BAB : 90. Aku Harus Segera Pergi!***"Mbak Winda nggak papa, aku masuk ke rumah dulu? Nggak pengen masuk dulu gitu?" tanyaku ketika kami sudah sampai di depan rumah, tepatnya di depan rumah Mas Alan."Gak usah Andira, nanti Gilang nyariin Mbak deh jika kelamaan pergi. Udah sana masuk, takut Kania rewel!" titah Mbak Winda hingga mau tak mau aku mengangguk menyetujuinya."Dilan, tolong antarkan kakakku sampai tujuan ya! Hati-hati di jalan!" titahku pada Dilan yang berada di depan."Baik, Bu," ucapnya, lalu membelokkan mobilnya dan kembali melanjutkan perjalanan untuk mengantarkan Mbak Winda.Dengan pelan, aku melangkah untuk masuk ke dalam rumah. Namun aku dikagetkan oleh kedatangan seorang wanita paruh baya, berpakaian modis. Gurat keibuannya terpancar jelas, namun penampilannya yang terawat membuat wanita yang berumur sepertinya tak jauh dari Bu Lestari ini masih terlihat cantik. Ia sedang duduk di teras dengan memainkan ponselnya, seperti tengah menunggu seseorang."Assalamualaikum
Bab : 91Aku terpaksa meninggalkannya.POV ANDIRADrreett … dreeett ….Aku pun menghentikan aktivitasku sejenak ketika mendengar ponselku berbunyi. Namun mata ini membulat setelah tahu siapa yang memanggil kali ini."Angkat gak ya?" gumamku ragu.Namun melihat benda pipih ini selalu berdering membuat mau tak mau aku mengangkatnya. "Assalamualaikum, Mbak Win," ucapku setelah telpon ini tersambung."Waalaikumsalam, kamu lagi ngapain, An? Ini Mbak baru nyampe rumah." Mbak Winda sepertinya sudah mempunyai firasat akan kepergianku."Mbak," Aku memanggilnya lirih. Ada getar dalam suaraku, semoga Mbak Winda tidak menyadarinya."Hm, gimana?" "Aku … aku mau pergi, sekarang." Sejenak, tak ada suara apapun. Terdengar hembusan nafas dari arah sana, menandakan bahwa Mbak Winda pun tengah merasakan bingung mendengar ucapanku."Kamu mau pergi kemana, An?" tanya Mbak Winda akhirnya."Entahlah, Mbak. Mungkin akan kembali ke rumah Bapak. Karena beliau masih sakit." "Apa tak sebaiknya kamu menunggu
Bab : 92Setelah kepergian AndiraPOV AUTHOR"Andira, kamu kenapa?" Alan yang sedari tadi mencoba kembali menghubungi Andira pun gelisah. Berkali-kali ia menelpon Andira, tapi ponselnya tak bisa dihubungi. Alan mulai kalut, saat hari beranjak semakin sore. Sejenak, Alan merenung, lalu tak lama, bibir manisnya melengkung. 'Pertama kalinya Andira menghubungiku. Apa itu artinya ia mulai terbiasa membutuhkanku?" Batin Alan bertanya. Tak dipungkiri ada rasa senang dihatinya. Namun rasa penasaran pun tak bisa dihindari ketika menyadari ada yang janggal."Apa ada yang penting akan disampaikan oleh Andira? Kenapa ponselnya tidak bisa dihubungi jika berada di dalam rumah?" gumam Alan lirih.Berbagai pertanyaan muncul di benak Alan. Ia bersiap untuk mematikan laptopnya dan ingin segera pulang. Beruntung, hari ini tak ada meeting, jadi Alan tak terlalu sibuk dan bisa bergegas untuk segera pulang. Banyak karyawan yang juga tengah beberes untuk mengakhiri kerjanya, karena memang ini sudah jam ka
