Share

2. Kesan Pertama

Author: Pena Asmara
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

 

"A-apa, Mas?" Zalikha masih dalam keadaan gugup, melihat Sadewa yang tiba-tiba datang mengunjunginya. Dan putra dari Ibu Daisah itu masih menatap tajam, membuat Zalikha menunduk, menghindari bertatapan langsung. Jantungnya berdegup lebih kencang.

 

"Ko Mbak tahu, jika nama saya Sadewa?"

 

"Ohh ... itu, dari Ibu Mas yang memberi tahu."

 

"Maksudnya?" tanya Sadewa lagi menyelidik.

 

"I-iya, tadi siang, beliau bilang jika punya putra pertama bernama Sadewa, dan mengirimkan photo Mas kepada saya."

 

"Buat apa Ibu mengirimkan photo," gumam Sadewa, bertanya ke dirinya sendiri.

 

"Apa, Mas?" tanya Zalikha, memperjelas, karena dia pikir Sadewa sedang berbicara dengannya.

 

"Tidak, tidak ada apa-apa," jelas Sadewa. Mengalihkan pandangannya ke taman kecil depan rumah. 

 

"Tampanan aslinya," gumam Zalikha keceplosan, lalu buru-buru menutup mulutnya. Wajahnya terasa memanas, menyadari kebodohannya bicara tanpa sadar, dan Zalikha yakin jika Sadewa juga mendengar. Akan tetapi Sadewa sepertinya acuh saja.

 

"Ibu ingin bertemu. Siapa nama kamu?" tanya Sadewa, datar saja.

 

"Saya Zalikha," jawab Zalikha memperkenalkan dirinya, gadis itu mulai mampu menguasai dirinya.

 

"Saya Sadewa Fahreza," ucap Sadewa, juga memperkenalkan dirinya, sembari menyodorkan tangan ingin bersalaman dengan Zalikha. Ustazah muda itu menolaknya secara halus, dan hanya menakupkan kedua tangan di depan dadanya. Paras wajah Sadewa terlihat seperti tidak nyaman dengan penolakan Zalikha.

 

"Saya sehat kok, tidak mengandung penyakit, jadi tidak usah takut bersalaman dengan saya," sindirnya ketus, dan sekarang Zalikha yang mulai tidak nyaman mendengar ucapan Sadewa.

 

"Mohon maaf Mas, bukan bermaksud untuk membuat Mas Sadewa tersinggung, hanya memang dalam keyakinan kita dilarang untuk bersentuhan yang bukan mahramnya," jelas Zalikha pelan. Sadewa kembali terlihat tidak nyaman.

 

"What ever lah," jawabnya acuh. Zalikha hanya menanggapinya dengan tersenyum.

 

"Ayu cepat, kamu ikut saya, Ibu saya ingin bertemu." 

 

"Bertemu buat apa?" tanya Zalikha.

 

"Kamu ribet amat sih, tinggal ikut saja, nanti juga tahu jika sudah bertemu Ibu," jawab Sadewa ketus, dan itu membuat Zalikha sedikit tersinggung, tapi dia memilih untuk diam saja.

 

"Jika bukan karena disuruh Ibu, aku juga tidak mau disuruh menjemput wanita sok jual mahal seperti kamu." Santai saja Sadewa berucap pedas, sembari merapihkan jaket hitam yang dikenakannya. Sepertinya Sadewa masih kesal saat Zalikha menolak bersentuhan dengannya. Zalikha terus beristighfar di dalam hatinya, berusaha untuk mengendalikan amarahnya.

 

"Maaf yah Mas Sadewa, bukannya saya sok jual mahal, toh saya pun tidak sedang memperdagangkan diri. Apa saya salah kalau bertanya, jika Ibu Mas Sadewa ingin bertemu saya ada urusan apa? Lagipula Mas Sadewa hanya datang sendiri. Saya pun belum mengenal Mas Sadewa loh ... wajar jika saya merasa takut."

