Bab 30"Tidak usah cari muka sama Mama," ujar Abi sarkas. Matanya menatap ke arah jalan raya, tanpa sedikit pun melirik ke arah lawan bicaranya."Mas pikir apa yang membuatku mau bertahan denganmu selain kedua orang tuamu? Aku sudah kehilangan orang tua, bagaimana mungkin kusia-siakan kasih sayang mereka yang dengan tulus mau menerimaku sebagai seorang menantu, meskipun anaknya sama sekali tidak mengharapkanku?" balas Nisrina tegas sambil menatap ke arah laki-laki di sampingnya."Terserah kamu.""Mas yakin bilang terserah? Bagaimana jika sekarang aku pergi ke tempat Mama dan kukatakan semuanya?" Seulas senyum miring mengiringi ucapan Nisrina itu."Jangan ngawur kamu!" "Sudah lah, Mas. Jangan lagi mendebat. Aku lelah."Abisatya hanya diam tanpa bersuara sedikitpun. Ia merasa banyak berhutang pada perempuan di sampingnya."Apa Mas beneran mau pergi ke pernikahan Mas Bian? Mas yakin?" Nisrina kembali bersuara setelah beberapa saat."Menurutmu? Aku hanya sengaja membuat mereka panas, sam
Bab 31"Lama banget, sih!" gerutu Rania dalam sambungan telepon."Sabar, Sayang. Ini aku baru on the way. Kamu tunggu ya? Habis ini kita cari sarapan.""Iya, jangan lama-lama! Aku keburu laper!"Abi mengembuskan napas kasar. Kesabarannya selalu terkuras saat bersama Rania. Dengan cepat Abi mengendarai mobilnya menuju apartemen Rania. Ia tak mau repot merayu rayu lagi jika sampai terlambat datang.Sementara itu berbanding terbalik dengan Rania, Nisrina masuk ke dalam kantor dengan hati riang. Meskipun dalam lubuk hatinya tersimpan rasa cemas akan hubungan sang suami yang tetap berjalan dengan kekasihnya setelah perjanjian itu mereka tanda tangani."Pagi, Bu," sapa security. "Pagi juga." Nisrina membalas sapaan itu dengan ramah. Tempat kerja yang baru ini tidak terlalu asing baginya sebab sebelumnya ia kerap berkunjung untuk meeting atau yang lainnya. Dengan rekan sesama manager pun ia sudah saling akrab sehingga tak susah untuknya beradaptasi."Pagi, Bu Rina." Team Leader di divisi B
Bab 32Selesai briefing, Nisrina membantu staf-nya untuk mendisplay barang di rak. Banyak obrolan dan candaan terlontar dari bibir mereka yang membuat hubungan atasan dan bawahan itu terasa menyatu.Sebagai seseorang yang hidup sebatang kara, Nisrina menganggap staf dan rekan sesama manager di tempatnya bekerja seperti saudara sendiri. Sehingga ia mudah berbaur dengan semula dan tidak pernah membandingkan antara atasan dan bawahan."Ngga pulang, Fidz?" sapa Nisrina yang masih melihat Team Leader-nya sibuk membantu staf yang lainnya menata barang sesuai instruksi saat briefing."Nanggung, Bu. Sekalian selesai aja."Nisrina menatap jam di pergelangan tangannya. Jarum pendek jam tersebut sudah menunjukkan pukul lima sore, seharusnya staf pulang satu jam yang lalu."Sudah lebih satu jam, Fidz. Sebaiknya pulang saja. Ini biar saya yang bantu sama tim sore.""Enggak, Bu. Ngga enak pulang ninggal kerjaan. Minimal setelah ini selesai."Nisrina tersenyum. Sebagai karyawan di perusahaan retail,
