Share

7. Kisah Kelam Di Masa Kecil

Penulis: Pena Asmara
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Sudah lebih dari satu jam, Sadewa merebahkan tubuhnya di kasur empuk dipan tempat tidurnya yang besar, tetapi tidak bisa juga dicapai. Wajah gadis yang dianggapnya sok jual mahal itu terasa begitu melekat dipikirannya. Dan ini pertama kali bagi Sadewa, we have the women that even to be knownya.

 

Bukan hanya soal kecantikan wajah yang membuat Sadewa tertarik, karena di dunia yang dijalaninya saat ini, setiap waktu, setiap saat, wanita-wanita cantik berbadan bagus banyak yang berusaha untuk mendekatinya, tetapi tidak ada yang bisa menyampaikannya kepada gadis-gadis tersebut, dan itu ternyata tidak berlaku bagi Zhalika.

 

Pembawaannya yang santun dan lembut, itu terbalik dengan wanita-wanita yang selama ini berupaya untuk mendekatinya, agresif dan berani, bahkan sampai ada yang tidak punya malu. 

 

Satu hal yang paling mengganggu pikirannya, mengungkapkan dan kepasrahan diri Zhalika kepada sang Pencipta, membuat perbedaan, bahwa wanita yang ingin dijodohkan dengan ibu itu, memang wanita yang terbaik dan spesial, dan semua orang pasti ingin mendapatkan yang terbaik, spesial.

 

Sadewa bangun dari tempat tidurnya, terasa lelah juga dirinya hanya berganti-ganti posisi tidur, tetapi tidak juga bisa terlelap.

 

Sadewa menuju ke lemari pendingin, dan langsung mengambil sebotol air mineral, serta ikut serta dalam ruangan kerja yang menyatu dengan kamar tidur pribadinya. Terduduk di kursi, sembari meletakkan botol sisa air mineral yang baru diminumnya tadi di atas meja kerja yang terbuat dari kayu jati.

 

Tanpa ayah, olahraga melihat ke arah sebuah bingkai kecil berisi foto tua dirinya bersama tercinta, Abimanyu Prakasa, saat sedang berlari di lapangan Senayan Jakarta. Diambilnya foto tersebut, ditatapnya lekat, perlahan pandangannya mulai terasa samar, bulir bening yang menahan banyak pandangannya, sembari berucap pelan sekali.

 

'Sadewa, rindu sama ayah' keluh batinnya, dan bayang kelam peristiwa 22 tahun yang lalu, seperti tergambar jelas di dalam otaknya.

 

Perumahan bertipe kecil di daerah penyangga Ibukota Jakarta itu yang Abimanyu pilih untuk tempat tinggal istri dan kedua anaknya, Sadewa tujuh tahun, dan Bisma tiga tahun, sambil menunggu anak ketiga usia kehamilan Daisah tiga bulan. 

 

Sudah setahun ini mereka tinggal di sana, dengan lingkungan yang masih terbilang sepi, karena akses jalan yang belum terlalu baik jika ingin ke perumahan Palem Griya tersebut.

 

Sakit hari, di saat hanya ada Daisah, Sadewa, dan Bisma di rumah. Sementara, Abimanyu masih belum pulang dari tempatnya bekerja. Daisah mendekati kedua anaknya yang sedang bermain di ruang tamu. , Ibu dari dua orang putra ini hendak pergi, karena sudah terlihat berpakaian rapih.

 

"Dewa ... ibu mau periksa dede bayi ke klinik, Bisma ibu ajak, dan kamu jaga rumah yah, tidak muaturun jika harus naik ojek bertiga, panggang sama Dede bayinya."

 

"Iya Buk, biar Sadewa di rumah saja."

 

"Sadewa berani, kan?"

 

"Berani dong, Buk ... Sadewa, kan sudah besar," jawab Sadewa, bangun dari lantai, sembari mengangkat kedua lengannya, seperti hendak menunjukkan otot-otot tangan. Daisah tertawa, sambil mengusap usap lembut rambut putra sulungnya itu.

 

"Anak ibu memang sudah dan pemberani," puji Daisah besar pada mereka tersebut.

