“Mas, kenapa hari ini toko sepi banget nggak kayak biasanya ya?” tanyaku, kami sudah ada di depan rumah.
“Masa ramai terus sih, Dek. Ada saatnya toko kita sepi dong.”
“Iya Mas, tapi baru kali ini merasakan sepi banget begini ‘kan Mas?”
“Udah lah, jangan di pikirin. Kalau laris terus nggak mungkin dong, Dek. Ya, semoga saja besok tokonya ramai.”
“Assalamualaikum!” ucap kami di depan pintu. Biasanya pintu sudah dikunci dari dalam. Kami jarang membawa kunci cadangannya.
“Ya, waalaikumsalam.” Ibu menjawab salam kami, langkahnya terdengar mendekat kearah pintu.
“Tokonya ramai tidak?” tanya beliau.
Sudah menjadi kebiasaan beliau bertanya begitu. Padahal kaki ini belum masuk ke dalam rumah.
“Hari ini lumayan sepi, Bu,” jawabku, apa adanya.
“Lho? Kok bisa?”
“Kita masuk dulu, Bu.” Mas Lutfan menyela pembicaraan kami.
Kami melangkah ke dalam rumah dengan raut wajah capek. Meski sepi, justru malah membuat semakin lesu karena tidak banyak uang yang terkumpul. Beda dengan capek karena ramai, hati ini pasti akan tetap merasa bahagia. Lesu pun tak akan menghampiri dan tak akan terasa.
“Kok bisa sepi?” Ibu kembali menanyakan hal yang sama.
“Bu, namanya jualan, ada saatnya sepi ‘kan?” jawab mas Lutfan santai.
“Tidak bisa begitu dong, Fan. Ibu sudah bersusah payah lho, Fan.”
Kami berdua bergeming, tidak paham dengan apa yang dimaksud oleh perkataan beliau.
“Ibu susah payah kenapa?” tanya mas Lutfan.
“Eh, itu Fan. Maksud Ibu, itu Ibu maksudnya sudah susah payah mendoakan kalian agar toko selalu ramai.”
Aku kembali melihat gelagat aneh yang tertangkap oleh mataku.
“Iya Bu, ada saatnya nanti toko kita akan ramai lagi. Ibu nggak usah khawatir ya? Ibu doakan saja terus. Sudah ya, Bu. Kami mau istirahat dulu. Ibu juga istirahat ya?”
Kami berpamitan dan segera meninggalkan beliau ke dalam kamar.
“Kamu mandi dulu sana, Dek,” perintah mas Lutfan.
“Dingin, Mas.”
“Ntar gantian mandinya Dek. Habis mandi pakai minyak angin biar hangat.”
“Hmmm, biasanya aku hanya membasuh badan saja, kamu nggak protes gini Mas.”
“Udah sana. Keburu tambah malam, Dek.”
Seperti biasa, mas Lutfan sukanya menyuruhku ini dan itu. Sedangkan dia bisa duduk bersantai untuk sejenak.
“Iya ….” Aku menurutinya.
Aku mengambil handuk dan pergi ke kamar mandi yang ada di dalam kamar.
Setelah sekitar sepuluh menit, aku sudah selesai mandi. Tidak mau berlama-lama di sana, hari sudah semakin malam. Udara pun semakin terasa dingin.
“Oke, Sayang … jangan bobo dulu ya?”
Dia mengucapkannya dengan senyum yang mengembang. Ada apa sih? Dia aneh hari ini.
Sembari menunggu mas Lutfan selesai mandi, aku melumuri leher dan dadaku dengan minyak angin. Lumayan ada rasa hangat saat melumurinya dengan minyak angin. Bisa mencegah masuk angin .
“Dek, yuk ….”
Mas Lutfan baru saja keluar dari kamar mandi. Tiba-tiba dia berkata seperti itu. Matanya memberikan isyarat tertentu kepadaku.
“Apaan sih, Mas?” tanyaku, pura-pura polos.
“Ayo, kita bikin anak, hehe.”
“Ih, apaan sih Mas? Katanya mau ditunda dulu,” jawabku tersipu.
“Ditundanya udahan aja Dek. Aku sudah ingin punya keturunan. Kamu sudah siap ‘kan?”
“Hehe, pasti dong, Mas. Aku ikut kamu aja, Mas.”
