Bab : 94Menahan rindu itu beratPOV AUTHOR"Ibu … Bapak gimana, Buk?" Andira langsung berlari mendekati ibunya dengan diantar oleh Mamat yang berada di belakangnya."Andira … ya Allah, akhirnya kamu datang juga, Nak!" Dengan masih berderai air mata sang Ibu memeluk Andira. "Bapak masih di dalam, An, masih ditangani sama dokter. hmm …." Sang Ibu masih sesenggukan di pelukan Andira. Menyadari ada Mamat di belakang, Ibu pun mengurai pelukannya."Makasih, Mat, sudah mengantar Andira kesini." "Sama-sama Bu. Mbak An, saya pulang dulu. Kalau ada apa-apa, hubungi saya aja gak papa!" ujar pemuda 22 tahun tersebut."Iya, Mat. Makasih banyak sudah diantar kesini. Mbak nitip anak Mbak dulu dirumah, ya!" "Iya, Mbak." Setelah berpamitan, Mamat pun pergi meninggalkan Andira dan Ibunya.Kini Andira dan Ibunya berjaga menunggu sang Ayah yang masih ditangani dokter di dalam ruangan. Mereka tengah duduk tegang di depan ruangan yang bertuliskan ruang ICU tersebut. Tak ada suara atau percakapan di ant
Bab : 95Usaha yang dilakukan AlanPOV AUTHOR"Tapi Andira sekarang juga tak bisa dihubungi, Ma. Apa memang dia sengaja menghindariku?" Suara Alan terdengar berat. Matanya menerawang dengan wajahnya yang sendu."Bahkan sampai sekarang ponselnya tak bisa dihubungi." Tambah Alan, lagi. Rasa sesak masih menyelimuti hati Alan jika mengingat kepergian Andira. Bersyukur, Riana tak serewel dulu ketika pertama kali bertemu dengan Andira. Walaupun kadang Alan kewalahan, namun masih bisa diatasi. Namun sekarang yang jadi masalah adalah Andira sudah berhasil membuat hati Alan porak poranda, hingga tak berkeping. "Jangan mengambil kesimpulan dari satu sisi, Alan. Kamu ingat ketika pertama kali membawa Andira kesini? Tak ada satupun yang bisa menjelaskan kejadian tersebut, sehingga terjadilah fitnah itu. Dan kini, kamu akan mengulangi kejadian itu dengan orang yang sama?" Alan mulai gamang. Hatinya kembali nyeri ketika mengingat fitnah yang menjerat Andira dengannya waktu itu. Namun kini justru
Bab : 96. Tamu yang datang hari iniPOV ANDIRA"Kok malah melamun, An? Ayo ke depan!" titah Ibu setelah mencuci tangannya. "Emang siapa yang bertamu, Bu?" tanyaku penasaran. Jantungku pun mulai tak beraturan mengingat kata Bapak bahwa tamu tersebut mencariku."Udah, kita temui dulu!" Ibu melangkah ke depan meninggalkanku yang masih berdiri di dapur.Sejenak aku menetralkan rasa, menghela nafas lalu menghembuskannya pelan. Aku mulai melangkah ke depan menyusul Ibu yang sepertinya sudah berkumpul bersama tamu tersebut. "Bude Gina, Mas Hilmi?" Pekikku saat sudah berdiri di depan mereka.Mataku membelalak melihat kedatangan dua orang yang sama sekali tak kusangka kedatangannya. Bagaimana mereka bisa sampai disini? Mas Hilmi adalah anak Bude Gina, seingatku ia masih lajang dan tengah sibuk-sibuknya. Masih bertanya dalam benak, apa tujuan Mas Hilmi dan Bude Gina datang kesini?"Andira, apa kabar sayang?" Bude Gina berdiri, lalu memelukku yang masih mematung."Baik, Bude, kok Bude bisa ke
BAB 97. Surat untuk Andira.***"Bagaimana keadaan hatimu sekarang ini, Andira?"Dahiku mengernyit mendengar pertanyaan Mas Hilmi. "Maksud, Mas?" Mas Hilmi tersenyum, lalu menghela nafas. "Saya turut prihatin dengan kandasnya rumah tanggamu, Andira. Kamu tahu, sejak Rangga memperkenalkan kamu dengan keluarga, ada rasa yang berbeda setiap aku melihatmu. Bahkan lebih dari rasa kagum. Namun rasa itu kukubur dalam-dalam ketika kalian menikah. Bolehkah sekarang aku kembali mengharapmu?" Sejenak, lidahku kelu, susah sekali untuk berucap. Banyak sekali kejadian yang membuatku terkejut karena mendengar penuturan Bude Gina. Dan kini aku kembali dikejutkan oleh sikap jujurnya Mas Hilmi dalam mengungkapkan perasaannya. "Mas, banyak perempuan lajang, cantik, tak sepatutnya Mas Hilmi mengharapku yang sekarang statusku pun sudah janda. Carilah yang sepadan Mas, mudah bagi Mas Hilmi melakukan itu." "Aku sudah pernah mencobanya, Andira. Namun tidak ada yang sepertimu. Bahkan namamu selalu melekat
