Bab 166. Fajar Dan Sonya Tertangkap Basah“Ini terlalu beresiko, Bu! Gawat kalau sampai Mbak Sonya mengetahui hubungan kita! Aku pasti akan segera dipecat, Ibu juga pasti akan dia tendang keluar dari rumah ini, lepas, ya!” Fajar melepaskan diri dari seragapan Mawar, melepas pagutan wanita itu, lalu mendorongnya dengan sedikit kasar.“Aku gak tahan lagi, Fajar! Sudah dua minggu aku nahan ini! Kepalaku sakit, Fajar! Sebentar saja! Ayolah!” Mawar kembali merengek. Memaksa dan menarik tubuh Fajar ke arah ranjang. “Sonya sedang istirahat, dia tak akan tahu apa yang kita lakukan, Pintunya juga sudha aku kunci, kok. Ayolah, Sayang!” pintanya lagi.“Kita keluar saja, kalau memang Ibu sudah tak tahan, kita ke hotel!” saran Fajar tetap berusaha menolak.“Enggak bisa. Aku udah cari berbagai alasan agar bisa keluar bareng kamu. Tapi Sonya gak ngizinin. Gak ada cara lain lagi selain ngumpet-ngumpet seperti ini.”Fajar terdiam. Pria itu sudah kehabisan akal.“Sudahlah, gak sampai lima belas meni
Bab 167. Uang Hasil Penjualan di Showroom “Sonya, Fajar! Kalian!” tiba-tiba seseorang berteriak dari arah pintu kamar. Mereka terlalu ceroboh, mengira tak akan ada yang berani masuk ke dalam kamar.**Flash BackMawar memacu mobilnya dengan kecepatan sedang. Wanita itu itu tak berani melaju dengan kencang. Menyetir mobil sendiri adalah kemampuan yang baru saja dia miliki. Saat sang suami menghadiahkan untuknya sebuah mobil baru, di aniverseri pernikahan mereka beberapa bulan yang lalu. Mawar memaksa sang suami memberinya hadiah itu, meski dia belum bisa menyetir. Itu juga sebabnya Sonya mencarikan supir pribadi untuk sang mama.Namun, hari ini dia terpaksa menyetir sendiri. Sonya menahan sang supir di rumah. Mawar terpaksa mengalah. Tekatnya untuk keluar siang ini sudah sangat bulat. Dia harus mengambil seluruh hasil penjualan kepada kasir di showroom mobil milik suaminya sebelum didahului oleh Sonya.Setengah jam berlalu, mobil itu menepi di halaman showroom. Wanita itu gegas
Bab 168. Pengakuan Hubungan Terlarang Mawar“Sonya, Fajar! Kalian!”Mawar terpaku di ambang pintu, lidahnya terasa kelu. Pemandangan di atas ranjang milik sang putri teramat mengejutkan. Kekasihnya tengah memacu bagian tubuhnya di atas tubuh Sonya. Kedua insan itu bermandikan peluh, meleguh nikmat di depan matanya.Sonya sontak mendorong tubuh Fajar, lalu menarik selimut untuk menutupi tubuh polosnya. Fajar memungut pakaian, lalu memakainya dengan tergesa-gesa.“Apa yang kalian lakukan ini?” Mawar berdesis, pelan.“Maaf, Bu, permisi!” Fajar menunduk, lalu berjalan menuju pintu.“Tunggu!” Mawar menghadang. “Jelaskan, apa yang aku saksikan barusan!” perintahnya, masih dengan suara pelan, parau karena kini wanita menahan tangis. Tangis kecewa, patahati, terluka, dan berbgai perasaan sakit lainnya.Sonya beringsut turun dari ranjang besarnya, sambil melilitkan selimut tipis di tubuhnya.“Mama, kami minta maaf, jadi begini … saya dan Mas Fajar itu, eeem, kita sebenarnya paca –““Maaf
