"Terus hubungan Mas Raka sama Mbak Indah gimana? Masih sering ketemu?""Hubungan apa to, Delima? Ngomong aja jarang. Mama sudah bilang, suamimu itu aslinya pendiem. Sama Indah pun jarang ngomong. Pergi-pergi juga jarang. Tapi Indahnya masih sering datang. Sampai sekarang pun, dia masih sering ke sini. Kamu belum pernah ketemu, ya? Pas hajatan Lara kemarin dia juga ada kok."Dia juga hadir saat hajatan itu? Pantas saja dia tahu tentang keberadaanku. Dia pasti punya niatan yang tidak baik. Lagi pula, untuk apa juga dia sering-sering datang bertamu, padahal dia tahu kalau Mas Raka sudah menikah dengan Mbak Silvi. Dia pasti punya rencana untuk merebut Mas Raka kembali."Udah, udah. Mulai sekarang kamu tinggal sama Mama aja di sini. Nggak baik juga tinggal serumah sama madu. Pasti salah satu akan diperlakukan tidak adil nantinya. Pantas saja setiap Mama ke sana, kamu terus yang kerja. Rupanya mereka hanya menganggap kamu sebagai pembantu.""Eh, enggak kok, Ma. Itu karena Mbak Silvi lagi sa
Aku dan Bik Inah kembali saling menoleh. Aku mengunci rapat mulutku sendiri. Sama sekali tak berani lagi bicara apa pun. Itu baru meja yang digeprek. Kalau sampai salah bicara lagi, mungkin bisa berterbangan semua barang-barang di dapur ini.Akhirnya aku menemani Mama sarapan dengan penuh kesunyian. Untuk mengatakan bahwa Mas Raka menelepon dan mengabarkan kesehatan Mbak Silvi pun aku tak berani. Usai sarapan, Mama kembali lagi ke kamar. Sedangkan aku membersihkan meja sisa sarapan tadi."Mbak Delima yang sabar ya, Mbak," ucap Bik Inah. "Bibik turut prihatin dengan apa yang terjadi sama Mbak.""Iya, Bik. Delima nggak apa-apa kok. Malah akhirnya Delima bersyukur dengan ketidak adilan Mas Raka. Delima jadi masih seperti gadis saja saat ini.""Tapi, Mbak Delima nurut aja sama Ibuk, ya. Ibuk itu aslinya baik banget, lho. Nggak tegaan sama orang. Lagipula, benar kata Ibuk. Kasian Buenya Mbak Delima di kampung."Aku pun mengangguk saja. *Karena tak jadi pulang ke kampung, aku mulai berad
Aku tersenyum melihat Mas Deni yang tiba-tiba datang. Atau mungkin dia sudah mendengarkan ucapan kami barusan."Eh, kamu, Den. Ngagetin aja," ucap Mbak Indah. Hanya saja gaya bicaranya sedikit lemah lembut daripada saat bicara denganku tadi."Ngapain kamu?" tanya Mas Deni."Mau ketemu Tante Rima aja. Lagi bosan di rumah.""Bulek lagi nggak enak badan. Lagi nggak mau diganggu.""Tante sakit ya, Den. Aku mau jenguk ah. Raka di dalem juga, kan?"Wanita ini benar-benar tidak tahu malu. Terang-terangan menunjukkan sikapnya pada semua orang."Raka nggak ada.""Lho, tapi ini...." Dia memandangiku dari atas ke bawah. Dia pasti berpikir, kalau aku datang ke sini bersama Mas Raka."Delima ke sini karena permintaan mertuanya. Kangen sama mantu, makanya sampe sakit." Mas Deni mengarang cerita.Mbak Indah memasang wajah tak suka. Dia cemberut. "Aku juga pengen ketemu, kok. Tante juga pasti kangen sama aku. Aku kan juga dulu calon menantunya." Dia melirikku. Seolah ingin memanas-manasiku."Kamu ka
"Dih, emangnya Mas Deni kenapa? Harus dikerjain segala?" Aku mulai berani ikutan menggodanya. Aku tahu, Mas Deni pasti hanya ingin mengajakku bercanda. Berusaha untuk menghiburku saja. Dia pasti berpikir, kalau aku ini sedang larut dalam kesedihan. Padahal, memang perceraian inilah yang aku harapkan."Eh, itu. Maksud Mas, ya seperti yang Mas bilang tadi. Nanti Mas carikan kerjaan buat kamu." Anehnya dia malah terlihat gugup. Padahal aku sudah bisa menangkap maksud ucapannya."Wah, makasih ya, Mas. Jadi tukang bersih-bersih juga Delima mau kok. Yang penting kerja.""Iya, iya. Nanti Mas usahakan." Dia mengusap-usap leher belakangnya. Aneh..Aku menceritakan pembicaraan itu saat makan malam. Mama tampak tersenyum mendengar ucapanku yang begitu bersemangat. Kali ini Mama makan dengan begitu lahap. Sepertinya suasana hatinya sudah jauh lebih tenang."Kenapa nggak diajak makan malam aja Deninya tadi?" tanya Mama kemudian."Astaghfirullah alaziim. Delima nggak kepikiran, Ma. Aduh, kira-ki