BAB 93. Kepanikan Andira.POV AUTHOR***Rasa lelah seakan sirna ketika Andira menyadari bahwa ia sudah berada di kampung halamannya. Andira menata tas kecil yang dibawanya dan mengencangkan gendongan Kania karena akan bergegas turun. Perjalanan yang memakan waktu kurang lebih sekitar lima jam tersebut lumayan menguras tenaganya. Apalagi dengan sambil menggendong, capek tak capek, Andira pun bertekad dan harus kuat demi buah hatinya. Sedangkan penumpang yang ada di dalam bus itu tinggal beberapa yang belum turun. Termasuk Andira yang tengah menunggu bus melaju ke tempat yang paling dekat dengan rumahnya."Turun di sini saja, Pak!" titah Andira pada kernet setelah akhirnya sampai di dekat rumahnya."Baik, Bu." Pak Kernet membantu Andira untuk turun, lalu mengambil koper yang berada di bagasi belakang. "Makasih, Pak." ujar Andira setelah koper berada di tangan. Tangannya melindungi sang anak yang berada dalam gendongan, sedangkan tangan yang lainnya digunakan untuk menyeret koper, tak
Bab : 94Menahan rindu itu beratPOV AUTHOR"Ibu … Bapak gimana, Buk?" Andira langsung berlari mendekati ibunya dengan diantar oleh Mamat yang berada di belakangnya."Andira … ya Allah, akhirnya kamu datang juga, Nak!" Dengan masih berderai air mata sang Ibu memeluk Andira. "Bapak masih di dalam, An, masih ditangani sama dokter. hmm …." Sang Ibu masih sesenggukan di pelukan Andira. Menyadari ada Mamat di belakang, Ibu pun mengurai pelukannya."Makasih, Mat, sudah mengantar Andira kesini." "Sama-sama Bu. Mbak An, saya pulang dulu. Kalau ada apa-apa, hubungi saya aja gak papa!" ujar pemuda 22 tahun tersebut."Iya, Mat. Makasih banyak sudah diantar kesini. Mbak nitip anak Mbak dulu dirumah, ya!" "Iya, Mbak." Setelah berpamitan, Mamat pun pergi meninggalkan Andira dan Ibunya.Kini Andira dan Ibunya berjaga menunggu sang Ayah yang masih ditangani dokter di dalam ruangan. Mereka tengah duduk tegang di depan ruangan yang bertuliskan ruang ICU tersebut. Tak ada suara atau percakapan di ant
Bab : 95Usaha yang dilakukan AlanPOV AUTHOR"Tapi Andira sekarang juga tak bisa dihubungi, Ma. Apa memang dia sengaja menghindariku?" Suara Alan terdengar berat. Matanya menerawang dengan wajahnya yang sendu."Bahkan sampai sekarang ponselnya tak bisa dihubungi." Tambah Alan, lagi. Rasa sesak masih menyelimuti hati Alan jika mengingat kepergian Andira. Bersyukur, Riana tak serewel dulu ketika pertama kali bertemu dengan Andira. Walaupun kadang Alan kewalahan, namun masih bisa diatasi. Namun sekarang yang jadi masalah adalah Andira sudah berhasil membuat hati Alan porak poranda, hingga tak berkeping. "Jangan mengambil kesimpulan dari satu sisi, Alan. Kamu ingat ketika pertama kali membawa Andira kesini? Tak ada satupun yang bisa menjelaskan kejadian tersebut, sehingga terjadilah fitnah itu. Dan kini, kamu akan mengulangi kejadian itu dengan orang yang sama?" Alan mulai gamang. Hatinya kembali nyeri ketika mengingat fitnah yang menjerat Andira dengannya waktu itu. Namun kini justru
Bab : 96. Tamu yang datang hari iniPOV ANDIRA"Kok malah melamun, An? Ayo ke depan!" titah Ibu setelah mencuci tangannya. "Emang siapa yang bertamu, Bu?" tanyaku penasaran. Jantungku pun mulai tak beraturan mengingat kata Bapak bahwa tamu tersebut mencariku."Udah, kita temui dulu!" Ibu melangkah ke depan meninggalkanku yang masih berdiri di dapur.Sejenak aku menetralkan rasa, menghela nafas lalu menghembuskannya pelan. Aku mulai melangkah ke depan menyusul Ibu yang sepertinya sudah berkumpul bersama tamu tersebut. "Bude Gina, Mas Hilmi?" Pekikku saat sudah berdiri di depan mereka.Mataku membelalak melihat kedatangan dua orang yang sama sekali tak kusangka kedatangannya. Bagaimana mereka bisa sampai disini? Mas Hilmi adalah anak Bude Gina, seingatku ia masih lajang dan tengah sibuk-sibuknya. Masih bertanya dalam benak, apa tujuan Mas Hilmi dan Bude Gina datang kesini?"Andira, apa kabar sayang?" Bude Gina berdiri, lalu memelukku yang masih mematung."Baik, Bude, kok Bude bisa ke
