Saat aku berdiri melihat ke arah mobil yang sedang dicuci, di sana ada mas Lutfan yang masih belum melanjutkan hobby mencucinya itu. Dia masih berbicara dengan Eliza. Aku berinisiatif untuk mendekati mereka.
“Mas …,” panggilku.
Perbincangan mereka berhenti seketika. Terlihat dari raut wajah mas Lutfan terlihat ketidaksukaan.
“Dek, tumben kamu mau mendatangiku pas lagi cuci mobil begini,” tanyanya.
“Ya … pengin lihat kamu aja, Mas. Kalian ngomongin apa?”
Eliza hanya terdiam, terlihat sungkan kepadaku.
“Ini ibu aneh-aneh aja. Masa si Liza disuruh membantuku mencuci mobil. Aku bisa sendiri lho, Dek," sungutnya, terlihat jelas dari raut wajahnya jika dia benar-benar tidak suka.
“Mungkin takut kamu capek kali, Mas. Jadi ibu menyuruh Liza untuk bantuin kamu.”
Aku berusaha tenang meski hatiku ikut bergemuruh karena ulah ibu mertuaku itu.
“Capek gimana, Dek? Dari dulu memang aku suka mencuci mobil begini, nggak mungkin kalau aku capek. Kalau gini ‘kan jadi mengganggu hobby-ku saja. Apa sih yang ada dipikiran ibu.”
“Ya sudah, Mas. Kalau begitu saya masuk saja ke rumah. Lebih baik mengerjakan pekerjaan yang lain saja.”
Tanpa disuruh, Eliza berpamitan untuk pergi dari hadapan kami.
“Iya, lebih baik kamu mengerjakan yang lain saja ya?” ucapku, lembut.
“Permisi, Mas, Mbak.”
Dia pergi kembali ke dalam rumah.
“Dek, maksud ibu apaan sih, coba? Bikin aku nggak nyaman aja.”
Mas Lutfan masih mengeluhkan sikap ibunya itu. Ya,begitulah rasanya jika kebebasan dan keinginanmu diganggu, tidak enak ‘kan rasanya? Itu yang selama ini kurasakan.
“Ya itu, mungkin ibu takut kamu capek Mas.”
Tak ada jawaban lain selain kalimat seperti itu yang bisa kuucapkan kepadanya.
“Ya udahlah, yang penting Liza sudah pergi dari sini. Nah, mumpung kamu ada di sini, gimana kalau kamu yang membantuku, Dek. Aku suka kalau kamu yang membantuku mencuci mobil, Dek. Hehe.”
Sekejap aku bergeming. Memikirkan keputusan apa yang akan kuambil. Mengingat tadi ada wanita lain yang akan membantu mas Lutfan untuk mencuci mobilnya.
“Oke, Mas! Ayo kita cuci mobil ini.”
Dan pada akhirnya, aku menuruti kemauan suamiku. Kami bersenang-senang bersama meski hanya dengan mencuci mobil saja. Bahagia memang sesederhana itu ‘kan?
“Lutfan! Kenapa Salwa yang membantumu mencuci mobil?”
Ya, protes itu tentu saja keluar dari mulut sang ibu mertua. Siapa lagi kalau bukan dia yang selalu saja mengomentari segala sesuatu yang kami lakukan.
“Biarin lah, Bu. Dia ‘kan istriku. Daripada sama Liza. Nggak maulah, aku sama dia,” tolak mas Lutfan mentah-mentah.
“Salwa biarin istirahat. Mangkanya Ibu suruh Liza bantuin kamu.”
Ibu mertua tak mau kalah dong pastinya.
“Nggak usah dibantuin sekalian, Bu. Ibu ini kalau nyuruh yang pantas dong, Bu.”
Adu mulut antara ibu dan anak sudah dimulai. Apa lagi ke duanya mempunyai sifat keras kepala yang sama. Bakalan seru nih pastinya.
“Aduh Lutfan … kamu ini semakin susah dibilangin ya sekarang. Apa saja pasti kamu bantah perintah Ibu. Ini demi kebaikanmu lho, Fan.”
“Udah lah, Bu. Aku bisa melakukannya sendiri. Jangan pernah suruh Liza untuk membantuku mencuci mobil. Nggak butuh, Bu.”
“Anak ini, keras kepala banget sih kalau dibilangin! Itu semua demi kebaikanmu.”
