Bab 140. Makanya Cepat Halalin Aku!
“Kenapa Mama, Sayang?” tanyaku mengelus kepalanya. Llau menatap lekat wajah kusut Papanya.
“Maaaammmmmaaaaa …..” Hanya itu yang keluar dari mulut Deandra. Kasihan dia. Tubuh kurus kering, seolah kekuranagn gizi ini terlihat semakin memperihantinkan dengan tulang pipi menonjol tak berdaging. Dan mata semakin cekung. Sebagai dokter spesialis anak, hati nuraniku begitu tertonjok. Aku pastikan akan memulihkan kesehatan anak ini. Aku yakin, bola daging mulai bertumbuh di tulang tubuh ini, dia akan menjelma menjadi gadis kecil yang cantik, dan lincah, seperti Raya putri Embun.
“Turun De! Om Dokter sedang sibuk!” perintah Deo meraih kedua lengan putrinya. Deandra langsung berteriak kencang sambil menyebut kata Mama.
“Jangan kasar gitu, Deo! Ini anak kecil!” ucapku melindungi
Bab 141. Aku Calon Kakak Iparmu!“Kenapa, risih? Makanya cepat halalin aku! Minggu depan, ya, kita menikah?”Dokter Danu terhenyak, diletakkannya tubuhnya di bibir kasur, dengan menutup wajah menggunakan kedua telapak tangan. Desahan berat terdengar jelas. Dia tak mencintaiku, sedikitpun tidak. Tetapi dia harus menikahiku, begitu berat. Hehehe, kenapa aku merasa makin nikmat melihat dia menderita seperti itu? Aku tersenyum miring.Kuedarkan pandangan, meneliti setiap jengkal sisi ruang kamar. Kamar ini cukup bersih, rapi lagi. Seorang Dokter tentu saja sangat peduli dengan kebersihan. Tetapi, tunggu! Itu apa?Kubawa langkahku menuju sebuah meja yang terletak di samping tempat tidur. Ada sebuah pigura terletak di sana. Kak Embun? Hey, kenapa foto Kak Embun ada di di atas meja ini? Persis di samping tempat tidur? Kenapa Dokter ini menyimpan foto Kak Embun? Apakah setiap ma
Bab 142. Pertengkaran Dengan DivaSuara deru motor terdengar memasuki halaman. Kudengar langkah kaki Diva menyongsong ke depan. Aku masih rebahan di atas Kasur, milik Dokter Danu. Dia sudah berangkat se jam yang lalu. Kupilih rebahan saja di kamar, untuk menghindari perang dengan Diva. Aku sedang tak ingin bertengkar.Ketukan di pintu kamar, membuatku tersentak. Berani benar Diva mengetuk pintu kamarku. Padahal aku sudah berpesan agar jangan menggangguku. Sepertinya dia memang ingin bermasalah lagi denganku.Ketukan terdengar lagi, kali ini dengan tempo yang lebih cepat dan kencang. Emosiku menjulang. Aku bangkit dengan amarah yang siap disemburkan. Membuka pintu, lalu ….“Mammmmmma ….”Aku tersentak. Seorang anak kecil berdiri di depan pintu. Wajah kurus tak berdaging, mata cekung, tulang pipi menonjol. Rambutnya diikat ekor kuda
Bab 143. Diusir Diva“Kubilang kamu murahan! Di mana-mana cowok yang nyosor cewek, itu aja pakai etika, lah kamu, main nyosor aja, padahal kalian baru juga ini berjumpa! Belum kenal malah, iya, kan? Apa namanya cobak, kalau bukan murahan! Lont* aja di bayar. Ih, jijik, ya aku!” ucapku dengan ekspresi sejijik mungkin.“Kau!” Tangannya terangkat, sebuah tamparan hampir saja menyentuh pipiku.Saat itulah Deandra menjerit. Dia terlihat ketakutan dan bermaksud melindungiku dari amukan Diva.“Mammmmma,” Deandra meraung seraya berlari ke arahku. Tetapi kakinya malah tersandung di kaki Diva. Deandra terjerembab.Spontan aku menangkap tubuhnya. Tak kupedulikan tangan Diva yang masih mengejar, kini kepalaku yang menjadi sasaran kemarahannya. Mngkin kena pukul tanganya akan terasa sangat sakit, t
Bab 144. Cinta Mas Deo Bukan Napsu“Mmmmama, huk … huk … huk, Mmmmama ….”Aku tersadar. Deandra memanggilku dengan suara serak. Dia kesakitan, bahkan seperti kesulitan bernapas. Kudapati tanganku telah menempel di lehernya.“Mammma!”Tersentak diri ini seketika. Wajah polos tak berdosa itu mendongah, mata cekung itu mengerjap.“Re, Deandra bangun?” tanya Mas Deo menoleh ke belakang.“Kita berhenti dulu, Mas! Kepalaku pusing!” pintaku. Suaraku juga terdengar serak. Segera kunetralkan pacu jantung di dada ini. Namun, keterkejutan ini membuatku kian lemas.Apa yang aku lakukan barusan? Ya, Tuhan. Hampir saja aku mencekik anak tak berdosa ini. Kenapa aku jadi jahat begini? Kenapa aku malah ingin melenyapkan nyawa anak ini?
