"Ibu bertanyanya jangan seperti itu, itu sama saja Ibu menyuruh Abang, dan Ibu pasti tahu jika Abang tidak pernah menolak permintaan ibu!" ucap Bisma, dengan nada suara sedikit keras.
"Kamu jangan kurang ajar dengan membentak-bentak Ibu!" sentak Sadewa dengan nada jauh lebih keras, lalu bangkit berdiri dari tempat duduknya, dan mencengkeram kerah baju Bisma. Zhalika dan Ratih mulai sedikit kaget dan ketakutan.
"Sudah Sadewa, sudah," ucap Daisah, mencoba melerai, sementara Bisma hanya diam, pasrah saja. Tangan Sadewa masih mencengkeram kuat kerah baju Bisma.
"Lepaskan tanganmu Dewa," ucap tegas Daisah. Sadewa lalu melepaskan cengkraman tangannya, dan kembali duduk di tempat semula. Raut wajahnya masih memancarkan kegeraman.
"Mungkin yang dikatakan adikmu ada benarnya, Ibu seperti terlalu memaksakan kehendak jika memintamu berdasarkan keinginan ibu," ucap pelan Daisah.
"Sadewa mau Bu, Sadewa bersedia menikah dengan Zhalika," ucap Sadewa terlontar cepat, dan kembali mengagetkan seisi ruangan.
"Ibu nggak salah dengar, kan, Dewa. Bukan karena ingin mengikuti kemauan ibu, kan?"
Sadewa terdiam sejenak, dia sendiri bingung harus menjawab apa, hanya dirinya merasakan keanehan, ada rasa tidak suka dalam dirinya di saat adiknya Bisma pun menginginkan Zhalika.
"Bukan, Buk, bukan karena mengikuti keinginan Ibu, ini semua maunya Dewa, itu pun jika Zhalika mau menerima," ujar Dewa, lalu mengalihkan pandangannya terhadap Zhalika, dan raut wajah Bisma seperti menunjukkan rasa tidak suka setelah mendengar ucapan kakaknya, Sadewa.
"Alhamdulillah ...," ucap syukur Daisah, dan sekarang giliran Zhalika yang mulai merasakan panas dingin, karena pastinya, pertanyaan Ibu Daisah akan beralih kepadanya, dan ternyata dugaannya benar.
"Nak Zhalika sendiri bagaimana? Apa jawabannya? Putra ibu, Dewa, ingin meminta Nak Zhalika untuk menjadi istrinya?"
Zhalika terdiam, mulai berpikir dan menimbang-nimbang, tentang jawaban apa yang harus dia berikan, menyangkut tentang keinginan Dewa untuk memilikinya. Di sisi lain, Zhalika sangat takut jika melihat dengan mudahnya emosi Sadewa meluap tadi, tapi di sisi lain dia juga berpendapat, jika seorang anak laki-laki dengan begitu hormat dan sayangnya terhadap ibunya, maka dia pun akan menghormati gender yang sama seperti ibunya.
"Kasih saya waktu meminta keputusan kepada Tuhan saya ya, Bu," jawab Zhalika pelan, dan ucapan Zhalika membuat Sadewa tertawa terbahak.
"Sadewa ...!" bentak Daisah. "Tidak adakah rasa hormat sedikit pun atas keputusan yang Nak Zhalika ambil." Daisah terlihat amat marah terhadap sikap Sadewa.
"Maaf Bu, jika memang dia ingin menolak Sadewa yah tolak saja, jangan Tuhan yang dijadikan alasan. Lagipula bagaimana caranya Tuhan memberikan keputusan. Turun ke bumi, terus bicara langsung begitu," ucap Sadewa, memprotes jawaban Zhalika. Bisma dan Ratih hanya terdiam mendengarkan.
"Makanya jika Ibu ingin kamu menikahi Zhalika itu biar kamu tahu ilmu agama!" bentak keras Daisah, dan Sadewa langsung terdiam.
