Bab 143. Diusir Diva
“Kubilang kamu murahan! Di mana-mana cowok yang nyosor cewek, itu aja pakai etika, lah kamu, main nyosor aja, padahal kalian baru juga ini berjumpa! Belum kenal malah, iya, kan? Apa namanya cobak, kalau bukan murahan! Lont* aja di bayar. Ih, jijik, ya aku!” ucapku dengan ekspresi sejijik mungkin.
“Kau!” Tangannya terangkat, sebuah tamparan hampir saja menyentuh pipiku.
Saat itulah Deandra menjerit. Dia terlihat ketakutan dan bermaksud melindungiku dari amukan Diva.
“Mammmmma,” Deandra meraung seraya berlari ke arahku. Tetapi kakinya malah tersandung di kaki Diva. Deandra terjerembab.
Spontan aku menangkap tubuhnya. Tak kupedulikan tangan Diva yang masih mengejar, kini kepalaku yang menjadi sasaran kemarahannya. Mngkin kena pukul tanganya akan terasa sangat sakit, t
Bab 144. Cinta Mas Deo Bukan Napsu“Mmmmama, huk … huk … huk, Mmmmama ….”Aku tersadar. Deandra memanggilku dengan suara serak. Dia kesakitan, bahkan seperti kesulitan bernapas. Kudapati tanganku telah menempel di lehernya.“Mammma!”Tersentak diri ini seketika. Wajah polos tak berdosa itu mendongah, mata cekung itu mengerjap.“Re, Deandra bangun?” tanya Mas Deo menoleh ke belakang.“Kita berhenti dulu, Mas! Kepalaku pusing!” pintaku. Suaraku juga terdengar serak. Segera kunetralkan pacu jantung di dada ini. Namun, keterkejutan ini membuatku kian lemas.Apa yang aku lakukan barusan? Ya, Tuhan. Hampir saja aku mencekik anak tak berdosa ini. Kenapa aku jadi jahat begini? Kenapa aku malah ingin melenyapkan nyawa anak ini?
Bab 145. Bukan Sebagai Pemuas Napsu“Renata? Andai kau tahu, sejak pertama melihatmu di depan gang rumahmu waktu itu, aku telah merasakan perasaan ini. Sedikitpun aku tak menyangaka, ternyata target yang hendak kuhabisi, justru membuatku jatuh cinta. Itu, sebab aku nekat ingin memperkosamu waktu itu. Sebelum kamu mati di tanganku, setidaknya ada kenangan yang bisa kuingat, begitu rencanaku. Beruntunglah hal itu tidak terjadi. Kalau terjadi, mungkin aku akan menyesal seumur hidupku.”“Mammmmma?”Mas Deo langsung melepas pelukan, aku menegakkan tubuh.“Mammmaaaa …..”Deandra berlari ke pangkuanku, menyeka bulir air mata di pipiku dengan kedua tangan mungilnya. Wajahnya terlihat panik. Kedua mata cekung itu membola. Begitu perhatian dia padaku, hingga saat aku menangis pun dia ikut bersedih juga. 
Bab 146 Embun DilamarLangkahku terhenti. Ragu menguasai hati. Ketakutan mulai menyergap. Aku takut dia cemburu, lalu memutuskan secara sepihak. Aku sudah sangat mengenal watak kekasihku. Pasti emosinya sudah meledak-ledak, lalu memutuskan hubungan denganku. Begitu pikirku.“Embun! Kamu memanggilku, bukan?” Aku terhenyak, kini berdiri tepat di hadapanku. Senyum masih merekah di bibirnya. Ketakutan semakin menguasaiku.“Kamu mau pulang bareng aku? Boleh, ayuk!” ajaknya meraih pergelangan tanganku, lalu menarikku menuju mobilnya. Membukakan pintu mobil untukku, mendudukkan tubuhku di kursi depan, menutup pintu mobil perlahan, lalu dia memutar, menghenyakkan tubuh di sisiku, tepat di sebelahku, di belakang stir mobil.“Lho, ini kunci mobilmu? Gimana, dong?” tanyanya melihat kunci mobil tergenggam di tanganku.Aku masih saja
