Aku terkejut melihat siapa yang datang. Mbak Silvi pasti lupa menutup pintu saat Mas Raka pulang tadi. Memang biasanya hanya saat kami tinggal berdua saja aku baru telaten untuk mengunci pintu. Karena merasa takut hanya tinggal berdua saja di rumah besar seperti ini.Takut kalau-kalau ada yang masuk secara diam-diam, lalu bersembunyi. Ada banyak ruangan di rumah ini. Tak seperti di rumahku. Suara orang berbisik pun masih bisa terdengar. Aku takut orang itu akan beraksi saat malam hari, disaat semua orang sudah tidur. Seperti paranoid sendiri aku tinggal di rumah orang kaya seperti ini. Tapi lihatlah sekarang. Hanya karena aku tak ikut andil mengunci pintu depan, seseorang yang harusnya tak perlu mendengar, jadi tahu. Dan pasti akan berpikiran yang tidak-tidak. Padahal, semua ini sudah menjadi keinginanku sendiri. Tanpa paksaan, dan juga intimidasi dari siapapun."Keterlaluan kamu, Raka. Seenaknya saja memperlakukan istri kamu seperti itu. Dasar anak kurang ajar. Apa kamu nggak mikir
Mbak Silvi semakin ketakutan. Dia mencoba untuk bangkit dengan kepayahan. Refleks aku yang tadi duduk berlutut di bawah sofa, memeganginya."Jangan banyak gerak, Mbak." Aku memberanikan diri bersuara. Mbak Silvi tak menyahut. Lalu dengan pelan, menurunkan tanganku agar membiarkannya sendiri."Silvi lah yang meminta Mas Raka untuk menceraikan Delima, Ma. Silvi yang terus-terusan mendesaknya. Silvi yang egois dan ingin menguasai Mas Raka seorang diri." Dengan berlinang air mata ia menceritakan semuanya.Jujur, tak ada lagi yang ia tutup-tutupi. Demi rasa cintanya pada Mas Raka dia mengakui semua kesalahannya. Tak ingin laki-laki yang begitu ia cintai mendapat sumpah serapah dari wanita tegas yang ada di hadapan kami ini.Aku yang sudah tahu semuanya tak lagi merasa terkejut. Hanya menyayangkan, kenapa dia membeberkan semuanya sendiri. Padahal aku dan Mas Raka sudah sama-sama sepakat untuk meyimpan rahasia ini.Mencoba mencari alasan lain yang lebih tepat agar aku bisa meninggalkan rumah
Untuk ke dua kalinya aku menginjakkan kaki di rumah Mama. Sepanjang perjalanan kami hanya diam. Wajah Mama begitu tegang dan terlihat masih sangat marah. Oleh sebab itu, aku tak berani berkata apa pun. Bahkan untuk meminta pulang ke kampung.Mas Deni membantu membawakan tas pakaianku ke dalam. Rumah Mama besar. Namun dia hanya tinggal berdua saja dengan Bik Inah, asisten rumah tangga yang membantu pekerjaan di sini.Sebenarnya untuk urusan membereskan rumah, Mama masih sanggup seorang diri. Meski usianya hampir menginjak usia enam puluh tahun, tapi tubuhnya masih fit. Dia hanya merasa kesepian sendirian di rumah.Kedua anak perempuannya ikut suami masing-masing. Hanya saja beliau mewajibkan anak-anaknya untuk saling berkumpul, dan datang ke rumah minimal satu minggu sekali.Kalau tidak, dialah yang akan datang mengunjungi anak-anaknya. Seperti ketika Mbak Silvi sedang hamil saat ini. Dialah yang sering datang menjenguk, karena kondisi Mbak Silvi yang belum bisa bepergian. Makanya aku
Malam ini, aku dan Bik Inah makan malam berdua saja. Mama sama sekali tidak keluar sejak pulang tadi. Aku ingin memanggilnya, khawatir kalau terjadi apa-apa.Tapi kata Bik Inah, Mama memang seperti itu kalau sedang ada yang mengganggu pikirannya. Sama persis seperti yang diucapkan Mas Deni. Jadi tidak perlu diganggu. Nanti kalau mau, dia akan keluar sendiri. Kasihan Mama, gara-gara masalahku, dia jadi seperti ini.Usai makan malam dan membantu Bik Inah, aku langsung menuju lantai atas. Kamar ini, kamar yang kami gunakan saat mengganti pakaian bersama Mbak Silvi saat ada hajatan kemarin. Kata Bik Inah, kamar itu dulunya kamar Mas Raka. Dan masih selalu digunakan setiap Mas Raka dan Mbak Silvi menginap.Aku yang sedang berbaring di ranjang, tiba-tiba dikejutkan dengan nomor panggilan dari Mas Raka. Untuk apa dia meneleponku. Meski dengan tanda tanya, namun aku memilih mengabaikan panggilan itu.Tak berapa lama, sebuah pesan whatsapp masuk. Masih dari nomor yang sama.[Dek, Mbak mu sakit