"Maksud dari meminta keputusan Tuhan itu, Nak Zhalika ingin meminta petunjuk kepada Allah lewat Salat Istikharah, apakah memang benar kamu adalah jodoh yang sudah Allah persiapkan untuknya, dan itu adalah sebaik-baiknya keputusan yang diambil, dan ibu justru semakin salut dan sayang kepada Nak Zhalika, karena dia menjalani hidup sesuai tuntunan agama."
Sadewa benar-benar dibuat malu, dia baru menyadari kebodohannya, bahwa gadis manis berhijab yang ada di depannya ini benar-benar paham dalam soal agama.
"Maafkan saya Zhalika ... maafkan saya," ucap Sadewa, tertunduk pandangannya.
"Tidak apa-apa, Mas," jawab Zhalika.
"Mohon maafkan anak ibu, Nak," ucap Daisah tulus, sembari menggenggam jemari tangan guru mengajinya.
"Tidak perlu minta maaf Ibu ... Mas Sadewa, kan memang tidak tahu," jawab Zhalika lembut, dan jawaban itu membuat Sadewa terpana, gadis di depannya ini benar-benar berbeda dari gadis-gadis yang selama ini dikenalnya. Biasanya mereka semua akan memanfaatkan kesalahannya, untuk menekan dan memanfaatkan dirinya, tetapi Zhalika benar-benar berbeda.
"Nak Zhalika, tolong mintakan petunjuk kepada Allah, di antara Sadewa dan Bisma, yang mana yang akan Allah pilihkan buat Nak Zhalika, walau bagaimanapun, Nak Zhalika harus jadi menantu ibu, tidak masalah harus dengan Sadewa ataupun Bisma."
"Ibu tidak bisa seperti itu, bukankah memang pada awalnya Zhalika ingin dijodohkan dengan Dewa," ucap Sadewa spontan, tanpa sempat lagi berpikir, ucapan yang langsung keluar dari dalam hatinya, dan Zhalika sempat terpana mendengar ucapan Sadewa. Wajahnya kembali terasa hangat, seperti ada bunga-bunga bermekaran yang tumbuh di dalam hatinya.
"Pilihannya antara Sadewa dan Bisma ya, Nak? Ibu akan terima keputusan yang diambil karena berdasarkan petunjuk Allah," jelas Daisah, dan sekarang wajah Bisma yang terlihat cerah, dia merasa masih ada harapan untuk mendapatkan Zhalika. Tidak ada pria yang menolak jika mendapatkan jodoh perempuan yang baik, walau penjahat sekalipun, tetap saja menginginkan jodoh perempuan yang baik-baik.
"Jika begitu, ijinkan saya diberikan waktu untuk menjalani prosesnya," pinta Zhalika, dengan tutur kata yang lembut.
"Seminggu yah, Nak, ibu kasih waktu seminggu."
"Baik Bu, semoga Allah memberikan jawaban dalam waktu seminggu ke depan."
"Aamiin ya Allah."
"Jika begitu, saya ijin pamit pulang ya, Bu ... waktu pun sudah semakin malam," pamit Zhalika kepada Daisah, seorang ibu yang sangat ingin Zhalika jadi menantunya.
"Biar saya yang antar," ucap Sadewa dan Bisma berbarengan, dua-duanya pun hampir berbarengan berdirinya dari kursi masing-masing, momen yang teramat langka ini membuat Ratih tertawa sampai terpingkal-pingkal, melihat tingkah lucu kedua abangnya tersebut, Saidah pun ikut tertawa, sementara Zhalika pun berusaha menahan keinginan tertawanya, dengan menutup mulutnya.
"Teh Zhalika pulangnya di antar Ratih Abwangg ... ujar Ratih, menggoda kedua kakaknya. "Kalian berdua itu belum mahram baginya, makanya Teh Zhalika pasti tidak mau di antar kalian berdua," jelas Ratih sambil berdiri dan mendekati Zhalika.
"Ayuk Teh, kita pulang," ajak Ratih, dan Zhalika pun mulai berdiri dari tempat duduknya.
"Saya ikut yah, jika bertiga, kan tidak apa-apa," ucap Bisma.
