Klinik tempat Daisah memeriksakan kehamilannya tidak terlalu banyak pasien yang berobat, sehingga tidak terlalu lama di sana, mungkin hanya sekitar 30 menit.
Setelah membelikan Bisma jajanan makanan kecil, Daisah pun kembali menaiki ojek yang sama dengan saat dia berangkat tadi, Mang Burhan, tukang ojek yang memang biasa mangkal tidak jauh dari pintu masuk perumahan mereka tinggal. Jalan raya menuju ke arah arah rumahnya memang tidak terlalu bagus, masih banyak terdapat lubang-lubang di kanan kiri jalan, bahkan juga banyak terdapat retakan aspal. Kurang lebih 300 meter lagi Daisah sampai ke depan komplek perumahan bertepatan dengan sebuah kendaraan jepp dari arah berlawanan dengan kecepatan yang lumayan tinggi untuk ukuran jalan hancur seperti ini. Menyetirnya terkesan ugal-ugalan, sampai Mang Burhan meminggirkan motornya karena ngeri saat mobil tersebut berjalan cepat di jalan yang berukuran kecil. "Dasar tidak punya otak...!" umpat Mang Burhan, saat mobil itu melintas di samping motor miliknya yang sengaja dia hentikan. Firasat Daisah menjadi terasa tidak enak. Dia merasa seperti akan ada peristiwa buruk yang akan menimpa keluarganya. "Astagfirullah aladzim". Beristigfar pelan Daisah, sambil mengusap-usap rambut anaknya Bisma. Ojek motor yang dia tumpangi memasuki gerbang perumahan yang Daisah tempati. Sudah terlihat oleh Daisah, asap berwarna hitam pekat dari arah jalan raya, yang sepertinya berasal dari komplek dia tinggal. Saat motor Mang Burhan akan berbelok menuju deretan blok rumahnya. "Duuaarrr....!!!" Ledakan hebat dari arah depan mereka. Mang Burhan yang terkaget, reflek mengerem motornya secara mendadak, hingga Daisah dan Bisma sampai terlonjak. “Ya Allah … apa itu, Mang?” "Tidak tahu Neng, tapi sepertinya tidak jauh dari rumah Eneng?" "Astagfirullah aladzim!! Anak saya ada di rumah sendiri, Mang. Cepetan Mang," ujar Daisah panik, dan Mang Burhan kembali menjalankan motor tuanya.Suara ledakan yang cukup kencang tersebut, membuat warga perumahan dan warga kampung di sekitarnya berhamburan, guna mencari tahu dari mana suara ledakan itu berasal. Terlihat asap yang masih mengepul adalah sebagai penandanya. sebagian besar orang-orang dewasa berlari mendekati yang ternyata tepat berada di depan rumah Daisah. Yang langsung berteriak melihat rongsokan sebuah motor masih terlihat terbakar, walaupun api sudah tidak terlalu besar lagi, tetapi asap hitam semakin mengepul tebal. Beberapa orang menahan Daisah untuk masuk ke rumah, karena dikhawatirkan akan terjadi ledakan susulan. "Anak saya Sadewa masih berada di dalam, Pak!" jerit Daisah, panik dan ketakutan. Tetapi warga melarangnya untuk masuk, karena malah akan mencelakakan Daisah. Bisma menangis kencang, memanggil-manggil Sadewa. Beberapa warga yang lain berinisiatif mencoba memadamkan api dengan menyiramkan air apa saja ke motor yang terbakar, dan untung saja, rumah yang Daisah tempati tidak ikut terbakar. Hanya rumput dan tanah sebagian terlihat menghitam. Daisah dengan ditemani oleh beberapa warga segera ke dalam rumah, dia benar-benar khawatir dengan keadaan Sadewa. Daisah berteriak saat mendapati Sadewa terkapar di lantai. Beberapa warga mencoba untuk membantu memadamkan, dan memastikan kepada Daisah jika putranya Sadewa hanya pingsan."Tenang, Mbak, tenang. Putra Mbak tidak apa-apa." Tetapi tetap saja sebagai seorang ibu, rasa khawatir terhadap kondisi putranya tetap ada. Keadaan mulai kembali normal. Beberapa warga pun sebagian sudah kembali ke rumahnya masing-masing. Sadewa yang dipindahkan ke atas tempat tidur Daisah, tidak beberapa lama mulai tersadar. Dan langsung mendekap dan memeluk ibunya erat, menangis dengan penuh ketakutan. "Bu! Ibu... Sadewa takut, Bu." jerit