Bab 33"Tidur di kamar, Sayang," ucap Abi saat Rania terlentang di sofa ruang tengah. Matanya lelap setelah menikmati makan siang yang kesorean.Suara televisi yang dibiarkan menyala itu bak lagu nina bobo bagi Rania. Matanya memejam, telinganya mendengar lagu yang diputar melalui aplikasi musik di televisi digital tersebut.Mendengar suara sang kekasih, Rania membuka matanya."Ngga mau. Di sini aja. Peluk," rengek Rania seraya merentangkan kedua tangan. Bibirnya mengerucut untuk membuat sang kekasih lekas mendekat ke dalam pelukannya."Sini, tidur sama aku. Katanya kangen?" Raut memelas tak lepas dari wajah Rania yang sedang terbaring itu.Abi tersenyum senang mendapati rengekan manja milik Rania. Suara itu bak bentuk kasih dari Rania untuknya. Dengan bahagia ia menyambut pelukan tersebut dan membenamkan kepala sang kekasih ke dalam dada bidangnya."Capek ya?" bisik Abi. Tangan kekarnya itu mengusap lembut rambut panjang milik Rania."Iya. Kamu hebat. Bisa bikin aku terbang melayang
Bab 34"Jangan diangkat Rin. Kumohon," ucap Abi lagi. Ia merasa jera dengan apa yang terjadi. Wajah Nisrina yang tampak serius membuat Abi merasa takut."Untuk apa aku bertahan sebulan ke depan jika Mas selalu ingkar? Bahkan perjanjian bermaterai pun kamu ingkari! Lebih baik sudahi saja agar semuanya bahagia, iya kan?" Wajah Nisrina mengeras. Ia menatap sang suami dengan tatapan tajam, tanpa kelembutan sedikit pun."Aku minta maaf, Rin. Aku janji, aku ngga akan ngulangi lagi." Abi berusaha meraih ponsel yang dipegang Nisrina. Akan tetapi, dengan cepat Nisrina menepis tangan Abisatya."Diamlah, Mas. Aku sudah lelah. Bukannya kamu ingin segera bersatu dengan pacarmu itu? Aku hanya ingin membantumu, aku pun lelah dengan keadaan ini."Panggilan pun terhenti. Nisrina hanya melirik ponsel yang tak lagi menyala itu."Tidak, Rin. Jangan begini caranya. Makin runyam kalau kamu putuskan dengan emosi begini. Aku janji, aku ngga akan ulangi. Kamu percaya sama aku." "Runyam hanya sebentar, Mas.
Bab 35Abisatya bergegas mengangkat tubuh Nisrina menuju ranjang. Ia membaringkan badan langsing itu dengan sempurna. Apa yang dilakukannya ini adalah kali pertama mereka bersentuhan badan tanpa sekat dan tanpa dilihat oleh orang lain.Abi melihat wajah lemas Nisrina dengan hati iba. Hatinya mulai tergelitik oleh rasa bersalah.Tangan Abisatya menyentuh dahi yang tak terlalu lebar milik sang istri, dingin tidak demam sama sekali. Akan tetapi mata yang dihiasi bulu lentik itu memejam rapat sekali."Kamu kenapa, Rin?" tanya Abi. "Bangunlah."Namun tidak ada jawaban dari bibir Nisrina, bahkan mata itu tetap terpejam rapat dan tidak ada tanda-tanda akan bergerak.Dengan cepat Abi kembali ke ruang tengah, mengambil ponselnya untuk menghubungi dokter pribadi. Ia tidak mau membawa Nisrina ke rumah sakit sebab terlalu beresiko. Setelah beberapa menit menunggu, dokter pun datang. Abi mempersilahkan dokter Reza untuk masuk ke dalam kamar yang ditempati Nisrina. Ia merasa kondisi istrinya hany
Bab 36Sepanjang perjalanan menuju toko Nisrina tak banyak bicara. Bibir dan badannya memang diam, akan tetapi pikirannya tebang jauh membayangkan bagaimana jika ia benar-benar membuka semuanya."Aku harus apa lagi?" ucap Abi lemah. Ia tahu bagaimana orang tuanya yang tidak pernag main-main dengan ucapan mereka. Jika saja ini sebuah perkara kecil, Abi tak akan takut dengan amarah orang tuanya. Akan tetapi ini adalah sebuah ikatan pernikahan yang suci dan sakral, yang sebelumnya sudah diwanti-wanti oleh mamanya untuk serius menjalaninya.Namun, kehadiran Rania membuyarkan semuanya. Ketakutan-ketakutan itu tiba-tiba saja sirna saat melihat wajah wanita yang sudah membuatnya patah hati."Mas hanya perlu diam, dengarkan amarah mereka tanpa menyangkal atau membela diri." Nisrina turut bersuara."Andainya kamu tahu bagaimana Papa kalau marah.""Sudahlah, jangan lagi membahas ini. Aku bosan. Seharusnya sudau sejak lama Mas berpikir