“Kebaikan apa sih, Bu? Udah … udah … Ini udah selesai. Aku mau mandi. Ayo, Dek!”
Mas Lutfan menggandengku pergi ke dalam rumah. Dia meninggalkan ibunya yang masing ingin meneruskan perdebatan di antara mereka berdua.
Aku lagi-lagi hanya mengekor. Dan setia mendengarkan perdebatan mereka.
“Ck! Ibu sukanya nyuruh ini dan itu. Emangnya nggak bisa ngertiin perasaanku apa? Maunya kok diturutin terus sih!”
Ya, kembali mas Lutfan menggerutui ibunya sendiri.
“Ya … itulah sifat ibu, Mas. Udahlah … ayo katanya mau mandi.”
Aku hanya bisa mengalihkan pembicaraan agar kejengkelan mas Lutfan bisa cepat hilang.
“Bareng kamu, Dek?”
Begitulah mas Lutfan, selalu saja meledekku.
“Nggak! Sana sendiri.”
Tentu saja aku mengatakannya dengan senyum yang mengembang. Meski nada bicaraku seperti orang yang sedang marah. Itu semua karena aku merasa malu.
“Hehehe.”
Mas Lutfan tertawa seraya pergi ke dalam kamar mandi.
***
“Liza, ayo ikut Ibu sebentar.”
Tak sengaja aku mendengar ajakan ibu kepada Eliza. Ada niatan untuk menguping yang hadir di benakku.
“Iya Bu,” jawab Eliza, mereka berdua pergi ke suatu tempat.
Sesuai niatanku tadi, aku mengendap-endap mengikuti mereka.
“Nah udah di sini aja, pasti aman.”
Mereka berhenti di tempat cucian baju. Di sana memang jarang sekali ada orang, kecuali sedang mencuci dan menjemur pakaian. Aku mencari tempat yang aman untuk sekedar menguping pembicaraan mereka. Entah mengapa ingin rasanya mengetahui percakapan yang akan terjadi.
“Ada apa ya, Bu?” tanya Eliza.
“Liza, kamu nggak lupa ‘kan tugasmu di sini?”
“Nggak kok, Bu. Pasti akan mengingatnya terus.”
“Ya … bagus. Kapan pun kamu harus siap lho ya? Ibu membayar mahal untuk ini.”
Samar aku mendengarnya. Mereka sengaja berbicara dengan suara yang sangat pelan. Ya, hampir berbisik.
“Iya Bu, sudah pasti aku akan siap melakukannya kapan pun Ibu mau.”
“Melakukan apa?” gumamku. Apa ada misi tertentu Eliza datang ke sini?
Kembali kutajamkan pendengaranku.
“Tak akan lama lagi, kamu harus melakukannya. Bersiaplah.”
“Iya, Bu. Aku siap kapan pun.”
Belum juga aku menemukan jawaban atas apa yang dimaksud dalam percakapan itu, telingaku mendengar langkah kaki yang mendekat. Tak mungkin aku terus menguping. Bisa-bisa ketahuan.
“Aduh … ada seseorang yang mendekat. Aku harus bagaimana ya?” gumamku.
Aku harus segera mungkin memutar otak. Tak mau jika aku ketahuan menguping pembicaraan ibu dan Eliza. Bagaimana nasibku jika sampai terjadi seperti itu.
“Iya! Aku ke kamar mandi aja. Biarkan saja kalau kamar mandi itu jarang di pakai, yang penting aku harus aman.”
Gegas kaki ini menuju kamar mandi yang jarang terpakai karena letaknya terlalu jauh. Ada kamar mandi dalam di setiap kamar, wajar jika kamar mandi ini jarang terpakai.
Langkah kaki itu semakin mendekat, sepertinya langkah itu milik mas Lutfan. Tumben dia main ke tempat cucian, atau dia sedang mencariku, entahlah. Aku sudah berada di dalam kamar mandi.
“Eh, kok Ibu sama Liza ada di sini?” tanya mas Lutfan, suaranya lumayan lantang.
“Lho, lho? Kok kamu ada di sini, Fan? Ngapain kamu di sini?” Dari nada bicara yang aku tangkap sepertinya ibu merasa gugup.
“Iya, aku cari Salwa Bu. Aku kira sedang mencuci, jadi kusamperin ke sini. Eh, dianya nggak ada. Ibu lihat dia?”