Bab 169. Fajar Gigolo Lakn*t“Apa … Kalian? Mas Fajar …! Kalian?” sergah Sonya menoleh kepada Fajar. Wajahnya menegang, seluruh persediannya bagai berlepasan. “Katakan ini tidak benar, Mas! Tolong bilang kalau ini tidak benar! Bilang kalau perempuan itu berbohong, Mas!” pintanya lirih. Tubuhnya luruh, jatuh terduduk di lantai kamar.“Ya, Sayang. Ini tidak benar. Bangun, Sayang!” Sontak Fajar menangkap tubuh Sonya, membawanya bangkit, lalu memeluk di dadanya. “Tidak benar? Kamu bilang tidak benar? Lalu apa yang telah kita lakukan selama ini, Fajar!?” teriak Mawar mengguncang lengan Fajar. “Berapa kali sudha kita menginap dan menghabiskan waktu di hotel? Berapa kali sudha kita melakukannya di sofa kamarku, di depan mata suamiku, kau lupa smeua itu, ha?” lanjutnya semakin mengiris hati Sonya. Tetapi Fajar tak membiarkan Sonya terpengaruh. Dia menambah erat pelukannya.“Mama kamu bohong. Dia memang selalu berusaha menggoda aku. Dia menyukai aku. Tapi aku tak pernah mau menanggapiny
Bab 170. Talak Yang DiwakilkanPria lumpuh itu sama sekali tak bisa berucap meski hanya sepatah kata. Hanya air mata yang kian deras membasahi pipi tuanya.“Jangan menangis, Pa! Papa sepertinya sedih sekali. Maafkan Sonya, ya, Pa, karena tidak sadar akan penderitaan Papa selama ini. Belum terlambat, kok! Sekarang Sonya juga mulai curiga, jangan-jangan istri Papa ini juga selalu menyiksa Papa, dia tidak sayang sama Papa. Saat Sonya tidak ada, dia tidak merawat Papa, betul begitu, Pa?” tanya Sonya lagi mulai menyelidiki.Rahman segera menggerakkan jemarinya. Berharap Sonya menyanyakan segalanya, termasuk tentang perbuatan zina yang sering dilakukan oleh Mawar dengan Fajar di depan matanya.“Ammmpuuun, jadi benar, Pa? Ya, Allah!”“Apanya yang betul? Sonya, kau jangan mempercayai gerakan jari orang lumpuh! jairnya itu bia bergerak spontan, bukan karena bisikan hatinya. Kau tidak bisa mengambil kesimpulan begitu saja!” Lagi-lagi Mawar menyela.“Diam kau, perempuan berengs*k! Aku tak me
Bab 171. Istana Keluarga Wibawa Disita“Mama … ada kakek! Mama … kakek datang, Ma!”Alisya menoleh ke arah pintu kamar, Rena datang dengan setengah berlari. Nafasnya ngos-ngos an dengan wajah memerah seperti kelelahan. “Mama … kakek datang, tapi Om Arul gak bolehin kakek masuk, Ma! Ayo, Ma! Bilang sama Om Arul buat bukain gerbang! Kasihan kakek, Mama …!” paksanya seraya meraih telunjuk sang mama lalu menarik paksa agar mengikuti keinginannya.“Kakek siapa, Sayang? Masa Om Arul gak bolehin Kakek masuk? Kan Om Arul udah tahu kalau dia ayahnya mama.” Alisya yang masih kebingungan terpaksa mengikutinya.“Bukan kakek kampung, Mama! Tapi kakek kita, kakeknya Tasya. Kakek datang berang Kak Tasya. Kak Tasyanya di depan juga, gak boleh masuk oleh Om Arul.”Deg! jantung Alisya berdegup tak teratur. Untuk apa Haga Wibawa datang ke rumahnya? Bersama Tasya lagi. Bukankah tasya sangat membenci Alisya juga Rena? Pak Arul belum kenal siapa mereka. Pantas dia tak mau membukakan pintu gerbang untu
Bab 172. Tasya Titisan Sonya“Bu Ainy?” Haga Wibawa spontan menatap lekat wajah mantan besan perempuannya. Tak percaya dengan kalimat yang baru saja dia dengar. “Apakah itu artinya kami boleh nginap di sini beberapa hari?” tanyanya memastikan.“Selamanya, Bapak tinggal saja di sini untuk selamanya. Harta Ica tak akna berkurang hanya karena menanggung makan Bapak, juga anak si Deva ini. Anggap saja rumah sendiri!” ucap Ainy membuat mata Haga Wibawa makin berkaca-kaca.“Ibu baik sekali. Astaga! Kenapa Alina tidak bisa bersikap sebaik Bu Ainy? Istri saya selalu menyakiti hati Alisya, putri Ibu. Dia bahkan berupaya menyingkirkan Alisya dair kehidupan Deva. Alina yang mengahncurkan rumah tangga anak-anak kita, Bu. Saya sudah berupaya melarang, tapi suara saya tak perah didengar. Saya tak berarti apa-apa di mata Alina,” lirih Haga Wibawa, pria itu tersedu.“Sabar, Pak!” hibur Pak Wahyu yang duduk persis di samping kirinya.“Terima kasih, Pak Wahyu! Saya malu kepada kalian berdua. Saya mal
