Share

3. Tamu Yang dihormati

Author: Pena Asmara
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

 

Tidak sampai sepuluh menit, Zhalika sampai di kediaman Ibu Daisah. Sebuah kompleks perumahan kelas menengah atas, dengan bentuk bangunan yang hampir sebagian besar bergaya Eropa dengan pilar-pilar penyangga yang besar.

 

Sebuah kompleks perumahan di pinggiran Kota Jakarta, tetapi dengan kemudahan akses ke mana-mana, baik ke bandara internasional ataupun ke pusat kota, karena akses tol tepat ada di pintu belakang perumahan ini.

 

Jalan pintu masuk utama pun di penuhi ruko-ruko yang sudah penuh terisi di kiri dan kanan jalan komplek ini, dengan pohon-pohon palem yang berbaris rapih di kedua sisinya, dan inilah pertama kalinya Zhalika memasuki dan mengetahui seperti apa isi dalam dari perumahan kelas atas ini, karena selama hampir dua bulan tinggal di perkampungan yang tidak jauh dari kompleks perumahan ini, Zhalika tidak pernah pergi ke mana-mana. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam kamar kostnya, untuk belajar, membaca, dan menulis.

 

"Ayuk Teh, kita masuk," ajak Ratih kepada Zhalika dengan ramah. Zhalika mengangguk sembari tersenyum mengikuti Ratih menaiki sedikit tangga berundak untuk menuju teras rumah. Tidak beberapa lama mobil Sadewa pun mulai memasuki halaman rumah yang berpaving, dengan tanaman-tanaman hias dan rumput-rumput hijau terawat mengelilingi tembok dalam halaman rumah.

 

Ratih menunggu sebentar hingga Zhalika sampai di teras depan rumah, lalu kembali menggandeng tangan Zhalika saat akan memasuki pintu utama. Ratih sudah merasakan kenyamanan dan keakraban saat berbincang sebentar di dalam kendaraan bersama Zhalika, dan itu cukup mengherankan bagi Sadewa yang memperhatikan dari belakang mereka, betapa sebenarnya Ratih itu baru bisa terlihat dekat dan akrab dengan orang lain bila sudah mengenalnya dengan cukup lama dan sering bertemu.

 

Daisah menyambut gembira kedatangan guru mengajinya, walaupun masih berusia relatif muda. Ibu Daisah sangat menghormatinya. Zhalika sudah sangat pintar dalam soal ilmu agama, dan seorang murid walaupun usianya melebihi sang guru, tetap harus memberikan penghormatan itu berdasarkan karena ilmu dan pengetahuannya.

 

"Masuk Nak, sini masuk," ujar Ibu Daisah ceria, sembari memeluk tubuh Zhalika. Mengiringi langkah gadis itu menuju sofa ruang tamu yang ternyata sudah dipenuhi berbagai macam minuman dan makanan di atas mejanya, yang sepertinya memang sengaja dipersiapkan untuk menyambut kedatangan Zhalika.

 

 Zhalika merasa terhormat dengan penyambutan yang terbuka dan bersahabat dari pihak tuan rumah, terutama kepada Ibu Saidah dan Ratih, tapi tidak kepada Sadewa yang tadi sempat dia usir karena ucapannya tidak menyenangkan dan terkesan meremehkan wanita. Zhalika masih menyimpan kesal kepada putra sulung dari Ibu Daisah itu.

 

Ruang tamunya luas sekali, dengan furniture berkelas berharga mahal. Sebuah lampu kristal besar menggantung di ruang utama, dengan beberapa pigura photo-photo keluarga berukuran besar terpasang di tembok yang semuanya bercat putih bersih. Ketiga orang penghuni rumah yang ada di ruangan itu membiarkan Zhalika mengedarkan pandangannya kesana-kemari mengagumi isi dari ruangan ini, sampai akhirnya Zalikha tersadar dan menjadi malu sendiri.

 

"Maaf," ujarnya, sembari menganggukkan wajah sesaat. 