"Tidak, tidak bisa, kamu tetap di rumah, biar Ratih sendiri yang mengantarkan," ujar Sadewa.
"Iya Bisma, biar Ratih sendiri saja yang mengantarkan," ucap Daisah.
Jika begitu, saya pamit pulang dulu ya, Buk," ijin Zhalika kepada Ibu Zhalika, sembari sedikit menunduk untuk mencium tangan perempuan paruh baya yang sangat baik hati tersebut.
"Hati-hati ya, Nak. Seminggu yah, ibu tunggu jawabannya?"
"Insya Allah, Bu." Zhalika lalu keluar dari ruangan makan keluarga, mengikuti Ratih, dengan tangan mereka yang saling menggenggam, Ratih berbisik pelan
"Ratih sangat ingin mempunyai kakak seperti Teh Zhalika."
"Aamiin ... semoga Allah ikut mempermudah proses-nya.
Dengan di antar Ratih, si anak bungsu dari Daisah, Zhakila pun mulai meninggalkan rumah super mewah ini, dengan diantarkan Daisah, Sadewa, dan Bisma sampai ke depan teras rumah, sampai mobil yang dibawa Ratih tidak lagi terlihat dari pandangan mereka semua.
Di dalam kendaraan, Zhalika dan Ratih berbincang dengan sangat akrab, seperti sudah tidak ada lagi sekat di antara mereka berdua.
"Teh Ika mau tahu, kenapa Bang Dewa sikap dan perilakunya sangat dingin dan kaku?" tanya Ratih kepada Zhalika yang duduk di sampingnya.
"Mau, jika Ratih tidak keberatan untuk bercerita."
"Tentu tidak Teh, insya Allah kan nanti Teteh akan jadi saudara Ratih juga. Ratih sama seperti Ibu, Teh, sangat berharap jika Teh Zhalika bisa menjadi bagian dari keluarga kami. Aamiin ya, Teh."
"Aamiin ya Allah."
"Mengapa Mas Sadewa bisa bersikap seperti itu, Dek?"
KETIKA KEPALA PREMAN MENIKAHI USTAZAHKisah Masa Kecil Yang SuramPart 6"Mengapa Mas Dewa bisa bersikap seperti itu, Dek Ratih?""Dingin ya, Teh, macam es balok." Ratih lantas tertawa, begitu pun Zhalika, merasa lucu dia, mendengar julukan yang Ratih berikan kepada Sadewa."Jahat ih kamu, sama abang sendiri juga?"Ratih malah semakin tertawa terbahak, sembari sesekali memperhatikan kaca spion, dia menjalankan kendaraannya pelan-pelan saja.Malam sudah semakin larut, jalan raya pun sudah terlihat lengang."Bang Dewa, walaupun sikapnya kaku, tetapi tidak sombong kok Teh. Bertanggung jawab dan sayang dengan keluarga, apalagi sama ibu. Ratih sedari kecil belum pernah melihat Bang Dewa membantah apa yang diperintahkan ibu. Makanya tadi dia sangat marah, kan, saat melihat Bang Bisma berbicara keras sama ibu," jelas Ratih."Iya, Dek, terus terang saja, bikin takut Teteh tadi," jawab Zhalika, terus terang."Tidak menyang
Sudah lebih dari satu jam, Sadewa merebahkan tubuhnya di kasur empuk dipan tempat tidurnya yang besar, tetapi tidak bisa juga dicapai. Wajah gadis yang dianggapnya sok jual mahal itu terasa begitu melekat dipikirannya. Dan ini pertama kali bagi Sadewa, we have the women that even to be knownya.Bukan hanya soal kecantikan wajah yang membuat Sadewa tertarik, karena di dunia yang dijalaninya saat ini, setiap waktu, setiap saat, wanita-wanita cantik berbadan bagus banyak yang berusaha untuk mendekatinya, tetapi tidak ada yang bisa menyampaikannya kepada gadis-gadis tersebut, dan itu ternyata tidak berlaku bagi Zhalika.
