruang tamu. Semua sudah berkumpul.“Bu Susi … ada apa ini? Kenapa Bu Susi datang dengan teman-teman Lutfan?”Wajah ibu mertua terlihat sangat khawatir. Apa semua akan terbuka hari ini? Ya, semoga saja semua terungkap. Aku capek dengan apa yang sudah terjadi.“Aku sudah ngomong ‘kan, Bu. Ibu akan men
Tok, tok, tok!Kencang mas Lutfan mengetuk pintu kamar ibu mertua. Wajahnya benar terlihat sangat marah. Apa dia jujur dan tidak membohongiku?“Ibu! Keluar!”Suara mas Lutfan sangat lantang. Tangannya tak henti menggedor pintu kamar beliau.Cklek!“Ada apa ini, Fan? Kenapa tengah malam begini kamu berisik banget sih?”Sepertinya ibu mertua sudah bangun tidur dari tadi. Wajahnya tidak memperlihatkan jika beliau baru saja bangun, matanya sudah terlihat segar.“Bu jelaskan segala yang Ibu perbuat pada kami. Maksud Ibu apa?”“Maksud kamu apa sih? Ibu nggak paham dengan semua ucapanmu.”Tangan mas Lutfan meraih lengan Eliza. Dia melemparnya kehadapan ibu.“Eliza! Bicara sama Ibu!”“Maksud kamu apa sih, Fan? Eliza kenapa?”“Ada apa ini?”Ba
Aku berjalan menyusuri setiap ruangan. Mataku fokus mencari keberadaan mas Lutfan.“Dimana dia? Sebenarnya apa yang sedang terjadi?”Dari ruang tamu sampai ke ruang tengah sudah kutelusuri, tidak ada batang hidungnya di sana. Aku semakin gusar.“Kamu dimana sih, Mas?”Sepanjang langkah ini, mulutku terus bergumam. Kini aku melangkah ke dapur. Entah mengapa langkahku justru tertuju ke kamar Eliza.“Kenapa aku berjalan ke sini sih?”Telingaku samar mendengar suara seseorang yang sedang mendesah. Kepalaku menjadi berpikir yang bukan-bukan. Apa mungkin mas Lutfan ada di dalam kamar ini? Dia yang setia apa mungkin melakukan perzinahan di belakangku? Lemas rasanya jika semua benar terjadi.Tanganku mencoba memutar gagang pintu. Siapa tahu pintu ini tidak dikunci. Rasa penasaranku terpanggil dan ingin segera mengetahui apa yang terjadi di dalam kamar.
POV Afif****Mobilku mulai memasuki halaman rumah bu Susi yang memang cukup luas. Damar yang dari tadi di belakang mobil kini memarkirkan motor di depan kami.“Ayo turun,” ucap Hari pada pak Dito.Terlihat jelas jika dia sangat ragu dan tidak ingin turun dari mobil.“Aku takut, Pak.”“Nggak usah takut. Dia polisi. Pasti akan menggunakan jalur hukum. Ayo turun. Nggak usah takut,” ucapku.Dengan raut wajah yang terlihat khawatir, akhirnya dia mau turun juga. Kami turun dari mobil. Ada Damar yang sudah menunggu kami.“Lama banget,” protesnya.“Dia takut, Mar.”“Oh, ada pak polisi, nggak usah takut. Ayo, Pak Dito jalan di depan.”Dengan begitu, pak Dito memandu jalan kami. Tangannya masih terborgol. Kami tidak mau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, lebih baik sem
POV Afif****“Bagus kamu bisa ikut sama kami, Har. Kita tunggu beberapa saat lagi, pasti orang itu akan muncul.”Kami sudah berada di dalam mobil. Kini kami tidak membawa motor. Ada Hari—teman polisiku juga yang sekarang ikut dalam penyelidikan. Aku sudah berbicara dengan Lutfan sebelumnya, dia sangat setuju dan ingin langsung diusut.“Iya, aku jadi ikut penasaran. Buat apa ada orang yang menabur tanah kuburan di depan toko seperi itu. Mendengar ceritamu saja, aku jadi ingin tau alasannya apa.”“Kamu ini ‘kan aparat keamanan, aku jadi merasa aman kalau melakukan penyelidikan kayak gini. Kalau Cuma aku dan Damar kayaknya kurang gereget.”“Iya, tapi ‘kan aku nggak pakai seragam. Pasti dia mengira aku orang biasa saja, bukan polisi maksudnya.”“Nggak apa-apa. Yang penting kami tau kamu siapa. Hehe.”