 

"Bukan bermaksud apa-apa, tetapi terus terang saja jika saya memang belum pernah masuk ke dalam rumah sebagus ini, jadi malah terkesan norak yah," ujar Zhalika lagi, tertawa kecil. 

 

Ibu Daisah yang tadinya duduk di depan Zhalika bersama Ratih, langsung berdiri dan berpindah tempat duduk di samping Zhalika. Kembali memeluk tubuh Zhalika erat. Bahkan beliau mulai menangis terisak, tersadar jika Zhalika sedari kecil tinggal di sebuah panti asuhan, yang mungkin tidak pernah mengenal kedua orangtuanya, juga beliau teringat bagaimana perjuangannya dahulu menghidupi ketiga anaknya tanpa adanya suami. Semua hal ini membuat hatinya terasa sakit. Ratih dan Sadewa yang memperhatikan menjadi bingung sendiri, melihat ibu mereka malah menangis terisak-isak memeluk Zhalika.

 

Zhalika sendiri sebenarnya juga ikut bingung, kenapa tiba-tiba Ibu Daisah malah menangis memeluknya.

 

"Maafkan saya Ibu, jika ada ucapan saya yang menyakiti," bisik Zhalika pelan, sembari jemari tangannya mengusap-usap lembut punggung Ibu Daisah.

 

"Tidak Nak, bukan salah Nak Zhalika, ibu saja yang sedang ingin menangis," jawab Ibu Daisah, setelah melepaskan pelukannya dari tubuh gadis yang sedari kecil menganggap dirinya yatim piatu tersebut, dan Ibu Daisah mulai sibuk membersikan limpahan air mata di pipinya. Di bawah tatapan heran Ratih dan Sadewa.

 

"Nak Zhalika belum makan, kan?"

 

Zhalika hanya tersenyum tipis, tidak menjawab.

 

"Beneran belum makan?" tanya Ibu Daisah lagi. Ragu-ragu, Zhalika menjelaskan.

 

"Saat berpuasa sunah tadi, baru berbuka dengan sepotong kue dan air putih, Bu ... tadi ingin memasak mie instan, tetapi saya pikir nanti saja sehabis dari rumah ibu. Saya tidak ingin membuat ibu lama menunggu."

 

"Ya Allah ..." Mata Ibu Daisah kembali berkaca-kaca.

 

"Ayuk, Nak, ayuk, kita makan dahulu," ajak Bu Daisah cepat.

 

"Tidak usah Ibu, terima kasih, biar nanti saya makan di rumah saja," tolak Zhalika halus.

 

"Jangan, nanti Nak Zhalika bisa sakit. Ini sudah malam sekali." Daisah sedikit memaksa Zhalika untuk berdiri, beliau pun seperti mengabaikan keberadaan anaknya sendiri, Ratih dan Sadewa yang sedari tadi hanya jadi penonton saja.

 

"Ratih! Minta Bik Fitri untuk menyiapkan makanan di meja makan." 

 

"I-iya Buk." Ratih segera menuju ke ruangan dalam tanpa banyak membantah.

 

"Kamu ngapain Sadewa diam di situ. Cepat beli rendang dan sate di depan komplek!" teriak Daisah kepada putranya Sadewa, yang masih saja terdiam, berasa aneh melihat betapa sang ibu sangat perduli pada gadis yang sok jual mahal tersebut.

 

"Kok malah bengong sih Sadewa! Apa mau ibu yang beli!"

 

"Iya, Ibu, iya ..." Sadewa segera berjalan keluar rumah.

 

"Ibu, ibu, tidak perlu seperti ini ... saya makan dengan hanya nasi putih pun tidak apa-apa," ucap Zhalika merasa tidak enak hati, dengan Ratih dan Sadewa. Dan langkah Sadewa sempat terhenti, saat mendengar Zhalika berucap jika makan hanya dengan nasi putih tidak apa-apa, senyum seolah mencibir menghiasi wajah Sadewa.