"La, iya. Mas Deni kan tinggal sendiri. Jadi, seminggu sekali, Bibik ke sana buat bersih-bersih.""Oh, gitu. Delima boleh ikut nggak, Bik?" Aku juga ingin sekali melihat tempat tinggalnya Mas Deni. Sejak tinggal di sini, tak sekalipun aku pernah diajak ke sana.Mungkin karena dia tinggal sendiri. Lagipula, mana mungkin dia mau mengajakku ke rumahnya. Jelas-jelas aku ini masih jadi istri sepupunya. Dasar aku nya saja yang tidak tahu diri, dan terlalu banyak berharap."Boleh, Mbak. Ayuk."Bik Inah seperti sudah terbiasa. Dia membuka pintu dengan kunci yang dia pegang. Mas Deni tidak ada di rumah. Pasti mengantar Mama ke rumah Lara. Seperti yang biasa dia lakukan saat ke rumah Mas Raka. Dan sepertinya, Bik Inah sudah menjadi orang kepercayaan memegang kunci rumahnya.Rumah Mas Deni tak kalah besar sama rumah Mama. Heran juga melihat rumah-rumah di kota. Untuk apa mereka membangun rumah besar-besar, kalau toh akhirnya tinggal sendirian juga. Sama halnya dengan Mama. Kalau bukan karena ada
"Mas Raka?" Mataku membesar, melihat dia yang tiba-tiba datang.Dia berjalan dengan perlahan mendekatiku. Aku refleks melangkah mundur.Sedang apa dia di sini? Apa Bik Inah belum juga kembali? Apa saat ini kami sedang berdua saja di rumah? Kenapa dia mengunci pintu? Apa dia berniat berbuat yang tidak-tidak padaku? Berbagai pertanyaan berkecamuk di pikiranku."Mas Raka? Sedang apa di sini?" Aku memberanikan diri bertanya."Ini kan kamar Mas, Dek," jawabnya, semakin mendekatiku."I-iya. Maaf. Mama yang nyuruh Delima nempati kamar ini." Aku semakin gugup."Ya, nggak papa. Mas kan nggak ada ngelarang, atau nyuruh kamu keluar.""Maksud Delima, Mas Raka mau apa ke sini? Mama lagi nggak ada. Emang Mas Raka, belum tau, kalau Lara sudah mau lahiran?""Mas kangen sama kamu, Dek." Dia semakin mendekat. Aku yang merasa terpojok, berusaha untuk menghindar. Namun, tangannya dengan cepat menarik pinggangku hingga kini berada dalam dekapannya."Mas Raka mau apa?" Aku semakin ketakutan. Tubuhku meron
Dia bangkit dan keluar dengan marah. Aku kembali terduduk lemah di atas ranjang. Merasa lega, karena kembali dapat terbebas darinya. Aku tak menyangka, kalau sikap Mas Raka jadi mengerikan seperti itu. Tak lama aku menyusul ke bawah. Kulihat Bik Inah dan Mas Deni sedang mengobrol berdua."Mas Raka nya mana, Bik?" tanyaku."Sudah pulang, Mbak," jawab Bik Inah."Oh, syukurlah." Aku menarik napas lega."Memangnya Raka kenapa, Delima? Apa yang udah dia lakuin sama kamu? Ngapain dia masuk ke kamar kamu? Bukannya kalian sudah mau bercerai?" Mas Deni terlihat seperti khawatir."Eh, anu. Enggak apa-apa, Mas. Mas Raka cuman mau tau kabar Delima aja. Karena pesan dari Mas Raka nggak pernah Delima balas." Aku beralasan."Oh, baguslah. Soalnya tadi pas Mas tegur, dia langsung pergi gitu aja. Mas takut kamu kenapa-napa.""Makasih ya, Mas. Udah khawatirin Delima.""Iya, Delima. Lain kali kalau kamu kenapa-napa, jangan ragu hubungi Mas, ya.""Iya, Mas. Kalau Mas nggak keberatan.""Enggak kok. Mas d
Tanpa kami sadari, rupanya Mama sudah ada di dapur. Saking asyiknya kami mengobrol hingga tak mendengar suara langkah kaki Mama.“Eh, anu, Buk. Tadi Mas Raka datang.” Bik Inah dengan cepat menjawab.“Raka? Mau apa dia kemari?”Aku dan Bik Inah saling menoleh. Apa lagi alasanku kali ini agar Mama tak semakin marah dan membenci anak laki-lakinya itu.“Jawab, Delima!” Sepertinya Mama tak sabar menunggu jawaban.“Anu, Ma. Mas Raka hanya menanyakan kabar Delima aja.”“Terus?”“Mas Raka tidak mau menceraikan Delima, Ma.” Aku tak bisa lagi menyembunyikannya.“Kamunya gimana?” Aku mengernyit. Pertanyaan macam apa itu. Jelas-jelas aku sudah bilang ingin cepat-cepat bercerai.Apalagi melihat kelancangan Mas Raka tadi. Andai aku masih terus menjadi istrinya, dia pasti akan terus mencoba mendapatkan apa yang dia inginkan. Apa lagi saat ini Mbak Silvi belum juga bisa melayaninya layaknya seorang istri. Pada siapa lagi dia tuntaskan hasratnya itu, kalau bukan padaku.“Bagaimana, Delima?” Mama mengu