Pagi harinya aku membantu Bik Inah beres-beres di dapur. Selesai Bik Inah membuat sarapan, aku mencucikan piringnya. "Mama masih nggak mau keluar ya, Bik?" tanyaku."Iya, Mbak. Kayaknya tadi malam Ibuk ndak makan malam," sahut Bik Inah."Delima jadi khawatir, Bik. Emang Mama sering gitu ya. Kalau sakit gimana? Delima bawain sarapan aja ke kamar, ya?" Aku merasa cemas."Bukan Mama yang harus kamu kuatirkan, Delima." Tiba-tiba Mama muncul. Dengan cepat aku menarik kursi dan mempersilahkannya duduk di kursi makan."Mama mau sarapan? Minum teh ya, Ma. Masih hangat. Baru aja mau Delima antar ke kamar." Aku merasa sedikit tenang karena akhirnya Mama keluar dari persembunyiannya."Duduk!" perintah Mama. Menunjuk kursi di depannya dengan anggukan kepala. Aku pun menurut."Bagaimana perasaan kamu sekarang?" tanya Mama. Jujur saja, aku tak lagi merasakan apa pun. Tak ada rasa kecewa, atau menyesal karena meninggalkan rumah itu. Yang kupikirkan sekarang hanyalah tentang kepulanganku ke kampung
"Terus hubungan Mas Raka sama Mbak Indah gimana? Masih sering ketemu?""Hubungan apa to, Delima? Ngomong aja jarang. Mama sudah bilang, suamimu itu aslinya pendiem. Sama Indah pun jarang ngomong. Pergi-pergi juga jarang. Tapi Indahnya masih sering datang. Sampai sekarang pun, dia masih sering ke sini. Kamu belum pernah ketemu, ya? Pas hajatan Lara kemarin dia juga ada kok."Dia juga hadir saat hajatan itu? Pantas saja dia tahu tentang keberadaanku. Dia pasti punya niatan yang tidak baik. Lagi pula, untuk apa juga dia sering-sering datang bertamu, padahal dia tahu kalau Mas Raka sudah menikah dengan Mbak Silvi. Dia pasti punya rencana untuk merebut Mas Raka kembali."Udah, udah. Mulai sekarang kamu tinggal sama Mama aja di sini. Nggak baik juga tinggal serumah sama madu. Pasti salah satu akan diperlakukan tidak adil nantinya. Pantas saja setiap Mama ke sana, kamu terus yang kerja. Rupanya mereka hanya menganggap kamu sebagai pembantu.""Eh, enggak kok, Ma. Itu karena Mbak Silvi lagi sa
Aku dan Bik Inah kembali saling menoleh. Aku mengunci rapat mulutku sendiri. Sama sekali tak berani lagi bicara apa pun. Itu baru meja yang digeprek. Kalau sampai salah bicara lagi, mungkin bisa berterbangan semua barang-barang di dapur ini.Akhirnya aku menemani Mama sarapan dengan penuh kesunyian. Untuk mengatakan bahwa Mas Raka menelepon dan mengabarkan kesehatan Mbak Silvi pun aku tak berani. Usai sarapan, Mama kembali lagi ke kamar. Sedangkan aku membersihkan meja sisa sarapan tadi."Mbak Delima yang sabar ya, Mbak," ucap Bik Inah. "Bibik turut prihatin dengan apa yang terjadi sama Mbak.""Iya, Bik. Delima nggak apa-apa kok. Malah akhirnya Delima bersyukur dengan ketidak adilan Mas Raka. Delima jadi masih seperti gadis saja saat ini.""Tapi, Mbak Delima nurut aja sama Ibuk, ya. Ibuk itu aslinya baik banget, lho. Nggak tegaan sama orang. Lagipula, benar kata Ibuk. Kasian Buenya Mbak Delima di kampung."Aku pun mengangguk saja. *Karena tak jadi pulang ke kampung, aku mulai berad
Aku tersenyum melihat Mas Deni yang tiba-tiba datang. Atau mungkin dia sudah mendengarkan ucapan kami barusan."Eh, kamu, Den. Ngagetin aja," ucap Mbak Indah. Hanya saja gaya bicaranya sedikit lemah lembut daripada saat bicara denganku tadi."Ngapain kamu?" tanya Mas Deni."Mau ketemu Tante Rima aja. Lagi bosan di rumah.""Bulek lagi nggak enak badan. Lagi nggak mau diganggu.""Tante sakit ya, Den. Aku mau jenguk ah. Raka di dalem juga, kan?"Wanita ini benar-benar tidak tahu malu. Terang-terangan menunjukkan sikapnya pada semua orang."Raka nggak ada.""Lho, tapi ini...." Dia memandangiku dari atas ke bawah. Dia pasti berpikir, kalau aku datang ke sini bersama Mas Raka."Delima ke sini karena permintaan mertuanya. Kangen sama mantu, makanya sampe sakit." Mas Deni mengarang cerita.Mbak Indah memasang wajah tak suka. Dia cemberut. "Aku juga pengen ketemu, kok. Tante juga pasti kangen sama aku. Aku kan juga dulu calon menantunya." Dia melirikku. Seolah ingin memanas-manasiku."Kamu ka