 

"Kalau begitu, ibu pergi dulu ya, Nak."

 

"Iya, ibu ...," jawab Sadewa, sambil mengikuti di belakang Daisah yang menuntun Bisma menuju pintu keluar rumah.

 

"Tutup pintunya ya, Nak," ucap Daisah pada Sadewa.

 

"Iya, Bun." Sadewa langsung menutup pintu rumah, sementara Daisah dan Bisma berjalan ke luar perumahan untuk mencari ojek yang akan mengantar mereka ke klinik kehamilan, dan Sadewa kembali melanjutkan permainan di ruang tamu.

 

Selang lima belas menit, suara motor yang biasa dipakai Abimanyu terdengar oleh Sadewa yang langsung merasakan kehadiran kehadirannya, dan langsung bangun untuk membuka pintu, sembari berteriak senang.

 

"Ayah pulang....!!"

 

Saat pintu terbuka, sang ayah langsung menerobos masuk dan wajahnya terlihat sangatjo dan panik, dan langsung berngkok di depan Sadewa.

 

"Ibu dan adik Bisma di mana, Kak," ucap Abimanyu cepat kepada putra sulungnya, menengok ke arah luar rumah, ada jaringan tamu di wajahnya.

 

"I-ibu ke bidan Ayah," jawab Sadewa. Abimanyu kemudia menuntun Sadewa tepat saat sebuah mobil Jeep masuk halaman rumah mereka.

 

Abimanyu lantas membuka laci bufet paling bawah yang berada di ruang tamu, kembali berjongkok. Wajahnya Abimanyu semakin terlihat panik.

 

"Ingat Sadewa, apa pun yang terjadi, sampai keluar dari bufet ini. Ingat pesan ayah," ucap cepat Abimanyu, jangan lupa mengungkapkan lekat ke wajah sang putra. Sadewa mengangguk, dengan cepat Abimanyu mendukung tubuht itu masuk ke dalam bufe kayu tersebut.

 

"Brakkk....!!" Pintu rumah di dobrak dari luar, Abimanyu melangkah mendekati pintu, untuk sedikit bufet tempat Sadewa baru, yang masih ada sedikit cela untuk Sadewa bisa mengintip.

 

Lima orang bertampang sangar kemudian masuk ke rumah, dan langsung menghampiri Abimanyu, dan salah satu dari mereka, yang menindaklanjuti dari orang-orang tersebut membentak keras.

 

"Mana bukti-bukti foto yang kamu ambil! Serahkan sini!" bentaknya keras. Tangannya menarik baju kemeja yang dikenakan Abimanyu di bagian leher, sehingga wajah Abimanyu berhadap-hadapan dengan wajah Gamal.

 

"Foto apa Gamal? Aku tidak memphoto apa pun," elak Abimanyu.

 

"Banyak bacot!" Sebuah pukulan telak mendarat di ulu hati Abimanyu, sehingga jatuh tertunduk, sambil memegangi perutnya, dan Sadewa menutup mulut, menahan untuk tidak berteriak. Mata kecilnya terus saja mengintip dari sedikit celah yang terbuka.

 

"Kita habisi saja di sini Bang Gamal, dari pada jadi penyakit," ucap salah satu anak buah Gamal.

 

"Iya Bang. Jika dibiarkan bisa bahaya buat kita semua." Seorang yang berkepala botak ikut bersuara.

 

"Buukkk....!" Sebuah pukulan kembali mendarat ke arah kepala Abimanyu, hingga membuat tubuh itu terpelanting keras menghantam lantai. Sadewa berusaha berusaha mungkin untuk tidak berteriak, matanya sudah berlinang air mata, dalam rasa ketakutan yang mencekam.

 

"Jangan dihabisi di sini, terlalu berbahaya. Bawa dia, dan bakar saja motornya. Siapa tahu dia menyimpan bukti-bukti tersebut dalam motornya."

 

"Baik, Bang." Kedua orang anak buah Gamal, mengangkat dan meringkus Abimanyu yang sudah terpasang tidak berdaya, dan masukannya keluar, lalu masuk ke dalam mobil yang mereka bawa.