Benar ternyata, mas Lutfan mencariku.
“Ibu nggak tau, Fan. Dari tadi Ibu di sini sama Liza. Dia bingung caranya cuci baju pakai mesin cuci, jadi Ibu ajarin deh.”
Wah … ibu kok bisa bohong begitu ya? Padahal dari tadi mereka berbisik mengatakan hal lain. Dan sekarang dengan lantangnya mengatakan hal yang sangat berbeda.
“Liza nggak bisa pakai mesin cuci?” tanya mas Lutfan heran.“Eh itu Mas, soalnya mesin cucinya beda sama yang sering kupakai. Ini lebih bagus, ya jadi—““Benar Fan, Ibu memakluminya kok. Nggak apa-apa, Ibu senang bisa mengajarinya seperti ini.”Mereka benar-benar bersekongkol mengatakan kebohongan ini. Aku bertambah penasaran, kenapa ibu mertua dengan Eliza bisa sekompak itu. Sudahlah … aku harus lolos dari kamar mandi ini terlebih dulu. Perlahan kubuka pintu kamar mandi dan cepat-cepat pergi dari sana.Dengan langkah seperti orang berlari, aku pergi menuju kamar. Tentunya dengan tak mengeluarkan suara. Sesampainya dikamar, aku berusaha mengatur napas yang sedikit ngos-ngosan, padahal tak terlalu jauh tapi tetap saja terasa capek. Mungkin karena takut ketahuan menjadi adrenalinku ikut terkuras.Aku berpura-pura duduk santai seperti tak terjadi apa-apa. Tinggal menunggu mas Lutfan datang saja.
“Ibu bisikin apa ke kamu, Za?” tanya mas Lutfan, kami sudah jalan menuju pasar swalayan terdekat.“Emm … itu Mas. Kata ibu rahasia,” ucap wanita berambut pendek itu.“Hm? Rahasia?” Mas Lutfan semakin penasaran. Aku cukup mendengarkan saja.“Iya, bilangnya gitu. Jadi saya nggak berani kasih tau sama Mas.”Ya, benar juga sih apa katanya. Dia hanya berusaha menjaga rahasia yang ibu amanatkan kepadanya. Tapi kenapa Eliza yang harus menjaga rahasia itu? Semakin tak mengerti aku dengan kedekatan mereka.Kini mas Lutfan hanya diam. Mungkin dia akan menanyakannya langsung kepada
“Ada apa sih, Mas?”Nadaku sedikit ketus. Tentu saja, karena aku ke sini—ke dalam kamar, jadi tidak bisa mencari tahu lebih lanjut apa tujuan mereka ‘kan?“Dek … kok gitu sih? Datang-datang malah kayak orang yang lagi marah?”“Lha kamu ngapain panggil aku. Aku lagi mau bantu ibu di dapur lho?”“Kan udah ada Eliza, Dek. Kamu santailah di sini sama aku.”“Tadi ‘kan katanya boleh, aku mau bantu ibu, Mas. Sekarang malah dipanggil ke sini lagi.”Perasaanku menjadi jengkel karena ul
“Mas, jangan marah dong. Mungkin maksud ibu baik, Mas.”Aku duduk menghampirinya setelah menyelesaikan makan.“Ibu keterlaluan, Dek. Masa cuma makan diatur juga. Mau makan banyak atau sedikit, itu terserah aku lah. Aku bukan anak kecil lagi lho, Dek.”“Namanya orang tua, Mas. Pasti tetap menganggap anaknya seperti anak kecil meski dia sudah dewasa. Udah ya, jangan marah.”“Jangan bela ibu terus, Dek. Emang orang tua nggak bisa salah? Mereka egois, Dek.”“Iya, aku tau Mas. Tapi ‘kan itu orang tua kita. Harus tetap dihormati dong. Aku sering lho Mas, digituin sama ibu.