Klinik tempat Daisah memeriksakan kehamilannya tidak terlalu banyak pasien yang berobat, sehingga tidak terlalu lama di sana, mungkin hanya sekitar 30 menit. Setelah membelikan Bisma jajanan makanan kecil, Daisah pun kembali menaiki ojek yang sama dengan saat dia berangkat tadi, Mang Burhan, tukang ojek yang memang biasa mangkal tidak jauh dari pintu masuk perumahan mereka tinggal. Jalan raya menuju ke arah arah rumahnya memang tidak terlalu bagus, masih banyak terdapat lubang-lubang di kanan kiri jalan, bahkan juga banyak terdapat retakan aspal.Kurang lebih 300 meter lagi Daisah sampai ke depa
4 hari sudah, Abimanyu tidak diketahui keberadaannya. Daisah yang hidup merantau jauh dari orang tua, kesana kemari mencari keberadaan suaminya dengan mengajak kedua anaknya yang masih belia.Ke kantor jurnalis lokal tempat suaminya bekerja, bahkan sudah membuat pengaduan ke pihak yang berwenang, tetapi belum juga ada hasilnya. Keberadaan suaminya tetap belum ditemukan.Di hari ke lima, dua orang petugas kepolisian datang menjemputnya. Membawa Daisah dan kedua anaknya ke sebuah rumah sakit pemerintah, mereka langsung menuju ruang penyimpanan mayat."Kami ingin Mbak Daisah mengenali, apakah ciri-ciri mayat yang kami temukan di semak-semak dalam jurang dekat sungai, adalah jasad suami Mbak," ucap salah seorang petugas, dan Daisah meng'iyakan.Sadewa dan Bisma diminta menunggu di luar ruang penyimpanan mayat, hanya Daisah yang dipersil
Kampung Pejagalan, nama tempat tinggal Daisah dan anak-anaknya sekarang. Terletak di daerah perbatasan antara utara dan barat Jakarta, daerah padat penduduk, tidak jauh dari sentra dagang pecinaan, stasiun kereta, dan pasar induk buah dan sayuran.Sebuah perkampungan masyarakat kecil dengan berbagai macam etnis. Pemukiman padat yang tidak pernah mati. 24 jam aktivitas penduduk terus bergerak tidak pernah berhenti. Jika pagi hingga petang pergerakan penduduk banyak berpusat di pasar dan stasiun, sementara jika senja menjelang pagi, kesibukan banyak berpusat di tempat-tempat hiburan malam, dengan banyak wanita penghibur kelas menengah bawah dan atas.Yah, kampung ini adalah cerminan surga dunia. Segala aktivitas yang yang dilarang agama, semua ada dan banyak peminatnya. Dari perjudian, minuman keras, narkoba, bahkan prostitusi, dikarenakan perempuan-perempuan yang bekerja di tempat hiburan malam, bany
Pletakk ....!!"Auuwww ....!!"Batu koral sebesar biji kelereng menghantam keras kening si botak hingga berteriak kesakitan. Pisau lipat yang hendak dipakai untuk menusuk Sadewa terlepas dalam genggamannya. Saking kencangnya batu yang mengenai kepalanya, si botak itu sampai terduduk di tanah dengan terus mengusap-usap keningnya sembari meringis kesakitan.Semua mata menoleh ke arah si pelempar batu, seorang pria paruh baya dengan tatapan tajam berdiri sekitar jarak tujuh meter, sembari berjalan mendekat. Wajahnya terlihat tenang.Sadewa pun melihat ke arah pria paruh baya tersebut, dan Sadewa tidak mengenalnya, melihat wajahnya pun hanya baru kali ini.Si botak yang masih merasa kesakitan, kembali melampiaskan amarahnya kepada sosok pria paruh baya itu."Ban*s