“Ya udah, matiin lampunya. Kita berdoa semoga secepatnya diberi momongan. Kamu jangan minum pilnya lagi ya? Aku sudah melarangnya, jadi jangan sekali-kali kamu meminumnya lagi, Dek.”
“Iya Mas.”
Dalam keheningan malam, kami mencoba beribadah dengan khusuk. Beribadah yang hanya bisa dilakukan oleh sepasang suami istri yang sudah sah diikat oleh janji suci sebuah perkawinan. Malam yang lumayan dingin tidak terasa oleh kami, justru peluh kami bercucuran membasahi tubuh. Meski pulang kerja terasa capek, namun ketika beribadah bersama rasa itu seketika hilang tak tersisa.
“Sudah Mas, capek banget,” lirihku.
“Lagi dong, Sayang. Aku masih ingin.”
Ya, meski merasa sudah lelah, jika suami menginginkannya lagi, sudah pasti aku tidak bisa untuk menolaknya.
“Iya, Mas.”
Kami melakukannya beberapa kali, sampai benar-benar tenaga yang ada di dalam tubuh habis terkuras. Mas Lutfan memang sering membuatku kewalahan, dia memang istimewa. Eits, yang belum menikah tidak boleh berpikir aneh-aneh ya? Karena ini rahasia ranjang kami, jadi sampai di sini saja penjelasannya. Intinya, mas Lutfan laki-laki perkasa yang membuatku bahagia. Wkwkwkwk ….
Kring, kring, kring ….
Alarm sudah terdengar di telinga kami. Hari ini untuk pertamakalinya, ibu mertua tidak membangunkan kami. Beliau menuruti permintaan anaknya. Akhirnya beliau mau juga mendengar pendapat anaknya meski hanya baru sekali.
“Mas, bangun. Mandi dulu sana.”
“Hmmm.” Mas Lutfan hanya bergumam.
“Ihh, mandi sana! Keburu ibu datang membangunkan kita karena nggak sabaran.”
“Kamu dulu Dek.”
“Nggak mau, pokoknya kamu dulu, Mas.”
Aku sengaja menggoyangkan badannya agar dia mau bangun dari tempat tidur.
“Ya udah, aku mengalah.”
Mas Lutfan segera membasuh sekujur tubuhnya agar kembali suci dan bisa mengerjakan sholat. Setelah selesai giliran aku yang akan mandi.
“Mas, sebenarnya aku malu kalau rambutku pagi-pagi basah begini,” ucapku.
Kami bersiap untuk memulai kegiatan kita masing-masing sebelum berangkat ke toko.
“Nggak usah malu, Dek. Wajar lah, namanya suami istri. Aku mau persiapkan kebutuhan di toko dulu, Dek. Kamu masak dulu sama ibu.”
“Iya Mas.”
Aku pergi menuju dapur. Di sana sudah ada ibu yang sedang sibuk membuat masakan untuk sarapan.
“Masak apa hari ini, Bu?” tanyaku ramah. Semua yang ada di dalam rumah ini, berjalan dengan peraturan yang ibu mertua buat. Tidak terkecuali dengan menu masakan.
“Ayam kecap, Wa. Eh, kamu keramas?” Tiba- tiba ibu bertanya hal sensitive seperti itu.
“Hehe, iya Bu,” jawabku, getir.
“Kamu masih minum pilnya ‘kan?”
Pertanyaan macam ini, seharusnya ibu tidak mempertanyakan hal seperti itu kepadaku. Apa harus banget, beliau mengetahui seluruh kegiatanku? Meski kegiatan itu terjadi di dalam kamarku sendiri.
Aku mengernyitkan kening mendengar pertanyaan ibu seperti itu.“Wa, kamu masih minum pilnya ‘kan?” Kembali ibu menanyakannya.“Kenapa sih Bu?” Aku bertanya kembali sebelum menjawab pertanyaan anehnya.“Tidak kenapa-kenapa sih, katanya kalian mau memajukan toko kalian dulu. Kata Lutfan kalian mau menunda kehamilan.”Mas Lutfan memang sering bercerita banyak hal kepada ibunya itu. Hal terkecil pun terkadang tak luput diceritakan kepada beliau. Maklum mas Lutfan anak satu-satunya. Sedari kecil mungkin saja sangat dimanja oleh orang tuanya, terutama ibunya. Jadi hubungan mereka menjadi sangat dekat.“Itu Bu, kata mas Lutfan aku nggak boleh lagi minum pilnya. Dia sudah mau punya anak, Bu.” Kukatakan yang sejujurnya kepada beliau.“Ah masa sih? Pasti kamu yang meminta untuk cepat-cepat punya anak ‘kan? Mana mungkin Lutfan yang ngomong begitu. Itu pasti kamu yang memaksanya.”