Bab 173. Permintaan Deva Agar Alisya mencabut Gugatan CeraiMeja makan itu sekarang sepi. Tak ada siapa siapa lagi di sana selain Alisya dan Tasya. Alisya lalu mengaktifkan ponselnya, lalu menelpon Deva dengan panggilan WA. Tak lupa dia menekan pengeras suara agar Tasya bisa mendengar langsung suara papanya.“Hallo, Alisya? Tumben kamu nelpon, ada apa? Dante baik-baik saja, kan? Kamu juga sehat, kan?” Terdengar nada panik dari ujung sana.“Ini tentang Tasya. Dia di rumahku bareng Papa.” Alisya menjawab tanpa basa basi.“I-iya, Sya! Aku minta maaf, aku enggak bisa mencegah keinginan Papa. Aku dan Raja sebenarnya sudah melarang. Aku juga sudah mencarikan Papa rumah kos-kos an. Tapi Papa menolak. Dia tetap maksa ke rumah kamu!”“Itu gak masalah. Sekarang yang menjadi masalah adalah Tasya. Dia enggak mau tinggal di rumahku. Dia maksa tinggal bareng Sonya. Apakah kamu ngizinin dia tinggal bareng Sonya?”“Tasya maksa tinggal bareng Sonya?”“Ya, dia juga sudah tak punya hape. Katanya dia j
Bab 195. TamatSidang ditutup, Alisya duduk lemas di bangkunya. Sidang pertama kasus perceraiannya ini terpaksa ditunda. Terggugat tidak menghadiri sidang. Entah Deva ke mana. Pengadilaan agama memutuskan sidang ditunda dua minggu mendatang.“Ayo, pulang, Ca! Nunggu apa lagi?” Bu Ainy menepuk lembut bahu Alisya.“Iya, Ibu pulang diantar Pak Arul, ya! Ica mau langsung ke kantor.” Alisya meraih tas lalu bangkit perlahan.“Iya, mungkin Deva sudah ada di kantor. Ibu menjadi mikir seribu kali untuk perceraian kalian ini.”“Ibu mikir apa? Kok sampai seribu kali?” tanya Alisya lemas, lalu berjalan keluar ruang sidang. Bu Ainy mengiring di sisinya.“Entahlah, yang jelas Ibu merasa sedih. Akhir-akhir ini Deva sangat berubah. Dia juga terlihat sangat pasrah. Ibu enggak tega, Ca. Apalagi Rena dan Tasya seringkali Ibu pergoki menangis berdua, diam-diam menelpon Deva. Sepertinya mereka juga sangat terpukul dengan rencana perpisahan kalian ini.”“Ya. Tapi itu hanya sebentar. Selanjutnya merek
Bab 194. Alisya Menolak Damar“Naik apa, Pak Deva?” tanya Damar mengedarkan pandangan ke sekeliling halaman.“Naik ojek saja, Pak. Mari!” sahut Deva tersenyum, lalu melangkah cepat menuju gerbang. Dengan sigap Pak Arul membuka pintu gerbang untuknya. Deva berdiri sambil celingukan ke kanan dan ke kiri. Menunggu ojek yang melintas. Dia harus berhemat. Persediaan uang di dompet sudah semakin menipis. Untuk menyewa taksi terlalu mahal baginya saat ini.Damar dan Alisya menatapnya dengan tatapan miris.“Sebentar, Pak Damar!” ucap Alisya lalu berjalan menuju garasi. Buru-buru membuka pintu mobil, dan masuk ke dalamnya.“Mbak Alisya mau ke mana?” tanya Damar mengikutinya.“Sebentar,” sahut Alisya memundurkan Alphard putih itu, kemudian memutar pelan.Damar hanya menatap bingung, saat mobil itu melaju ke luar gerbang dan berhenti di dekat Deva yang masih menunggu ojek di sana.Pintu samping mobil terbuka. Alisya turun dan berjalan menghampirinya. “Bawa saja mobilnya! Besok pagi cepat d