 

"Kamu ini benar-benar dibikin ribet yah, tinggal ikut saja susah amat sih," ucap Sadewa, sedikit memaksa.

 

"Saya tidak mau! Sekarang silahkan Mas Sadewa pergi dari rumah ini, permisi." Zalikha benar-benar sudah kesal melihat sikap Sadewa yang sepertinya meremehkan wanita. Bergegas dia langsung masuk ke dalam dan menutup pintu rumah. 

 

Sadewa diam termangu, tidak menyangka dia, jika gadis bertubuh kecil itu berani mengusirnya, bahkan langsung pergi meninggalkannya. Tidak pernah dia diperlakukan seperti itu, sikap Zalikha membuat Sadewa menjadi serba salah.

 

"Resee ...!" umpatnya, kesal. Lantas mengambil handphone dari saku jaketnya. Menghubungi nomor yang ingin ditujunya, dan langsung terhubung.

 

--Assalamualaikum, Ibu.

 

--Waalaikum salam ... bagaimana Sadewa, Nak Zalikha sudah sama kamu?

 

--Zalikha tidak mau ikut Sadewa, Bu.

 

--Ini pasti salah kamu, Sadewa, yang sudah bicara kasar dengan Nak Zalikha. Ibu tahu watak kamu, ketus sama perempuan.

 

--Nggak, Bu, Sadewa sudah bicara baik-baik, kok.

 

--Pokoknya Ibu mau ketemu Zalikha!

 

--Tapi, Bu-- 

 

Pembicaraan langsung terputus, Bu Daisah menutup hubungan telepon dengan putranya, dan Sadewa kembali dibuat pusing. Dia tidak ingin mengecewakan ibunya, wanita kuat yang sudah merawat dan mengurusinya sedari kecil, beserta kedua adiknya, dari saat ayahnya mati terbunuh  oleh saingan bisnisnya, saat Sadewa berusia tujuh tahun.

 

Sadewa terduduk lemas di kursi teras rumah, untuk kembali menemui Zalikha dia merasa malu, karena tadi sempat diusir oleh gadis muda itu, dan semua karena sikapnya yang ketus dan meremehkan. 

 

Hampir dua puluh menit, Sadewa hanya terduduk saja di teras rumah kost yang Zalikha tempati. Beberapa kali duduk dan berdiri, berjalan mendekati pintu, Ingin kembali memanggil gadis sok jual mahal itu, tetapi rasa gengsinya tidak bisa menerima. Bisa jatuh harga dirinya jika sampai memohon-mohon agar Zalikha mau ikut dengannya. Sadewa benar-benar dibuat suntuk sendiri.

 

Tidak beberapa lama, datang seorang gadis yang sepertinya berusia lebih muda dari Zalikha, dan langsung mengetuk pintu rumah kost tersebut.

 

"Kamu ngapain Ratih?" tanya Sadewa kepada gadis itu yang ternyata adik bungsunya. Belum sempat Ratih menjawab, tiba-tiba Zalikha keluar dari dalam rumah, dan terlihat sudah berganti pakaian.

 

"Ratih, kan?" tanya Zalikha menegur.

 

"Teh Zalikha, 'kan?" tanya balik Ratih, dan Zalikha mengangguk.

 

"Ayuk Teh, mobil Ratih di depan," ajak Ratih, sembari menggandeng tangan Zalikha, berjalan melewati Sadewa yang hanya bisa diam terduduk di kursi, karena seperti dianggap tidak ada, baik itu oleh Zalikha, atau pun oleh adiknya, Ratih. Sadewa benar-benar ditinggalkan sendiri. Hatinya semakin mendongkol.

 

"Shitt ...!" Sampai akhirnya Sadewa mengikuti keduanya dari belakang, menunggu sampai Zalikha, Ratih, masuk ke dalam mobil. Saat mobil yang dibawa adiknya meninggalkan lokasi, Sadewa lantas seperti memberikan kode, dan tiba-tiba ada dua motor berboncengan, mulai mengikuti mobil Ratih dari belakang. Tidak beberapa lama, Sadewa pun pergi menyusul Ratih dan Zalikha. Diikuti satu kendaraan roda empat lagi di belakang mobil Sadewa.