Suara mobil dan motor terdengar di pagi hari ini selepas Sholat Subuh. Zhalika masih saja melantunkan bacaan ayat kitab suci Al-Qur'an, sebuah rutinitas pasti jikalau tidak sedang datang bulan. Dan Zhalika baru saja menyelesaikan bacaannya. Menutup kitab suci, dan meletakkannya di atas pangkuan, lalu terdiam mengingat kejadian semalam di rumah Hajah Daisah. Semalam, sepulang dari rumah Sadewa. Zhalika langsung terlelap, karena memang terbiasa tidur tidak terlalu malam, selepas Salat Isya pun Zhalika biasanya langsung tidur.Semalam, jam setengah empat Zhalika sudah me
"Mungkin sebagian untuk membeli perlengkapan buat sang mayit, Buk," jawab Zhalika, walaupun sebenarnya tidak akan habis seperempatnya dari jumlah uang yang diberikan tersebut."Tidaklah Ustazah, uang itu khusus buat biaya memandikan dan mengkafaninya saja, sedangkan perlengkapan kebutuhan mayit, macam kain kafan dan lain-lain, tetap dari keluarga si mayit," jelas Bu Deden. Zhalika terdiam."Maaf ya Ustazah jika saya lancang bertanya, tarif Ustazah berapa untuk memandikan dan mengkafani orang yang meninggal?" tanya Bu Heni, dan sem
"SAYA HANYA INGIN NYAWAMU!" geram Sadewa. Api berkobar di dalam matanya yang tajam. Gamal terdiam, saat mendengar jika Sadewa menginginkan kematiannya. Sedikit pun, tidak ada rasa ketakutan yang terlihat pada wajahnya. Masih terlihat tenang. "Apa yang kamu dapat setelah berhasil membunuhku." "Dendam. Dendam saya terbayarkan. Perbuatanmu sudah merusak masa kecil saya, menghancurkan kehidupan keluarga saya. Hanya dengan membunuhmu, maka semua terbayarkan lunas." Gamal masih melihat ke arah Sadewa, lalu mengambil sebungkus rokok miliknya di atas meja. Membakarnya dan mengembuskannya secara perlahan, sambil bersandar di bangkunya. Benar-benar terlihat tenang sekali. "Jika kau berhasil membunuhku, apa akan membuat ayahmu hidup kembali?" Sadewa terpaku, matanya masih menatap Gamal dengan penuh kebencian. "Sudah siap kau hidup di penjara? Menghancurkan hidup dan masa depanmu?" Sadewa masih terdiam. Di dalam hatinya masih tersimpan bara dendam. "Tanpa kau bunuh pun, nanti aku akan mat
"Sudah Ri, ini urusan pribadi gue. Tugas lu memastikan kepada Gamal, jika gue pasti datang. Sekarang lebih baik lu pergi dulu.""Gue boleh tahu 'kan urusan pribadi antara lu dengan musuh bebuyutan kita." Sadewa menatap Fahri tajam, raut wajahnya tergambar jelas jika Sadewa tidak suka dengan keingintahuan Fahri tentang masalahnya."Baik, Wa," jawab Fahri pasrah, dia sangat tahu jika Sadewa sudah memiliki keinginan, maka tidak ada yang bisa melarang. "Nanti gue kabari, jika lu ingin bertemu Gamal malam ini juga." Fahri langsung berdiri, dan meninggalkan kamar Sadewa.Selepas Isya, Sadewa mulai meninggalkan kediamannya, sendiri, tanpa pengawalan. Lewat WA, Fahri mengabarkan jika Gamal akan menemuinya di tempat yang sudah disepakati. Sadewa ingin jika masalah antara dirinya dan ayah dari Zhalika harus segera diselesaikan. Dia sudah tidak berpikir lagi tentang keselamatannya, yang terpenting dendamnya harus terbalaskan, meski taruhannya nyawa.Hati dan pikirannya sedang bimbang, antara ci