 

Salah seorang anak buah Gamal lantas menyiramkan bensin ke motor, dan lalu menyalakannya. Kobaran api langsung membesar, dan melalap habis motor milik Abimanyu. 

 

Lingkungan perumahan yang memang masih terlihat sepi dan sedikit penghuninya, membuat kobaran api tersebut semakin membesar. Entah tidak terlihat warga penghuni yang lain atau hanya menganggap pembakaran sampah seperti biasa, mengingat sesuatu di komplek perumahan ini adalah suatu hal yang sering dilakukan, di karenakan masih banyak terdapat rumput alang-alang yang tumbuh di tanah-tanah kosong, atau rumah-rumah kosong yang belum terjual dan menjadi tidak terurus.

 

"Takut-takut dan dengan tubuh yang gemetaran, Sadewa masih-pelan keluar dari tempat persembunyiannya. Wajahnya terlihat sekali, melihat pelan, menyaksikan pengalaman yang dialami oleh ayahnya.

 

Dengan langkah tertatih, Sadewa mulai mendekati pintu rumah, saat tiba-tiba sebuah ledakan hebat terdengar sangat keras, akibat dari motor ayahnya yang dibakar para penyiksa dan sekarang menculik ayah.

 

Tubuh Sadewa yang kecil dan ringkih sempat terpental karena efek kerasnya ledakan yang ditimbulkan, dari terbakarnya tangki bensin.

Kepalanya membentur ujung meja ruang tamu, lalu semua terasa gelap.

 

"I-ibuu," pelannya perlahan, tergeletak di lantai, mata berat dan seluruh tubuh terasa sakit sekali. Lalu semuanya terlihat gelap, dan Sadewa tidak bisa melihat dan mengingat apa-apa lagi.

Bab terkait

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   8. Gamal Si Kepala Gengster

    Klinik tempat Daisah memeriksakan kehamilannya tidak terlalu banyak pasien yang berobat, sehingga tidak terlalu lama di sana, mungkin hanya sekitar 30 menit. Setelah membelikan Bisma jajanan makanan kecil, Daisah pun kembali menaiki ojek yang sama dengan saat dia berangkat tadi, Mang Burhan, tukang ojek yang memang biasa mangkal tidak jauh dari pintu masuk perumahan mereka tinggal. Jalan raya menuju ke arah arah rumahnya memang tidak terlalu bagus, masih banyak terdapat lubang-lubang di kanan kiri jalan, bahkan juga banyak terdapat retakan aspal.Kurang lebih 300 meter lagi Daisah sampai ke depa

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   9. Kekuatan Yang Melindungi Kejahatan

    4 hari sudah, Abimanyu tidak diketahui keberadaannya. Daisah yang hidup merantau jauh dari orang tua, kesana kemari mencari keberadaan suaminya dengan mengajak kedua anaknya yang masih belia.Ke kantor jurnalis lokal tempat suaminya bekerja, bahkan sudah membuat pengaduan ke pihak yang berwenang, tetapi belum juga ada hasilnya. Keberadaan suaminya tetap belum ditemukan.Di hari ke lima, dua orang petugas kepolisian datang menjemputnya. Membawa Daisah dan kedua anaknya ke sebuah rumah sakit pemerintah, mereka langsung menuju ruang penyimpanan mayat."Kami ingin Mbak Daisah mengenali, apakah ciri-ciri mayat yang kami temukan di semak-semak dalam jurang dekat sungai, adalah jasad suami Mbak," ucap salah seorang petugas, dan Daisah meng'iyakan.Sadewa dan Bisma diminta menunggu di luar ruang penyimpanan mayat, hanya Daisah yang dipersil