Bab 147. Mata-Mata Di Kantor EmbunPOV Embun=======“Buk Embun? Selamat pagi!” Seorang OB terkejut, saat aku keluar dari pintu lif.“Pagi, Yanto, kan nama kamu?”tanyaku heran.“Iya, Buk. Saya Yanto. Tumben Ibuk ke kantor?” tanyanya dengan ekspresi lebih heran.“Ini kantor milik saya, kenapa saya enggak boleh ke sini? Saya yang heran dengan pertanyaan kamu!” kataku memindai wajahnya.“Oh, iya, Buk. Maaf, saya hanya berpikir, kalau ada sesuatu yang penting, sehingga Ibuk harus datang ke kantor lagi, seperti waktu itu, begitu, Buk, maaf!” Lelaki itu membungkuk dengan sopan.“Oh, begitu? Kamu benar. Kebetulan sekali, aku ada keperluan penting dengan Bu Liza dan Bu Dian. Tolong suruh mereka datang ke rua
Bab 148. Rencana Pembunuhan Darry“Yanto!”“Saya, Pak,” sahutku, tiba-tiba dia menyebut namaku. Mata berkilat itu menatapku tajam. Wajahnya yang masih tegang, dengan rahang mengetat bergerak pelan, mendekati wajahku.“Maju!” perintahnya memintaku berbuat yang sama.Wajah kami kini saling berhadapan begitu dekat. Bahkan desah napasnya terasa menerpa kulit wajahku.“Kau habisi lelaki itu!”Deg!Kegilaan apa ini? Ini tidak benar! Pak Ray sudah sinting!“Kau dengar! Kau habisi dia! Kau bunuh si Darry berengsek itu, bagaimanapun caranya!”“Tidak, Pak. Maaf, saya tidak bisa melakukannya. Saya tidak bisa membunuh seseotrang, Pak. Tolong jangan paksa saya!” Aku mulai menghiba.“Kau lakukan atau,
Bab 149. Dokter Danu (Mengusir) Dian“Diva, Sayang, kok kamu tega banget, sih, ngebiarin aku kek gini? Dulu aja kamu nempel terus. Padahal itu masih haram. Sekarang udah halal, malah kamu yang menghindar terus. Mau ya, Sayang?” Kembali dia mengemis dan kali ini mencoba mengelus elus bahuku. Tangan keriput itu mulai meraba ke bagian lain di tubuh ini. Sepertinya dia sudah bertenaga, setelah dibawakan obat jantung oleh Mas Danu tadi malam. Kalau belum, pasti dia masih loyo tergeletak di kasur saat ini. Sayangnya, begitu dia sedikit bertenaga, napsu liarnya segera menghentak.Daripada aku muntah di atas kasur ini, lebih baik aku keluar, begitu pikirku. Aku bangkit, tetapi dia tetap membandel. Dia mengikutiku ke luar dari kamar.“Diva, ayolah, Mas udah gak sanggup nahan, nih,” lirihnya memelukku dari belakang.“Stop! Cukup ya, Om!” Aku Berteriak, kulonggarkan pel
Bab 150. Bik Las Menyerang DivaBaru saja deru mobil Dian menghilang dari pendengaran. Aku juga belum beranjak dari tempatku menguping pembicaraan mereka tadi. Tiba-tiba terdengar deru sebuah sepeda motor. Entah siapa lagi yang datang.“Bik Las? Ada apa ke sini?” Itu suara Mas Danu, dia belum juga masuk ke dalam rumah karena begitu Dian pergi datang lagi tamu itu.Tetapi, apakah aku tidak salah dengar? Mas Danu menyebut nama Bik Las?“Mana Diva? Aya mau memberi dia pelajaran!”Ups! Babu sialan itu mencariku? Bahkan mengancam mau memberi aku pelajaran? Pelajaran apa? Cara memasak, nyuci, nyetrika, atau buka tutup gerbang seperti tugasnya dulu di rumah Embun? Oh, aku tahu dia mungkin mau memberiku pelajaran tentang cara merawat bandot tua. Secara, ya, dulu si Rahmad itu begitu sehat wal afiat di bawah rawatannya. Sekarang malah sekarat.
Bab 151. Mata-Mata Datang Ke Rumah Embun“Aku senang banget, Sayang.”“Lho, kok, senang? Kan belum dijawab, diterima atau tidak?”“Tetapi dari bahasa kamu, aku bisa menangkap jawabannya.”“Apa coba?”“Aku boleh ke rumah?”“Ngapain?”“Ketemu kamu, Sayang.”“Enggak boleh, belum tiga hari, kan? Besok datang bersama orang tuamu, lamar aku secara resmi.”“Embuuun ….”“Ya, Mas?”“Kamu serius?”“Ya, Sayang.”“Alhamdulillah.”“Kok, Alhamdulillah? Kan, kamu belum tahu jawabannya?”“Jan