Sadewa, tubuhnya sampai bergetar hebat. "Kamu kenapa, Nak. Itu yang terbakar motor siapa? Ayah sudah pulang belum, Nak?" tanya Daisah bertubi-tubi, rasa penasaran menyelimuti hati dan pikirannya. Apa yang sedang terjadi terhadap keluarganya?"A-ayah dipukuli dan diculik orang, Bu," ucap Sadewa, sambil terus memeluk ibunya. Baju yang dikenakan Daisah sudah basah oleh air mata Sadewa, yang masih terlihat gemetar dan ketakutan. "Astagfirullah aladzim," ucap pelan Daisah, kaget mendengar penjelasan Sadewa. Tetapi Daisah belum paham benar, apa maksud dari putranya tersebut. "Diculik? Siapa yang nyulik?" "Sadewa tidak tahu Bu, tadi ada lima orang berwajah seram yang langsung masuk ke rumah kita. Menyiksa ayah. Terus ayah dibawa pergi sama orang-orang jahat itu," jelas Sadewa lagi, sambil mengusap air matanya. "Sadewa tidak sedang berbohong, kan?" selidiki Daisah pelan. Belum terlalu yakin dengan keterangan Sadewa, tetapi di sisi lain, putranya ini tidak pernah berbohong kepadanya."Demi Allah, Dewa nggak bohong, Bu." Sadewa masih dalam pelukan ibunya. Suara isaknya masih terdengar. "Yang dibakar itu motor ayah, Buk, orang-orang jahat itu yang bakar." "Astagfirullah aladzim ... suami hamba ada di mana ya Allah?" ucap pilu Daisah, merasakan kerisauan dan kekhawatiran akan nasib suaminya. 'Jaga dan lindungi suami hamba ya Allah' pelan berucap Daisah dalam rasa sedih dan khawatir. "Bu?" tanya Sadewa, seperti hendak memberi tahu sesuatu hal yang sedari tadi coba diingat-ingatnya. "Apa, Nak?" Daisah mendekatkan wajahnya kepada Sadewa. "Dewa masih ingat wajah orang-orang itu, Bu? Juga nama orang yang dipanggil abang oleh orang-orang jahat itu," jelas Sadewa, menatap polos ke wajah ibunya. "Siapa namanya,"Ga-Gamal, Buk ... Iya, ayah juga memanggil nama orang itu Gamal, lalu ayah dipukul hingga terjatuh," ucap Sadewa, mulai menangis kembali. "Sudah-sudah, jangan menangis sayang, insya Allah, Ayah tidak apa-apa." Hibur Daisah untuk Sadewa, walaupun itu juga harapan dalam hatinya. Daisah langsung teringat, jika pernah berkomunikasi dengan suaminya yang menceritakan bahwa suaminya itu sedang menyelidiki kasus peredaran narkoba yang banyak melibatkan orang-orang penting. Dan Abimanyu sangat ingin membongkar kasus itu. Pekerjaannya sebagai seorang Jurnalis yang meliput bidang kriminalitas membuat jiwanya tertantang untuk mengungkapkan semuanya menjadi berita di media massa tempat dia bekerja. "Hati-hati, Mas, waspada." Hanya itu yang Daisah sampaikan pada suaminya waktu itu. "Orang-orang jahat itu bilang, ayah akan dihabisi oleh mereka, makanya Ayah diculik untuk dihabisi. Dihabisi itu apa, Buk?" tanya Sadewa polos. "I-ibu tidak tahu, Nak. Doa'kan saja semoga tidak terjadi apa-apa terhadap ayahmu." Wajah Daisah benar-benar menggambarkan kekhawatiran tentang nasib suaminya. "Iya Bu. Dewa akan berdoa buat ayah." Daisah mengajak Sadewa untuk turun dari tempat tidur. Sementara beberapa orang masih di depan halaman rumah Daisah, mereka terlihat sibuk membicarakan tentang motor yang terbakar di depan rumah ini, padahal si pemilik motor tidak ada di rumah. Beberapa saat Daisah keluar rumah untuk menemui sebagian warga yang masih berkerumun tersebut. Di temani oleh Sadewa, sementara Bisma langsung tertidur sejak pulang dari klinik. "Mbak Isah, bagaimana motor ini bisa terbakar? Sedangkan Mas Abi tidak ada di rumah?"Iya, Mbak, sepertinya motor ini sengaja dibakar, bau bensin sekali," ucap salah satu dari warga. "Putra saya ini juga bilang jika motor ayahnya memang sengaja dibakar orang," jelas Daisah. "Astagfirullah ... jahat sekali para pelakunya."Berbagai ucapan kutukan kejahatan itu terdengar dari mulut warga, termasuk juga Pak Sofyan, kepala rukun tetangga perumahan ini.
