Bab 147. Mata-Mata Di Kantor Embun
POV Embun
=======
“Buk Embun? Selamat pagi!” Seorang OB terkejut, saat aku keluar dari pintu lif.
“Pagi, Yanto, kan nama kamu?”tanyaku heran.
“Iya, Buk. Saya Yanto. Tumben Ibuk ke kantor?” tanyanya dengan ekspresi lebih heran.
“Ini kantor milik saya, kenapa saya enggak boleh ke sini? Saya yang heran dengan pertanyaan kamu!” kataku memindai wajahnya.
“Oh, iya, Buk. Maaf, saya hanya berpikir, kalau ada sesuatu yang penting, sehingga Ibuk harus datang ke kantor lagi, seperti waktu itu, begitu, Buk, maaf!” Lelaki itu membungkuk dengan sopan.
“Oh, begitu? Kamu benar. Kebetulan sekali, aku ada keperluan penting dengan Bu Liza dan Bu Dian. Tolong suruh mereka datang ke rua
Bab 148. Rencana Pembunuhan Darry“Yanto!”“Saya, Pak,” sahutku, tiba-tiba dia menyebut namaku. Mata berkilat itu menatapku tajam. Wajahnya yang masih tegang, dengan rahang mengetat bergerak pelan, mendekati wajahku.“Maju!” perintahnya memintaku berbuat yang sama.Wajah kami kini saling berhadapan begitu dekat. Bahkan desah napasnya terasa menerpa kulit wajahku.“Kau habisi lelaki itu!”Deg!Kegilaan apa ini? Ini tidak benar! Pak Ray sudah sinting!“Kau dengar! Kau habisi dia! Kau bunuh si Darry berengsek itu, bagaimanapun caranya!”“Tidak, Pak. Maaf, saya tidak bisa melakukannya. Saya tidak bisa membunuh seseotrang, Pak. Tolong jangan paksa saya!” Aku mulai menghiba.“Kau lakukan atau,
Bab 149. Dokter Danu (Mengusir) Dian“Diva, Sayang, kok kamu tega banget, sih, ngebiarin aku kek gini? Dulu aja kamu nempel terus. Padahal itu masih haram. Sekarang udah halal, malah kamu yang menghindar terus. Mau ya, Sayang?” Kembali dia mengemis dan kali ini mencoba mengelus elus bahuku. Tangan keriput itu mulai meraba ke bagian lain di tubuh ini. Sepertinya dia sudah bertenaga, setelah dibawakan obat jantung oleh Mas Danu tadi malam. Kalau belum, pasti dia masih loyo tergeletak di kasur saat ini. Sayangnya, begitu dia sedikit bertenaga, napsu liarnya segera menghentak.Daripada aku muntah di atas kasur ini, lebih baik aku keluar, begitu pikirku. Aku bangkit, tetapi dia tetap membandel. Dia mengikutiku ke luar dari kamar.“Diva, ayolah, Mas udah gak sanggup nahan, nih,” lirihnya memelukku dari belakang.“Stop! Cukup ya, Om!” Aku Berteriak, kulonggarkan pel
Bab 150. Bik Las Menyerang DivaBaru saja deru mobil Dian menghilang dari pendengaran. Aku juga belum beranjak dari tempatku menguping pembicaraan mereka tadi. Tiba-tiba terdengar deru sebuah sepeda motor. Entah siapa lagi yang datang.“Bik Las? Ada apa ke sini?” Itu suara Mas Danu, dia belum juga masuk ke dalam rumah karena begitu Dian pergi datang lagi tamu itu.Tetapi, apakah aku tidak salah dengar? Mas Danu menyebut nama Bik Las?“Mana Diva? Aya mau memberi dia pelajaran!”Ups! Babu sialan itu mencariku? Bahkan mengancam mau memberi aku pelajaran? Pelajaran apa? Cara memasak, nyuci, nyetrika, atau buka tutup gerbang seperti tugasnya dulu di rumah Embun? Oh, aku tahu dia mungkin mau memberiku pelajaran tentang cara merawat bandot tua. Secara, ya, dulu si Rahmad itu begitu sehat wal afiat di bawah rawatannya. Sekarang malah sekarat.