Mungkin hampir sejam, Gojali, panggilan premannya Gamal, kepala geng Serigala Api yang terkenal kejam, terdiam berzikir dan bertafakur di dalam masjid. Dua orang anak buahnya yang menemani hanya memperhatikannya dari jarak jauh, hanya mengawasi jika ada yang mengganggu. Kesan heran terlihat pada mimik wajah mereka berdua, atas sikap bos besar yang di luar kebiasaannya.Gamal berjalan pelan keluar dari masjid, dan kedua anak buahnya segera menghampiri."Abang jadi ke rumah putri Abang lagi?" tanya seorang dari mereka. Gamal menoleh, lalu terdiam. Wajahnya terlihat tenang, mungkin sedang berpikir."Tidak usah, kita kembali saja ke rumah," ajak Gamal, sembari berjalan menuju kendaraannya. Dan mobil mereka mulai meninggalkan halaman masjid."Adul!" panggil Gamal kepada salah seorang anak buahnya yang duduk di depan."Iya, Bang.""Buat pertemuan dengan Sadewa. Bilang padanya, jika saya ingin bertemu secara pribadi, dan tidak ada urusannya dengan bisnis dan kekuasaan.""Baik Bang, akan saya
Belum begitu lama, Zhalika dan Sadewa ijin pamit dari rumah Gojali. Dua orang anak buahnya, yang terus saja memperhatikan mereka berdua dari jarak jauh mulai mendekati bos mereka, dan kemudian meminta izin untuk bicara dengan atasannya tersebut."Nanti saja, gue mau mandi dulu," jawab Gojali, langsung menuju ke kamarnya, dan kedua pengawalnya tersebut tidak berani membantah, langsung kembali ke depan teras rumah.Satu jam setelah Gojali selesai mandi dan makan, dengan menggunakan baju santai, kepala preman tersebut kemudian menemui kedua orang kedua orang anak buahnya dan langsung duduk di bangku kayu teras rumah, diikuti oleh kedua orang anak buahnya. Tidak beberapa lama, seorang pelayan datang membawakan segelas kopi hitam dan meletakkannya di atas meja, tepat di depan Gojali. Lalu pelayan tersebut segera undur diri.Gojali menyalahkan rokok miliknya, setelah sebelumnya menghirup kopi yang sudah disediakan pelayannya tadi. Sementara kedua pengawalnya hanya diam memperhatikan."Kalia
"Mas Dewa jahat! Tidak punya hati!" teriak Ratih, sembari berdiri dari sofa. Merasa kecewa dengan keputusan sepihak yang diambil Sadewa. Zhalika menangis dalam diam, terjerat rasa penasaran, mengapa Sadewa tiba-tiba berubah pikiran."Ceritakan apa yang terjadi, Mas? Ibu dan Mbak Zhalika berhak tahu, mengapa Mas Sadewa bisa memutuskan sesuatu yang membuat sakit hati Ibu, Ratih, dan Mbak Zhalika?" tanya Bisma tenang, dan ketiga perempuan lain masih menangis. Sadewa diam membeku.Zhalika yang sedari awal diam saja, mulai mencoba bicara."Saya akan mengikuti apapun keputusan Mas Dewa, jika memang ini yang terbaik menurut, Mas. Tetapi saya berhak tahu salah saya, sehingga Mas Dewa membatalkan rencana pernikahan kita?" tanya Zhalika pelan, tersenyum tipis sambil mengusap pipinya yang basah dengan air mata. Dan Sadewa masih terdiam."Jika kamu masih menganggap aku adalah ibumu, katakan apa yang sudah terjadi Sadewa!" teriak Daisah, berdiri dari tempat duduknya. Terlihat emosi ibu Hajah terse
"Sekarang kita makan bersama dulu," ajak Gamal, kepada Zhalika dan Sadewa, tetapi Sadewa berucap cepat, walaupun suaranya bergetar."Tidak usah Pak, terima kasih, sebelum kemari kami makan dulu tadi. Dan lagi pula, masih ada keperluan yang harus kami selesaikan," jawab Sadewa. Zhalika diam saja, tidak memprotes keputusan calon suaminya itu. Sementara Gamal menatap wajah Sadewa lekat."Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Gamal, seperti mengingat-ingat. Sadewa diam saja, tidak menjawab. Kembali mengepal tangannya keras, sampai bergetar, karena menahan amarahnya agar jangan sampai meluap."Mungkin Bapak salah orang," jawab Sadewa, sembari mengangguk kepada Zhalika, untuk segera pergi meninggalkan rumah ini, dan Zhalika mengerti maksud dari Sadewa. Lalu mereka pun segera berdiri dari tempat duduknya, diikuti oleh Gamal dan Claudia."Saya pamit pulang dahulu, Pak. Mungkin dalam waktu tiga minggu ke depan, acara pernikahan kami akan dilaksanakan," ujar Zhalika, lalu berdiri, dan m
