Bab 155. Layla dan Embun?
Dua orang anak kecil yang tergolek di kursi panjang itu mencuri perhatianku. Mereka adalah anak-anak wanita yang mirip Embun tadi. Sepertinya adik mereka sudah dipindahkan dari UGD ke ruang rawat inap. Tetapi, kenapa mereka malah tidur di situ? Anak-anak kurang bagus berlama-lama di rumah sakit ini. Takutnya mereka yang sehat, malah gampang tertular penyakit.
Baru saja aku hendak mendekat, Embun kedua itu kulihat kulihat keluar dari ruang 325. Di tangannya sebuah kain tipis yang masih dilipat, lalu dibuka dan diselimutkannya di badan anak-anaknya. Ini tidak benar. Anak-anak itu harus kusuruh pulang.
“Selamat malam, Bu!” sapaku mengagetkannya.
“Oh, Dokter? Selamat malam!” jawabnya terlihat gugup.
“Anak Ibu sudah masuk ruang rawat, sepertinya?”
“Iya, Dok. Kodisin
Bab 156. Kucoba Memahmi Rasa Yang Menyiksa batin DianPOV Dr Danu========“Turun, Sayang ini rumah Om!” titahku setelah menghentikan mobil di halaman rumah. Kedua bocah itu langsung turun, kumasukkan mobil ke dalam garasi.“Ayo, masuk!” ucapku lagi. Wajah polos mereka terlihat takut-takut. Begitu kikuk saat kupaksa melangkah ke dalam rumah. Diyah memegangi tangan adiknya, seolah khawatir akan dipisahkan, atau mungkin dia takut diculik. Entahlah. Ekspresi mereka membuat hatiku pedih.“Kenapa, Sayang?” tanyaku mengelus kepala sang kakak.“Eh, anu, Om. Kami gak pernah masuk rumah kayak gini. Di kampung kami ada rumah yang paling besar dan bagus, rumahnya juragan lembu. Tapi, kami gak pernah boleh masuk. Ayah ngelarang kami main di dekat situ. Ada centengnya, jahat.”&ld
Bab 157. Sentuhan Dian“Hallo, Dian … maaf, aku mengganggu, ya?” sapaku pelan.“Kamu!” Spontan gadis itu berbalik. Menatapku tak percaya dengan mata mengerjab. Berulang kali dia mengucek mata cantiknya. Jejak air mata terlihat jelas di pipi yang basah itu.“Hey! Gitu amat cara liatnya? Seperti liat hantu, aja?” godaku seraya meletakkan bokong di pinggir ranjang.“Kamu Dokter Danu? Ini beneran, kamu?” gumamnya seperti masih tak percaya.“Iya, ini aku.”“Kok, bisa?”“Ya, bisa, dong!”“Ma maksudku, kok, Dokter ada di sini?”“Mau ngobatin kamu. Kamu lagi sakit, kan?”“Siapa yang kasih tahu?”“Mamamu. Dia yang ne
Bab 158. Hampir DiperkosaPOV LaylaDokter Danu, dia begitu baik. Terima kasih Tuhan, Engkau telah mempertemukan aku dengan orang baik di kota besar ini. Dia tidak hanya menyelamatkan nyawa Ikbal anak bungsuku, tetapi juga memberi tempat bernaung untuk Diyah dan Irfan. Semoga anak-anak tidak membuat masalah di rumah Dokter itu.Bang, Doni. Semoga kau tenang di alam sana, ya! Aku berjanji, akan selalu menjaga anak-anak kita. Tapi, kenapa, kau begitu cepat meninggalkan kami, Bang?Masih terbayang peristiwa malam itu. Awal mula penderitaan ini mulai mendera.**Flashback“Bang! Bang Doni! Abang udah pulang?” tanyaku saat mendengar ada suara mencurigakan dari arah dapur. Aku terjaga karenanya. Kurasakan sekeliling gelap gulita, lampu listrik padam. Entah padam menyeluruh atau di rumahku saja? Sebe
Bab 159. Masa Lalu Layla“Kenapa kau mencari masalah dengan Hendro! Kau akan membusuk di penjara, Don! Ayahnya orang kuat, orang hebat, punya uang banyak! Hendro anak lelakinya satu-satunya, Don!” teriak Bang Roni penuh sesal.“Dia hendak memperkosa istriku, Bang. Aku khilap, istriku adalah kehormatanku. Jika istriku diganggu orang, sama saja dia menginjak-injak harga diriku.” Bang Doni membela diri.“Hampir? Artinya belum, kan? Tapi, apa yang kau lakukan ini! Kenapa kau selesaikan dengan cara seperti ini?”“Aku khilap. Aku akan bertanggung jawab!” lirih Bang Doni pasrah.Pak Kades datang berbarengan dengan Juragan Sanusi beserta anggotanya. Pukulan dan terjangan mendarat di tubuh suamiku. Aku, Bang Roni dan Pak Kades berusaha menghalangi dan menenangkan Juragan Sanusi. Untung Polisi segera datang