Waktu bergulir begitu cepat. Toko kami masih laris seperti biasa. Ya, tentunya bertambah banyak orang yang datang membeli di toko kami. Sudah beberapa kali juga, ada uang yang tiba-tiba muncul di dalam laci. Jumlahnya pun lumayan besar, sekitar lima jutaan. Seperti awal kejadian ini dimulai. Kami tak percaya, namun kejadian itu benar terjadi di depan mata kepalaku sendiri. Hanya ditinggal sebentar saja, sudah ada segepok uang yang muncul di sana.Hari ini malam ju’mat. Saatnya Afif dan temannya beraksi kembali. Semoga saja dia menemukan jawabannya malam ini juga. Semua menjadi gamblang dan tak ada lagi kecurigaan.“Dek, malam ini penyelidikan ke dua. Semoga semua lancar dan mendapat jawabannya ya? Aku mau hidup tenang. Masalah ini selesai. Uang aneh yang tiba-tiba muncul, bisa terjawab juga. Aku nggak mau nafkah yang kuberikan padamu dan anak kita nggak halal, Dek. Aku nggak mau.”“Iya Mas, semoga saja penyelidikannya la
Seperti pagi-pagi biasanya, aku akan bangun lebih dulu. Mas Lutfan tak akan mau bangun meski alarm berdering sangat nyaring. Sama sekali tak mengganggu tidurnya. Jadi heran, ada orang yang seperti itu.“Mas, bangun dong. Udah tambah siang lho. Ayo sholat subuh dulu.”Aku mengucapkannya di dekat telinganya. Dia suka kalau aku melakukannya. Semoga saja masih mempan dan mau cepat bangkit dari kasur.“Iya Sayang … udah pagi aja ya?”Untung saja, dia langsung sadar. Jurus itu, ternyata masih manjur.“Iya, ayo bangun. Mandi sekalian biar segar.”“Lho, kan tadi malam kita nggak begituan, Dek. Kamu katanya capek, jadi aku nggak tega. Masa harus mandi sekarang.”“Biasanya juga gitu ‘kan? Mau habis itu atau nggak, ya kita mandi.”“Apa iya, Dek? Kamu nggak gitu lho? Kadang juga nunggu selesai masak baru mandi.&rdq
POV Afif****“Mar, buruan. Ntar malah orangnya jadi curiga.”“Iya, ini mau turun.”Dengan sangat berhati-hati, Damar turun dari mobil. Dia sengaja menuntun motor menjauhi mobil sebelum menyalakannya. Takutnya, orang tadi justru melihat lagi ke arah kami.Damar sudah lumayan menjauh dariku. Kini dia menyalakan motornya, menyelinap agar tak ketahuan. Sedangkan aku, menunggu orang itu benar-benar menyalakan motornya dan mencari jarak aman untuk membututinya. Ada Damar yang sudah siap sedia, dia akan langsung membuntuti orang itu dengan bergerilya.“Lho, malahan ngerokok dulu.”Aku geregetan saat mengetahui orang itu justru santai menghisap rokoknya. Dia santai sekali, apa nggak mau cepat-cepat pulang?“Eh, kamu sembunyi dimana? Dia malah ngerokok.”Damar memasang earphone di telinganya. Kami terhubung dengan sambun