Bab 151. Mata-Mata Datang Ke Rumah Embun“Aku senang banget, Sayang.”“Lho, kok, senang? Kan belum dijawab, diterima atau tidak?”“Tetapi dari bahasa kamu, aku bisa menangkap jawabannya.”“Apa coba?”“Aku boleh ke rumah?”“Ngapain?”“Ketemu kamu, Sayang.”“Enggak boleh, belum tiga hari, kan? Besok datang bersama orang tuamu, lamar aku secara resmi.”“Embuuun ….”“Ya, Mas?”“Kamu serius?”“Ya, Sayang.”“Alhamdulillah.”“Kok, Alhamdulillah? Kan, kamu belum tahu jawabannya?”“Jan
Bab 152. Malam Pernikahan Embun=====Malam sudah larut, para tamu undangan dan seluruh keluarga sudah kembali ke rumah masing-masing. Sisa-sisa pesta masih terlihat berantakan. Penghuni rumah ini semua sudah terlelap, mungkin karena kelelahan mempersiapkan pesta ini mulai dari semalam. Padahal pesta pernikahan ini direncanakan sederhana saja, namun antusias para tamu begitu besar. Mereka berdatangan meski tak diundang. Doa dan harapan terbaik mereka panjatkan, agar kali ini pernikahanku langgeng, tak seperti yang sebelumnya. Terutama sahabat-sahabat mendiang Mama.“Sayang!” Sebuah tangan mengalung di leherku. Kukenal lengan kekar ini. Mas Darry.“Hem,” gumamku mendongah, menatap wajahnya.“Besok saja dirapikan semua sisa pestanya, ini sudah larut, lho! Kita istirahat, ya!”“Ya,” sahutku&
Bab 153. Bulan Madu AlisyaSegera Mas Darry menerjang pintu kamar tanpa permisi. Dokter Danu terkejut, dan lebih terkejut lagi, saat melihat tubuh Diva tergeletak di lantai. Aroma racun serangga menguar, menyerang cuping hidung. Gadis itu masih terdengar merintih, dengan mulut mengeluarkan buih.Mas Darry mengangkat tubuh sekarat itu menuju mobil, dengan sigap langsung kularikan menuju rumah sakit terdekat. Dokter Danu masih melongo, hingga Dokter yang menyelamatkan Diva keluar dari ruang UGD, dia masih saja terlihat seperti orang linglung.“Untunglah, segera kalian bawa ke sini. Racunnya belum sempat merusak organ-organ di dalam perut. Alhamdulilah, nyawanya masih bisa kita selamatkan,” tutur Dokter itu menenangkan hati kami. Dokter Danu terlihat lega, langsung menyerbu masuk.“Terima kasih, Dok,” ucapku lalu menarik
Bab 154. Ibu Pasienku, Apakah Dia Embun?POV Dokter Danu====“Maaf, Dok. Pasien sepertinya tak dapat ditolong lagi.”“Jangan putus asa! Pasang alat bantu napas, cepat!”“Tapi, Dok. Tubuhnya sudah dingin. Sepertinya pasien sudah meninggal saat dalam perjalanan tadi.”“Ambil alat pacu jantung!”“Ini, Dok!”“Alhamdulillah.”“Dokter Danu memang hebat! Sesuatu yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin bila sudah di tangannya.”“Alhamdulillah. Pasang infus, segera!”“Baik, Dok!”=====Lima belas menit, aku menangani pasien itu. Setelah kupastikan semua sudah terpasang, cairan obat juga sudah masuk melalui selang infus, aku melang
Bab 155. Layla dan Embun?Dua orang anak kecil yang tergolek di kursi panjang itu mencuri perhatianku. Mereka adalah anak-anak wanita yang mirip Embun tadi. Sepertinya adik mereka sudah dipindahkan dari UGD ke ruang rawat inap. Tetapi, kenapa mereka malah tidur di situ? Anak-anak kurang bagus berlama-lama di rumah sakit ini. Takutnya mereka yang sehat, malah gampang tertular penyakit.Baru saja aku hendak mendekat, Embun kedua itu kulihat kulihat keluar dari ruang 325. Di tangannya sebuah kain tipis yang masih dilipat, lalu dibuka dan diselimutkannya di badan anak-anaknya. Ini tidak benar. Anak-anak itu harus kusuruh pulang.“Selamat malam, Bu!” sapaku mengagetkannya.“Oh, Dokter? Selamat malam!” jawabnya terlihat gugup.“Anak Ibu sudah masuk ruang rawat, sepertinya?”“Iya, Dok. Kodisin