BAB 97. Surat untuk Andira.***"Bagaimana keadaan hatimu sekarang ini, Andira?"Dahiku mengernyit mendengar pertanyaan Mas Hilmi. "Maksud, Mas?" Mas Hilmi tersenyum, lalu menghela nafas. "Saya turut prihatin dengan kandasnya rumah tanggamu, Andira. Kamu tahu, sejak Rangga memperkenalkan kamu dengan keluarga, ada rasa yang berbeda setiap aku melihatmu. Bahkan lebih dari rasa kagum. Namun rasa itu kukubur dalam-dalam ketika kalian menikah. Bolehkah sekarang aku kembali mengharapmu?" Sejenak, lidahku kelu, susah sekali untuk berucap. Banyak sekali kejadian yang membuatku terkejut karena mendengar penuturan Bude Gina. Dan kini aku kembali dikejutkan oleh sikap jujurnya Mas Hilmi dalam mengungkapkan perasaannya. "Mas, banyak perempuan lajang, cantik, tak sepatutnya Mas Hilmi mengharapku yang sekarang statusku pun sudah janda. Carilah yang sepadan Mas, mudah bagi Mas Hilmi melakukan itu." "Aku sudah pernah mencobanya, Andira. Namun tidak ada yang sepertimu. Bahkan namamu selalu melekat
Bab : 108Bersamamu, aku bahagia, Mas,"Biar saja, Pak, saya bisa mengatasinya." titahku, lantas penjaga itu membungkuk permisi.Hatiku perih melihat penampilan mantan Ibu mertua yang sekarang terlihat lebih kurus. Istri Mas Rangga yang sedang menggendong anaknya pun tak kalah kusut. Namun kemana Mas Rangga? Kenapa meninggalkan Ibu dan istrinya? Aku hampir lupa kalau Mas Rangga adalah karyawan Mas Alan. Tentu saja dia beserta keluarganya pun menghadiri acara ini."Andira, maaf jika dulu Ibu pernah jahat sama kamu. Ibu sangat menyesal. Coba dulu Ibu tak menyia-nyiakan kamu, mungkin sampai sekarang kamu masih menjadi istri Rangga.""Maksud Ibu apa?" Istri Mas Rangga seakan tak terima mendengar ucapan sang mertua."Diam kamu! Menikahi kamu adalah kesalahan terbesar Rangga!" sungut Ibu melotot tajam. Sepertinya perangai Ibu masih seperti dulu. Inikah yang katanya menyesal? Bahkan sama menantunya pun masih seperti itu. "Bu, Mbak, sudah, tak usah ribut, ini tempat umum. Ibu tenang saja, s
Bab : 107Kejutan yang membuatku terharuMas Alan menghela nafas, lalu menghembuskannya pelan. "Kita akan pergi ke pesta, sayang.""Pesta?""Iya, pesta. Pesta pernikahan kita." Entah kejutan apa lagi yang akan diberikan untukku kali ini. Rasanya sudah tak bisa berkata-kata lagi dihadapannya. Bagaimana dia menyiapkan semua ini, tanpa meminta persetujuanku?"Aku sengaja memberikan kejutan untukmu, sayang. Mas yakin, pasti kamu akan senang." Mas Alan menggenggam tanganku."Tapi, kenapa harus mengadakan pesta, Mas?" tanyaku lirih. "Sayang, dengar, Mas hanya ingin menunjukkan ke semua orang bahwa Mas sudah menikah dan mempunyai istri secantik kamu. Memangnya kamu mau, karyawan Mas di kantor menganggap Mas masih single?" ucapnya dengan menggenggam jari ini.Senyumku mengembang mendengar penuturannya. Tak ada alasan untuk tidak jatuh cinta padamu, Mas. Sungguh, hati ini selalu sejuk dengan segala tingkah manismu. Bahkan berkali-kali kamu selalu membuatku jatuh cinta."Makasih banyak, Mas.