 

Sebelumnya, waktu yang sama di lain tempat.

 

Daisah mematikan handphone-nya sembari menggerutu, Dia sangat yakin, jika penolakan yang dilakukan Zalikha pasti karena sikap kaku yang ditunjukkan putranya Sadewa. Daisah sangat paham sifat Sadewa jika berhadapan dengan wanita, dan suara gerutuannya terdengar oleh putri bungsunya Ratih yang sedang duduk bersamanya di sofa ruang utama.

 

"Kenapa sih, Buk?" tanya si bungsu Ratih.

 

"Itu abangmu Sadewa pasti membuat ulah, hingga Nak Zalikha tidak mau ikut dengannya."

 

"Zalikha siapa, Bu?"

 

"Ustazah muda, guru ngaji ibu di majelis taklim."

 

"Ibu menyuruh Abang menjemput guru ngaji Ibu kemari sendiri?"

 

"Iya ...."

 

"Ya jelas nggak mau lah, Ibu. Abang, 'kan bukan mahram-nya."

 

"Astagfirullah ... kok ibu sampai lupa, yah." Ratih tertawa, begitupun ibunya.

 

"Coba Ibu telepon langsung guru ngaji Ibu, bilang jika Ratih yang akan jemput. Faidah mengangguk-angguk, lantas mulai menghubungi Zalikha, dan tidak lama langsung mematikan sambungan telepon-nya.

 

"Bagaimana, Buk?" 

 

"Nak Zalikha mau. Kamu sekarang cepat jemput dia yah, di tempat kostnya, yang tidak jauh dari Masjid Ar- Rahmah lewat sedikit, yang di depannya tepat toko kue Kikan Kitchen. Pintu gerbang rumahnya warna hijau."

 

"Sekarang, Buk?" tanya Ratih, masih asyik menonton drama Korea di TV kabel.

 

"Iya Ratih, sekarang," pinta Daisah, sembari menyerahkan handphone miliknya kepada putrinya jika nanti ingin menghubungi Zalikha.

 

"Ibu mengundang guru ngaji Ibu kemari, memangnya ada apa, Buk?" tanya Ratih, sembari mengambil kunci mobilnya yang dia letakkan di depan televisi.

 

"Ibu mau jodohkan sama Abang kamu, Sadewa," 

 

"Ibu serius?" tanya Ratih, tidak begitu yakin.

 

"Serius lah, Abangmu, 'kan sudah cukup umur buat berumah tangga."

 

"Memang ada Buk, wanita yang mau menikah sama es balok?" tanya Ratih lagi, sembari tertawa geli. Dan Ratih langsung berlari cepat keluar rumah, saat mata sang Ibu sudah hampir keluar memelototinya.

 

'Sadewa seperti itu karena tanggung jawabnya yang besar terhadap keluarga kita' ucap lirih Ibu Hajah Daisah.

Related chapters

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   3. Tamu Yang dihormati

    Tidak sampai sepuluh menit, Zhalika sampai di kediaman Ibu Daisah. Sebuah kompleks perumahan kelas menengah atas, dengan bentuk bangunan yang hampir sebagian besar bergaya Eropa dengan pilar-pilar penyangga yang besar.Sebuah kompleks perumahan di pinggiran Kota Jakarta, tetapi dengan kemudahan akses ke mana-mana, baik ke bandara internasional ataupun ke pusat kota, karena akses tol tepat ada di pintu belakang perumahan ini.Jalan pintu masuk utama pun di penuhi ruko-ruko yang sudah penuh terisi di kiri dan kanan jalan komplek ini, dengan pohon-pohon palem yang berbaris rapih di kedua sisinya, dan inilah pertama kalinya Zhalika memasuki dan mengetahui seperti apa isi dalam dari perumahan kelas atas ini, karena selama hampir dua bulan tinggal di perkampungan yang tidak jauh dari kompleks perumahan ini, Zhalika tidak pernah pergi ke mana-mana. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya di