Bab 37Semalaman Nisirna tak kunjung tidur. Ia terus memikirkan bagaimana caranya menyampaikan maksud hati yang sudah tak tahan lagi bertahan dengan pernikahan yang tak sehat itu.Hingga pagi menjelang, Nisrina tak kunjung bisa tidur. Ia memutuskan untuk bangun dan menyiapkan sarapan. Ini adalah saat-saat terakhir Nisrina melakukan tugasnya sebagai seorang istri dan ia tak mau menyia-nyiakan waktu yang sedikit itu.Luka itu memang masih basah. Akan tetapi, menekan luka itu lebih baik dari pada bertindak sesuka hati yang bisa saja mengakibatkan sebuah penyesalan dikemudian hari."Pagi sekali," sapa Abi yang dua hari ini bangun lebih pagi dari biasanya.Nisrina tidak menjawab sapaan suaminya. Ia fokus dengan wajan yang ada di hadapannnya."Kamu berangkat pagi?" tanya Abi lagi. Ia tak bosan untuk mengajak bicara istrinya."Iya, aku harus berangkat pagi ke rumah Mama, biar aku bisa ketemu Papa di sana."Abisaty
Bab 87Abi benar-benar mengantar Nisirina pulang. Ia merasa tak mampu menahan wanita itu untuk menuruti keinginannya setelah permintaan maaf yang dia ucapkan.Sebagai seorang suami, Abi merasa gagal. Semakin merasa gagal lagi setelah melihat respon Nisrina usai ia meminta maaf.Sebuah pesan dikirim Nisirina untuk seseorang. Ia pun menahan bibirnya untuk tidak banyak bicara di dalam mobil. Rencananya berhasil membuat Abi merasa menjadi orang yang telah abai pada tanggung jawab.Sebagai lelaki, Nisrina mau Abi gentleman. Sebentar lagi ia akan memasuki babak baru dalam hidupnya. Apa jadinya seperti kepala keluarga jika selalu mengandalkan orang tuanya untuk menyelesaikan masalah. Nisrina wanita yang mandiri dan tegas. Ia mau lelaki yang menjadi suaminya adalah lelaki yang tegas, berwibawa dan mampu berdiri di atas kakinya sendiri. Sayangnya, suami yang ia dapatkan jauh berbeda dari apa yang ia inginkan.Setibanya di rumah Nisrina, tampak banyak orang yang berada di rumah itu."Kok rumah
Bab 86Bu Rumaisha seketika menoleh setelah mendengar suara laki-laki yang sangat dikenalnya itu. Senyum sumringah seketika terkembang di wajahnya yang masih tampak cantik meski termakan usia."Duduk sini, Nak. Mama sudah pesan makanan buat kamu," titah Bu Rumaisha sambil menepuk kursi yang ada di sisi meja sebelahnya.Wajah milik Abisatya itu seketika berubah canggung. Ia kepayahan mengatur napas yang memburu bercampur kaget karena pemandangan di depannya."Iya, Ma," ucap Abi salah tingkah. Ia canggung duduk di sisi Nisrina yang langsung menunduk setelah pandangan mereka bersitatap."Kapan jadwal kamu periksa, Sayang?" tanya Bu Rumaisha pada Nisrina yang tak kalah salah tingkahnya."Sebelum balik kemarin udah periksa, Ma. Tapi kayaknya harus cari dokter lagi di sini buat persiapan lahiran beberapa bulan lagi.""Waah nanti kabari Mama ya? Mama pengen antar kamu. Mama pengen tahu gimana wajah cucu Mama itu. Ganteng apa cantik.""Selama periksa Nisrina ngga pernah tanya, Ma. Biar jadi s