Tangannya mengepal keras, rahangnya bergemeletak menahan amarah, suhu tubuhnya terasa panas. Tapi sesaat Sadewa tersadar, jika waktu membalaskan dendam tidaklah tepat, dan sepertinya Gamal pun sudah tidak mengenalinya. Perlahan mengatur nafasnya, keberadaan Zhalika bersamanya, membuat dia berpikir ulang untuk membalaskan dendamnya.Tangannya yang tadi mengepal kencang, perlahan dia lepaskan. Hatinya merasa sakit, dan semakin sakit, saat tahu wanita yang dicintainya dan juga yang sudah memilihnya ternyata putri dari seorang pembunuh ayahnya. Orang yang selama ini sudah merenggut kebahagiaan masa kecilnya, orang yang membuat Sadewa dan adik-adiknya menjadi yatim, orang yang ingin dia habisi, agar dendamnya terbalaskan. Sadewa saat ini merasa ada di dalam persimpangan."Zha-Zhalika." Bergetar suara Gojali, saat menyebut nama putrinya sendiri. Air bening sudah mengalir di pipi gadis muda yang solehah tersebut. Zhalika benar-benar tidak menyangka, jika ayahnya ternyata masih ada. Kerinduan
"Bagaimana jika Ayah tidak mau mengakui saya, Mas?" tanya Zhalika ragu-ragu, paras wajahnya terlihat cemas."Jangan berprasangka buruk dulu, Zha? Lebih baik kita temui ayahmu dulu," jawab Sadewa, mencoba menenangkan hati calon istrinya tersebut. Zhalika memejamkan matanya, mengirup napas dan menghembuskan perlahan."Bismillah," ucap Zhalika, lalu mulai membuka pintu mobil, untuk turun. Sadewa pun segera turun dari mobil, dan langsung mendekati Zhalika, mensejajari langkah masuk ke halaman rumah yang mereka tuju.Sadewa memencet bel rumah, sementara Zhalika memandangi sekeliling rumah. Suasananya terlihat sepi dan lengang, tidak ditemukan aktivitas apapun di sekitar rumah, yang terlihat hanya rumah-rumah megah dengan taman-taman yang terawat.Tidak beberapa lama, pintu rumah mulai dibuka dari dalam. Seorang wanita usia sekitar 40 tahunan yang keluar menyambut, sepertinya salah satu pekerja di rumah ini."Assalamualaikum, Bu" Zhalika mengucapkan salam, yang langsung dijawab salam juga o
"Ibu dan ayahmu sama-sama berasal dari panti asuhan ini, Ka. Nasib kami sama, dibuang oleh orang tua kami sedari kecil. Kemudian kami berdua diserahkan kepada Ibu Cicie, pendiri panti ini." Terdiam Ibu Asih, sebelum akhirnya melanjutkan."Setelah remaja, ibu memutuskan untuk mengabdi di panti ini, sambil menemani dan membantu Ibu Cicie yang sudah menua. Sementara ayahmu memutuskan untuk pergi, entah kemana, Ibu sendiri tidak tahu."Zhalika mendengarkan penjelasan Bu Asih dengan sangat serius, dia sangat ingin tahu tentang kisah hidupnya."Ayahmu Berniat untuk menitipkan kamu di sini. Saat itu, Ibu sudah memegang panti asuhan ini, karena Bu Cicie sudah berpulang."Saat ibu bertanya, kemana Ibumu saat itu, Ayahmu hanya bercerita, jika Ibumu meninggal dunia karena sakit demam berdarah. "Ayahmu memohon-mohon pada ibu agar mau merawatmu. Sebagai lelaki dia merasa tidak sanggup mengurusimu di usia yang masih balita." Kembali Bu Asih terdiam."Setiap bulan ayahmu selalu membantu segala kebu