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   4. Kejutan Selepas Makan Malam

    KETIKA KEPALA PREMAN MENIKAHI USTAZAHKejutan Selepas Makan MalamPART 4Daisah sudah terlanjur jatuh sayang terhadap Zhalika. Nasib hidup yang sudah dijalani gadis itu, membuat hati dari ibunya Sadewa itu terenyuh. Naluri menjaga dan melindungi hati seorang ibu saat ini seperti tercurahkan sepenuhnya untuk Zhalika.Daisah teramat meyakini jika gadis ini bukan hanya santun, cantik, dan baik, tetapi juga punya hati yang bersih dan tulus. Kesulitan hidup yang dijalani membuat Zhalika justru menjadi sosok yang membawa dan menebarkan manfaat. Kesedihan tidak membuatnya menjadi manusia terpuruk yang hanya sibuk menyalahkan takdir, dan itu sama persis seperti saat Daisah harus berjuang menghidupi ketiga anaknya yang masih kecil-kecil, ketika suaminya tercinta harus mati terbunuh yang sampai saat ini si pembunuhnya sendiri masih bebas berkeliaran.Sembari menggenggam tangan Zalikha, Ibu Daisah mengajak guru mengajinya itu menuju ruang makan keluarga

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   5. Antara Sadewa dan Bisma

    "Ibu bertanyanya jangan seperti itu, itu sama saja Ibu menyuruh Abang, dan Ibu pasti tahu jika Abang tidak pernah menolak permintaan ibu!" ucap Bisma, dengan nada suara sedikit keras."Kamu jangan kurang ajar dengan membentak-bentak Ibu!" sentak Sadewa dengan nada jauh lebih keras, lalu bangkit berdiri dari tempat duduknya, dan mencengkeram kerah baju Bisma. Zhalika dan Ratih mulai sedikit kaget dan ketakutan."Sudah Sadewa, sudah," ucap Daisah, mencoba melerai, sementara Bisma hanya diam, pasrah saja. Tangan Sadewa masih mencengkeram kuat kerah baju Bisma."Lepaskan tanganmu Dewa," ucap tegas Daisah. Sadewa lalu melepaskan cengkraman tangannya, dan kembali duduk di tempat semula. Raut wajahnya masih memancarkan kegeraman."Mungkin yang dikatakan adikmu ada benarnya, Ibu seperti terlalu memaksakan kehendak jika memintamu berdasarkan keinginan ibu," ucap pelan Daisah."Sadewa mau Bu, Sadewa bersedia menikah dengan Zhalika," ucap Sadewa terlontar cep

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   6. Masa Kecil Yang Suram

    KETIKA KEPALA PREMAN MENIKAHI USTAZAHKisah Masa Kecil Yang SuramPart 6"Mengapa Mas Dewa bisa bersikap seperti itu, Dek Ratih?""Dingin ya, Teh, macam es balok." Ratih lantas tertawa, begitu pun Zhalika, merasa lucu dia, mendengar julukan yang Ratih berikan kepada Sadewa."Jahat ih kamu, sama abang sendiri juga?"Ratih malah semakin tertawa terbahak, sembari sesekali memperhatikan kaca spion, dia menjalankan kendaraannya pelan-pelan saja.Malam sudah semakin larut, jalan raya pun sudah terlihat lengang."Bang Dewa, walaupun sikapnya kaku, tetapi tidak sombong kok Teh. Bertanggung jawab dan sayang dengan keluarga, apalagi sama ibu. Ratih sedari kecil belum pernah melihat Bang Dewa membantah apa yang diperintahkan ibu. Makanya tadi dia sangat marah, kan, saat melihat Bang Bisma berbicara keras sama ibu," jelas Ratih."Iya, Dek, terus terang saja, bikin takut Teteh tadi," jawab Zhalika, terus terang."Tidak menyang