Bab 160. Diusir Kakak Ipar“Kamu memang ganjen! Kamu pikir aku gak tahu, suamiku sering lirik-lirikkan sama kamu! Iya, aku akui kamu memang cantik, Layla! Semua laki-laki di kampung ini tertarik sama kamu. Anak gadis saja kalah dengan kecantikanmu. Tapi, para lelaki itu gak akan tergoda kalau kau tidak duluan menggodanya!”“Aku gak ada menggoda siapapun, Kak!”“Kini baru kau sadari, kan? Ternyata memiliki wajah cantik dan tubuh indah sempuna itu tidak selamanya menguntungkan!” Kak Ambar menoyor kepalaku.“Apa maksud, Kakak?” sergahku.“Kau buktinya! Liat, suamimu gak pernah bisa hidup tenang, karena wajah dan tubuh seksimu itu! Bagaimana bisa tenang, setiap detik ada aja laki-laki di kampung ini yang jelalatan matanya nengokin parasmu. Eh, tapi enggak salah laki-lakinya, di
Bab 161. Ceker Ayam Pemberian Kakak Ipar“Irfan! Temani Kak Diyah, ya, Nak!” teriakku mempercepat langkah. Irfan tengah bermain dengan teman sebayanya di halaman samping rumah Kak Ambar.“Eh, iya, wawak juga butuh kamu, sini, ikut sekalian!” Kak Ambar langsung mencekal tangan kecil anak keduaku itu.“Biar dia nemani kakaknya, Kak! Siapa tahu, Diyah butuh apa-apa,” ujarku menghentikan langkah, seperti halnya dia.“Aku perlu tenaganya! Nanti kukasih upah, deh!” sergahnya menarik tangan Irfan sambil berjalan lagi.Aku terpaksa mengalah, mengikuti masuk ke rumahnya melalui pintu dapur.“Bang! Ini Layla! Tapi dia enggak bisa lama-lama! Si Ikbal masih demam!” Kak Ambar memanggil suaminya.“Oh, iya. Kalau begitu cepat tangkap ayam itu, Layla!” p
Bab 162. Kematian Bang DoniPOV Layla=====Sebegini hinakah aku, hingga abang iparku sendiri tega menerobos masuk ke dalam gubuk tempatku dan anak-anak berteduh ini. Dosa apa yang telah kuperbuat, hingga aku begitu tak berharga di mata mahkluk yang namanya laki-laki.Tidak! Aku bukan perempuan hina. Aku masih punya hati untuk sekedar bertahan. Hinaan ini bukan untuk kunikmati, tak perlu kusesali lalu menangis pasrah. Aku masih bisa bertahan. Aku punya harga diri, meski mereka tetap menganggap aku sampah. Demi suamiku, demi anak-anakku, aku akan berusaha tetap bertahan.“Layla, jangan menolak! Besok Doni bebas dari penjara. Suamimu akan pulang. Itu semua berkat perjuanganku, bukan? Aku yang telah bernegosiasi dengan juragan Sanusi. Suamimu akan kembali, wajar bukan kalau aku minta pamrih, iya, kan?”Napasnya mulai memburu, menerpa kasar kulit wajah dan le
Bab 163. Ikbal Demam TinggiSudah enam jam kami menunggu. Anak-anak sepertinya mulai bosan. Mungkin mereka juga sudah mulai lapar. Tadi pagi aku hanya mampu memberi mereka sarapan bubur. Beras di kaleng tinggal segenggam, itu kuolah menjadi bubur.Rencanaku, siang ini aku akan meminjam uang pada Kak Siti, kakak kandung suamiku. Bila adiknya sudah keluar dari penjara, aku yakin, dia akan mau meminjami aku uang. Karena Bang Doni esoknya sudah bisa bekerja di kebun milik mereka. Begitu rencanaku.Sebuah sepeda motor berhenti di dekat kami. Seorang pegawai kantor desa. Anak-anak yang berselonjor di tanah karena kelelahan berdiri, kini langsung berdiri. Ikbal masih di dalam gendonganku.“Maaf, Bu Layla. Ibu dan anak-anak sebaiknya pulang saja!” titah lelaki itu.“Kenapa, Pak? Bang Doni sebentar lagi pulang. Anak anak su