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   10. Kolong Fly-over

    Kampung Pejagalan, nama tempat tinggal Daisah dan anak-anaknya sekarang. Terletak di daerah perbatasan antara utara dan barat Jakarta, daerah padat penduduk, tidak jauh dari sentra dagang pecinaan, stasiun kereta, dan pasar induk buah dan sayuran.Sebuah perkampungan masyarakat kecil dengan berbagai macam etnis. Pemukiman padat yang tidak pernah mati. 24 jam aktivitas penduduk terus bergerak tidak pernah berhenti. Jika pagi hingga petang pergerakan penduduk banyak berpusat di pasar dan stasiun, sementara jika senja menjelang pagi, kesibukan banyak berpusat di tempat-tempat hiburan malam, dengan banyak wanita penghibur kelas menengah bawah dan atas.Yah, kampung ini adalah cerminan surga dunia. Segala aktivitas yang yang dilarang agama, semua ada dan banyak peminatnya. Dari perjudian, minuman keras, narkoba, bahkan prostitusi, dikarenakan perempuan-perempuan yang bekerja di tempat hiburan malam, bany

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   11. Preman Tua

    Pletakk ....!!"Auuwww ....!!"Batu koral sebesar biji kelereng menghantam keras kening si botak hingga berteriak kesakitan. Pisau lipat yang hendak dipakai untuk menusuk Sadewa terlepas dalam genggamannya. Saking kencangnya batu yang mengenai kepalanya, si botak itu sampai terduduk di tanah dengan terus mengusap-usap keningnya sembari meringis kesakitan.Semua mata menoleh ke arah si pelempar batu, seorang pria paruh baya dengan tatapan tajam berdiri sekitar jarak tujuh meter, sembari berjalan mendekat. Wajahnya terlihat tenang.Sadewa pun melihat ke arah pria paruh baya tersebut, dan Sadewa tidak mengenalnya, melihat wajahnya pun hanya baru kali ini.Si botak yang masih merasa kesakitan, kembali melampiaskan amarahnya kepada sosok pria paruh baya itu."Ban*s

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   12. Bisnis Kematian

    Suara mobil dan motor terdengar di pagi hari ini selepas Sholat Subuh. Zhalika masih saja melantunkan bacaan ayat kitab suci Al-Qur'an, sebuah rutinitas pasti jikalau tidak sedang datang bulan. Dan Zhalika baru saja menyelesaikan bacaannya. Menutup kitab suci, dan meletakkannya di atas pangkuan, lalu terdiam mengingat kejadian semalam di rumah Hajah Daisah. Semalam, sepulang dari rumah Sadewa. Zhalika langsung terlelap, karena memang terbiasa tidur tidak terlalu malam, selepas Salat Isya pun Zhalika biasanya langsung tidur.Semalam, jam setengah empat Zhalika sudah me

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   13. Amplop Yang Dikembalikan

    "Mungkin sebagian untuk membeli perlengkapan buat sang mayit, Buk," jawab Zhalika, walaupun sebenarnya tidak akan habis seperempatnya dari jumlah uang yang diberikan tersebut."Tidaklah Ustazah, uang itu khusus buat biaya memandikan dan mengkafaninya saja, sedangkan perlengkapan kebutuhan mayit, macam kain kafan dan lain-lain, tetap dari keluarga si mayit," jelas Bu Deden. Zhalika terdiam."Maaf ya Ustazah jika saya lancang bertanya, tarif Ustazah berapa untuk memandikan dan mengkafani orang yang meninggal?" tanya Bu Heni, dan sem

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   14. Rezeki Pengganti

    Ceu Entin langsung berdiri dan memeluk Zhalika yang masih terduduk di tempatnya, bahkan ingin berlutut di kaki ustazah muda tersebut, tetapi Zhalika cepat-cepat mencegahnya."Tidak boleh seperti itu Ceu, berterima kasih dan bersujud-lah kepada Allah. Sekali lagi, saya hanya perantaranya saja.""Saya benar-benar mengucapkan terima kasih ya, Ustazah, satu beban sudah terlepas dari pundak saya. Sedih rasanya, jika untuk memandikan jenazah ibu pun, saya harus berhutang." Tangisnya tak jua berhenti.Ibu Hajah Rosna pun ikut berlinang air mata, tersenyum penuh arti, menyaksikan adegan mengharukan di depan matanya. Seorang wanita muda dengan segala keterbatasannya, mau membantu walaupun dirinya sendiri kekurangan.Zhalika segera mempersilahkan Ceu Entin untuk duduk kembali. Dia sendiri yang memasukkan uang yang dia berikan ke dalam amplop