Bab 193. Alisya Mulai Dilema“Papa mau ke mana?” Rena menghentikan langkah Deva. Mereka baru tiba di kota setelah melakukan perjalanan jauh ke desa Fajar. Deva berniat langsung pulang ke kontrakannya setelah memasukkan mobil ke dalam garasi.Alisya yang sudah berjalan masuk ke dalam rumah ikut menghentikan langkah, menoleh kepada putrinya di teras depan.“Papa pulang dulu, ya, Sayang! Udah hampir malam. Rena mandi, makan, lalu istirahat, ya!” sahut Deva setelah membalikkan badan menghadap gadis kecil yang kini berstatus sebagai putri majikan itu.“Jangan pergi! Papa udah janji sama Rena! Papa akan menjadi pengganti Papa Fajar! Papa udah janji enggak akan pernah pergi lagi! Papa udah janji enggak akan pisah lagi sama Mama! Papa udah janji enggak akan –““Rena! Masuk!” sergah Alisya menghentikan rengekannya.“Tapi, Mama! Papa mau pergi lagi! Papa enggak boleh pergi lagi! Rena mau sama Papa!” Rena tak menghiraukan. Dia malah nekat mengejar Deba, lalu memeluk lengan pria itu.“Rena, m
Bab 192. Jangan Jatuh Cinta Lagi, Alisya!“Pak Deva, hati-hati nyetirnya, ya! Titip Mbak Alisya dan Rena!” titah Damar kepada Deva.“Baik, Pak.” Deva menjawab patuh. Meski cemburu menggigit hati, namun Deva berusaha mengerti. Alisya bukan miliknya lagi. Melainkan milik Damar sesaat lagi. Begitu perceraian mereka diputuskan oleh Pengadilan Agama.“Saya baik-baik saja, Pak Damar. Kalau Bapak sibuk, sebiknya tidak usah ke rumah! Selesaikan saja kasus Sonya!” Alisya berusaha menolak niat Damar secara halus.“Tentu, Mbak. Kasus Bu Sonya akan usut sampai tuntas. Kalau dibiarkan, dia akan tetap menjadi ancaman bagi ketenangan Mbak Alisya. Mbak tenang saja, ya!” Damar tetap berkeras. Alisya hanya bisa diam. Sudah beberapa kali dia mengusir pria ini bila datang ke rumhnya. Berkali sudah dia menunjukkan sikap bahwa dia sama sekali tak membuka hati. Bahkan dia juga sudah menjalin kerja sama dengan Luna, tunangan Damar. Namun, Damar tak surut juga. Pria itu selalu mencari cara dan alasan untu
Bab 191. Kehancuran Sonya di Tangan Sang Selingkuhan“Aku gak selingkuh, Lex, beneran. Aku berani bersumpah, aku enggak mungkin suka sama supirku sendiri,” lirih Sonya membuat Alex makin geram. Tetapi dia tak boleh tunjukkan sekarang. Sonya harus dia taklukkan dulu.“Baik, Sayang! Aku percaya padamu,” ucapnya seraya memeluk wanita itu.“Kamu percaya padaku, Lex?” ulang Sonya melonjak lega. Ada harapan tumbuh di sanubarinya.“Iya, Sayang! Aku percaya. Maaf, jika tadi aku sempat berbuat kasar. Itu kulakukan karena aku sempat begitu cemburu buta. Aku terlalu cinta sama kamu, Sonya. Maafkan aku!”“Iya, Lex. Aku tahu. Aku juga cinta sama kamu. Aku tetap setia hingga detik ini. Aku mau nikah sama kamu. Kamu udah janji mau nikahin aku, kan, Lex?”“Iya, Sayang! Tapi secara siri dulu, ya! Kamu tahu aku belum bisa menceraikan istriku, kan? Meski begitu, kamu adalah wanita yang paling istimewa bagiku. Kau adalah ratuku, Sayang!”“Ya, udah. Nikah siri juga gak apa-apa. Tolong selamatkan aku, y
Bab 190. Polisi Mengejar Sonya“Sakit, Lex! Ammpun …!” rintih Sonya saat Alex menghujamkan miliknya di bagian sensitif tubuh Sonya. Pria itu bergerak dengan cepat dan liar di atas tubuh wanita itu. Semakin Sonya merintih kesakitan, semakin kencang gerakannya. Kesakitan Sonya adalah hiburan baginya. Semakin kencang tangis Sonya, semakin terbang dia ke surga kenikmatan. Alex bagai kesetanan. Terbang semakin tinggi, hingga rintihan Sonya terdengar hanya sayup-sayup samar.Dan saat dia sampai pada pelepasan yang ke sekian kalinya, baru dia menyudahinya. Pria itu ambruk di samping tubuh telanj*ng Sonya denga peluh membasahi sekujur badan. Alex merasa harga dirinya kembali setelah dikhianati. Senyum penuh kepuasan tersungging di bibirnya.“Bagaimana, lebih hebat siapa? Aku atau supir kesayanganmu itu, hem?’ bisiknya seraya menggigit daun telinga Sonya.Wanita itu bergeming. Jangankan untuk bersuara, bernafas saja dia merasa sangat tersiksa. Sakit di sekujur tubuh terutama di areal kewan