Bab 206. Tamat Mas Ray berjalan dengan hati-hati. Kubawa memutar dari halaman samping, agar tak usah masuk ke dalam rumah. Waspada harus tetap kujaga. Meski dia bilang sudah bertobat, namun rasa khawatir belum juga bisa sirna sepenuhnya. “Itu suara celoteh mereka?” lirihnya menghentikan langkah, seolah-olah menajamkan pendengaran. “Ya, Raya sudah enam tahun, Radit empat tahun. Mereka sehat dan cerdas. Ayo, kita lihat!” Kulanjutkan langkah. Mas Ray mengikutiku. “Di sini saja!” perintahku menghentikan langkah. “Itu mereka?” gumamnya menatap ke arah kolam renang. Matanya meredup, tetiba mengembun. Beberapa butir air bening luruh di kedua sudut cekungnya. “Ya, itu Raya dan Radit.” “Raya sudah tidak celat lagi sepertinya kalau berbicara?” “Ya, dia sudah bisa berbicara dengan la
Bab 205. Kunjungan Suami PertamakuTiga tahun kemudian“Ada Pak Ray, Buk!” Bik Anik berjalan tergopoh-gopoh mendatangi aku dan anak-anak di halaman samping.Rika sedang sibuk menyuapi Dava, anak bungsuku dengan bubur bayi. Raya dan Radit tengah berenang. Aku harus membantu Rika mengawasi mereka.Aku dan Rika saling tatap, demi mendengar laporan Bik Anik. ‘Pak Ray’. Nama itu sudah sangat asing terdengar di rumah ini. Anak-anak bahkan tak mengenalnya. Tiga tahun sudah sejak kami sah bercerai, selama tiga tahun itu pula dia tak lagi pernah hadir di dalam perbincangan kami. Raya dan Radit sama sekali tak mengenalnya. Meski dia adalah ayah biologis mereka. Bagi anak-anak, Mas Darry adalah satu-satunya sosok ‘Papa’.“Ibuk, gimana?”Aku tersentak. Bik Anik masih terlihat panik.&nbs
Bab 204. Sambutan Calon Mertua LaylaPOV Embun=====“Kakak yakin mau usaha di kampung aja?” tanyaku sekali lagi meyakinkan Kak Layla.“Yakin, Dek. Kakak gak bisa di kota besar ini. Mau kerja apa Kakak di sini, coba? Di kantor, kakak gak punya ilmu apa-apa, gak ada bakat juga. Bekal pendidikan Kakak juga gak memadai. Suntuk Kakak tinggal di kota besar ini.”“Serius Kakak mau buka ternak di bekas rumah kakak itu? Gak kasihan sama ipar kakak?”“Mantan, dia bukan iparku lagi.”“Trus Kakak mau tinggal di mana, dong? Di bekas rumah juragan Sanusi?”“Tidak, rumah itu terlalu menyakitkan bagi Kakak untuk ditinggali. Banyak kesakitan yang akan selalu melintas di benak. Seperti mengenang luka saja.”“Trus?”“Kala
Bab 203. Akhir Cinta Liza Bermuara BahagiaLelaki itu meraih kunci mobilnya dari saku sambil berjalan. Tanpa menoleh lagi, kakinya melangkah menuju teras, langsung ke halaman, di mana mobilnya terparkir. Kaki ini serasa tertancap, begitu berat untuk digerakkan. Mulut ini terasa kaku, lidah pun kelu, tuk mengucap sekedar sepatah kata, untuk mencegahnya pergi.Benak dipenuhi bimbang. Bagaimana sebenarnya perasanku pada dokter itu. Benarkah rasa pada Mas Ray mengalahkan rasaku untuknya? Hey, berfikirlah Liza! Berfikirlah cepat?Bagaimana bisa seorang durjana, seorang narapidana, bahkan kini mengalami gangguan jiwa, bisa menjadi rival bagi seorang pria seperti Dokter Indra? Di mana logikanya? Dokter Indra yang begitu baik, sopan, serius, tak pernah menyakiti hati meski tak sengaja. Tak pernah, sama sekali tidak pernah.Mungkin sikapku te