Bab 85"Masya Allah anakku," teriak Bu Rumaisha saat melihat wanita hamil yang ada di depannya. Ia merentangkan tangannya untuk memeluk menantunya itu.Tangis Nisrina pecah seketika. Ia tak dapat membohongi dirinya sendiri bahwa hatinya kesepian dan merasa butuh pelukan keluarga. Bu Rahmi sudah melakukannya, tapi tentu beda dengan mereka yang sudah kenal lebih lama dan terikat tali pernikahan seperti Abi dan keluarganya."Mama, maafkan Rina," ucap Rina dalam pelukan Bu Rumaisha."Enggak, Nak. Kamu ngga salah. Abi yang salah. Tapi tenang, Mama sudah marahi dia. Sudah Mama hajar dia sampai kapok," balas Bu Rumaisha dengan tegas dan mantap."Mama hajar Mas Abi?" tanya Rina mengulang ucapan mertuanya. Kepalanya mendongak, menatap wajah yang sedang berbicara itu untuk mendapatkan kejelasan.Ekor mata Bu Rumaisha melirik ke arah laki-laki paruh baya di sampingnya. "Itu, dia yang hajar sampai berdarah wajahnya.""Papa hajar Mas Abi?" tanya Rina setelah pandangannya mengikuti arah mata Bu Ru
Bab 84Nisrina sedang bersiap untuk kembali ke rumah kedua orang tuanya. Sudah terlalu lama ia meninggalkan rumah itu tanpa penghuni. Ia tak lagi mendapatkan alasan untuk menghindar dari orang-orang di masa lalunya. Akan tetapi, untuk kembali ke rumah Abisatya itu tak mungkin dilakukan sebab hubungan keduanya masih terbilang panas."Kamu jadi pergi, Nak?" Bu Rahmi menghampiri Nisrina di ruang tengah. Nisrina yang sedang duduk sambil memegang ponsel seketika mendongak, melihat sosok yang baru saja datang ke rumahnya."Jadi, Bu. Rina harus kembali. Tidak mungkin Nisrina selamanya ada di sini, toh badan Rina sudah sehat. Mbak Nur saya ajak ikut pulang tapi beliau tidak bisa.""Nur masih ada keluarga di sini. Ngga bisa pergi begitu saja.""Iya, Bu. Rina paham.""Ibu pasti akan merindukanmu, Nak," sahut Bu Rahmi dengan tatapan sendu. Ia lantas duduk di samping Nisrina yang sudah lebih dulu menggeser badannya."Ibu ngga ikut antar Rina?" tanya Nisrina saat perempuan paruh baya itu sudah du
Bab 83Bu Rumaisha tak sengaja menemukan story Nisrina yang baru saja di posting itu. Dengan penuh semangat, beliau membukanya untuk melihat apa yang dibagi menantunya setelah sekian lama tak sapat dihubungi.Sebuah video yang menampakkan perut besar Nisrina yang sedang bergerak-gerak membuat Bu Rumaisha tersenyum penuh rasa haru."Pa, bangun, Pa!" bisik Bu Rumaisha tak sabaran. Ia menepuk-nepuk pundak suaminya untuk menunjukkan video tersebut."Apaan sih, Ma! Papa ngantuk!" elak Pak Gunawan menepis tangan Bu Rumaisha agar tak mengganggu tidurnya."Pa, lihatlah. Kita akan punya cucu, Pa!" Bu Rumaisha tak putus asa untuk membangunkan sang suami."Abi juga sudah bilang kemarin. Menantumu saja pergi dan menghilang, bagaimana kita bisa ketemu sama dia." Pak Gunawan kembali memejamkan matanya."Tapi ini story di nomor yang lama, Pa. Kayaknya sudah aktif lagi. Coba lihat dulu," ucap Bu Rumaisha makin memaksa.Tak punya pilihan lain, Pak Gunawan pun mengubah posisi tidurnya. Ia melihat layar
Bab 82Nisrina menatap geram wajah yang sedang ada di depannya. Ia tak menyangka jika kebaikannya dianggap seolah membuka celah untuknya bisa kembali dekat."Rin!" panggil Bian saat Nisrina berlari menjauh dari hadapan laki-laki itu.Tak peduli suara teriakan Bian, Nisrina berlari menuju sebuah angkutan umum yang tak sengaja berhenti tak jauh dari rumahnya."Cepat berangkat, Pak!" titah Nisrina setelah ia duduk di atas kendaraan roda empat itu.Nisrina kepayahan mengatur napas. Bahunya naik turun sebab ritme jantungnya tak tak beraturan. Dalam hati Nisrina merasa kesal pada Bian. Ia merasa telah kecolongan terhadap lelaki yang ia kira bisa dijadikan teman baik.Beberapa saat setelah duduk, perut Nisrina terasa nyeri. Tak biasanya ia merasakan nyeri yang hebat seperti itu.Sekuat tenaga Nisrina berusaha menahan rasa nyeri di perutnya itu hingga suara teriakan orang yang duduk di depannya membuat Nisrina terkaget."Mbak, di kakinya ada darah," ucap seorang wanita berhijab.Nisrina refle
