Bab 139. Petunjuk Dari Embun menghadapi Renata
POV Dr. Danu
Kenapa Renata tiba-tiba menelponku? Dari awal dia sangat membenci diriku, sama seperti dia membenci Papa. Aku bahkan tidak menungguinya di rumah sakit waktu.Tawaranku untuk menikahinya seagai bentuk pertanggungjawabanku akan perbuatan Papa, pun ditolaknya mentah-mentah. Permintaannya hanya satu, hukum Papa seberat-beratnya. Hari ini, tetiba dia menelpon, minta aku yang menjemputnya keluar dari rumah sakit. Apa maksud Renata sebenarnya? Apakah dia kecewa dengan masa tahanan Papa?
Ponselku berbunyi, sebuah pesan masuk lewat aplikasi whatsapp. Mbak Liza. Ada apa dia mengirim pesan padaku?
[Dokter, sepertinya Dokter tidak usah mau menjemput Renata! Dia sedang labil lagi. Emosinya berubah-ubah. Saat ini, entah apa pula yang sedang diencanakannya. Yang pasti, dia ingin memaksa Anda untuk menikahinya.]
Tersentak kaget. Se
Bab 140. Makanya Cepat Halalin Aku!“Kenapa Mama, Sayang?” tanyaku mengelus kepalanya. Llau menatap lekat wajah kusut Papanya.“Maaaammmmmaaaaa …..” Hanya itu yang keluar dari mulut Deandra. Kasihan dia. Tubuh kurus kering, seolah kekuranagn gizi ini terlihat semakin memperihantinkan dengan tulang pipi menonjol tak berdaging. Dan mata semakin cekung. Sebagai dokter spesialis anak, hati nuraniku begitu tertonjok. Aku pastikan akan memulihkan kesehatan anak ini. Aku yakin, bola daging mulai bertumbuh di tulang tubuh ini, dia akan menjelma menjadi gadis kecil yang cantik, dan lincah, seperti Raya putri Embun.“Turun De! Om Dokter sedang sibuk!” perintah Deo meraih kedua lengan putrinya. Deandra langsung berteriak kencang sambil menyebut kata Mama.“Jangan kasar gitu, Deo! Ini anak kecil!” ucapku melindungi
Bab 141. Aku Calon Kakak Iparmu!“Kenapa, risih? Makanya cepat halalin aku! Minggu depan, ya, kita menikah?”Dokter Danu terhenyak, diletakkannya tubuhnya di bibir kasur, dengan menutup wajah menggunakan kedua telapak tangan. Desahan berat terdengar jelas. Dia tak mencintaiku, sedikitpun tidak. Tetapi dia harus menikahiku, begitu berat. Hehehe, kenapa aku merasa makin nikmat melihat dia menderita seperti itu? Aku tersenyum miring.Kuedarkan pandangan, meneliti setiap jengkal sisi ruang kamar. Kamar ini cukup bersih, rapi lagi. Seorang Dokter tentu saja sangat peduli dengan kebersihan. Tetapi, tunggu! Itu apa?Kubawa langkahku menuju sebuah meja yang terletak di samping tempat tidur. Ada sebuah pigura terletak di sana. Kak Embun? Hey, kenapa foto Kak Embun ada di di atas meja ini? Persis di samping tempat tidur? Kenapa Dokter ini menyimpan foto Kak Embun? Apakah setiap ma
Bab 142. Pertengkaran Dengan DivaSuara deru motor terdengar memasuki halaman. Kudengar langkah kaki Diva menyongsong ke depan. Aku masih rebahan di atas Kasur, milik Dokter Danu. Dia sudah berangkat se jam yang lalu. Kupilih rebahan saja di kamar, untuk menghindari perang dengan Diva. Aku sedang tak ingin bertengkar.Ketukan di pintu kamar, membuatku tersentak. Berani benar Diva mengetuk pintu kamarku. Padahal aku sudah berpesan agar jangan menggangguku. Sepertinya dia memang ingin bermasalah lagi denganku.Ketukan terdengar lagi, kali ini dengan tempo yang lebih cepat dan kencang. Emosiku menjulang. Aku bangkit dengan amarah yang siap disemburkan. Membuka pintu, lalu ….“Mammmmmma ….”Aku tersentak. Seorang anak kecil berdiri di depan pintu. Wajah kurus tak berdaging, mata cekung, tulang pipi menonjol. Rambutnya diikat ekor kuda