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   15. Aku Bersedia Menunggu

    Baru saja Zhalika membalikkan badan hendak kembali masuk ke dalam rumah kost-nya, sebuah motor berhenti tepat di depan pagar. Motor sport, dengan pria bertopi hitam yang menungganginya.Zhalika yang merasa tidak mengenali siapa pengendara motor tersebut, langsung melangkah menuju pintu pagar, saat sebuah suara memanggil namanya.“Mbak Zhalika…!” Zhalika menghentikan langkahnya, kemudian menoleh ke arah pria tersebut, yang langsung membuka helm dan masker yang dipakainya.

Bab terbaru

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   34. Tamat

    "SAYA HANYA INGIN NYAWAMU!" geram Sadewa. Api berkobar di dalam matanya yang tajam. Gamal terdiam, saat mendengar jika Sadewa menginginkan kematiannya. Sedikit pun, tidak ada rasa ketakutan yang terlihat pada wajahnya. Masih terlihat tenang. "Apa yang kamu dapat setelah berhasil membunuhku." "Dendam. Dendam saya terbayarkan. Perbuatanmu sudah merusak masa kecil saya, menghancurkan kehidupan keluarga saya. Hanya dengan membunuhmu, maka semua terbayarkan lunas." Gamal masih melihat ke arah Sadewa, lalu mengambil sebungkus rokok miliknya di atas meja. Membakarnya dan mengembuskannya secara perlahan, sambil bersandar di bangkunya. Benar-benar terlihat tenang sekali. "Jika kau berhasil membunuhku, apa akan membuat ayahmu hidup kembali?" Sadewa terpaku, matanya masih menatap Gamal dengan penuh kebencian. "Sudah siap kau hidup di penjara? Menghancurkan hidup dan masa depanmu?" Sadewa masih terdiam. Di dalam hatinya masih tersimpan bara dendam. "Tanpa kau bunuh pun, nanti aku akan mat

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   33. Dendam Yang Tak Pernah Padam

    "Sudah Ri, ini urusan pribadi gue. Tugas lu memastikan kepada Gamal, jika gue pasti datang. Sekarang lebih baik lu pergi dulu.""Gue boleh tahu 'kan urusan pribadi antara lu dengan musuh bebuyutan kita." Sadewa menatap Fahri tajam, raut wajahnya tergambar jelas jika Sadewa tidak suka dengan keingintahuan Fahri tentang masalahnya."Baik, Wa," jawab Fahri pasrah, dia sangat tahu jika Sadewa sudah memiliki keinginan, maka tidak ada yang bisa melarang. "Nanti gue kabari, jika lu ingin bertemu Gamal malam ini juga." Fahri langsung berdiri, dan meninggalkan kamar Sadewa.Selepas Isya, Sadewa mulai meninggalkan kediamannya, sendiri, tanpa pengawalan. Lewat WA, Fahri mengabarkan jika Gamal akan menemuinya di tempat yang sudah disepakati. Sadewa ingin jika masalah antara dirinya dan ayah dari Zhalika harus segera diselesaikan. Dia sudah tidak berpikir lagi tentang keselamatannya, yang terpenting dendamnya harus terbalaskan, meski taruhannya nyawa.Hati dan pikirannya sedang bimbang, antara ci

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   32. Musuh Dalam Selimut

    Mungkin hampir sejam, Gojali, panggilan premannya Gamal, kepala geng Serigala Api yang terkenal kejam, terdiam berzikir dan bertafakur di dalam masjid. Dua orang anak buahnya yang menemani hanya memperhatikannya dari jarak jauh, hanya mengawasi jika ada yang mengganggu. Kesan heran terlihat pada mimik wajah mereka berdua, atas sikap bos besar yang di luar kebiasaannya.Gamal berjalan pelan keluar dari masjid, dan kedua anak buahnya segera menghampiri."Abang jadi ke rumah putri Abang lagi?" tanya seorang dari mereka. Gamal menoleh, lalu terdiam. Wajahnya terlihat tenang, mungkin sedang berpikir."Tidak usah, kita kembali saja ke rumah," ajak Gamal, sembari berjalan menuju kendaraannya. Dan mobil mereka mulai meninggalkan halaman masjid."Adul!" panggil Gamal kepada salah seorang anak buahnya yang duduk di depan."Iya, Bang.""Buat pertemuan dengan Sadewa. Bilang padanya, jika saya ingin bertemu secara pribadi, dan tidak ada urusannya dengan bisnis dan kekuasaan.""Baik Bang, akan saya