 

'Pencitraan!' gumamnya, dengan bibir masih tersenyum sinis.

 

"Sadewa ...! Cepetann ....!"

 

"Iya ... Ibu, iya ...."

 

Sadewa semakin mempercepat langkah keluar rumah, guna mengikuti keinginan sang ibu yang meminta dibelikan sate dan rendang buat Zhalika.

 

"Mau kemana, Bang?" tanya Theo, salah seorang yang sering mengawal dan menemani Ibu Daisah kemanapun.

 

"Itu, Ibu minta dibelikan sate dan rendang buat tamu istimewanya, nyusahin aja," umpat Sadewa kesal, melangkah mendekati mobilnya.

 

"Loh, Abang mau kemana naik mobil?"

 

Sadewa berhenti, saat ingin membuka pintu mobil, menatap ke arah Theo kesal.

 

"Mau beli sate dan rendang, Theoo ...," ucap Sadewa, ikut kesal terhadap salah satu anak buahnya.

 

"Jika mau sate dan rendang, kan Abang tinggal telepon aja, nanti juga dianterin."

 

"Ya, Allah ... kok gue lupa," ucap Sadewa menepuk jidatnya, menyadari kebodohannya.

 

"Ini gara-gara perempuan sok jual mahal itu, bikin Ibu ribet sendiri, dan ujung-ujungnya, gue yang dibuat senewen," keluh Sadewa, kembali menutup pintu mobilnya.

 

"Telepon ke depan Theo, suruh antarkan sate dan rendang ke rumah, suruh cepatan dikit."

 

"Baik, Bang." Theo segera menelpon dengan salah satu orang yang berjaga di luar kompleks. Yah, area jalan utama, pedagang-pedagang, dan usaha-usaha di depan kompleks memang masih di bawah kuasa Naga Hitam. Salah satu gang terbesar di pinggiran kota ini, dan Sadewa adalah pemimpinnya. Big bos Naga Hitam.

 

Theo mendekati Sadewa, berbisik pelan kepada bos-nya tersebut.

 

"Gang Serigala api sudah mulai berani masuk wilayah kita Bang, mengedarkan narkoba di tempat-tempat hiburan dan tempat-tempat keramaian di bawah kuasa kita. Sepertinya ada orang kita yang memuluskan jalan mereka."

 

"Siapa orang kita yang kamu curigai, Theo?" 

 

"Saya belum yakin Bang, tetapi melihat dengan mudahnya mereka bisa masuk wilayah kita, sepertinya tidak mungkin jika tidak ada orang kita yang bekerja sama dengan mereka.

 

"Gamal sepertinya memang ingin mengajak berperang dengan kita," geram Sadewa.

 

"Iya, Bang, yang saya dengar, banyak orang-orang timur yang ikut bergabung dengan mereka," jelas Theo.

 

"Besok malam, kumpulkan kepala-kepala cabang di kantor kita, bilang pada mereka, gue ingin bicara."

 

"Baik, Bang." Theo sedikit menjauhi Sadewa, dan mulai menghubungi beberapa orang pemimpin cabang usaha di bawah kuasa Naga Hitam.

 

'Suatu saat nanti, Serigala api dan kau Gamal, akan kubuat hancur lebur' geram Sadewa, wajahnya menyimpan dendam dan kemarahan.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ayyubi _
yg bener itu ibu DAISAH apa SAIDAH sh, kd membagongkan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   4. Kejutan Selepas Makan Malam