Bab 189. Sonya Di Markas Alex“Terima kasih ya, Allah! Engkau telah mengembalikan Papa buat Rena. Semoga papa dan mama tidak pernah berpisah lagi, aamiin,” ucap Rena menengadahkan kedua tangannya ke langit, lalu mengusap wajah dengan telapak tangan setelah kata amin.“Sayang, ada yang mau mama bilang, tolong Rena dengar baik-baik, ya!” kata Alisya ingin menjelaskan kesalah pahaman putrinya.“Iya, Ma. Rena akan dengar.” Rena segera memasang wajah serius.“Begini sebenarnya, antara mama dan papa Deva, kami ….”“Maaf, Bu Alisya, tolong pikirkan dulu sebelum mengatakan apa-apa!” Deva memotong ucapan Alisya. Alisya tercekat. Bibirnya terkatup rapat.“Ingat, kita ke sini untuk menjemput Rena dan membawanya ke rumah sakit, bukan? Bagaimana perasaannya bila tahu yang sebenarnya, sedangkan kondisi Fajar tak mungkin kita tutupi darinya. Dia akan sangat kecewa. Tentang kita, kita bisa menunda menjelaskan padanya. Tapi tentng Fajar, kita harus jujur,” lanjut Deva lagi.Alisya menelan saliva. A
Bab 188. Binar Bahagia Di Mata Rena“Beberapa personil akan menjemput Bu Sonya, Mbak Alisya mau ke mana sekarang?” tanya Damar mengiringi langkah Alisya keluar dari kantor polisi itu. Deva sengaja berjalan agak jauh, pria itu belum bisa berucap apa-apa pada Alisya. Rencana Sonya yang hendak melenyapkan Alisya masih sangat mengejutkannya, juga membuatnya merasa sangat bersalah pada Alisya.“Saya mau pulang, mau menenangkan diri dulu. Terima kasih atas bantuan Bapak, selanjutnya saya mau Sonya diproses segera. Hari ini mungkin dia gagal melenyapkan saya, tapi besok, bisa saja dia mengulanginya!” jawab Alisya langsung menuju mobilnya.Deva buru-buru membukakan pintu mobil untuknya. Alisya masuk dan menyenderkan tubuh lemasnya di sandaran kursi.“Baik, Mbak pulang dulu! Istirahat saja di rumah. Saya akan urus semuanya. Tolong nanti kirim nomor keluarga Pak Fajar, ya!” pinta Damar berdiri tepat di samping jendela mobil, pria itu melongokkan kepalanya ke dalam, ke dekat Alisya.Deva yang
Bab 187. Pengkuan Ayu di Kantor Polisi“Saya ikut?” tanya Deva menunjuk dadanya. Alisya tak menyahut, dia langsung berjalan mendahului ke luar ruangan. Memberi instruksi kepada Deby lalu langsung menuju lif. Seperti orang bingung, Deva mengikutinya. Namun, saat Alisya menuju areal parkir, pria itu menghentikan langkah.“Bapak nunggu apa?” tanya Alisya kembali menghampirinya.“Eeem, saya lupa kalau saya sudah tak punya mobil. Maaf, saya naik taksi saja. Kita jumpa di kantor polisi. Saya duluan,” jawab Deva lalu melangkah pergi.“Maaf, Pak Deva! Pakai mobil saya saja!” Alisya menghentikannya. Deva berbalik. “Bapak yang nyetir!” titah Alisya menyodorkan kunci mobilnya.Ragu Deva meraihnya. Betapa harga dirinya serasa remuk redam. Akan lebih terhormat rasanya bila dia naik angkot saja, daripada menumpang di mobil mantan istrinya. Namun, ini adalah perintah dari sang Direktur Utama. Jika membantah, dia khawatir kehilangan pekerjaan.Dengan langkah berat dia berjalan menuju areal parkir VI