"Suami saya pun ikut dibawa mereka, Pak," keluh Daisah di hadapan warga yang masih berkumpul. "Mereka itu siapa, Mbak Isah?" tanya Pak Sofyan lagi. "Sadewa bilang, Gamal dan anak buahnya. "Astagfirullah aladzim." Warga-warga itu berucap berbarengan."Kenapa, Pak?" tanya Daisah, yang memang tidak pernah mendengar nama Gamal.
"Mbak memang tidak tahu siapa, Gamal?" tanya Ilham, warga satu komplek hanya beda blok. Daisah menggeleng. "Gamal itu preman penguasa kota wilayah Barat Mbak, semacam mafia. Mafia yang memiliki banyak anak buah. Sepak terjangnya sudah sangat ditakuti, tetapi anehnya dia seperti tidak tersentuh hukum.""Ya, Allah ...," ucap pelan Daisah, semakin khawatir dengan keselamatan suaminya.4 hari sudah, Abimanyu tidak diketahui keberadaannya. Daisah yang hidup merantau jauh dari orang tua, kesana kemari mencari keberadaan suaminya dengan mengajak kedua anaknya yang masih belia.Ke kantor jurnalis lokal tempat suaminya bekerja, bahkan sudah membuat pengaduan ke pihak yang berwenang, tetapi belum juga ada hasilnya. Keberadaan suaminya tetap belum ditemukan.Di hari ke lima, dua orang petugas kepolisian datang menjemputnya. Membawa Daisah dan kedua anaknya ke sebuah rumah sakit pemerintah, mereka langsung menuju ruang penyimpanan mayat."Kami ingin Mbak Daisah mengenali, apakah ciri-ciri mayat yang kami temukan di semak-semak dalam jurang dekat sungai, adalah jasad suami Mbak," ucap salah seorang petugas, dan Daisah meng'iyakan.Sadewa dan Bisma diminta menunggu di luar ruang penyimpanan mayat, hanya Daisah yang dipersil
Kampung Pejagalan, nama tempat tinggal Daisah dan anak-anaknya sekarang. Terletak di daerah perbatasan antara utara dan barat Jakarta, daerah padat penduduk, tidak jauh dari sentra dagang pecinaan, stasiun kereta, dan pasar induk buah dan sayuran.Sebuah perkampungan masyarakat kecil dengan berbagai macam etnis. Pemukiman padat yang tidak pernah mati. 24 jam aktivitas penduduk terus bergerak tidak pernah berhenti. Jika pagi hingga petang pergerakan penduduk banyak berpusat di pasar dan stasiun, sementara jika senja menjelang pagi, kesibukan banyak berpusat di tempat-tempat hiburan malam, dengan banyak wanita penghibur kelas menengah bawah dan atas.Yah, kampung ini adalah cerminan surga dunia. Segala aktivitas yang yang dilarang agama, semua ada dan banyak peminatnya. Dari perjudian, minuman keras, narkoba, bahkan prostitusi, dikarenakan perempuan-perempuan yang bekerja di tempat hiburan malam, bany