POV Lutfan“Fan, Eliza cantik ‘kan?” tanya ibu tiba-tiba.Beliau tersenyum bangga. Untuk apa ibu bertanya semacam itu? Nggak penting banget sih!“Wanita pasti cantik, Bu. Ibu juga cantik ‘kan?”Tentu saja jawabanku ketus. Pertanyaan ibu benar-benar aneh.“Bukan gitulah, Fan. Maksud Ibu nggak kalah cantik sama Salwa ‘kan? Ibu pintar kalau pilih wanita, pasti cantik.”Beliau kembali membanggakan dirinya sendiri. Apa untungnya ibu melakukan hal semacam itu? Aku sama sekali tak terpengaruh.“Tentu saja cantikan Salwa, Bu. Dia ‘kan istriku. Sedangkan Eliza ….”Sengaja tak kuteruskan perkataanku. Dia ada di belakangku. Meski aku tak suka, bukan berarti aku menyakiti hatinya dengan perkataan kasar menurutku.“Yang penting dia cantik ‘kan? Ibu pintar pilihnya.” Kemba
“Gimana Wa?” Bapak mertua kembali mempertanyakan pencarianku.Sebenarnya aku sudah menemukan peci itu, namun sengaja pura-pura tak melihatnya. Aku belum puas mencari sesuatu yang bisa menjawab rasa penasaranku.“Nggak ada, Pak. Ibu nyimpennya dimana sih? Kok susah banget dicari,” ucapku, mendustai.“Nah ‘kan, apa kata Bapak.”“Coba cari lagi ya? Siapa tau ketemu.”Kini aku pergi ke nakas. Kucari sesuatu di dalam lacinya.‘Eh, air apa ini?’Aku kembali menemukan hal yang janggal. Ada botol bekas air mineral yang tersimpan di dalam laci nakas. Memangnya air apa yang ada di dalam botol bekas itu?‘Hmmm … baunya harum. Warnanya juga pink. Apa ya kira-kira?’Dalam benakku aku hanya bisa menerkanya.‘Eh, apa ini air rebusan mawar tadi? Kenapa ada di laci nakas kamar ibu?&
POV Lutfan“Fan!”Ibu memanggilku dari depan pintu rumah. Aku baru saja selesai video call dengan Salwa dan menyimpan gawai ke dalam saku celana jeans-ku.“Iya, Bu ….” Aku menjawabnya seraya menghampiri beliau.“Ayo pamitan dulu sama bu Susi. Katanya tadi mau ke sini lagi. Kok malah nggak datang-datang. Kamu ini ya? Keburu pulang ini ‘kan?”Lagi, aku kena semprot sang paduka ratu ibunda tercinta. Aku lupa karena tadi asyik video call dengan Salwa. Biarlah, sudah sering ini kena omelan beliau.“Iya Bu, maaf … aku lupa. Tadi video call-an sama Salwa.”“Haduh … kamu ini. Nggak bisa jauh banget ya sama istrimu.”“Biarinlah Bu, Salwa ‘kan istriku.”“Aduh Bu … anakmu satu-satunya ini, kata anak-anak jaman sekarang dibilangnya bucin ya, Bu &hell
“Mas, udah pulang?”Aku bangkit dari rebahan santai dan memenuhi panggilan mas Lutfan. Dia pun berjalan menghampiriku.“Ruang rindu di dalam hatiku sudah penuh dengan dirimu, Sayang ….”Tak ada habisnya mas Lutfan selalu saja membuatku terbuai dengan segala ucapannya.“Sudah mulai nih?”“Mulai apa, Dek?” ucapnya, sembari mencium pipiku.“Gombalnya dong, Sayang ….”Kini aku yang bergelayut manja kepadanya. Kami berjalan ke tempat tidur dan duduk di atas kasur.“Aku nggak pernah gombal sama kamu, Dek. Kuucapkan tulus sepenuh hati, hehe.”“Hehe … iya deh, aku percaya kok, Mas. Udah sore, kamu udah sholat belum?”Dia hanya tersenyum dan bergegas pergi ke kamar mandi untuk mengambil wudhu.“Salwa ….”Ibu mertua s