Bab 202. Ektrapart Liza (Dillema Berakhir Juga)====Aku tersentak kaget, saat Deo memberitahu tentang kondisi terakhir Mas Ray. Jujur, hati teramat sakit mendengar berita ini. Bagaimana bisa aku sanggup mendengar kabar tentang deritanya? Tidak, aku tidak sanggup sebenarnya. Pria itu kini dirawat di rumah sakit jiwa.Aku memang perempuan bodoh. Berkali disakiti, dikhianati, bahkan di injak-injak harga diri ini. Namun, rasa di hati tak pernah sungguh-sungguh mati. Rasa itu tetap ada, meski tak bersemi lagi. Rasa itu telah memilih tempat yang dia ingini. Di sini, di relung hati ini.Mas Ray adalah cinta pertama bagiku. Untuk pertama kali aku mengenal yang namanya laki-laki, itu adalah Mas Ray. Awalnya terasa begitu indah, cinta tumbuh subur di hati, berurat dan berakar tanpa penghalang, bahkan kami telah merencanakan pernikahan. Hari lamaran pun ditentuka
Bab 201. Mas Ray Terpaksa Di Bawa Ke Rumah Sakit Jiwa“Maaf, Raya dan Radit masih sangat kecil, tak bagus bagi mereka berada di lokasi tahanan itu, saya juga gak mau psikologis Raya terganggu, saat melihat papanya di dalalm kurungan. Maaf sekali, saya tidak bisa mengizinkan.” Itu jawaban Kak Embun. Papa dan Mama hanya bisa pasrah.Mas Ray menemui kami dengan dengan diantar oleh seorang petugas lapas. Sama sekali dia tidak mau menatap wajah kami. Berjalan menunduk, lalu duduk di depan kami, masih dalam keadaan menunduk. Tubuh kurusnya membuat hati miris, begitu besar perubahan penampilan abangku ini.“Ray, kamu sehat, Nak?” Mama memulai pembicaraan.Diam membisu. Tak ada jawaban dari mulutnya. Wajah dengan tulang pipi menonjol itu masih menunduk menekuri lantai.“Kamu mikiri apa, Ray. Masa tahananmu hanya beberapa t
Bab 200. Rencana Lamaran Papa “Saya disuruh nanya Bapak dan Emak, kata Bapak, mau datang.” “Papa mau datang ke rumah Bik Las?” Wanita itu mengangguk. Menunduk malu-malu. “Papa mau ngelamar Bik Las?” cecarku lagi. “Maaf, Buk.” “Kok minta maaf? Saya malah bangga. Saya lega benar, akhirnya kalian sepakat juga.” “Makasih, Buk. Jadi, Buk Embun setuju?” “Sangat setuju.” “ Makasih, kalian memang anak-anak yang baik.” “Kalian? Maksudnya?” tanyaku terperangah. “Anu, Buk Embun dan Buk Layla. Kalian anak-anak yang sangat baik,” jawabnya tersipu. “Kak Layla juga setuju?” “Ho-oh, kemarin ditelpon Bapak.” “Apa kata Kak Layla?” “Kata Buk Layla, di
Bab 199. Embun Hamil?“Raya, Sayang! Om Dokter mau ngobrol sebentar ya! Raya main sana sama Kak Diyah!” bujukku kemudian.“Ya, Mammma. Oom danan puyang duyu, ya! Nanti tita main tuda-tudaan!” pintanya memohon pada Dokter Danu.“Iya, Sayang. Nanti kita main.” Dokter Danu mengelus kepalanya.“Dadah Om Dokten!”Raya beringsut turun dari pangkuan Dokter Danu, lalu berlari kecil menuju ruang tengah, di mana Diyah dan yang lain sedang berkumpul.“Ada apa ini, tumben datang berdua ke sini, ini udah hampir malam, lho?” tanyaku berbasa basi.“Anu, aku … mau minta maaf, kejadian tadi pagi,” jawab Dian terbata-bata.“Oh, gak perlu minta maaf, apalagi pakai acara datang ke sini segala! Tadi aku memang a
Bab 198. Asmara Di Dalam MobilWajah Mas Danu semringah, senyumnya terlihat samar di bawah penerangan lampu mobil yang temaram. Aku bahagia melihat senyum kebahagiannya. Inilah cinta sejati. Kita akan sangat bahagia, saat melihat pasangan kita bahagia.“Kenapa menatapku begitu?”“Oh,” gumamku menunduk. Pasti wajah ini merona, kurasakan ada getaran hangat yang menjalar di kedua pipi.“Sekarang kamu jawab permintaanku tadi! Diva menunggu jawabanmu!” Mas Danu bertanya lagi. Dan aku berdebar lagi. Bahkan kian hebat kini.Momen ini terasa sangat istimewa. Kini aku memahami, mengapa banyak perempuan bilang bahwa saat yang paling mendebarkan itu adalah saat sang kekasih meminta kita menjadi pendampingnya. Bukan hanya sebagai pacar semata. Artinya dia telah benar-benar mantap dengan pili