Pletakk ....!!"Auuwww ....!!"Batu koral sebesar biji kelereng menghantam keras kening si botak hingga berteriak kesakitan. Pisau lipat yang hendak dipakai untuk menusuk Sadewa terlepas dalam genggamannya. Saking kencangnya batu yang mengenai kepalanya, si botak itu sampai terduduk di tanah dengan terus mengusap-usap keningnya sembari meringis kesakitan.Semua mata menoleh ke arah si pelempar batu, seorang pria paruh baya dengan tatapan tajam berdiri sekitar jarak tujuh meter, sembari berjalan mendekat. Wajahnya terlihat tenang.Sadewa pun melihat ke arah pria paruh baya tersebut, dan Sadewa tidak mengenalnya, melihat wajahnya pun hanya baru kali ini.Si botak yang masih merasa kesakitan, kembali melampiaskan amarahnya kepada sosok pria paruh baya itu."Ban*s
Suara mobil dan motor terdengar di pagi hari ini selepas Sholat Subuh. Zhalika masih saja melantunkan bacaan ayat kitab suci Al-Qur'an, sebuah rutinitas pasti jikalau tidak sedang datang bulan. Dan Zhalika baru saja menyelesaikan bacaannya. Menutup kitab suci, dan meletakkannya di atas pangkuan, lalu terdiam mengingat kejadian semalam di rumah Hajah Daisah. Semalam, sepulang dari rumah Sadewa. Zhalika langsung terlelap, karena memang terbiasa tidur tidak terlalu malam, selepas Salat Isya pun Zhalika biasanya langsung tidur.Semalam, jam setengah empat Zhalika sudah me
"Mungkin sebagian untuk membeli perlengkapan buat sang mayit, Buk," jawab Zhalika, walaupun sebenarnya tidak akan habis seperempatnya dari jumlah uang yang diberikan tersebut."Tidaklah Ustazah, uang itu khusus buat biaya memandikan dan mengkafaninya saja, sedangkan perlengkapan kebutuhan mayit, macam kain kafan dan lain-lain, tetap dari keluarga si mayit," jelas Bu Deden. Zhalika terdiam."Maaf ya Ustazah jika saya lancang bertanya, tarif Ustazah berapa untuk memandikan dan mengkafani orang yang meninggal?" tanya Bu Heni, dan sem
Ceu Entin langsung berdiri dan memeluk Zhalika yang masih terduduk di tempatnya, bahkan ingin berlutut di kaki ustazah muda tersebut, tetapi Zhalika cepat-cepat mencegahnya."Tidak boleh seperti itu Ceu, berterima kasih dan bersujud-lah kepada Allah. Sekali lagi, saya hanya perantaranya saja.""Saya benar-benar mengucapkan terima kasih ya, Ustazah, satu beban sudah terlepas dari pundak saya. Sedih rasanya, jika untuk memandikan jenazah ibu pun, saya harus berhutang." Tangisnya tak jua berhenti.Ibu Hajah Rosna pun ikut berlinang air mata, tersenyum penuh arti, menyaksikan adegan mengharukan di depan matanya. Seorang wanita muda dengan segala keterbatasannya, mau membantu walaupun dirinya sendiri kekurangan.Zhalika segera mempersilahkan Ceu Entin untuk duduk kembali. Dia sendiri yang memasukkan uang yang dia berikan ke dalam amplop
Baru saja Zhalika membalikkan badan hendak kembali masuk ke dalam rumah kost-nya, sebuah motor berhenti tepat di depan pagar. Motor sport, dengan pria bertopi hitam yang menungganginya.Zhalika yang merasa tidak mengenali siapa pengendara motor tersebut, langsung melangkah menuju pintu pagar, saat sebuah suara memanggil namanya.“Mbak Zhalika…!” Zhalika menghentikan langkahnya, kemudian menoleh ke arah pria tersebut, yang langsung membuka helm dan masker yang dipakainya.