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   7. Kisah Kelam Di Masa Kecil

    Sudah lebih dari satu jam, Sadewa merebahkan tubuhnya di kasur empuk dipan tempat tidurnya yang besar, tetapi tidak bisa juga dicapai. Wajah gadis yang dianggapnya sok jual mahal itu terasa begitu melekat dipikirannya. Dan ini pertama kali bagi Sadewa, we have the women that even to be knownya.Bukan hanya soal kecantikan wajah yang membuat Sadewa tertarik, karena di dunia yang dijalaninya saat ini, setiap waktu, setiap saat, wanita-wanita cantik berbadan bagus banyak yang berusaha untuk mendekatinya, tetapi tidak ada yang bisa menyampaikannya kepada gadis-gadis tersebut, dan itu ternyata tidak berlaku bagi Zhalika.

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   8. Gamal Si Kepala Gengster

    Klinik tempat Daisah memeriksakan kehamilannya tidak terlalu banyak pasien yang berobat, sehingga tidak terlalu lama di sana, mungkin hanya sekitar 30 menit. Setelah membelikan Bisma jajanan makanan kecil, Daisah pun kembali menaiki ojek yang sama dengan saat dia berangkat tadi, Mang Burhan, tukang ojek yang memang biasa mangkal tidak jauh dari pintu masuk perumahan mereka tinggal. Jalan raya menuju ke arah arah rumahnya memang tidak terlalu bagus, masih banyak terdapat lubang-lubang di kanan kiri jalan, bahkan juga banyak terdapat retakan aspal.Kurang lebih 300 meter lagi Daisah sampai ke depa

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   9. Kekuatan Yang Melindungi Kejahatan

    4 hari sudah, Abimanyu tidak diketahui keberadaannya. Daisah yang hidup merantau jauh dari orang tua, kesana kemari mencari keberadaan suaminya dengan mengajak kedua anaknya yang masih belia.Ke kantor jurnalis lokal tempat suaminya bekerja, bahkan sudah membuat pengaduan ke pihak yang berwenang, tetapi belum juga ada hasilnya. Keberadaan suaminya tetap belum ditemukan.Di hari ke lima, dua orang petugas kepolisian datang menjemputnya. Membawa Daisah dan kedua anaknya ke sebuah rumah sakit pemerintah, mereka langsung menuju ruang penyimpanan mayat."Kami ingin Mbak Daisah mengenali, apakah ciri-ciri mayat yang kami temukan di semak-semak dalam jurang dekat sungai, adalah jasad suami Mbak," ucap salah seorang petugas, dan Daisah meng'iyakan.Sadewa dan Bisma diminta menunggu di luar ruang penyimpanan mayat, hanya Daisah yang dipersil

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   10. Kolong Fly-over

    Kampung Pejagalan, nama tempat tinggal Daisah dan anak-anaknya sekarang. Terletak di daerah perbatasan antara utara dan barat Jakarta, daerah padat penduduk, tidak jauh dari sentra dagang pecinaan, stasiun kereta, dan pasar induk buah dan sayuran.Sebuah perkampungan masyarakat kecil dengan berbagai macam etnis. Pemukiman padat yang tidak pernah mati. 24 jam aktivitas penduduk terus bergerak tidak pernah berhenti. Jika pagi hingga petang pergerakan penduduk banyak berpusat di pasar dan stasiun, sementara jika senja menjelang pagi, kesibukan banyak berpusat di tempat-tempat hiburan malam, dengan banyak wanita penghibur kelas menengah bawah dan atas.Yah, kampung ini adalah cerminan surga dunia. Segala aktivitas yang yang dilarang agama, semua ada dan banyak peminatnya. Dari perjudian, minuman keras, narkoba, bahkan prostitusi, dikarenakan perempuan-perempuan yang bekerja di tempat hiburan malam, bany