    KETIKA KEPALA PREMAN MENIKAHI USTAZAHKejutan Selepas Makan MalamPART 4Daisah sudah terlanjur jatuh sayang terhadap Zhalika. Nasib hidup yang sudah dijalani gadis itu, membuat hati dari ibunya Sadewa itu terenyuh. Naluri menjaga dan melindungi hati seorang ibu saat ini seperti tercurahkan sepenuhnya untuk Zhalika.Daisah teramat meyakini jika gadis ini bukan hanya santun, cantik, dan baik, tetapi juga punya hati yang bersih dan tulus. Kesulitan hidup yang dijalani membuat Zhalika justru menjadi sosok yang membawa dan menebarkan manfaat. Kesedihan tidak membuatnya menjadi manusia terpuruk yang hanya sibuk menyalahkan takdir, dan itu sama persis seperti saat Daisah harus berjuang menghidupi ketiga anaknya yang masih kecil-kecil, ketika suaminya tercinta harus mati terbunuh yang sampai saat ini si pembunuhnya sendiri masih bebas berkeliaran.Sembari menggenggam tangan Zalikha, Ibu Daisah mengajak guru mengajinya itu menuju ruang makan keluarga

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   5. Antara Sadewa dan Bisma

    "Ibu bertanyanya jangan seperti itu, itu sama saja Ibu menyuruh Abang, dan Ibu pasti tahu jika Abang tidak pernah menolak permintaan ibu!" ucap Bisma, dengan nada suara sedikit keras."Kamu jangan kurang ajar dengan membentak-bentak Ibu!" sentak Sadewa dengan nada jauh lebih keras, lalu bangkit berdiri dari tempat duduknya, dan mencengkeram kerah baju Bisma. Zhalika dan Ratih mulai sedikit kaget dan ketakutan."Sudah Sadewa, sudah," ucap Daisah, mencoba melerai, sementara Bisma hanya diam, pasrah saja. Tangan Sadewa masih mencengkeram kuat kerah baju Bisma."Lepaskan tanganmu Dewa," ucap tegas Daisah. Sadewa lalu melepaskan cengkraman tangannya, dan kembali duduk di tempat semula. Raut wajahnya masih memancarkan kegeraman."Mungkin yang dikatakan adikmu ada benarnya, Ibu seperti terlalu memaksakan kehendak jika memintamu berdasarkan keinginan ibu," ucap pelan Daisah."Sadewa mau Bu, Sadewa bersedia menikah dengan Zhalika," ucap Sadewa terlontar cep

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   6. Masa Kecil Yang Suram

    KETIKA KEPALA PREMAN MENIKAHI USTAZAHKisah Masa Kecil Yang SuramPart 6"Mengapa Mas Dewa bisa bersikap seperti itu, Dek Ratih?""Dingin ya, Teh, macam es balok." Ratih lantas tertawa, begitu pun Zhalika, merasa lucu dia, mendengar julukan yang Ratih berikan kepada Sadewa."Jahat ih kamu, sama abang sendiri juga?"Ratih malah semakin tertawa terbahak, sembari sesekali memperhatikan kaca spion, dia menjalankan kendaraannya pelan-pelan saja.Malam sudah semakin larut, jalan raya pun sudah terlihat lengang."Bang Dewa, walaupun sikapnya kaku, tetapi tidak sombong kok Teh. Bertanggung jawab dan sayang dengan keluarga, apalagi sama ibu. Ratih sedari kecil belum pernah melihat Bang Dewa membantah apa yang diperintahkan ibu. Makanya tadi dia sangat marah, kan, saat melihat Bang Bisma berbicara keras sama ibu," jelas Ratih."Iya, Dek, terus terang saja, bikin takut Teteh tadi," jawab Zhalika, terus terang."Tidak menyang

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   7. Kisah Kelam Di Masa Kecil

    Sudah lebih dari satu jam, Sadewa merebahkan tubuhnya di kasur empuk dipan tempat tidurnya yang besar, tetapi tidak bisa juga dicapai. Wajah gadis yang dianggapnya sok jual mahal itu terasa begitu melekat dipikirannya. Dan ini pertama kali bagi Sadewa, we have the women that even to be knownya.Bukan hanya soal kecantikan wajah yang membuat Sadewa tertarik, karena di dunia yang dijalaninya saat ini, setiap waktu, setiap saat, wanita-wanita cantik berbadan bagus banyak yang berusaha untuk mendekatinya, tetapi tidak ada yang bisa menyampaikannya kepada gadis-gadis tersebut, dan itu ternyata tidak berlaku bagi Zhalika.