Zhalika sudah berpakaian rapih, seperti jika dia pergi untuk mengajar mengaji. Yah, Zhalika memang berbeda dengan wanita yang sebaya dengannya, memiliki banyak pakaian bagus.Bukannya tidak ingin, tetapi untuk saat kemarin-kemarin itu, dia tidak punya kemampuan untuk membeli pakaian baru. Terkadang dia suka merasa malu jika sedang mengajar di majelis taklim, pakaiannya tidak jauh dari itu-itu saja. Mungkin hanya ada tiga potong pakaian, yang Zhalika anggap pantas dan masih terlihat layak untuk digunakan saat mengajar.Sekali lagi, Zhalika kembali mematut diri di depan cermin. Terdiam sesaat, menarik napas panjang. "Bismillah ...."Sebenarnya, Zhalika saja merasa aneh sendiri, kenapa dia begitu peduli dengan penampilannya sendiri siang ini, dan ingin terlihat pantas di depan Sadewa, padahal hanya ingin membeli kitab.Sadewa terlihat sedang duduk membelakangi pintu rumah, Zhalika merasa detak jantungnya semakin tak karuan. Berhenti sesaat sebelu
"SAYA HANYA INGIN NYAWAMU!" geram Sadewa. Api berkobar di dalam matanya yang tajam. Gamal terdiam, saat mendengar jika Sadewa menginginkan kematiannya. Sedikit pun, tidak ada rasa ketakutan yang terlihat pada wajahnya. Masih terlihat tenang. "Apa yang kamu dapat setelah berhasil membunuhku." "Dendam. Dendam saya terbayarkan. Perbuatanmu sudah merusak masa kecil saya, menghancurkan kehidupan keluarga saya. Hanya dengan membunuhmu, maka semua terbayarkan lunas." Gamal masih melihat ke arah Sadewa, lalu mengambil sebungkus rokok miliknya di atas meja. Membakarnya dan mengembuskannya secara perlahan, sambil bersandar di bangkunya. Benar-benar terlihat tenang sekali. "Jika kau berhasil membunuhku, apa akan membuat ayahmu hidup kembali?" Sadewa terpaku, matanya masih menatap Gamal dengan penuh kebencian. "Sudah siap kau hidup di penjara? Menghancurkan hidup dan masa depanmu?" Sadewa masih terdiam. Di dalam hatinya masih tersimpan bara dendam. "Tanpa kau bunuh pun, nanti aku akan mat
"Sudah Ri, ini urusan pribadi gue. Tugas lu memastikan kepada Gamal, jika gue pasti datang. Sekarang lebih baik lu pergi dulu.""Gue boleh tahu 'kan urusan pribadi antara lu dengan musuh bebuyutan kita." Sadewa menatap Fahri tajam, raut wajahnya tergambar jelas jika Sadewa tidak suka dengan keingintahuan Fahri tentang masalahnya."Baik, Wa," jawab Fahri pasrah, dia sangat tahu jika Sadewa sudah memiliki keinginan, maka tidak ada yang bisa melarang. "Nanti gue kabari, jika lu ingin bertemu Gamal malam ini juga." Fahri langsung berdiri, dan meninggalkan kamar Sadewa.Selepas Isya, Sadewa mulai meninggalkan kediamannya, sendiri, tanpa pengawalan. Lewat WA, Fahri mengabarkan jika Gamal akan menemuinya di tempat yang sudah disepakati. Sadewa ingin jika masalah antara dirinya dan ayah dari Zhalika harus segera diselesaikan. Dia sudah tidak berpikir lagi tentang keselamatannya, yang terpenting dendamnya harus terbalaskan, meski taruhannya nyawa.Hati dan pikirannya sedang bimbang, antara ci