Latest chapter

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   34. Tamat

    "SAYA HANYA INGIN NYAWAMU!" geram Sadewa. Api berkobar di dalam matanya yang tajam. Gamal terdiam, saat mendengar jika Sadewa menginginkan kematiannya. Sedikit pun, tidak ada rasa ketakutan yang terlihat pada wajahnya. Masih terlihat tenang. "Apa yang kamu dapat setelah berhasil membunuhku." "Dendam. Dendam saya terbayarkan. Perbuatanmu sudah merusak masa kecil saya, menghancurkan kehidupan keluarga saya. Hanya dengan membunuhmu, maka semua terbayarkan lunas." Gamal masih melihat ke arah Sadewa, lalu mengambil sebungkus rokok miliknya di atas meja. Membakarnya dan mengembuskannya secara perlahan, sambil bersandar di bangkunya. Benar-benar terlihat tenang sekali. "Jika kau berhasil membunuhku, apa akan membuat ayahmu hidup kembali?" Sadewa terpaku, matanya masih menatap Gamal dengan penuh kebencian. "Sudah siap kau hidup di penjara? Menghancurkan hidup dan masa depanmu?" Sadewa masih terdiam. Di dalam hatinya masih tersimpan bara dendam. "Tanpa kau bunuh pun, nanti aku akan mat

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   33. Dendam Yang Tak Pernah Padam

    "Sudah Ri, ini urusan pribadi gue. Tugas lu memastikan kepada Gamal, jika gue pasti datang. Sekarang lebih baik lu pergi dulu.""Gue boleh tahu 'kan urusan pribadi antara lu dengan musuh bebuyutan kita." Sadewa menatap Fahri tajam, raut wajahnya tergambar jelas jika Sadewa tidak suka dengan keingintahuan Fahri tentang masalahnya."Baik, Wa," jawab Fahri pasrah, dia sangat tahu jika Sadewa sudah memiliki keinginan, maka tidak ada yang bisa melarang. "Nanti gue kabari, jika lu ingin bertemu Gamal malam ini juga." Fahri langsung berdiri, dan meninggalkan kamar Sadewa.Selepas Isya, Sadewa mulai meninggalkan kediamannya, sendiri, tanpa pengawalan. Lewat WA, Fahri mengabarkan jika Gamal akan menemuinya di tempat yang sudah disepakati. Sadewa ingin jika masalah antara dirinya dan ayah dari Zhalika harus segera diselesaikan. Dia sudah tidak berpikir lagi tentang keselamatannya, yang terpenting dendamnya harus terbalaskan, meski taruhannya nyawa.Hati dan pikirannya sedang bimbang, antara ci

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   32. Musuh Dalam Selimut

    Mungkin hampir sejam, Gojali, panggilan premannya Gamal, kepala geng Serigala Api yang terkenal kejam, terdiam berzikir dan bertafakur di dalam masjid. Dua orang anak buahnya yang menemani hanya memperhatikannya dari jarak jauh, hanya mengawasi jika ada yang mengganggu. Kesan heran terlihat pada mimik wajah mereka berdua, atas sikap bos besar yang di luar kebiasaannya.Gamal berjalan pelan keluar dari masjid, dan kedua anak buahnya segera menghampiri."Abang jadi ke rumah putri Abang lagi?" tanya seorang dari mereka. Gamal menoleh, lalu terdiam. Wajahnya terlihat tenang, mungkin sedang berpikir."Tidak usah, kita kembali saja ke rumah," ajak Gamal, sembari berjalan menuju kendaraannya. Dan mobil mereka mulai meninggalkan halaman masjid."Adul!" panggil Gamal kepada salah seorang anak buahnya yang duduk di depan."Iya, Bang.""Buat pertemuan dengan Sadewa. Bilang padanya, jika saya ingin bertemu secara pribadi, dan tidak ada urusannya dengan bisnis dan kekuasaan.""Baik Bang, akan saya