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   8. Gamal Si Kepala Gengster

    Klinik tempat Daisah memeriksakan kehamilannya tidak terlalu banyak pasien yang berobat, sehingga tidak terlalu lama di sana, mungkin hanya sekitar 30 menit. Setelah membelikan Bisma jajanan makanan kecil, Daisah pun kembali menaiki ojek yang sama dengan saat dia berangkat tadi, Mang Burhan, tukang ojek yang memang biasa mangkal tidak jauh dari pintu masuk perumahan mereka tinggal. Jalan raya menuju ke arah arah rumahnya memang tidak terlalu bagus, masih banyak terdapat lubang-lubang di kanan kiri jalan, bahkan juga banyak terdapat retakan aspal.Kurang lebih 300 meter lagi Daisah sampai ke depa

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   9. Kekuatan Yang Melindungi Kejahatan

    4 hari sudah, Abimanyu tidak diketahui keberadaannya. Daisah yang hidup merantau jauh dari orang tua, kesana kemari mencari keberadaan suaminya dengan mengajak kedua anaknya yang masih belia.Ke kantor jurnalis lokal tempat suaminya bekerja, bahkan sudah membuat pengaduan ke pihak yang berwenang, tetapi belum juga ada hasilnya. Keberadaan suaminya tetap belum ditemukan.Di hari ke lima, dua orang petugas kepolisian datang menjemputnya. Membawa Daisah dan kedua anaknya ke sebuah rumah sakit pemerintah, mereka langsung menuju ruang penyimpanan mayat."Kami ingin Mbak Daisah mengenali, apakah ciri-ciri mayat yang kami temukan di semak-semak dalam jurang dekat sungai, adalah jasad suami Mbak," ucap salah seorang petugas, dan Daisah meng'iyakan.Sadewa dan Bisma diminta menunggu di luar ruang penyimpanan mayat, hanya Daisah yang dipersil

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   10. Kolong Fly-over

    Kampung Pejagalan, nama tempat tinggal Daisah dan anak-anaknya sekarang. Terletak di daerah perbatasan antara utara dan barat Jakarta, daerah padat penduduk, tidak jauh dari sentra dagang pecinaan, stasiun kereta, dan pasar induk buah dan sayuran.Sebuah perkampungan masyarakat kecil dengan berbagai macam etnis. Pemukiman padat yang tidak pernah mati. 24 jam aktivitas penduduk terus bergerak tidak pernah berhenti. Jika pagi hingga petang pergerakan penduduk banyak berpusat di pasar dan stasiun, sementara jika senja menjelang pagi, kesibukan banyak berpusat di tempat-tempat hiburan malam, dengan banyak wanita penghibur kelas menengah bawah dan atas.Yah, kampung ini adalah cerminan surga dunia. Segala aktivitas yang yang dilarang agama, semua ada dan banyak peminatnya. Dari perjudian, minuman keras, narkoba, bahkan prostitusi, dikarenakan perempuan-perempuan yang bekerja di tempat hiburan malam, bany

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   11. Preman Tua

    Pletakk ....!!"Auuwww ....!!"Batu koral sebesar biji kelereng menghantam keras kening si botak hingga berteriak kesakitan. Pisau lipat yang hendak dipakai untuk menusuk Sadewa terlepas dalam genggamannya. Saking kencangnya batu yang mengenai kepalanya, si botak itu sampai terduduk di tanah dengan terus mengusap-usap keningnya sembari meringis kesakitan.Semua mata menoleh ke arah si pelempar batu, seorang pria paruh baya dengan tatapan tajam berdiri sekitar jarak tujuh meter, sembari berjalan mendekat. Wajahnya terlihat tenang.Sadewa pun melihat ke arah pria paruh baya tersebut, dan Sadewa tidak mengenalnya, melihat wajahnya pun hanya baru kali ini.Si botak yang masih merasa kesakitan, kembali melampiaskan amarahnya kepada sosok pria paruh baya itu."Ban*s