Mungkin hampir sejam, Gojali, panggilan premannya Gamal, kepala geng Serigala Api yang terkenal kejam, terdiam berzikir dan bertafakur di dalam masjid. Dua orang anak buahnya yang menemani hanya memperhatikannya dari jarak jauh, hanya mengawasi jika ada yang mengganggu. Kesan heran terlihat pada mimik wajah mereka berdua, atas sikap bos besar yang di luar kebiasaannya.Gamal berjalan pelan keluar dari masjid, dan kedua anak buahnya segera menghampiri."Abang jadi ke rumah putri Abang lagi?" tanya seorang dari mereka. Gamal menoleh, lalu terdiam. Wajahnya terlihat tenang, mungkin sedang berpikir."Tidak usah, kita kembali saja ke rumah," ajak Gamal, sembari berjalan menuju kendaraannya. Dan mobil mereka mulai meninggalkan halaman masjid."Adul!" panggil Gamal kepada salah seorang anak buahnya yang duduk di depan."Iya, Bang.""Buat pertemuan dengan Sadewa. Bilang padanya, jika saya ingin bertemu secara pribadi, dan tidak ada urusannya dengan bisnis dan kekuasaan.""Baik Bang, akan saya
Belum begitu lama, Zhalika dan Sadewa ijin pamit dari rumah Gojali. Dua orang anak buahnya, yang terus saja memperhatikan mereka berdua dari jarak jauh mulai mendekati bos mereka, dan kemudian meminta izin untuk bicara dengan atasannya tersebut."Nanti saja, gue mau mandi dulu," jawab Gojali, langsung menuju ke kamarnya, dan kedua pengawalnya tersebut tidak berani membantah, langsung kembali ke depan teras rumah.Satu jam setelah Gojali selesai mandi dan makan, dengan menggunakan baju santai, kepala preman tersebut kemudian menemui kedua orang kedua orang anak buahnya dan langsung duduk di bangku kayu teras rumah, diikuti oleh kedua orang anak buahnya. Tidak beberapa lama, seorang pelayan datang membawakan segelas kopi hitam dan meletakkannya di atas meja, tepat di depan Gojali. Lalu pelayan tersebut segera undur diri.Gojali menyalahkan rokok miliknya, setelah sebelumnya menghirup kopi yang sudah disediakan pelayannya tadi. Sementara kedua pengawalnya hanya diam memperhatikan."Kalia
"Mas Dewa jahat! Tidak punya hati!" teriak Ratih, sembari berdiri dari sofa. Merasa kecewa dengan keputusan sepihak yang diambil Sadewa. Zhalika menangis dalam diam, terjerat rasa penasaran, mengapa Sadewa tiba-tiba berubah pikiran."Ceritakan apa yang terjadi, Mas? Ibu dan Mbak Zhalika berhak tahu, mengapa Mas Sadewa bisa memutuskan sesuatu yang membuat sakit hati Ibu, Ratih, dan Mbak Zhalika?" tanya Bisma tenang, dan ketiga perempuan lain masih menangis. Sadewa diam membeku.Zhalika yang sedari awal diam saja, mulai mencoba bicara."Saya akan mengikuti apapun keputusan Mas Dewa, jika memang ini yang terbaik menurut, Mas. Tetapi saya berhak tahu salah saya, sehingga Mas Dewa membatalkan rencana pernikahan kita?" tanya Zhalika pelan, tersenyum tipis sambil mengusap pipinya yang basah dengan air mata. Dan Sadewa masih terdiam."Jika kamu masih menganggap aku adalah ibumu, katakan apa yang sudah terjadi Sadewa!" teriak Daisah, berdiri dari tempat duduknya. Terlihat emosi ibu Hajah terse
"Sekarang kita makan bersama dulu," ajak Gamal, kepada Zhalika dan Sadewa, tetapi Sadewa berucap cepat, walaupun suaranya bergetar."Tidak usah Pak, terima kasih, sebelum kemari kami makan dulu tadi. Dan lagi pula, masih ada keperluan yang harus kami selesaikan," jawab Sadewa. Zhalika diam saja, tidak memprotes keputusan calon suaminya itu. Sementara Gamal menatap wajah Sadewa lekat."Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Gamal, seperti mengingat-ingat. Sadewa diam saja, tidak menjawab. Kembali mengepal tangannya keras, sampai bergetar, karena menahan amarahnya agar jangan sampai meluap."Mungkin Bapak salah orang," jawab Sadewa, sembari mengangguk kepada Zhalika, untuk segera pergi meninggalkan rumah ini, dan Zhalika mengerti maksud dari Sadewa. Lalu mereka pun segera berdiri dari tempat duduknya, diikuti oleh Gamal dan Claudia."Saya pamit pulang dahulu, Pak. Mungkin dalam waktu tiga minggu ke depan, acara pernikahan kami akan dilaksanakan," ujar Zhalika, lalu berdiri, dan m