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   31. Siapa Ayah Sebenarnya

    Belum begitu lama, Zhalika dan Sadewa ijin pamit dari rumah Gojali. Dua orang anak buahnya, yang terus saja memperhatikan mereka berdua dari jarak jauh mulai mendekati bos mereka, dan kemudian meminta izin untuk bicara dengan atasannya tersebut."Nanti saja, gue mau mandi dulu," jawab Gojali, langsung menuju ke kamarnya, dan kedua pengawalnya tersebut tidak berani membantah, langsung kembali ke depan teras rumah.Satu jam setelah Gojali selesai mandi dan makan, dengan menggunakan baju santai, kepala preman tersebut kemudian menemui kedua orang kedua orang anak buahnya dan langsung duduk di bangku kayu teras rumah, diikuti oleh kedua orang anak buahnya. Tidak beberapa lama, seorang pelayan datang membawakan segelas kopi hitam dan meletakkannya di atas meja, tepat di depan Gojali. Lalu pelayan tersebut segera undur diri.Gojali menyalahkan rokok miliknya, setelah sebelumnya menghirup kopi yang sudah disediakan pelayannya tadi. Sementara kedua pengawalnya hanya diam memperhatikan."Kalia

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   30. Kabar Mengejutkan

    "Mas Dewa jahat! Tidak punya hati!" teriak Ratih, sembari berdiri dari sofa. Merasa kecewa dengan keputusan sepihak yang diambil Sadewa. Zhalika menangis dalam diam, terjerat rasa penasaran, mengapa Sadewa tiba-tiba berubah pikiran."Ceritakan apa yang terjadi, Mas? Ibu dan Mbak Zhalika berhak tahu, mengapa Mas Sadewa bisa memutuskan sesuatu yang membuat sakit hati Ibu, Ratih, dan Mbak Zhalika?" tanya Bisma tenang, dan ketiga perempuan lain masih menangis. Sadewa diam membeku.Zhalika yang sedari awal diam saja, mulai mencoba bicara."Saya akan mengikuti apapun keputusan Mas Dewa, jika memang ini yang terbaik menurut, Mas. Tetapi saya berhak tahu salah saya, sehingga Mas Dewa membatalkan rencana pernikahan kita?" tanya Zhalika pelan, tersenyum tipis sambil mengusap pipinya yang basah dengan air mata. Dan Sadewa masih terdiam."Jika kamu masih menganggap aku adalah ibumu, katakan apa yang sudah terjadi Sadewa!" teriak Daisah, berdiri dari tempat duduknya. Terlihat emosi ibu Hajah terse

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   29. Menyakiti Hati Ibu

    "Sekarang kita makan bersama dulu," ajak Gamal, kepada Zhalika dan Sadewa, tetapi Sadewa berucap cepat, walaupun suaranya bergetar."Tidak usah Pak, terima kasih, sebelum kemari kami makan dulu tadi. Dan lagi pula, masih ada keperluan yang harus kami selesaikan," jawab Sadewa. Zhalika diam saja, tidak memprotes keputusan calon suaminya itu. Sementara Gamal menatap wajah Sadewa lekat."Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Gamal, seperti mengingat-ingat. Sadewa diam saja, tidak menjawab. Kembali mengepal tangannya keras, sampai bergetar, karena menahan amarahnya agar jangan sampai meluap."Mungkin Bapak salah orang," jawab Sadewa, sembari mengangguk kepada Zhalika, untuk segera pergi meninggalkan rumah ini, dan Zhalika mengerti maksud dari Sadewa. Lalu mereka pun segera berdiri dari tempat duduknya, diikuti oleh Gamal dan Claudia."Saya pamit pulang dahulu, Pak. Mungkin dalam waktu tiga minggu ke depan, acara pernikahan kami akan dilaksanakan," ujar Zhalika, lalu berdiri, dan m