Latest chapter

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   34. Tamat

    "SAYA HANYA INGIN NYAWAMU!" geram Sadewa. Api berkobar di dalam matanya yang tajam. Gamal terdiam, saat mendengar jika Sadewa menginginkan kematiannya. Sedikit pun, tidak ada rasa ketakutan yang terlihat pada wajahnya. Masih terlihat tenang. "Apa yang kamu dapat setelah berhasil membunuhku." "Dendam. Dendam saya terbayarkan. Perbuatanmu sudah merusak masa kecil saya, menghancurkan kehidupan keluarga saya. Hanya dengan membunuhmu, maka semua terbayarkan lunas." Gamal masih melihat ke arah Sadewa, lalu mengambil sebungkus rokok miliknya di atas meja. Membakarnya dan mengembuskannya secara perlahan, sambil bersandar di bangkunya. Benar-benar terlihat tenang sekali. "Jika kau berhasil membunuhku, apa akan membuat ayahmu hidup kembali?" Sadewa terpaku, matanya masih menatap Gamal dengan penuh kebencian. "Sudah siap kau hidup di penjara? Menghancurkan hidup dan masa depanmu?" Sadewa masih terdiam. Di dalam hatinya masih tersimpan bara dendam. "Tanpa kau bunuh pun, nanti aku akan mat

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   33. Dendam Yang Tak Pernah Padam

    "Sudah Ri, ini urusan pribadi gue. Tugas lu memastikan kepada Gamal, jika gue pasti datang. Sekarang lebih baik lu pergi dulu.""Gue boleh tahu 'kan urusan pribadi antara lu dengan musuh bebuyutan kita." Sadewa menatap Fahri tajam, raut wajahnya tergambar jelas jika Sadewa tidak suka dengan keingintahuan Fahri tentang masalahnya."Baik, Wa," jawab Fahri pasrah, dia sangat tahu jika Sadewa sudah memiliki keinginan, maka tidak ada yang bisa melarang. "Nanti gue kabari, jika lu ingin bertemu Gamal malam ini juga." Fahri langsung berdiri, dan meninggalkan kamar Sadewa.Selepas Isya, Sadewa mulai meninggalkan kediamannya, sendiri, tanpa pengawalan. Lewat WA, Fahri mengabarkan jika Gamal akan menemuinya di tempat yang sudah disepakati. Sadewa ingin jika masalah antara dirinya dan ayah dari Zhalika harus segera diselesaikan. Dia sudah tidak berpikir lagi tentang keselamatannya, yang terpenting dendamnya harus terbalaskan, meski taruhannya nyawa.Hati dan pikirannya sedang bimbang, antara ci

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   32. Musuh Dalam Selimut

    Mungkin hampir sejam, Gojali, panggilan premannya Gamal, kepala geng Serigala Api yang terkenal kejam, terdiam berzikir dan bertafakur di dalam masjid. Dua orang anak buahnya yang menemani hanya memperhatikannya dari jarak jauh, hanya mengawasi jika ada yang mengganggu. Kesan heran terlihat pada mimik wajah mereka berdua, atas sikap bos besar yang di luar kebiasaannya.Gamal berjalan pelan keluar dari masjid, dan kedua anak buahnya segera menghampiri."Abang jadi ke rumah putri Abang lagi?" tanya seorang dari mereka. Gamal menoleh, lalu terdiam. Wajahnya terlihat tenang, mungkin sedang berpikir."Tidak usah, kita kembali saja ke rumah," ajak Gamal, sembari berjalan menuju kendaraannya. Dan mobil mereka mulai meninggalkan halaman masjid."Adul!" panggil Gamal kepada salah seorang anak buahnya yang duduk di depan."Iya, Bang.""Buat pertemuan dengan Sadewa. Bilang padanya, jika saya ingin bertemu secara pribadi, dan tidak ada urusannya dengan bisnis dan kekuasaan.""Baik Bang, akan saya