“Oh ibu, ya benar ini rumah beliau. Anda siapa ya? Ada urusan apa datang kemari?” tanyaku, mencaritahu.“Oh itu Mbak, anu ---““Siapa Wa?”Belum sempat wanita itu menjelaskan siapa dirinya, ibu sudah muncul di belakangku memotong ucapannya.“Ini Bu, ada yang mencari Ibu.”“Siapa?” Beliau melihat ke balik pintu. “Oh, pasti keponakannya bu Susi ‘kan? Ayo masuk.”Ibu menyambutnya dengan wajah bahagia. Sebenarnya siapa wanita muda ini? Kenapa ibu sangat antusias menyambut kedatangannya? Banyak tanda tanya di dalam kepalaku. Namanya saja aku belum mengetahui, tapi ibu langsung membawanya ke dalam rumah dengan sangat akrab. Beliau merangkul pundaknya, membimbingnya untuk masuk ke dalam rumah ini.“Kenalkan, ini Eliza, dia akan membantu ibu untuk merawat rumah ini.” Ibu mengulas senyum, terlihat seperti seseorang yang sedang sangat bahagia.
“Udah, Mas?” tanyaku ketus.“Ih! Kok jutek gitu sih, Dek?”“Nggak kok.”Mataku masih tak melihat mata milik mas Lutfan. Aku tak mau jika dia tahu aku sedang cemburu padanya. Dia pasti senang melihat istrinya yang sedang cemburu seperti ini.“Tuh ‘kan? Kok aneh gitu sih? Aku nggak lama kok bantu-bantu mereka. Jangan marah dong Sayang ….”Huh! Bukan karena lama atau tidaknya kamu membantu mereka, mas! Tapi aku cemburu kamu dekat-dekat dengan wanita lain. Meski dia hanya pembantu. Batinku meraung-raung karena ketidakpekaan mas Lutfan dengan segala perkiraannya yang salah terhadap tingkahku.“Aku nggak marah kok, Mas.”“Terus kenapa dong, Dek? Oh atau … kamu cemburu ya, Dek? Hehehe.”Tuh ‘kan, apa kataku. Dia pasti bahagia kalau tahu istrinya ini sedang cemburu kepadanya. Akhirnya dia memahami juga apa yang saat ini sedang kurasakan. T
“Mas, kira-kira Eliza udah tidur belum ya?” tanyaku saat di dalam mobil.“Hmmm, mana aku tau, Dek. Dari tadi ‘kan aku bareng terus sama kamu. Kamu ini, tanyanya aneh-aneh saja deh.”“Iya, iya … pertanyaanku aneh … aku ‘kan penasaran. Apa nggak boleh kalau tanya begitu?”Bibirku sedikit manyun saat respon mas Lutfan seolah memojokkanku. Tinggal ngomong ‘nggak tau, Dek’ gitu aja kenapa sih? Tidak usah diembel-embeli dengan ucapan lain yang membuat perasaan ini menjadi merasa sebal.“Boleh Sayang … maksudnya bukan gitu. Kamu ‘kan tau sendiri, sejak tadi aku selalu bersamamu, Dek. Kok kamu jadi manyun gitu sih?”“Kamu sih, Mas. Tinggal ngomong nggak tau aja apa susahnya? Kenapa menganggapku aneh sih?”“Ya ampun Sayang … kayak gitu aja kok dipermasalahin sih, Dek? Iya, iya … aku salah, aku minta maaf.”Sa