Bab 81Hati Nisrina bak diiris sembilu membaca pesan yang dikirim oleh Abisatya. Tak mau membalas pesan itu, Nisrina lebih memilih diam dan menangis dalam diam. Bagaimana pun dia salah karena terlalu keras pada Abi."Maafkan aku, Mas. Aku terlalu keras padamu," gumam Nisrina sambil menyeka air matanya yang jatuh membasahi wajah.Nisrina tenggelam dalam tangisnya hingga matanya terlelap. Badan yang letih itu tak lagi sanggup menopang bobot tubuhnya yang sekarang mudah sekali terasa letih.Keesokan harinya, Nisrina bersiap hendak memeriksakan diri. Janin dalam rahimnya sudah diajak bepergian dan menghabiskan waktu banyak di perjalanan beberapa hari lalu. Ia harus memastikan anaknya dalam keadaan sehat dan tidak kurang satu apapun. Terlebih sebentar lagi, ia akan pindah kembali ke rumah orang tuanya dan membutuhkan tenaga yang fit untuk membawa beberapa baju dan barang bawaan."Pagi sekali sudah rapi, Nak? Mau kemana?" tanya Bu Rahmi ketika sedang menyapu halaman. Ia meletakkan sapunya d
Bab 80Nisrina tersedu dalam pelukan Bu Rahmi. Ia tak kuasa menahan rasa sesal yang kian menambah dalam luka di hatinya. Selama ini, perempuan yang sedang hamil muda itu terlalu menuruti egonya hingga kini ia terjerembab dalam penyesalan yang membuatnya tak henti menitikkan air mata."Tidak apa-apa kamu merasa bersalah. Yang penting setelah ini kamu mau berubah menjadi lebih baik. Bagaimana pun dia bapak dari anakmu, yang masih memiliki hak atas dirimu dan bayi dalam kandunganmu.""Tapi Rina takut, Bu. Rina sudah terlalu kasar padanya kemarin. Wajah Mas Abi yang semula mengiba, saat kami berpisah berubah menjadi penuh emosi." Nisrina memejamkan matanya, mengingat kembali urat-urat yang makin tercetak tebal di leher Abisatya."Kalau begitu datangi dia, minta maaf padanya," sambung Bu Rahmi lagi.Rina seketika mendongakkan kepalanya, lalu mengurai pelukan dari wanita paruh baya yang sedang menasehatinya itu. "Rina takut, Bu. Rina takut."Air mata Nisrina makin deras membanjiri wajahnya.
Bab 79Abi kembali ke rumah dengan kondisi hati dan pikiran yang tak baik. Harapannya bisa kembali bersama sang istri seketika lenyap setelah mendengar penolakan Nisrina yang keras itu.Ucapan Nisrina itu, bak tombak yang menancap tepat sasaran. Nyeri, perih dan terasa tak berarti sebagai seorang lelaki.Mobil yang ditumpangi Abi itu melaju dengan kencangnya. Tak peduli dengan kendaraan lainnya, Abi terus memacu mobilnya dengan kecepatan yang tak biasanya.Setibanya di rumah yang lama tak ditempati, Abi membawa masuk beberapa botol minuman yang sudah dibelinya di luar. Ia tak mau mengambil resiko seperti yang kemarin. Lelaki yang sedang hancur itu butuh sesuatu untuk melampiaskan amarahnya.Abi memilih melampiaskan emosinya dengan menenggak minuman kerasnya di rumah. Tak peduli soal halal dan haramnya, Abi terus menikmati minuman yang melenakan itu dengan hati yang penuh emosi. Padahal tak ada manfaat dari minuman itu sekalipun hanya sedikit.Kadang bibir Abi itu berteriak sambil mena