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   31. Siapa Ayah Sebenarnya

    Belum begitu lama, Zhalika dan Sadewa ijin pamit dari rumah Gojali. Dua orang anak buahnya, yang terus saja memperhatikan mereka berdua dari jarak jauh mulai mendekati bos mereka, dan kemudian meminta izin untuk bicara dengan atasannya tersebut."Nanti saja, gue mau mandi dulu," jawab Gojali, langsung menuju ke kamarnya, dan kedua pengawalnya tersebut tidak berani membantah, langsung kembali ke depan teras rumah.Satu jam setelah Gojali selesai mandi dan makan, dengan menggunakan baju santai, kepala preman tersebut kemudian menemui kedua orang kedua orang anak buahnya dan langsung duduk di bangku kayu teras rumah, diikuti oleh kedua orang anak buahnya. Tidak beberapa lama, seorang pelayan datang membawakan segelas kopi hitam dan meletakkannya di atas meja, tepat di depan Gojali. Lalu pelayan tersebut segera undur diri.Gojali menyalahkan rokok miliknya, setelah sebelumnya menghirup kopi yang sudah disediakan pelayannya tadi. Sementara kedua pengawalnya hanya diam memperhatikan."Kalia

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   30. Kabar Mengejutkan

    "Mas Dewa jahat! Tidak punya hati!" teriak Ratih, sembari berdiri dari sofa. Merasa kecewa dengan keputusan sepihak yang diambil Sadewa. Zhalika menangis dalam diam, terjerat rasa penasaran, mengapa Sadewa tiba-tiba berubah pikiran."Ceritakan apa yang terjadi, Mas? Ibu dan Mbak Zhalika berhak tahu, mengapa Mas Sadewa bisa memutuskan sesuatu yang membuat sakit hati Ibu, Ratih, dan Mbak Zhalika?" tanya Bisma tenang, dan ketiga perempuan lain masih menangis. Sadewa diam membeku.Zhalika yang sedari awal diam saja, mulai mencoba bicara."Saya akan mengikuti apapun keputusan Mas Dewa, jika memang ini yang terbaik menurut, Mas. Tetapi saya berhak tahu salah saya, sehingga Mas Dewa membatalkan rencana pernikahan kita?" tanya Zhalika pelan, tersenyum tipis sambil mengusap pipinya yang basah dengan air mata. Dan Sadewa masih terdiam."Jika kamu masih menganggap aku adalah ibumu, katakan apa yang sudah terjadi Sadewa!" teriak Daisah, berdiri dari tempat duduknya. Terlihat emosi ibu Hajah terse

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   29. Menyakiti Hati Ibu

    "Sekarang kita makan bersama dulu," ajak Gamal, kepada Zhalika dan Sadewa, tetapi Sadewa berucap cepat, walaupun suaranya bergetar."Tidak usah Pak, terima kasih, sebelum kemari kami makan dulu tadi. Dan lagi pula, masih ada keperluan yang harus kami selesaikan," jawab Sadewa. Zhalika diam saja, tidak memprotes keputusan calon suaminya itu. Sementara Gamal menatap wajah Sadewa lekat."Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Gamal, seperti mengingat-ingat. Sadewa diam saja, tidak menjawab. Kembali mengepal tangannya keras, sampai bergetar, karena menahan amarahnya agar jangan sampai meluap."Mungkin Bapak salah orang," jawab Sadewa, sembari mengangguk kepada Zhalika, untuk segera pergi meninggalkan rumah ini, dan Zhalika mengerti maksud dari Sadewa. Lalu mereka pun segera berdiri dari tempat duduknya, diikuti oleh Gamal dan Claudia."Saya pamit pulang dahulu, Pak. Mungkin dalam waktu tiga minggu ke depan, acara pernikahan kami akan dilaksanakan," ujar Zhalika, lalu berdiri, dan m