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   31. Siapa Ayah Sebenarnya

    Belum begitu lama, Zhalika dan Sadewa ijin pamit dari rumah Gojali. Dua orang anak buahnya, yang terus saja memperhatikan mereka berdua dari jarak jauh mulai mendekati bos mereka, dan kemudian meminta izin untuk bicara dengan atasannya tersebut."Nanti saja, gue mau mandi dulu," jawab Gojali, langsung menuju ke kamarnya, dan kedua pengawalnya tersebut tidak berani membantah, langsung kembali ke depan teras rumah.Satu jam setelah Gojali selesai mandi dan makan, dengan menggunakan baju santai, kepala preman tersebut kemudian menemui kedua orang kedua orang anak buahnya dan langsung duduk di bangku kayu teras rumah, diikuti oleh kedua orang anak buahnya. Tidak beberapa lama, seorang pelayan datang membawakan segelas kopi hitam dan meletakkannya di atas meja, tepat di depan Gojali. Lalu pelayan tersebut segera undur diri.Gojali menyalahkan rokok miliknya, setelah sebelumnya menghirup kopi yang sudah disediakan pelayannya tadi. Sementara kedua pengawalnya hanya diam memperhatikan."Kalia

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   30. Kabar Mengejutkan

    "Mas Dewa jahat! Tidak punya hati!" teriak Ratih, sembari berdiri dari sofa. Merasa kecewa dengan keputusan sepihak yang diambil Sadewa. Zhalika menangis dalam diam, terjerat rasa penasaran, mengapa Sadewa tiba-tiba berubah pikiran."Ceritakan apa yang terjadi, Mas? Ibu dan Mbak Zhalika berhak tahu, mengapa Mas Sadewa bisa memutuskan sesuatu yang membuat sakit hati Ibu, Ratih, dan Mbak Zhalika?" tanya Bisma tenang, dan ketiga perempuan lain masih menangis. Sadewa diam membeku.Zhalika yang sedari awal diam saja, mulai mencoba bicara."Saya akan mengikuti apapun keputusan Mas Dewa, jika memang ini yang terbaik menurut, Mas. Tetapi saya berhak tahu salah saya, sehingga Mas Dewa membatalkan rencana pernikahan kita?" tanya Zhalika pelan, tersenyum tipis sambil mengusap pipinya yang basah dengan air mata. Dan Sadewa masih terdiam."Jika kamu masih menganggap aku adalah ibumu, katakan apa yang sudah terjadi Sadewa!" teriak Daisah, berdiri dari tempat duduknya. Terlihat emosi ibu Hajah terse

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   29. Menyakiti Hati Ibu

    "Sekarang kita makan bersama dulu," ajak Gamal, kepada Zhalika dan Sadewa, tetapi Sadewa berucap cepat, walaupun suaranya bergetar."Tidak usah Pak, terima kasih, sebelum kemari kami makan dulu tadi. Dan lagi pula, masih ada keperluan yang harus kami selesaikan," jawab Sadewa. Zhalika diam saja, tidak memprotes keputusan calon suaminya itu. Sementara Gamal menatap wajah Sadewa lekat."Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Gamal, seperti mengingat-ingat. Sadewa diam saja, tidak menjawab. Kembali mengepal tangannya keras, sampai bergetar, karena menahan amarahnya agar jangan sampai meluap."Mungkin Bapak salah orang," jawab Sadewa, sembari mengangguk kepada Zhalika, untuk segera pergi meninggalkan rumah ini, dan Zhalika mengerti maksud dari Sadewa. Lalu mereka pun segera berdiri dari tempat duduknya, diikuti oleh Gamal dan Claudia."Saya pamit pulang dahulu, Pak. Mungkin dalam waktu tiga minggu ke depan, acara pernikahan kami akan dilaksanakan," ujar Zhalika, lalu berdiri, dan m