Saat aku berdiri melihat ke arah mobil yang sedang dicuci, di sana ada mas Lutfan yang masih belum melanjutkan hobby mencucinya itu. Dia masih berbicara dengan Eliza. Aku berinisiatif untuk mendekati mereka.“Mas …,” panggilku.Perbincangan mereka berhenti seketika. Terlihat dari raut wajah mas Lutfan terlihat ketidaksukaan.“Dek, tumben kamu mau mendatangiku pas lagi cuci mobil begini,” tanyanya.“Ya … pengin lihat kamu aja, Mas. Kalian ngomongin apa?”Eliza hanya terdiam, terlihat sungkan kepadaku.“Ini ibu aneh-aneh aja. Masa si Liza disuruh membantuku mencuci mobil. Aku bisa sendiri lho, Dek," sungutnya, terlihat jelas dari raut wajahnya jika dia benar-benar tidak suka.“Mungkin takut kamu capek kali, Mas. Jadi ibu menyuruh Liza untuk bantuin kamu.”Aku berusaha tenang meski hatiku ikut bergemuruh karena ulah ibu mertuaku itu.“Capek gimana, De
“Liza nggak bisa pakai mesin cuci?” tanya mas Lutfan heran.“Eh itu Mas, soalnya mesin cucinya beda sama yang sering kupakai. Ini lebih bagus, ya jadi—““Benar Fan, Ibu memakluminya kok. Nggak apa-apa, Ibu senang bisa mengajarinya seperti ini.”Mereka benar-benar bersekongkol mengatakan kebohongan ini. Aku bertambah penasaran, kenapa ibu mertua dengan Eliza bisa sekompak itu. Sudahlah … aku harus lolos dari kamar mandi ini terlebih dulu. Perlahan kubuka pintu kamar mandi dan cepat-cepat pergi dari sana.Dengan langkah seperti orang berlari, aku pergi menuju kamar. Tentunya dengan tak mengeluarkan suara. Sesampainya dikamar, aku berusaha mengatur napas yang sedikit ngos-ngosan, padahal tak terlalu jauh tapi tetap saja terasa capek. Mungkin karena takut ketahuan menjadi adrenalinku ikut terkuras.Aku berpura-pura duduk santai seperti tak terjadi apa-apa. Tinggal menunggu mas Lutfan datang saja.
“Ibu bisikin apa ke kamu, Za?” tanya mas Lutfan, kami sudah jalan menuju pasar swalayan terdekat.“Emm … itu Mas. Kata ibu rahasia,” ucap wanita berambut pendek itu.“Hm? Rahasia?” Mas Lutfan semakin penasaran. Aku cukup mendengarkan saja.“Iya, bilangnya gitu. Jadi saya nggak berani kasih tau sama Mas.”Ya, benar juga sih apa katanya. Dia hanya berusaha menjaga rahasia yang ibu amanatkan kepadanya. Tapi kenapa Eliza yang harus menjaga rahasia itu? Semakin tak mengerti aku dengan kedekatan mereka.Kini mas Lutfan hanya diam. Mungkin dia akan menanyakannya langsung kepada
“Ada apa sih, Mas?”Nadaku sedikit ketus. Tentu saja, karena aku ke sini—ke dalam kamar, jadi tidak bisa mencari tahu lebih lanjut apa tujuan mereka ‘kan?“Dek … kok gitu sih? Datang-datang malah kayak orang yang lagi marah?”“Lha kamu ngapain panggil aku. Aku lagi mau bantu ibu di dapur lho?”“Kan udah ada Eliza, Dek. Kamu santailah di sini sama aku.”“Tadi ‘kan katanya boleh, aku mau bantu ibu, Mas. Sekarang malah dipanggil ke sini lagi.”Perasaanku menjadi jengkel karena ul