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   28. Dendam Masa Lalu

    Tangannya mengepal keras, rahangnya bergemeletak menahan amarah, suhu tubuhnya terasa panas. Tapi sesaat Sadewa tersadar, jika waktu membalaskan dendam tidaklah tepat, dan sepertinya Gamal pun sudah tidak mengenalinya. Perlahan mengatur nafasnya, keberadaan Zhalika bersamanya, membuat dia berpikir ulang untuk membalaskan dendamnya.Tangannya yang tadi mengepal kencang, perlahan dia lepaskan. Hatinya merasa sakit, dan semakin sakit, saat tahu wanita yang dicintainya dan juga yang sudah memilihnya ternyata putri dari seorang pembunuh ayahnya. Orang yang selama ini sudah merenggut kebahagiaan masa kecilnya, orang yang membuat Sadewa dan adik-adiknya menjadi yatim, orang yang ingin dia habisi, agar dendamnya terbalaskan. Sadewa saat ini merasa ada di dalam persimpangan."Zha-Zhalika." Bergetar suara Gojali, saat menyebut nama putrinya sendiri. Air bening sudah mengalir di pipi gadis muda yang solehah tersebut. Zhalika benar-benar tidak menyangka, jika ayahnya ternyata masih ada. Kerinduan

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   27. Bertemu Ayah

    "Bagaimana jika Ayah tidak mau mengakui saya, Mas?" tanya Zhalika ragu-ragu, paras wajahnya terlihat cemas."Jangan berprasangka buruk dulu, Zha? Lebih baik kita temui ayahmu dulu," jawab Sadewa, mencoba menenangkan hati calon istrinya tersebut. Zhalika memejamkan matanya, mengirup napas dan menghembuskan perlahan."Bismillah," ucap Zhalika, lalu mulai membuka pintu mobil, untuk turun. Sadewa pun segera turun dari mobil, dan langsung mendekati Zhalika, mensejajari langkah masuk ke halaman rumah yang mereka tuju.Sadewa memencet bel rumah, sementara Zhalika memandangi sekeliling rumah. Suasananya terlihat sepi dan lengang, tidak ditemukan aktivitas apapun di sekitar rumah, yang terlihat hanya rumah-rumah megah dengan taman-taman yang terawat.Tidak beberapa lama, pintu rumah mulai dibuka dari dalam. Seorang wanita usia sekitar 40 tahunan yang keluar menyambut, sepertinya salah satu pekerja di rumah ini."Assalamualaikum, Bu" Zhalika mengucapkan salam, yang langsung dijawab salam juga o

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   26. Kisah Tentang Ayah

    "Ibu dan ayahmu sama-sama berasal dari panti asuhan ini, Ka. Nasib kami sama, dibuang oleh orang tua kami sedari kecil. Kemudian kami berdua diserahkan kepada Ibu Cicie, pendiri panti ini." Terdiam Ibu Asih, sebelum akhirnya melanjutkan."Setelah remaja, ibu memutuskan untuk mengabdi di panti ini, sambil menemani dan membantu Ibu Cicie yang sudah menua. Sementara ayahmu memutuskan untuk pergi, entah kemana, Ibu sendiri tidak tahu."Zhalika mendengarkan penjelasan Bu Asih dengan sangat serius, dia sangat ingin tahu tentang kisah hidupnya."Ayahmu Berniat untuk menitipkan kamu di sini. Saat itu, Ibu sudah memegang panti asuhan ini, karena Bu Cicie sudah berpulang."Saat ibu bertanya, kemana Ibumu saat itu, Ayahmu hanya bercerita, jika Ibumu meninggal dunia karena sakit demam berdarah. "Ayahmu memohon-mohon pada ibu agar mau merawatmu. Sebagai lelaki dia merasa tidak sanggup mengurusimu di usia yang masih balita." Kembali Bu Asih terdiam."Setiap bulan ayahmu selalu membantu segala kebu

DMCA.com Protection Status