BAB 88.Drama Sebelum Sidang Dimulai part 2.Mataku membelalak mendengar ucapan Mas Rangga. Mulutku seakan terkunci karena terkejut. Apa apaan ini? Tak sadarkah dia, apa yang baru saja terucap dari mulutnya?"Mas Rangga, kamu apa-apaan sih!" Sang istri mulai tak terima."Aku masih sangat mencintaimu, Andira. Tolong lah, pikirkan sekali lagi. Aku sadar, pernah mencampakkanmu. Dan kamu tahu, aku sangat menyesal. Kembali lah padaku, aku akan berusaha berbuat adil dengan kalian!" "Mas! Aku gak mau cintaku dibagi!" Istri Rangga yang berada di sebelahnya teriak.Ku teguk ludah ini dalam-dalam, untuk menetralkan rasa yang mulai tak berimbang. Sungguh, luar biasa sekali Mas Rangga. Dengan tanpa rasa malu berucap seperti itu di depan banyak orang. Bukankah dulu dia sangat menjunjung tinggi harkat dan martabatnya? Tapi kenapa sekarang menjadi berubah seperti ini?Mantan Ibu mertua pun mendekati sang anak yang sedang mengemis cinta di depanku, lalu melirik tajam ke arahku. Menyadari itu, Mbak W
Bab : 89Drama Setelah Sidang Perceraian.POV ANDIRAAlhamdulillah … alhamdulillah, berkali-kali aku mengucap syukur ketika Pak Hakim Ketua mengetuk palu, dan mengatakan bahwa kami resmi bercerai. Aku berjalan keluar dari ruang sidang ini dengan dituntun oleh Mbak Winda. Walaupun tak kupungkiri, ada rasa sesak ketika mengingat statusku yang kini sah menyandang status janda. Namun satu sisi sungguh lega luar biasa karena aku sudah lepas dari Mas Rangga seutuhnya. Dan akta cerai kami akan menyusul setelah beberapa minggu kemudian. Itu tak masalah bagiku."Saya permisi dulu, Bu Andira, mari Pak Dilan." Pamit Pak Desta pada kami setelah keluar dari gedung."Terima kasih bantuannya, Pak Desta." Pak Desta tersenyum. "Sama-sama, Bu Andira. Terima kasih lah pada Pak Alan, karena beliau yang mengusahakan semua ini!" Setelah berucap, Pak Desta pun meninggalkan kami. Sedangkan aku, dadaku kembali sesak mengingat nama orang yang selama ini membantuku, Mas Alan."An, kamu nggak papa?" tanya Mbak
BAB : 90. Aku Harus Segera Pergi!***"Mbak Winda nggak papa, aku masuk ke rumah dulu? Nggak pengen masuk dulu gitu?" tanyaku ketika kami sudah sampai di depan rumah, tepatnya di depan rumah Mas Alan."Gak usah Andira, nanti Gilang nyariin Mbak deh jika kelamaan pergi. Udah sana masuk, takut Kania rewel!" titah Mbak Winda hingga mau tak mau aku mengangguk menyetujuinya."Dilan, tolong antarkan kakakku sampai tujuan ya! Hati-hati di jalan!" titahku pada Dilan yang berada di depan."Baik, Bu," ucapnya, lalu membelokkan mobilnya dan kembali melanjutkan perjalanan untuk mengantarkan Mbak Winda.Dengan pelan, aku melangkah untuk masuk ke dalam rumah. Namun aku dikagetkan oleh kedatangan seorang wanita paruh baya, berpakaian modis. Gurat keibuannya terpancar jelas, namun penampilannya yang terawat membuat wanita yang berumur sepertinya tak jauh dari Bu Lestari ini masih terlihat cantik. Ia sedang duduk di teras dengan memainkan ponselnya, seperti tengah menunggu seseorang."Assalamualaikum
Bab : 91Aku terpaksa meninggalkannya.POV ANDIRADrreett … dreeett ….Aku pun menghentikan aktivitasku sejenak ketika mendengar ponselku berbunyi. Namun mata ini membulat setelah tahu siapa yang memanggil kali ini."Angkat gak ya?" gumamku ragu.Namun melihat benda pipih ini selalu berdering membuat mau tak mau aku mengangkatnya. "Assalamualaikum, Mbak Win," ucapku setelah telpon ini tersambung."Waalaikumsalam, kamu lagi ngapain, An? Ini Mbak baru nyampe rumah." Mbak Winda sepertinya sudah mempunyai firasat akan kepergianku."Mbak," Aku memanggilnya lirih. Ada getar dalam suaraku, semoga Mbak Winda tidak menyadarinya."Hm, gimana?" "Aku … aku mau pergi, sekarang." Sejenak, tak ada suara apapun. Terdengar hembusan nafas dari arah sana, menandakan bahwa Mbak Winda pun tengah merasakan bingung mendengar ucapanku."Kamu mau pergi kemana, An?" tanya Mbak Winda akhirnya."Entahlah, Mbak. Mungkin akan kembali ke rumah Bapak. Karena beliau masih sakit." "Apa tak sebaiknya kamu menunggu