“Dek, Zidan belum bangun?”Pertanyaan yang wajib bagi mas Lutfan saat pagi hari. Setelah menyelesaikan sholat subuh, dia akan menghampiriku dan mempertanyakan hal tersebut.“Belum dong, Mas. Tau sendiri ‘kan? Jadwal Zidan bangun pagi jam berapa? Agak siang biasanya.”“Hehe, tau sih. Kalau nggak tanya rasanya ada yang kurang, Dek.”“Kamu ini, Mas.”Aku sudah ada di dapur memasak untuk sarapan mumpung Zidan—anak kami masih terlelap tidur.“Dek, ternyata enak ya punya rumah sendiri. Bisa bermesraan dimana aja. Hehehe,” ucapnya seraya memeluku dari belakang.“Iya ‘kan? Kamu suka ‘kan, Mas?”“Iya Dek. Lebih enak kayak gini. Bebas, hati juga tenang.”“Tapi Mas, apa kamu mau memeluku begini terus? Aku mau masak dulu lho, mumpung Zidan belum bangun. Kalau bangun m
Cklek!Mas Lutfan membuka pintu.“Ayo, kalian langsung saja masuk ke rumah.”“Iya Fan, kami bermaksud datang ke sini kalau sudah pagi. Ternyata kamu menelponku untuk segera datang ke sini. Kebetulan, kami sudah mendapatkan bukti dan jawaban atas penyelidikan ini.”“Bagus, Fif. Sekalian jelaskan di depan kami semua. Ada kejadian lain yang harus kuusut agar semua menjadi bertambah jelas. Ayo masuk dulu.”“Iya, ini sekalian aku bawa tersangka yang menaburkan tanah kuburan itu, Fan.”Mereka memasuki ruang tamu. Semua sudah berkumpul.“Bu Susi … ada apa ini? Kenapa Bu Susi datang dengan teman-teman Lutfan?”Wajah ibu mertua terlihat sangat khawatir. Apa semua akan terbuka hari ini? Ya, semoga saja semua terungkap. Aku capek dengan apa yang sudah terjadi.“Aku sudah ngomong ‘kan, Bu. Ibu akan men
Tok, tok, tok!Kencang mas Lutfan mengetuk pintu kamar ibu mertua. Wajahnya benar terlihat sangat marah. Apa dia jujur dan tidak membohongiku?“Ibu! Keluar!”Suara mas Lutfan sangat lantang. Tangannya tak henti menggedor pintu kamar beliau.Cklek!“Ada apa ini, Fan? Kenapa tengah malam begini kamu berisik banget sih?”Sepertinya ibu mertua sudah bangun tidur dari tadi. Wajahnya tidak memperlihatkan jika beliau baru saja bangun, matanya sudah terlihat segar.“Bu jelaskan segala yang Ibu perbuat pada kami. Maksud Ibu apa?”“Maksud kamu apa sih? Ibu nggak paham dengan semua ucapanmu.”Tangan mas Lutfan meraih lengan Eliza. Dia melemparnya kehadapan ibu.“Eliza! Bicara sama Ibu!”“Maksud kamu apa sih, Fan? Eliza kenapa?”“Ada apa ini?”Ba
Aku berjalan menyusuri setiap ruangan. Mataku fokus mencari keberadaan mas Lutfan.“Dimana dia? Sebenarnya apa yang sedang terjadi?”Dari ruang tamu sampai ke ruang tengah sudah kutelusuri, tidak ada batang hidungnya di sana. Aku semakin gusar.“Kamu dimana sih, Mas?”Sepanjang langkah ini, mulutku terus bergumam. Kini aku melangkah ke dapur. Entah mengapa langkahku justru tertuju ke kamar Eliza.“Kenapa aku berjalan ke sini sih?”Telingaku samar mendengar suara seseorang yang sedang mendesah. Kepalaku menjadi berpikir yang bukan-bukan. Apa mungkin mas Lutfan ada di dalam kamar ini? Dia yang setia apa mungkin melakukan perzinahan di belakangku? Lemas rasanya jika semua benar terjadi.Tanganku mencoba memutar gagang pintu. Siapa tahu pintu ini tidak dikunci. Rasa penasaranku terpanggil dan ingin segera mengetahui apa yang terjadi di dalam kamar.