Bab : 106Malam pertama yang indah."Terus gimana, Bunda? Apakah setelah itu sang pengembaranya ketakutan?" tanya Riana yang sudah menguap beberapa kali."Awalnya memang ketakutan, Sayang. Lalu tak lama ada seseorang yang datang menyelamatkannya. Tentu sang pengembara itu sangat senang mendapat bantuan. Hingga akhirnya sang pengembara menemukan temannya yang tengah tersesat. Pastilah teman sang pengembara senang, karena telah bertemu dengan teman seperjuangan." Aku menutup buku setelah membacakan dongeng pada anak gadisku. Dan ternyata Riana sudah pulas dengan memeluk guling kesayangannya.Setelah menaruh buku di meja, kukecup sejenak kening Riana yang baru saja memejamkan mata. 'Sungguh, Bunda menyayangimu, Sayang, walaupun kamu bukan terlahir dari rahim Bunda. Tapi Bunda akan berusaha menjadi Bunda yang baik untukmu." Batinku, sembari menata selimut agar nyaman dengan tidurnya.Aku mulai beranjak dari kamar Riana setelah memastikan ia tertidur dengan nyaman. Waktupun sudah menunjukk
Bab : 105Badai orang ketigaDreett … dreett ….Kami yang tengah bercengkrama berdua, terkejut mendengar ponsel Mas Alan berdering. Siapa yang menelpon? Bukannya Mas Alan sedang mengambil cuti? Penasaran, aku pun ingin beranjak mengambil ponsel yang masih tergeletak tersebut, namun Mas Alan menghalangiku."Biar Mas yang ngambil, Sayang. Ganggu aja, siapa sih yang nelpon?" gerutunya, sembari melangkah mengambil ponsel."Bu Puspita, Sayang," ucapnya ragu.Dahiku mengernyit, untuk apa Bu Puspita menelpon? "Angkat aja, Mas!" ujarku. Karena aku sendiri penasaran dengan maunya Bu Puspita kali ini. "Assalamualaikum, Bu," jawab Mas Alan setelah mengangkat telepon. Sejenak, Mas Alan terdiam dengan masih menggenggam ponselnya. Entah apa yang dibicarakan oleh Bu Puspita, aku tak mendengarnya. Lebih baik aku menunggu disini saja."Maaf, Bu, saya tidak bisa. Saya sedang bersama istri saya!" Suara Mas Alan terdengar pelan, namun tegas.Aku meneguk ludah kuat. Kenapa Bu Puspita masih saja menggang
Bab : 104Kamu sempurna di mataku, Mas,Duh, Mas, meleleh hatiku melihat sikapmu seperti ini. Biarlah dikata seperti anak abege yang baru mengenal cinta. Nyatanya hatiku sedang berbunga-bunga melihat sikap manisnya. Sedangkan Yulia terlihat sangat kesal, tatapan matanya tajam ke arahku seakan mau menerkam."Hari ini adalah hari bahagia mereka, Bu, tolong jangan rusak momen indah mereka. Andira sekarang sudah menjadi menantu saya, tanpa mengurangi rasa sayang kami terhadap Renata yang sudah bahagia di alam sana. Jika Ibu ingin dihargai, tolong hargai kami disini!" Suara Mama pelan, namun menusuk. Menusuk bagi yang berpikir, tapi entah jika bagi Bu Puspita. Namun melihat raut wajah Bu Puspita, sepertinya mati kutu. Nyatanya tak mengeluarkan sepatah kata pun. Mulutnya seperti terkunci."Bukan begitu, Bu, saya hanya ingin memberitahu pada Andira, itu saja!" Kilah Bu Puspita pelan."Andira pasti paham, Bu. Iya kan, Sayang?" Mas Alan mengedipkan mata ke arah ku."Tentu saja, Sayang. Sebaga