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   28. Dendam Masa Lalu

    Tangannya mengepal keras, rahangnya bergemeletak menahan amarah, suhu tubuhnya terasa panas. Tapi sesaat Sadewa tersadar, jika waktu membalaskan dendam tidaklah tepat, dan sepertinya Gamal pun sudah tidak mengenalinya. Perlahan mengatur nafasnya, keberadaan Zhalika bersamanya, membuat dia berpikir ulang untuk membalaskan dendamnya.Tangannya yang tadi mengepal kencang, perlahan dia lepaskan. Hatinya merasa sakit, dan semakin sakit, saat tahu wanita yang dicintainya dan juga yang sudah memilihnya ternyata putri dari seorang pembunuh ayahnya. Orang yang selama ini sudah merenggut kebahagiaan masa kecilnya, orang yang membuat Sadewa dan adik-adiknya menjadi yatim, orang yang ingin dia habisi, agar dendamnya terbalaskan. Sadewa saat ini merasa ada di dalam persimpangan."Zha-Zhalika." Bergetar suara Gojali, saat menyebut nama putrinya sendiri. Air bening sudah mengalir di pipi gadis muda yang solehah tersebut. Zhalika benar-benar tidak menyangka, jika ayahnya ternyata masih ada. Kerinduan

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   27. Bertemu Ayah

    "Bagaimana jika Ayah tidak mau mengakui saya, Mas?" tanya Zhalika ragu-ragu, paras wajahnya terlihat cemas."Jangan berprasangka buruk dulu, Zha? Lebih baik kita temui ayahmu dulu," jawab Sadewa, mencoba menenangkan hati calon istrinya tersebut. Zhalika memejamkan matanya, mengirup napas dan menghembuskan perlahan."Bismillah," ucap Zhalika, lalu mulai membuka pintu mobil, untuk turun. Sadewa pun segera turun dari mobil, dan langsung mendekati Zhalika, mensejajari langkah masuk ke halaman rumah yang mereka tuju.Sadewa memencet bel rumah, sementara Zhalika memandangi sekeliling rumah. Suasananya terlihat sepi dan lengang, tidak ditemukan aktivitas apapun di sekitar rumah, yang terlihat hanya rumah-rumah megah dengan taman-taman yang terawat.Tidak beberapa lama, pintu rumah mulai dibuka dari dalam. Seorang wanita usia sekitar 40 tahunan yang keluar menyambut, sepertinya salah satu pekerja di rumah ini."Assalamualaikum, Bu" Zhalika mengucapkan salam, yang langsung dijawab salam juga o

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   26. Kisah Tentang Ayah

    "Ibu dan ayahmu sama-sama berasal dari panti asuhan ini, Ka. Nasib kami sama, dibuang oleh orang tua kami sedari kecil. Kemudian kami berdua diserahkan kepada Ibu Cicie, pendiri panti ini." Terdiam Ibu Asih, sebelum akhirnya melanjutkan."Setelah remaja, ibu memutuskan untuk mengabdi di panti ini, sambil menemani dan membantu Ibu Cicie yang sudah menua. Sementara ayahmu memutuskan untuk pergi, entah kemana, Ibu sendiri tidak tahu."Zhalika mendengarkan penjelasan Bu Asih dengan sangat serius, dia sangat ingin tahu tentang kisah hidupnya."Ayahmu Berniat untuk menitipkan kamu di sini. Saat itu, Ibu sudah memegang panti asuhan ini, karena Bu Cicie sudah berpulang."Saat ibu bertanya, kemana Ibumu saat itu, Ayahmu hanya bercerita, jika Ibumu meninggal dunia karena sakit demam berdarah. "Ayahmu memohon-mohon pada ibu agar mau merawatmu. Sebagai lelaki dia merasa tidak sanggup mengurusimu di usia yang masih balita." Kembali Bu Asih terdiam."Setiap bulan ayahmu selalu membantu segala kebu

DMCA.com Protection Status