Bab 143. Diusir Diva“Kubilang kamu murahan! Di mana-mana cowok yang nyosor cewek, itu aja pakai etika, lah kamu, main nyosor aja, padahal kalian baru juga ini berjumpa! Belum kenal malah, iya, kan? Apa namanya cobak, kalau bukan murahan! Lont* aja di bayar. Ih, jijik, ya aku!” ucapku dengan ekspresi sejijik mungkin.“Kau!” Tangannya terangkat, sebuah tamparan hampir saja menyentuh pipiku.Saat itulah Deandra menjerit. Dia terlihat ketakutan dan bermaksud melindungiku dari amukan Diva.“Mammmmma,” Deandra meraung seraya berlari ke arahku. Tetapi kakinya malah tersandung di kaki Diva. Deandra terjerembab.Spontan aku menangkap tubuhnya. Tak kupedulikan tangan Diva yang masih mengejar, kini kepalaku yang menjadi sasaran kemarahannya. Mngkin kena pukul tanganya akan terasa sangat sakit, t
Bab 144. Cinta Mas Deo Bukan Napsu“Mmmmama, huk … huk … huk, Mmmmama ….”Aku tersadar. Deandra memanggilku dengan suara serak. Dia kesakitan, bahkan seperti kesulitan bernapas. Kudapati tanganku telah menempel di lehernya.“Mammma!”Tersentak diri ini seketika. Wajah polos tak berdosa itu mendongah, mata cekung itu mengerjap.“Re, Deandra bangun?” tanya Mas Deo menoleh ke belakang.“Kita berhenti dulu, Mas! Kepalaku pusing!” pintaku. Suaraku juga terdengar serak. Segera kunetralkan pacu jantung di dada ini. Namun, keterkejutan ini membuatku kian lemas.Apa yang aku lakukan barusan? Ya, Tuhan. Hampir saja aku mencekik anak tak berdosa ini. Kenapa aku jadi jahat begini? Kenapa aku malah ingin melenyapkan nyawa anak ini?
Bab 145. Bukan Sebagai Pemuas Napsu“Renata? Andai kau tahu, sejak pertama melihatmu di depan gang rumahmu waktu itu, aku telah merasakan perasaan ini. Sedikitpun aku tak menyangaka, ternyata target yang hendak kuhabisi, justru membuatku jatuh cinta. Itu, sebab aku nekat ingin memperkosamu waktu itu. Sebelum kamu mati di tanganku, setidaknya ada kenangan yang bisa kuingat, begitu rencanaku. Beruntunglah hal itu tidak terjadi. Kalau terjadi, mungkin aku akan menyesal seumur hidupku.”“Mammmmma?”Mas Deo langsung melepas pelukan, aku menegakkan tubuh.“Mammmaaaa …..”Deandra berlari ke pangkuanku, menyeka bulir air mata di pipiku dengan kedua tangan mungilnya. Wajahnya terlihat panik. Kedua mata cekung itu membola. Begitu perhatian dia padaku, hingga saat aku menangis pun dia ikut bersedih juga. 
Bab 146 Embun DilamarLangkahku terhenti. Ragu menguasai hati. Ketakutan mulai menyergap. Aku takut dia cemburu, lalu memutuskan secara sepihak. Aku sudah sangat mengenal watak kekasihku. Pasti emosinya sudah meledak-ledak, lalu memutuskan hubungan denganku. Begitu pikirku.“Embun! Kamu memanggilku, bukan?” Aku terhenyak, kini berdiri tepat di hadapanku. Senyum masih merekah di bibirnya. Ketakutan semakin menguasaiku.“Kamu mau pulang bareng aku? Boleh, ayuk!” ajaknya meraih pergelangan tanganku, lalu menarikku menuju mobilnya. Membukakan pintu mobil untukku, mendudukkan tubuhku di kursi depan, menutup pintu mobil perlahan, lalu dia memutar, menghenyakkan tubuh di sisiku, tepat di sebelahku, di belakang stir mobil.“Lho, ini kunci mobilmu? Gimana, dong?” tanyanya melihat kunci mobil tergenggam di tanganku.Aku masih saja
Bab 147. Mata-Mata Di Kantor EmbunPOV Embun=======“Buk Embun? Selamat pagi!” Seorang OB terkejut, saat aku keluar dari pintu lif.“Pagi, Yanto, kan nama kamu?”tanyaku heran.“Iya, Buk. Saya Yanto. Tumben Ibuk ke kantor?” tanyanya dengan ekspresi lebih heran.“Ini kantor milik saya, kenapa saya enggak boleh ke sini? Saya yang heran dengan pertanyaan kamu!” kataku memindai wajahnya.“Oh, iya, Buk. Maaf, saya hanya berpikir, kalau ada sesuatu yang penting, sehingga Ibuk harus datang ke kantor lagi, seperti waktu itu, begitu, Buk, maaf!” Lelaki itu membungkuk dengan sopan.“Oh, begitu? Kamu benar. Kebetulan sekali, aku ada keperluan penting dengan Bu Liza dan Bu Dian. Tolong suruh mereka datang ke rua
