Bab 137. Dendam Renata
“Mas ….”
“Dua hari sudah kau mendiamkan aku, bukan. Kau juga tak mengundangku di pernikahan papamu tadi. Hanya karena mengingat undangan Diva dua hari yang lalu, aku memberanikan diri untuk datang. Kau tahu, sudah hampir sejam aku menunggu di luar pagar. Bingung dan ragu untuk melangkah ke dalam. Entah kekuatan dari mana, hingga kaki ini bergerak sendiri tanpa dapat kucegah. Kaki ini yang membawaku masuk, Embun. Kutempatkan diriku di samping OB mu itu. Merasa tak pantas diri ini duduk di antara tamu-tamu undangan khususmu. Aku tamu tak diundang, tempatku di dekat pintu saja, agar ketika diusir olehmu, tak butuh waktu lama untukku berlalu.”
“Mas Darry ….”
Kujatuhkan kepalaku di dada bidang itu. Sesegukan tangisku di sana. Penyesalan ini mengaduk jiwa. Ya, aku sangat menyesal telah mendiamkannya dua hari ini.
Bab 138. Menolak Status Gadis Tak Perawan“Begitu, artinya kau tidak mau, bukan? Ok, aku akan—“ ancamku.“Tunggu-tunggu, baik aku akan datang sekarang juga, tunggu, ya!”“Hem!”Kak Liza menatapku lekat. Aku hanya menghentak napas dengan kasar.“Itu tadi Dokter Danu?” tanyanya heran.“Ya. Dokter Danu,” jawabku acuh.“Kenapa mesti Dokter Danu? Kan ada Kakak? Ada Deo juga.”“Maaf, Kak. Aku tidak bisa ikut sama Kakak, maupun Mas Deo. Mulai sekarang aku akan tinggal dengan Dokter Danu! Aku bahkan akan memintanya menikahiku dengan segera.”“Re, kamu?”Kak Liza tercekat.“Kenapa? Kakak ragu? Kakak pikir Dokter Danu akan menolakku?”“T
Bab 139. Petunjuk Dari Embun menghadapi RenataPOV Dr. DanuKenapa Renata tiba-tiba menelponku? Dari awal dia sangat membenci diriku, sama seperti dia membenci Papa. Aku bahkan tidak menungguinya di rumah sakit waktu.Tawaranku untuk menikahinya seagai bentuk pertanggungjawabanku akan perbuatan Papa, pun ditolaknya mentah-mentah. Permintaannya hanya satu, hukum Papa seberat-beratnya. Hari ini, tetiba dia menelpon, minta aku yang menjemputnya keluar dari rumah sakit. Apa maksud Renata sebenarnya? Apakah dia kecewa dengan masa tahanan Papa?Ponselku berbunyi, sebuah pesan masuk lewat aplikasi whatsapp. Mbak Liza. Ada apa dia mengirim pesan padaku?[Dokter, sepertinya Dokter tidak usah mau menjemput Renata! Dia sedang labil lagi. Emosinya berubah-ubah. Saat ini, entah apa pula yang sedang diencanakannya. Yang pasti, dia ingin memaksa Anda untuk menikahinya.]Tersentak kaget. Se
Bab 140. Makanya Cepat Halalin Aku!“Kenapa Mama, Sayang?” tanyaku mengelus kepalanya. Llau menatap lekat wajah kusut Papanya.“Maaaammmmmaaaaa …..” Hanya itu yang keluar dari mulut Deandra. Kasihan dia. Tubuh kurus kering, seolah kekuranagn gizi ini terlihat semakin memperihantinkan dengan tulang pipi menonjol tak berdaging. Dan mata semakin cekung. Sebagai dokter spesialis anak, hati nuraniku begitu tertonjok. Aku pastikan akan memulihkan kesehatan anak ini. Aku yakin, bola daging mulai bertumbuh di tulang tubuh ini, dia akan menjelma menjadi gadis kecil yang cantik, dan lincah, seperti Raya putri Embun.“Turun De! Om Dokter sedang sibuk!” perintah Deo meraih kedua lengan putrinya. Deandra langsung berteriak kencang sambil menyebut kata Mama.“Jangan kasar gitu, Deo! Ini anak kecil!” ucapku melindungi