Bab : 98Akhirnya kita bertemu, Mas.***"Duh, Neng, maafkan Ibu kalau sudah salah ngomong. Emang tadi siapa Neng? Sepertinya belum jauh juga kalau pergi, nitipin surat ke Ibu pun belum lama." Aku mendongak ke arah Bu Sri. Jika yang diucapkan Bu Sri benar, berarti Mas Alan masih berada di sekitar sini. Tak mau menunggu lebih lama, kulangkahkan kakiku dengan tergesa menuju jalan dimana tempat mobil Mas Alan terparkir tadi. Namun lagi-lagi rasa kecewa kembali menyelimuti ketika tak menemukan apapun disini. Ternyata Mas Alan telah kembali pulang.Sungguh, sesak."Bu Sri bawa ponsel?" tanyaku yang masih ngos-ngosan. Ternyata Bu Sri mengekor di belakang dengan masih menggendong Kania."Ada Neng, nih!" Bu Sri menyerahkan ponselnya dengan wajah kebingungan. Segera kusambar ponsel yang berada di tangan Bu Sri, lalu menghubungi seseorang yang membuatku panik seperti ini. Entah seperti apa mukaku sekarang, dan entah apa yang dipikirkan oleh Bu Sri aku tak perduli. Yang aku inginkan hanya satu
BAB : 99Apakah ini Sebuah Lamaran?"Sebelumnya saya ucapkan terima kasih pada Nak Alan yang sudah banyak membantu anak saya. Jujur, sebagai Bapak saya malu, anaknya menderita di sana namun saya malah tak tahu apa-apa." Lirih, Bapak berucap."Tak apa, Pak. Justru saya senang dengan hadirnya Andira disana. Anak saya pun juga bahagia dengan hadirnya Andira." "Alhamdulillah." ucap Bapak terdengar lega."Bapak bagaimana keadaannya sekarang?" Mas Alan yang duduk di sebelah Bapak pun bertanya."Alhamdulillah, sudah mendingan Nak Alan. Habis jalan-jalan ke rumah sakit selama seminggu. Tadi pagi baru pulang." ujar Bapak dengan khas senyumnya. "Bapak kemarin sempat kritis, Mas. Dirawat di rumah sakit selama seminggu. Makanya saya tak sempat pamit pada Mas itu karena mendapat kabar bahwa Bapak kritis." Paparku pada Mas Alan yang masih terlihat bingung. Sekaligus menjelaskan bahwa kenapa waktu itu aku tak pamit padanya."Jadi …." Mas Alan terkejut."Kenapa kamu tak menelpon saya waktu itu, And
Bab : 100Menjaga Hati***Aku melotot di depannya dengan jarak yang dekat. Biar saja, biar Mas Alan tahu kalau aku juga bisa marah. Menjengkelkan sekali. Mentang-mentang sudah sampai sini malah seenaknya seperti itu. Namun pandangan ini dikacaukan oleh bulu-bulu halus yang berada di pipi, membuat orang yang berada di depanku ini terlihat, sempurna. Sejenak, aku mengagumi ciptaan Tuhan yang amat sempurna."Kamu cantik banget kalau sedang marah. Apalagi menatapku dengan penuh cinta seperti itu." Aku gelagapan dan segera membuang muka. "Siapa juga yang memperhatikan wajahmu. Nyebelin banget sih!" gerutuku. Padahal sebenarnya sedang menyembunyikan rasa malu yang luar biasa. Sedangkan Mas Alan hanya tersenyum menanggapi ucapanku. Baru bertemu sehari dengannya, kenapa jadi se-menyebalkan ini?"Sebentar, Andira. Saya punya sesuatu untukmu." Mas Alan mengambil plastik yang berada di meja depan, lantas kembali mendekat ke arahku."Pakailah ponsel ini, Andira! Sudah saya simpan semua nomor sa
BAB 101. Penyesalan Selalu Datang Belakangan.POV RANGGA"Mas, minta uang dong buat beli skin care! Tuh lipstik aku sudah habis!" Lisa datang menyodorkan lipstiknya yang sudah ia korek dengan jarinya. Apakah Lisa tak melihat aku yang baru saja pulang kerja? Belum apa-apa sudah disuguhi dengan permintaan yang menyebalkan."Sudahlah, Lis, tak usah beli lipstik segala. Kamu tahu buat makan aja sekarang kita susah!" Pekikku. Sungguh, pusing sekali rasanya memikirkan semua masalah yang terus menerpa. Setiap berada di rumah selalu berakhir dengan keributan. Tidak dengan Ibu, tidak dengan Lisa, dan kadang seringnya Ibu yang berdebat dengan Lisa. Membuat kepala ini semakin pusing."Ah, Mas jahat. Coba kalau Ibu yang minta, pasti dibeliin. Kenapa aku yang istrimu minta uang buat beli lipstik saja susah, Mas?"Selalu seperti ini. Mempermasalahkan uang yang tak sepatutnya di bahas. Lisa sibuk meminta uang buat lipstik, sedangkan baru kemarin Ibu mengeluhkan beras yang sudah mulai menipis."Aku