Tangannya mengepal keras, rahangnya bergemeletak menahan amarah, suhu tubuhnya terasa panas. Tapi sesaat Sadewa tersadar, jika waktu membalaskan dendam tidaklah tepat, dan sepertinya Gamal pun sudah tidak mengenalinya. Perlahan mengatur nafasnya, keberadaan Zhalika bersamanya, membuat dia berpikir ulang untuk membalaskan dendamnya.Tangannya yang tadi mengepal kencang, perlahan dia lepaskan. Hatinya merasa sakit, dan semakin sakit, saat tahu wanita yang dicintainya dan juga yang sudah memilihnya ternyata putri dari seorang pembunuh ayahnya. Orang yang selama ini sudah merenggut kebahagiaan masa kecilnya, orang yang membuat Sadewa dan adik-adiknya menjadi yatim, orang yang ingin dia habisi, agar dendamnya terbalaskan. Sadewa saat ini merasa ada di dalam persimpangan."Zha-Zhalika." Bergetar suara Gojali, saat menyebut nama putrinya sendiri. Air bening sudah mengalir di pipi gadis muda yang solehah tersebut. Zhalika benar-benar tidak menyangka, jika ayahnya ternyata masih ada. Kerinduan
"Bagaimana jika Ayah tidak mau mengakui saya, Mas?" tanya Zhalika ragu-ragu, paras wajahnya terlihat cemas."Jangan berprasangka buruk dulu, Zha? Lebih baik kita temui ayahmu dulu," jawab Sadewa, mencoba menenangkan hati calon istrinya tersebut. Zhalika memejamkan matanya, mengirup napas dan menghembuskan perlahan."Bismillah," ucap Zhalika, lalu mulai membuka pintu mobil, untuk turun. Sadewa pun segera turun dari mobil, dan langsung mendekati Zhalika, mensejajari langkah masuk ke halaman rumah yang mereka tuju.Sadewa memencet bel rumah, sementara Zhalika memandangi sekeliling rumah. Suasananya terlihat sepi dan lengang, tidak ditemukan aktivitas apapun di sekitar rumah, yang terlihat hanya rumah-rumah megah dengan taman-taman yang terawat.Tidak beberapa lama, pintu rumah mulai dibuka dari dalam. Seorang wanita usia sekitar 40 tahunan yang keluar menyambut, sepertinya salah satu pekerja di rumah ini."Assalamualaikum, Bu" Zhalika mengucapkan salam, yang langsung dijawab salam juga o
"Ibu dan ayahmu sama-sama berasal dari panti asuhan ini, Ka. Nasib kami sama, dibuang oleh orang tua kami sedari kecil. Kemudian kami berdua diserahkan kepada Ibu Cicie, pendiri panti ini." Terdiam Ibu Asih, sebelum akhirnya melanjutkan."Setelah remaja, ibu memutuskan untuk mengabdi di panti ini, sambil menemani dan membantu Ibu Cicie yang sudah menua. Sementara ayahmu memutuskan untuk pergi, entah kemana, Ibu sendiri tidak tahu."Zhalika mendengarkan penjelasan Bu Asih dengan sangat serius, dia sangat ingin tahu tentang kisah hidupnya."Ayahmu Berniat untuk menitipkan kamu di sini. Saat itu, Ibu sudah memegang panti asuhan ini, karena Bu Cicie sudah berpulang."Saat ibu bertanya, kemana Ibumu saat itu, Ayahmu hanya bercerita, jika Ibumu meninggal dunia karena sakit demam berdarah. "Ayahmu memohon-mohon pada ibu agar mau merawatmu. Sebagai lelaki dia merasa tidak sanggup mengurusimu di usia yang masih balita." Kembali Bu Asih terdiam."Setiap bulan ayahmu selalu membantu segala kebu