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   28. Dendam Masa Lalu

    Tangannya mengepal keras, rahangnya bergemeletak menahan amarah, suhu tubuhnya terasa panas. Tapi sesaat Sadewa tersadar, jika waktu membalaskan dendam tidaklah tepat, dan sepertinya Gamal pun sudah tidak mengenalinya. Perlahan mengatur nafasnya, keberadaan Zhalika bersamanya, membuat dia berpikir ulang untuk membalaskan dendamnya.Tangannya yang tadi mengepal kencang, perlahan dia lepaskan. Hatinya merasa sakit, dan semakin sakit, saat tahu wanita yang dicintainya dan juga yang sudah memilihnya ternyata putri dari seorang pembunuh ayahnya. Orang yang selama ini sudah merenggut kebahagiaan masa kecilnya, orang yang membuat Sadewa dan adik-adiknya menjadi yatim, orang yang ingin dia habisi, agar dendamnya terbalaskan. Sadewa saat ini merasa ada di dalam persimpangan."Zha-Zhalika." Bergetar suara Gojali, saat menyebut nama putrinya sendiri. Air bening sudah mengalir di pipi gadis muda yang solehah tersebut. Zhalika benar-benar tidak menyangka, jika ayahnya ternyata masih ada. Kerinduan

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   27. Bertemu Ayah

    "Bagaimana jika Ayah tidak mau mengakui saya, Mas?" tanya Zhalika ragu-ragu, paras wajahnya terlihat cemas."Jangan berprasangka buruk dulu, Zha? Lebih baik kita temui ayahmu dulu," jawab Sadewa, mencoba menenangkan hati calon istrinya tersebut. Zhalika memejamkan matanya, mengirup napas dan menghembuskan perlahan."Bismillah," ucap Zhalika, lalu mulai membuka pintu mobil, untuk turun. Sadewa pun segera turun dari mobil, dan langsung mendekati Zhalika, mensejajari langkah masuk ke halaman rumah yang mereka tuju.Sadewa memencet bel rumah, sementara Zhalika memandangi sekeliling rumah. Suasananya terlihat sepi dan lengang, tidak ditemukan aktivitas apapun di sekitar rumah, yang terlihat hanya rumah-rumah megah dengan taman-taman yang terawat.Tidak beberapa lama, pintu rumah mulai dibuka dari dalam. Seorang wanita usia sekitar 40 tahunan yang keluar menyambut, sepertinya salah satu pekerja di rumah ini."Assalamualaikum, Bu" Zhalika mengucapkan salam, yang langsung dijawab salam juga o

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   26. Kisah Tentang Ayah

    "Ibu dan ayahmu sama-sama berasal dari panti asuhan ini, Ka. Nasib kami sama, dibuang oleh orang tua kami sedari kecil. Kemudian kami berdua diserahkan kepada Ibu Cicie, pendiri panti ini." Terdiam Ibu Asih, sebelum akhirnya melanjutkan."Setelah remaja, ibu memutuskan untuk mengabdi di panti ini, sambil menemani dan membantu Ibu Cicie yang sudah menua. Sementara ayahmu memutuskan untuk pergi, entah kemana, Ibu sendiri tidak tahu."Zhalika mendengarkan penjelasan Bu Asih dengan sangat serius, dia sangat ingin tahu tentang kisah hidupnya."Ayahmu Berniat untuk menitipkan kamu di sini. Saat itu, Ibu sudah memegang panti asuhan ini, karena Bu Cicie sudah berpulang."Saat ibu bertanya, kemana Ibumu saat itu, Ayahmu hanya bercerita, jika Ibumu meninggal dunia karena sakit demam berdarah. "Ayahmu memohon-mohon pada ibu agar mau merawatmu. Sebagai lelaki dia merasa tidak sanggup mengurusimu di usia yang masih balita." Kembali Bu Asih terdiam."Setiap bulan ayahmu selalu membantu segala kebu

DMCA.com Protection Status