Bab : 103.Dia yang selalu menyejukkan hati.Aku bernafas lega setelah mobil sudah terparkir manis di depan rumah. Perjalanan panjang ini terasa lebih menyenangkan karena seseorang yang berada disampingku."Sudah sampai rumah, Sayang." Mas Alan melepas seatbelt yang masih menempel di tubuhnya."Iya, Mas. Udah malam ternyata." ucapku sambil melirik jam di pergelangan tangan. Sudah menunjukkan angka 20,00. Aku keluar dengan Mbak Tuti yang menggendong Kania. Dan ternyata Kania pun sudah tertidur pulas. Sedangkan Mas Alan berjalan beriringan denganku sampai kami masuk ke dalam rumah."Duh, menantu Mama baru nyampe rumah." ujar Mama menyambutku."Assalamualaikum, Ma," ucapku dengan mencium takzim tangannya."Waalaikumsalam, Sayang. Pasti capek baru pulang. Istirahat dulu, nanti kita makan malam bareng!" ujar Mama."Ayo sayang!" Mas Alan mengajakku beristirahat sejenak. Aku pun mengikuti langkahnya dengan tangan ini tak lepas dari genggamannya.Mas Alan melepas sweaternya setelah kami masu
Bab : 102Hari yang dinanti pun tiba.Satu tahun kemudian.Hidup memang penuh dengan cobaan dan ujian. Begitu pun hidupku yang pernah mengalami keterpurukan hingga berada di titik terendah. Namun aku percaya bahwa Allah tidak akan menguji seorang hamba diluar batas kemampuannya. Dan bersamaan dengan itu Allah hadirkan Mas Alan sebagai penyembuh lukaku, pelengkap hidupku, dan sebentar lagi akan menjadi pendamping hidupku.Saat ini aku sedang mematut diri di depan cermin. Sedang menunggu detik-detik dimana sebentar lagi statusku akan berubah menjadi seorang istri. Gamis mewah berwarna putih serta hijab yang berwarna senada pula, kubiarkan menjuntai lebar menutupi dada yang kukenakan saat ini. "Masya Allah … adik Mbak cantik banget!" ujar Mbak Winda yang menghampiriku di kamar.Mbak Winda rela datang kesini hanya untuk menyaksikan pernikahanku. Padahal jarak dari rumahnya ke kampungku tidaklah dekat. Terharu, itulah yang kurasa saat melihat Mbak Winda kesini."Iya, Mbak Andira aslinya u
BAB 101. Penyesalan Selalu Datang Belakangan.POV RANGGA"Mas, minta uang dong buat beli skin care! Tuh lipstik aku sudah habis!" Lisa datang menyodorkan lipstiknya yang sudah ia korek dengan jarinya. Apakah Lisa tak melihat aku yang baru saja pulang kerja? Belum apa-apa sudah disuguhi dengan permintaan yang menyebalkan."Sudahlah, Lis, tak usah beli lipstik segala. Kamu tahu buat makan aja sekarang kita susah!" Pekikku. Sungguh, pusing sekali rasanya memikirkan semua masalah yang terus menerpa. Setiap berada di rumah selalu berakhir dengan keributan. Tidak dengan Ibu, tidak dengan Lisa, dan kadang seringnya Ibu yang berdebat dengan Lisa. Membuat kepala ini semakin pusing."Ah, Mas jahat. Coba kalau Ibu yang minta, pasti dibeliin. Kenapa aku yang istrimu minta uang buat beli lipstik saja susah, Mas?"Selalu seperti ini. Mempermasalahkan uang yang tak sepatutnya di bahas. Lisa sibuk meminta uang buat lipstik, sedangkan baru kemarin Ibu mengeluhkan beras yang sudah mulai menipis."Aku
Bab : 100Menjaga Hati***Aku melotot di depannya dengan jarak yang dekat. Biar saja, biar Mas Alan tahu kalau aku juga bisa marah. Menjengkelkan sekali. Mentang-mentang sudah sampai sini malah seenaknya seperti itu. Namun pandangan ini dikacaukan oleh bulu-bulu halus yang berada di pipi, membuat orang yang berada di depanku ini terlihat, sempurna. Sejenak, aku mengagumi ciptaan Tuhan yang amat sempurna."Kamu cantik banget kalau sedang marah. Apalagi menatapku dengan penuh cinta seperti itu." Aku gelagapan dan segera membuang muka. "Siapa juga yang memperhatikan wajahmu. Nyebelin banget sih!" gerutuku. Padahal sebenarnya sedang menyembunyikan rasa malu yang luar biasa. Sedangkan Mas Alan hanya tersenyum menanggapi ucapanku. Baru bertemu sehari dengannya, kenapa jadi se-menyebalkan ini?"Sebentar, Andira. Saya punya sesuatu untukmu." Mas Alan mengambil plastik yang berada di meja depan, lantas kembali mendekat ke arahku."Pakailah ponsel ini, Andira! Sudah saya simpan semua nomor sa