Bab 206. Tamat Mas Ray berjalan dengan hati-hati. Kubawa memutar dari halaman samping, agar tak usah masuk ke dalam rumah. Waspada harus tetap kujaga. Meski dia bilang sudah bertobat, namun rasa khawatir belum juga bisa sirna sepenuhnya. “Itu suara celoteh mereka?” lirihnya menghentikan langkah, seolah-olah menajamkan pendengaran. “Ya, Raya sudah enam tahun, Radit empat tahun. Mereka sehat dan cerdas. Ayo, kita lihat!” Kulanjutkan langkah. Mas Ray mengikutiku. “Di sini saja!” perintahku menghentikan langkah. “Itu mereka?” gumamnya menatap ke arah kolam renang. Matanya meredup, tetiba mengembun. Beberapa butir air bening luruh di kedua sudut cekungnya. “Ya, itu Raya dan Radit.” “Raya sudah tidak celat lagi sepertinya kalau berbicara?” “Ya, dia sudah bisa berbicara dengan la
Bab 205. Kunjungan Suami PertamakuTiga tahun kemudian“Ada Pak Ray, Buk!” Bik Anik berjalan tergopoh-gopoh mendatangi aku dan anak-anak di halaman samping.Rika sedang sibuk menyuapi Dava, anak bungsuku dengan bubur bayi. Raya dan Radit tengah berenang. Aku harus membantu Rika mengawasi mereka.Aku dan Rika saling tatap, demi mendengar laporan Bik Anik. ‘Pak Ray’. Nama itu sudah sangat asing terdengar di rumah ini. Anak-anak bahkan tak mengenalnya. Tiga tahun sudah sejak kami sah bercerai, selama tiga tahun itu pula dia tak lagi pernah hadir di dalam perbincangan kami. Raya dan Radit sama sekali tak mengenalnya. Meski dia adalah ayah biologis mereka. Bagi anak-anak, Mas Darry adalah satu-satunya sosok ‘Papa’.“Ibuk, gimana?”Aku tersentak. Bik Anik masih terlihat panik.&nbs
Bab 204. Sambutan Calon Mertua LaylaPOV Embun=====“Kakak yakin mau usaha di kampung aja?” tanyaku sekali lagi meyakinkan Kak Layla.“Yakin, Dek. Kakak gak bisa di kota besar ini. Mau kerja apa Kakak di sini, coba? Di kantor, kakak gak punya ilmu apa-apa, gak ada bakat juga. Bekal pendidikan Kakak juga gak memadai. Suntuk Kakak tinggal di kota besar ini.”“Serius Kakak mau buka ternak di bekas rumah kakak itu? Gak kasihan sama ipar kakak?”“Mantan, dia bukan iparku lagi.”“Trus Kakak mau tinggal di mana, dong? Di bekas rumah juragan Sanusi?”“Tidak, rumah itu terlalu menyakitkan bagi Kakak untuk ditinggali. Banyak kesakitan yang akan selalu melintas di benak. Seperti mengenang luka saja.”“Trus?”“Kala
Bab 203. Akhir Cinta Liza Bermuara BahagiaLelaki itu meraih kunci mobilnya dari saku sambil berjalan. Tanpa menoleh lagi, kakinya melangkah menuju teras, langsung ke halaman, di mana mobilnya terparkir. Kaki ini serasa tertancap, begitu berat untuk digerakkan. Mulut ini terasa kaku, lidah pun kelu, tuk mengucap sekedar sepatah kata, untuk mencegahnya pergi.Benak dipenuhi bimbang. Bagaimana sebenarnya perasanku pada dokter itu. Benarkah rasa pada Mas Ray mengalahkan rasaku untuknya? Hey, berfikirlah Liza! Berfikirlah cepat?Bagaimana bisa seorang durjana, seorang narapidana, bahkan kini mengalami gangguan jiwa, bisa menjadi rival bagi seorang pria seperti Dokter Indra? Di mana logikanya? Dokter Indra yang begitu baik, sopan, serius, tak pernah menyakiti hati meski tak sengaja. Tak pernah, sama sekali tidak pernah.Mungkin sikapku te