“Dek, Zidan belum bangun?”Pertanyaan yang wajib bagi mas Lutfan saat pagi hari. Setelah menyelesaikan sholat subuh, dia akan menghampiriku dan mempertanyakan hal tersebut.“Belum dong, Mas. Tau sendiri ‘kan? Jadwal Zidan bangun pagi jam berapa? Agak siang biasanya.”“Hehe, tau sih. Kalau nggak tanya rasanya ada yang kurang, Dek.”“Kamu ini, Mas.”Aku sudah ada di dapur memasak untuk sarapan mumpung Zidan—anak kami masih terlelap tidur.“Dek, ternyata enak ya punya rumah sendiri. Bisa bermesraan dimana aja. Hehehe,” ucapnya seraya memeluku dari belakang.“Iya ‘kan? Kamu suka ‘kan, Mas?”“Iya Dek. Lebih enak kayak gini. Bebas, hati juga tenang.”“Tapi Mas, apa kamu mau memeluku begini terus? Aku mau masak dulu lho, mumpung Zidan belum bangun. Kalau bangun m
Cklek!Mas Lutfan membuka pintu.“Ayo, kalian langsung saja masuk ke rumah.”“Iya Fan, kami bermaksud datang ke sini kalau sudah pagi. Ternyata kamu menelponku untuk segera datang ke sini. Kebetulan, kami sudah mendapatkan bukti dan jawaban atas penyelidikan ini.”“Bagus, Fif. Sekalian jelaskan di depan kami semua. Ada kejadian lain yang harus kuusut agar semua menjadi bertambah jelas. Ayo masuk dulu.”“Iya, ini sekalian aku bawa tersangka yang menaburkan tanah kuburan itu, Fan.”Mereka memasuki ruang tamu. Semua sudah berkumpul.“Bu Susi … ada apa ini? Kenapa Bu Susi datang dengan teman-teman Lutfan?”Wajah ibu mertua terlihat sangat khawatir. Apa semua akan terbuka hari ini? Ya, semoga saja semua terungkap. Aku capek dengan apa yang sudah terjadi.“Aku sudah ngomong ‘kan, Bu. Ibu akan men
Tok, tok, tok!Kencang mas Lutfan mengetuk pintu kamar ibu mertua. Wajahnya benar terlihat sangat marah. Apa dia jujur dan tidak membohongiku?“Ibu! Keluar!”Suara mas Lutfan sangat lantang. Tangannya tak henti menggedor pintu kamar beliau.Cklek!“Ada apa ini, Fan? Kenapa tengah malam begini kamu berisik banget sih?”Sepertinya ibu mertua sudah bangun tidur dari tadi. Wajahnya tidak memperlihatkan jika beliau baru saja bangun, matanya sudah terlihat segar.“Bu jelaskan segala yang Ibu perbuat pada kami. Maksud Ibu apa?”“Maksud kamu apa sih? Ibu nggak paham dengan semua ucapanmu.”Tangan mas Lutfan meraih lengan Eliza. Dia melemparnya kehadapan ibu.“Eliza! Bicara sama Ibu!”“Maksud kamu apa sih, Fan? Eliza kenapa?”“Ada apa ini?”Ba
Aku berjalan menyusuri setiap ruangan. Mataku fokus mencari keberadaan mas Lutfan.“Dimana dia? Sebenarnya apa yang sedang terjadi?”Dari ruang tamu sampai ke ruang tengah sudah kutelusuri, tidak ada batang hidungnya di sana. Aku semakin gusar.“Kamu dimana sih, Mas?”Sepanjang langkah ini, mulutku terus bergumam. Kini aku melangkah ke dapur. Entah mengapa langkahku justru tertuju ke kamar Eliza.“Kenapa aku berjalan ke sini sih?”Telingaku samar mendengar suara seseorang yang sedang mendesah. Kepalaku menjadi berpikir yang bukan-bukan. Apa mungkin mas Lutfan ada di dalam kamar ini? Dia yang setia apa mungkin melakukan perzinahan di belakangku? Lemas rasanya jika semua benar terjadi.Tanganku mencoba memutar gagang pintu. Siapa tahu pintu ini tidak dikunci. Rasa penasaranku terpanggil dan ingin segera mengetahui apa yang terjadi di dalam kamar.