Bab 141. Aku Calon Kakak Iparmu!“Kenapa, risih? Makanya cepat halalin aku! Minggu depan, ya, kita menikah?”Dokter Danu terhenyak, diletakkannya tubuhnya di bibir kasur, dengan menutup wajah menggunakan kedua telapak tangan. Desahan berat terdengar jelas. Dia tak mencintaiku, sedikitpun tidak. Tetapi dia harus menikahiku, begitu berat. Hehehe, kenapa aku merasa makin nikmat melihat dia menderita seperti itu? Aku tersenyum miring.Kuedarkan pandangan, meneliti setiap jengkal sisi ruang kamar. Kamar ini cukup bersih, rapi lagi. Seorang Dokter tentu saja sangat peduli dengan kebersihan. Tetapi, tunggu! Itu apa?Kubawa langkahku menuju sebuah meja yang terletak di samping tempat tidur. Ada sebuah pigura terletak di sana. Kak Embun? Hey, kenapa foto Kak Embun ada di di atas meja ini? Persis di samping tempat tidur? Kenapa Dokter ini menyimpan foto Kak Embun? Apakah setiap ma
Bab 142. Pertengkaran Dengan DivaSuara deru motor terdengar memasuki halaman. Kudengar langkah kaki Diva menyongsong ke depan. Aku masih rebahan di atas Kasur, milik Dokter Danu. Dia sudah berangkat se jam yang lalu. Kupilih rebahan saja di kamar, untuk menghindari perang dengan Diva. Aku sedang tak ingin bertengkar.Ketukan di pintu kamar, membuatku tersentak. Berani benar Diva mengetuk pintu kamarku. Padahal aku sudah berpesan agar jangan menggangguku. Sepertinya dia memang ingin bermasalah lagi denganku.Ketukan terdengar lagi, kali ini dengan tempo yang lebih cepat dan kencang. Emosiku menjulang. Aku bangkit dengan amarah yang siap disemburkan. Membuka pintu, lalu ….“Mammmmmma ….”Aku tersentak. Seorang anak kecil berdiri di depan pintu. Wajah kurus tak berdaging, mata cekung, tulang pipi menonjol. Rambutnya diikat ekor kuda
Bab 143. Diusir Diva“Kubilang kamu murahan! Di mana-mana cowok yang nyosor cewek, itu aja pakai etika, lah kamu, main nyosor aja, padahal kalian baru juga ini berjumpa! Belum kenal malah, iya, kan? Apa namanya cobak, kalau bukan murahan! Lont* aja di bayar. Ih, jijik, ya aku!” ucapku dengan ekspresi sejijik mungkin.“Kau!” Tangannya terangkat, sebuah tamparan hampir saja menyentuh pipiku.Saat itulah Deandra menjerit. Dia terlihat ketakutan dan bermaksud melindungiku dari amukan Diva.“Mammmmma,” Deandra meraung seraya berlari ke arahku. Tetapi kakinya malah tersandung di kaki Diva. Deandra terjerembab.Spontan aku menangkap tubuhnya. Tak kupedulikan tangan Diva yang masih mengejar, kini kepalaku yang menjadi sasaran kemarahannya. Mngkin kena pukul tanganya akan terasa sangat sakit, t
Bab 144. Cinta Mas Deo Bukan Napsu“Mmmmama, huk … huk … huk, Mmmmama ….”Aku tersadar. Deandra memanggilku dengan suara serak. Dia kesakitan, bahkan seperti kesulitan bernapas. Kudapati tanganku telah menempel di lehernya.“Mammma!”Tersentak diri ini seketika. Wajah polos tak berdosa itu mendongah, mata cekung itu mengerjap.“Re, Deandra bangun?” tanya Mas Deo menoleh ke belakang.“Kita berhenti dulu, Mas! Kepalaku pusing!” pintaku. Suaraku juga terdengar serak. Segera kunetralkan pacu jantung di dada ini. Namun, keterkejutan ini membuatku kian lemas.Apa yang aku lakukan barusan? Ya, Tuhan. Hampir saja aku mencekik anak tak berdosa ini. Kenapa aku jadi jahat begini? Kenapa aku malah ingin melenyapkan nyawa anak ini?
Bab 145. Bukan Sebagai Pemuas Napsu“Renata? Andai kau tahu, sejak pertama melihatmu di depan gang rumahmu waktu itu, aku telah merasakan perasaan ini. Sedikitpun aku tak menyangaka, ternyata target yang hendak kuhabisi, justru membuatku jatuh cinta. Itu, sebab aku nekat ingin memperkosamu waktu itu. Sebelum kamu mati di tanganku, setidaknya ada kenangan yang bisa kuingat, begitu rencanaku. Beruntunglah hal itu tidak terjadi. Kalau terjadi, mungkin aku akan menyesal seumur hidupku.”“Mammmmma?”Mas Deo langsung melepas pelukan, aku menegakkan tubuh.“Mammmaaaa …..”Deandra berlari ke pangkuanku, menyeka bulir air mata di pipiku dengan kedua tangan mungilnya. Wajahnya terlihat panik. Kedua mata cekung itu membola. Begitu perhatian dia padaku, hingga saat aku menangis pun dia ikut bersedih juga.