Bab 145. Bukan Sebagai Pemuas Napsu“Renata? Andai kau tahu, sejak pertama melihatmu di depan gang rumahmu waktu itu, aku telah merasakan perasaan ini. Sedikitpun aku tak menyangaka, ternyata target yang hendak kuhabisi, justru membuatku jatuh cinta. Itu, sebab aku nekat ingin memperkosamu waktu itu. Sebelum kamu mati di tanganku, setidaknya ada kenangan yang bisa kuingat, begitu rencanaku. Beruntunglah hal itu tidak terjadi. Kalau terjadi, mungkin aku akan menyesal seumur hidupku.”“Mammmmma?”Mas Deo langsung melepas pelukan, aku menegakkan tubuh.“Mammmaaaa …..”Deandra berlari ke pangkuanku, menyeka bulir air mata di pipiku dengan kedua tangan mungilnya. Wajahnya terlihat panik. Kedua mata cekung itu membola. Begitu perhatian dia padaku, hingga saat aku menangis pun dia ikut bersedih juga. 
Bab 146 Embun DilamarLangkahku terhenti. Ragu menguasai hati. Ketakutan mulai menyergap. Aku takut dia cemburu, lalu memutuskan secara sepihak. Aku sudah sangat mengenal watak kekasihku. Pasti emosinya sudah meledak-ledak, lalu memutuskan hubungan denganku. Begitu pikirku.“Embun! Kamu memanggilku, bukan?” Aku terhenyak, kini berdiri tepat di hadapanku. Senyum masih merekah di bibirnya. Ketakutan semakin menguasaiku.“Kamu mau pulang bareng aku? Boleh, ayuk!” ajaknya meraih pergelangan tanganku, lalu menarikku menuju mobilnya. Membukakan pintu mobil untukku, mendudukkan tubuhku di kursi depan, menutup pintu mobil perlahan, lalu dia memutar, menghenyakkan tubuh di sisiku, tepat di sebelahku, di belakang stir mobil.“Lho, ini kunci mobilmu? Gimana, dong?” tanyanya melihat kunci mobil tergenggam di tanganku.Aku masih saja
Bab 147. Mata-Mata Di Kantor EmbunPOV Embun=======“Buk Embun? Selamat pagi!” Seorang OB terkejut, saat aku keluar dari pintu lif.“Pagi, Yanto, kan nama kamu?”tanyaku heran.“Iya, Buk. Saya Yanto. Tumben Ibuk ke kantor?” tanyanya dengan ekspresi lebih heran.“Ini kantor milik saya, kenapa saya enggak boleh ke sini? Saya yang heran dengan pertanyaan kamu!” kataku memindai wajahnya.“Oh, iya, Buk. Maaf, saya hanya berpikir, kalau ada sesuatu yang penting, sehingga Ibuk harus datang ke kantor lagi, seperti waktu itu, begitu, Buk, maaf!” Lelaki itu membungkuk dengan sopan.“Oh, begitu? Kamu benar. Kebetulan sekali, aku ada keperluan penting dengan Bu Liza dan Bu Dian. Tolong suruh mereka datang ke rua
Bab 148. Rencana Pembunuhan Darry“Yanto!”“Saya, Pak,” sahutku, tiba-tiba dia menyebut namaku. Mata berkilat itu menatapku tajam. Wajahnya yang masih tegang, dengan rahang mengetat bergerak pelan, mendekati wajahku.“Maju!” perintahnya memintaku berbuat yang sama.Wajah kami kini saling berhadapan begitu dekat. Bahkan desah napasnya terasa menerpa kulit wajahku.“Kau habisi lelaki itu!”Deg!Kegilaan apa ini? Ini tidak benar! Pak Ray sudah sinting!“Kau dengar! Kau habisi dia! Kau bunuh si Darry berengsek itu, bagaimanapun caranya!”“Tidak, Pak. Maaf, saya tidak bisa melakukannya. Saya tidak bisa membunuh seseotrang, Pak. Tolong jangan paksa saya!” Aku mulai menghiba.“Kau lakukan atau,