Bab : 92Setelah kepergian AndiraPOV AUTHOR"Andira, kamu kenapa?" Alan yang sedari tadi mencoba kembali menghubungi Andira pun gelisah. Berkali-kali ia menelpon Andira, tapi ponselnya tak bisa dihubungi. Alan mulai kalut, saat hari beranjak semakin sore. Sejenak, Alan merenung, lalu tak lama, bibir manisnya melengkung. 'Pertama kalinya Andira menghubungiku. Apa itu artinya ia mulai terbiasa membutuhkanku?" Batin Alan bertanya. Tak dipungkiri ada rasa senang dihatinya. Namun rasa penasaran pun tak bisa dihindari ketika menyadari ada yang janggal."Apa ada yang penting akan disampaikan oleh Andira? Kenapa ponselnya tidak bisa dihubungi jika berada di dalam rumah?" gumam Alan lirih.Berbagai pertanyaan muncul di benak Alan. Ia bersiap untuk mematikan laptopnya dan ingin segera pulang. Beruntung, hari ini tak ada meeting, jadi Alan tak terlalu sibuk dan bisa bergegas untuk segera pulang. Banyak karyawan yang juga tengah beberes untuk mengakhiri kerjanya, karena memang ini sudah jam ka
BAB 93. Kepanikan Andira.POV AUTHOR***Rasa lelah seakan sirna ketika Andira menyadari bahwa ia sudah berada di kampung halamannya. Andira menata tas kecil yang dibawanya dan mengencangkan gendongan Kania karena akan bergegas turun. Perjalanan yang memakan waktu kurang lebih sekitar lima jam tersebut lumayan menguras tenaganya. Apalagi dengan sambil menggendong, capek tak capek, Andira pun bertekad dan harus kuat demi buah hatinya. Sedangkan penumpang yang ada di dalam bus itu tinggal beberapa yang belum turun. Termasuk Andira yang tengah menunggu bus melaju ke tempat yang paling dekat dengan rumahnya."Turun di sini saja, Pak!" titah Andira pada kernet setelah akhirnya sampai di dekat rumahnya."Baik, Bu." Pak Kernet membantu Andira untuk turun, lalu mengambil koper yang berada di bagasi belakang. "Makasih, Pak." ujar Andira setelah koper berada di tangan. Tangannya melindungi sang anak yang berada dalam gendongan, sedangkan tangan yang lainnya digunakan untuk menyeret koper, tak
Bab : 94Menahan rindu itu beratPOV AUTHOR"Ibu … Bapak gimana, Buk?" Andira langsung berlari mendekati ibunya dengan diantar oleh Mamat yang berada di belakangnya."Andira … ya Allah, akhirnya kamu datang juga, Nak!" Dengan masih berderai air mata sang Ibu memeluk Andira. "Bapak masih di dalam, An, masih ditangani sama dokter. hmm …." Sang Ibu masih sesenggukan di pelukan Andira. Menyadari ada Mamat di belakang, Ibu pun mengurai pelukannya."Makasih, Mat, sudah mengantar Andira kesini." "Sama-sama Bu. Mbak An, saya pulang dulu. Kalau ada apa-apa, hubungi saya aja gak papa!" ujar pemuda 22 tahun tersebut."Iya, Mat. Makasih banyak sudah diantar kesini. Mbak nitip anak Mbak dulu dirumah, ya!" "Iya, Mbak." Setelah berpamitan, Mamat pun pergi meninggalkan Andira dan Ibunya.Kini Andira dan Ibunya berjaga menunggu sang Ayah yang masih ditangani dokter di dalam ruangan. Mereka tengah duduk tegang di depan ruangan yang bertuliskan ruang ICU tersebut. Tak ada suara atau percakapan di ant
Bab : 95Usaha yang dilakukan AlanPOV AUTHOR"Tapi Andira sekarang juga tak bisa dihubungi, Ma. Apa memang dia sengaja menghindariku?" Suara Alan terdengar berat. Matanya menerawang dengan wajahnya yang sendu."Bahkan sampai sekarang ponselnya tak bisa dihubungi." Tambah Alan, lagi. Rasa sesak masih menyelimuti hati Alan jika mengingat kepergian Andira. Bersyukur, Riana tak serewel dulu ketika pertama kali bertemu dengan Andira. Walaupun kadang Alan kewalahan, namun masih bisa diatasi. Namun sekarang yang jadi masalah adalah Andira sudah berhasil membuat hati Alan porak poranda, hingga tak berkeping. "Jangan mengambil kesimpulan dari satu sisi, Alan. Kamu ingat ketika pertama kali membawa Andira kesini? Tak ada satupun yang bisa menjelaskan kejadian tersebut, sehingga terjadilah fitnah itu. Dan kini, kamu akan mengulangi kejadian itu dengan orang yang sama?" Alan mulai gamang. Hatinya kembali nyeri ketika mengingat fitnah yang menjerat Andira dengannya waktu itu. Namun kini justru