POV Afif****Mobilku mulai memasuki halaman rumah bu Susi yang memang cukup luas. Damar yang dari tadi di belakang mobil kini memarkirkan motor di depan kami.“Ayo turun,” ucap Hari pada pak Dito.Terlihat jelas jika dia sangat ragu dan tidak ingin turun dari mobil.“Aku takut, Pak.”“Nggak usah takut. Dia polisi. Pasti akan menggunakan jalur hukum. Ayo turun. Nggak usah takut,” ucapku.Dengan raut wajah yang terlihat khawatir, akhirnya dia mau turun juga. Kami turun dari mobil. Ada Damar yang sudah menunggu kami.“Lama banget,” protesnya.“Dia takut, Mar.”“Oh, ada pak polisi, nggak usah takut. Ayo, Pak Dito jalan di depan.”Dengan begitu, pak Dito memandu jalan kami. Tangannya masih terborgol. Kami tidak mau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, lebih baik sem
POV Afif****“Bagus kamu bisa ikut sama kami, Har. Kita tunggu beberapa saat lagi, pasti orang itu akan muncul.”Kami sudah berada di dalam mobil. Kini kami tidak membawa motor. Ada Hari—teman polisiku juga yang sekarang ikut dalam penyelidikan. Aku sudah berbicara dengan Lutfan sebelumnya, dia sangat setuju dan ingin langsung diusut.“Iya, aku jadi ikut penasaran. Buat apa ada orang yang menabur tanah kuburan di depan toko seperi itu. Mendengar ceritamu saja, aku jadi ingin tau alasannya apa.”“Kamu ini ‘kan aparat keamanan, aku jadi merasa aman kalau melakukan penyelidikan kayak gini. Kalau Cuma aku dan Damar kayaknya kurang gereget.”“Iya, tapi ‘kan aku nggak pakai seragam. Pasti dia mengira aku orang biasa saja, bukan polisi maksudnya.”“Nggak apa-apa. Yang penting kami tau kamu siapa. Hehe.”
Waktu bergulir begitu cepat. Toko kami masih laris seperti biasa. Ya, tentunya bertambah banyak orang yang datang membeli di toko kami. Sudah beberapa kali juga, ada uang yang tiba-tiba muncul di dalam laci. Jumlahnya pun lumayan besar, sekitar lima jutaan. Seperti awal kejadian ini dimulai. Kami tak percaya, namun kejadian itu benar terjadi di depan mata kepalaku sendiri. Hanya ditinggal sebentar saja, sudah ada segepok uang yang muncul di sana.Hari ini malam ju’mat. Saatnya Afif dan temannya beraksi kembali. Semoga saja dia menemukan jawabannya malam ini juga. Semua menjadi gamblang dan tak ada lagi kecurigaan.“Dek, malam ini penyelidikan ke dua. Semoga semua lancar dan mendapat jawabannya ya? Aku mau hidup tenang. Masalah ini selesai. Uang aneh yang tiba-tiba muncul, bisa terjawab juga. Aku nggak mau nafkah yang kuberikan padamu dan anak kita nggak halal, Dek. Aku nggak mau.”“Iya Mas, semoga saja penyelidikannya la
Seperti pagi-pagi biasanya, aku akan bangun lebih dulu. Mas Lutfan tak akan mau bangun meski alarm berdering sangat nyaring. Sama sekali tak mengganggu tidurnya. Jadi heran, ada orang yang seperti itu.“Mas, bangun dong. Udah tambah siang lho. Ayo sholat subuh dulu.”Aku mengucapkannya di dekat telinganya. Dia suka kalau aku melakukannya. Semoga saja masih mempan dan mau cepat bangkit dari kasur.“Iya Sayang … udah pagi aja ya?”Untung saja, dia langsung sadar. Jurus itu, ternyata masih manjur.“Iya, ayo bangun. Mandi sekalian biar segar.”“Lho, kan tadi malam kita nggak begituan, Dek. Kamu katanya capek, jadi aku nggak tega. Masa harus mandi sekarang.”“Biasanya juga gitu ‘kan? Mau habis itu atau nggak, ya kita mandi.”“Apa iya, Dek? Kamu nggak gitu lho? Kadang juga nunggu selesai masak baru mandi.&rdq
POV Afif****“Mar, buruan. Ntar malah orangnya jadi curiga.”“Iya, ini mau turun.”Dengan sangat berhati-hati, Damar turun dari mobil. Dia sengaja menuntun motor menjauhi mobil sebelum menyalakannya. Takutnya, orang tadi justru melihat lagi ke arah kami.Damar sudah lumayan menjauh dariku. Kini dia menyalakan motornya, menyelinap agar tak ketahuan. Sedangkan aku, menunggu orang itu benar-benar menyalakan motornya dan mencari jarak aman untuk membututinya. Ada Damar yang sudah siap sedia, dia akan langsung membuntuti orang itu dengan bergerilya.“Lho, malahan ngerokok dulu.”Aku geregetan saat mengetahui orang itu justru santai menghisap rokoknya. Dia santai sekali, apa nggak mau cepat-cepat pulang?“Eh, kamu sembunyi dimana? Dia malah ngerokok.”Damar memasang earphone di telinganya. Kami terhubung dengan sambun