POV Afif****Mobilku mulai memasuki halaman rumah bu Susi yang memang cukup luas. Damar yang dari tadi di belakang mobil kini memarkirkan motor di depan kami.“Ayo turun,” ucap Hari pada pak Dito.Terlihat jelas jika dia sangat ragu dan tidak ingin turun dari mobil.“Aku takut, Pak.”“Nggak usah takut. Dia polisi. Pasti akan menggunakan jalur hukum. Ayo turun. Nggak usah takut,” ucapku.Dengan raut wajah yang terlihat khawatir, akhirnya dia mau turun juga. Kami turun dari mobil. Ada Damar yang sudah menunggu kami.“Lama banget,” protesnya.“Dia takut, Mar.”“Oh, ada pak polisi, nggak usah takut. Ayo, Pak Dito jalan di depan.”Dengan begitu, pak Dito memandu jalan kami. Tangannya masih terborgol. Kami tidak mau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, lebih baik sem
POV Afif****“Bagus kamu bisa ikut sama kami, Har. Kita tunggu beberapa saat lagi, pasti orang itu akan muncul.”Kami sudah berada di dalam mobil. Kini kami tidak membawa motor. Ada Hari—teman polisiku juga yang sekarang ikut dalam penyelidikan. Aku sudah berbicara dengan Lutfan sebelumnya, dia sangat setuju dan ingin langsung diusut.“Iya, aku jadi ikut penasaran. Buat apa ada orang yang menabur tanah kuburan di depan toko seperi itu. Mendengar ceritamu saja, aku jadi ingin tau alasannya apa.”“Kamu ini ‘kan aparat keamanan, aku jadi merasa aman kalau melakukan penyelidikan kayak gini. Kalau Cuma aku dan Damar kayaknya kurang gereget.”“Iya, tapi ‘kan aku nggak pakai seragam. Pasti dia mengira aku orang biasa saja, bukan polisi maksudnya.”“Nggak apa-apa. Yang penting kami tau kamu siapa. Hehe.”
Waktu bergulir begitu cepat. Toko kami masih laris seperti biasa. Ya, tentunya bertambah banyak orang yang datang membeli di toko kami. Sudah beberapa kali juga, ada uang yang tiba-tiba muncul di dalam laci. Jumlahnya pun lumayan besar, sekitar lima jutaan. Seperti awal kejadian ini dimulai. Kami tak percaya, namun kejadian itu benar terjadi di depan mata kepalaku sendiri. Hanya ditinggal sebentar saja, sudah ada segepok uang yang muncul di sana.Hari ini malam ju’mat. Saatnya Afif dan temannya beraksi kembali. Semoga saja dia menemukan jawabannya malam ini juga. Semua menjadi gamblang dan tak ada lagi kecurigaan.“Dek, malam ini penyelidikan ke dua. Semoga semua lancar dan mendapat jawabannya ya? Aku mau hidup tenang. Masalah ini selesai. Uang aneh yang tiba-tiba muncul, bisa terjawab juga. Aku nggak mau nafkah yang kuberikan padamu dan anak kita nggak halal, Dek. Aku nggak mau.”“Iya Mas, semoga saja penyelidikannya la
Seperti pagi-pagi biasanya, aku akan bangun lebih dulu. Mas Lutfan tak akan mau bangun meski alarm berdering sangat nyaring. Sama sekali tak mengganggu tidurnya. Jadi heran, ada orang yang seperti itu.“Mas, bangun dong. Udah tambah siang lho. Ayo sholat subuh dulu.”Aku mengucapkannya di dekat telinganya. Dia suka kalau aku melakukannya. Semoga saja masih mempan dan mau cepat bangkit dari kasur.“Iya Sayang … udah pagi aja ya?”Untung saja, dia langsung sadar. Jurus itu, ternyata masih manjur.“Iya, ayo bangun. Mandi sekalian biar segar.”“Lho, kan tadi malam kita nggak begituan, Dek. Kamu katanya capek, jadi aku nggak tega. Masa harus mandi sekarang.”“Biasanya juga gitu ‘kan? Mau habis itu atau nggak, ya kita mandi.”“Apa iya, Dek? Kamu nggak gitu lho? Kadang juga nunggu selesai masak baru mandi.&rdq
POV Afif****“Mar, buruan. Ntar malah orangnya jadi curiga.”“Iya, ini mau turun.”Dengan sangat berhati-hati, Damar turun dari mobil. Dia sengaja menuntun motor menjauhi mobil sebelum menyalakannya. Takutnya, orang tadi justru melihat lagi ke arah kami.Damar sudah lumayan menjauh dariku. Kini dia menyalakan motornya, menyelinap agar tak ketahuan. Sedangkan aku, menunggu orang itu benar-benar menyalakan motornya dan mencari jarak aman untuk membututinya. Ada Damar yang sudah siap sedia, dia akan langsung membuntuti orang itu dengan bergerilya.“Lho, malahan ngerokok dulu.”Aku geregetan saat mengetahui orang itu justru santai menghisap rokoknya. Dia santai sekali, apa nggak mau cepat-cepat pulang?“Eh, kamu sembunyi dimana? Dia malah ngerokok.”Damar memasang earphone di telinganya. Kami terhubung dengan sambun