Bab 202. Ektrapart Liza (Dillema Berakhir Juga)====Aku tersentak kaget, saat Deo memberitahu tentang kondisi terakhir Mas Ray. Jujur, hati teramat sakit mendengar berita ini. Bagaimana bisa aku sanggup mendengar kabar tentang deritanya? Tidak, aku tidak sanggup sebenarnya. Pria itu kini dirawat di rumah sakit jiwa.Aku memang perempuan bodoh. Berkali disakiti, dikhianati, bahkan di injak-injak harga diri ini. Namun, rasa di hati tak pernah sungguh-sungguh mati. Rasa itu tetap ada, meski tak bersemi lagi. Rasa itu telah memilih tempat yang dia ingini. Di sini, di relung hati ini.Mas Ray adalah cinta pertama bagiku. Untuk pertama kali aku mengenal yang namanya laki-laki, itu adalah Mas Ray. Awalnya terasa begitu indah, cinta tumbuh subur di hati, berurat dan berakar tanpa penghalang, bahkan kami telah merencanakan pernikahan. Hari lamaran pun ditentuka
Bab 201. Mas Ray Terpaksa Di Bawa Ke Rumah Sakit Jiwa“Maaf, Raya dan Radit masih sangat kecil, tak bagus bagi mereka berada di lokasi tahanan itu, saya juga gak mau psikologis Raya terganggu, saat melihat papanya di dalalm kurungan. Maaf sekali, saya tidak bisa mengizinkan.” Itu jawaban Kak Embun. Papa dan Mama hanya bisa pasrah.Mas Ray menemui kami dengan dengan diantar oleh seorang petugas lapas. Sama sekali dia tidak mau menatap wajah kami. Berjalan menunduk, lalu duduk di depan kami, masih dalam keadaan menunduk. Tubuh kurusnya membuat hati miris, begitu besar perubahan penampilan abangku ini.“Ray, kamu sehat, Nak?” Mama memulai pembicaraan.Diam membisu. Tak ada jawaban dari mulutnya. Wajah dengan tulang pipi menonjol itu masih menunduk menekuri lantai.“Kamu mikiri apa, Ray. Masa tahananmu hanya beberapa t
Bab 200. Rencana Lamaran Papa “Saya disuruh nanya Bapak dan Emak, kata Bapak, mau datang.” “Papa mau datang ke rumah Bik Las?” Wanita itu mengangguk. Menunduk malu-malu. “Papa mau ngelamar Bik Las?” cecarku lagi. “Maaf, Buk.” “Kok minta maaf? Saya malah bangga. Saya lega benar, akhirnya kalian sepakat juga.” “Makasih, Buk. Jadi, Buk Embun setuju?” “Sangat setuju.” “ Makasih, kalian memang anak-anak yang baik.” “Kalian? Maksudnya?” tanyaku terperangah. “Anu, Buk Embun dan Buk Layla. Kalian anak-anak yang sangat baik,” jawabnya tersipu. “Kak Layla juga setuju?” “Ho-oh, kemarin ditelpon Bapak.” “Apa kata Kak Layla?” “Kata Buk Layla, di
Bab 199. Embun Hamil?“Raya, Sayang! Om Dokter mau ngobrol sebentar ya! Raya main sana sama Kak Diyah!” bujukku kemudian.“Ya, Mammma. Oom danan puyang duyu, ya! Nanti tita main tuda-tudaan!” pintanya memohon pada Dokter Danu.“Iya, Sayang. Nanti kita main.” Dokter Danu mengelus kepalanya.“Dadah Om Dokten!”Raya beringsut turun dari pangkuan Dokter Danu, lalu berlari kecil menuju ruang tengah, di mana Diyah dan yang lain sedang berkumpul.“Ada apa ini, tumben datang berdua ke sini, ini udah hampir malam, lho?” tanyaku berbasa basi.“Anu, aku … mau minta maaf, kejadian tadi pagi,” jawab Dian terbata-bata.“Oh, gak perlu minta maaf, apalagi pakai acara datang ke sini segala! Tadi aku memang a
Bab 198. Asmara Di Dalam MobilWajah Mas Danu semringah, senyumnya terlihat samar di bawah penerangan lampu mobil yang temaram. Aku bahagia melihat senyum kebahagiannya. Inilah cinta sejati. Kita akan sangat bahagia, saat melihat pasangan kita bahagia.“Kenapa menatapku begitu?”“Oh,” gumamku menunduk. Pasti wajah ini merona, kurasakan ada getaran hangat yang menjalar di kedua pipi.“Sekarang kamu jawab permintaanku tadi! Diva menunggu jawabanmu!” Mas Danu bertanya lagi. Dan aku berdebar lagi. Bahkan kian hebat kini.Momen ini terasa sangat istimewa. Kini aku memahami, mengapa banyak perempuan bilang bahwa saat yang paling mendebarkan itu adalah saat sang kekasih meminta kita menjadi pendampingnya. Bukan hanya sebagai pacar semata. Artinya dia telah benar-benar mantap dengan pili