Aku dan Bik Inah kembali saling menoleh. Aku mengunci rapat mulutku sendiri. Sama sekali tak berani lagi bicara apa pun. Itu baru meja yang digeprek. Kalau sampai salah bicara lagi, mungkin bisa berterbangan semua barang-barang di dapur ini.Akhirnya aku menemani Mama sarapan dengan penuh kesunyian. Untuk mengatakan bahwa Mas Raka menelepon dan mengabarkan kesehatan Mbak Silvi pun aku tak berani. Usai sarapan, Mama kembali lagi ke kamar. Sedangkan aku membersihkan meja sisa sarapan tadi."Mbak Delima yang sabar ya, Mbak," ucap Bik Inah. "Bibik turut prihatin dengan apa yang terjadi sama Mbak.""Iya, Bik. Delima nggak apa-apa kok. Malah akhirnya Delima bersyukur dengan ketidak adilan Mas Raka. Delima jadi masih seperti gadis saja saat ini.""Tapi, Mbak Delima nurut aja sama Ibuk, ya. Ibuk itu aslinya baik banget, lho. Nggak tegaan sama orang. Lagipula, benar kata Ibuk. Kasian Buenya Mbak Delima di kampung."Aku pun mengangguk saja. *Karena tak jadi pulang ke kampung, aku mulai berad
Aku tersenyum melihat Mas Deni yang tiba-tiba datang. Atau mungkin dia sudah mendengarkan ucapan kami barusan."Eh, kamu, Den. Ngagetin aja," ucap Mbak Indah. Hanya saja gaya bicaranya sedikit lemah lembut daripada saat bicara denganku tadi."Ngapain kamu?" tanya Mas Deni."Mau ketemu Tante Rima aja. Lagi bosan di rumah.""Bulek lagi nggak enak badan. Lagi nggak mau diganggu.""Tante sakit ya, Den. Aku mau jenguk ah. Raka di dalem juga, kan?"Wanita ini benar-benar tidak tahu malu. Terang-terangan menunjukkan sikapnya pada semua orang."Raka nggak ada.""Lho, tapi ini...." Dia memandangiku dari atas ke bawah. Dia pasti berpikir, kalau aku datang ke sini bersama Mas Raka."Delima ke sini karena permintaan mertuanya. Kangen sama mantu, makanya sampe sakit." Mas Deni mengarang cerita.Mbak Indah memasang wajah tak suka. Dia cemberut. "Aku juga pengen ketemu, kok. Tante juga pasti kangen sama aku. Aku kan juga dulu calon menantunya." Dia melirikku. Seolah ingin memanas-manasiku."Kamu ka
"Dih, emangnya Mas Deni kenapa? Harus dikerjain segala?" Aku mulai berani ikutan menggodanya. Aku tahu, Mas Deni pasti hanya ingin mengajakku bercanda. Berusaha untuk menghiburku saja. Dia pasti berpikir, kalau aku ini sedang larut dalam kesedihan. Padahal, memang perceraian inilah yang aku harapkan."Eh, itu. Maksud Mas, ya seperti yang Mas bilang tadi. Nanti Mas carikan kerjaan buat kamu." Anehnya dia malah terlihat gugup. Padahal aku sudah bisa menangkap maksud ucapannya."Wah, makasih ya, Mas. Jadi tukang bersih-bersih juga Delima mau kok. Yang penting kerja.""Iya, iya. Nanti Mas usahakan." Dia mengusap-usap leher belakangnya. Aneh..Aku menceritakan pembicaraan itu saat makan malam. Mama tampak tersenyum mendengar ucapanku yang begitu bersemangat. Kali ini Mama makan dengan begitu lahap. Sepertinya suasana hatinya sudah jauh lebih tenang."Kenapa nggak diajak makan malam aja Deninya tadi?" tanya Mama kemudian."Astaghfirullah alaziim. Delima nggak kepikiran, Ma. Aduh, kira-ki
"La, iya. Mas Deni kan tinggal sendiri. Jadi, seminggu sekali, Bibik ke sana buat bersih-bersih.""Oh, gitu. Delima boleh ikut nggak, Bik?" Aku juga ingin sekali melihat tempat tinggalnya Mas Deni. Sejak tinggal di sini, tak sekalipun aku pernah diajak ke sana.Mungkin karena dia tinggal sendiri. Lagipula, mana mungkin dia mau mengajakku ke rumahnya. Jelas-jelas aku ini masih jadi istri sepupunya. Dasar aku nya saja yang tidak tahu diri, dan terlalu banyak berharap."Boleh, Mbak. Ayuk."Bik Inah seperti sudah terbiasa. Dia membuka pintu dengan kunci yang dia pegang. Mas Deni tidak ada di rumah. Pasti mengantar Mama ke rumah Lara. Seperti yang biasa dia lakukan saat ke rumah Mas Raka. Dan sepertinya, Bik Inah sudah menjadi orang kepercayaan memegang kunci rumahnya.Rumah Mas Deni tak kalah besar sama rumah Mama. Heran juga melihat rumah-rumah di kota. Untuk apa mereka membangun rumah besar-besar, kalau toh akhirnya tinggal sendirian juga. Sama halnya dengan Mama. Kalau bukan karena ada
"Mas Raka?" Mataku membesar, melihat dia yang tiba-tiba datang.Dia berjalan dengan perlahan mendekatiku. Aku refleks melangkah mundur.Sedang apa dia di sini? Apa Bik Inah belum juga kembali? Apa saat ini kami sedang berdua saja di rumah? Kenapa dia mengunci pintu? Apa dia berniat berbuat yang tidak-tidak padaku? Berbagai pertanyaan berkecamuk di pikiranku."Mas Raka? Sedang apa di sini?" Aku memberanikan diri bertanya."Ini kan kamar Mas, Dek," jawabnya, semakin mendekatiku."I-iya. Maaf. Mama yang nyuruh Delima nempati kamar ini." Aku semakin gugup."Ya, nggak papa. Mas kan nggak ada ngelarang, atau nyuruh kamu keluar.""Maksud Delima, Mas Raka mau apa ke sini? Mama lagi nggak ada. Emang Mas Raka, belum tau, kalau Lara sudah mau lahiran?""Mas kangen sama kamu, Dek." Dia semakin mendekat. Aku yang merasa terpojok, berusaha untuk menghindar. Namun, tangannya dengan cepat menarik pinggangku hingga kini berada dalam dekapannya."Mas Raka mau apa?" Aku semakin ketakutan. Tubuhku meron
Dia bangkit dan keluar dengan marah. Aku kembali terduduk lemah di atas ranjang. Merasa lega, karena kembali dapat terbebas darinya. Aku tak menyangka, kalau sikap Mas Raka jadi mengerikan seperti itu. Tak lama aku menyusul ke bawah. Kulihat Bik Inah dan Mas Deni sedang mengobrol berdua."Mas Raka nya mana, Bik?" tanyaku."Sudah pulang, Mbak," jawab Bik Inah."Oh, syukurlah." Aku menarik napas lega."Memangnya Raka kenapa, Delima? Apa yang udah dia lakuin sama kamu? Ngapain dia masuk ke kamar kamu? Bukannya kalian sudah mau bercerai?" Mas Deni terlihat seperti khawatir."Eh, anu. Enggak apa-apa, Mas. Mas Raka cuman mau tau kabar Delima aja. Karena pesan dari Mas Raka nggak pernah Delima balas." Aku beralasan."Oh, baguslah. Soalnya tadi pas Mas tegur, dia langsung pergi gitu aja. Mas takut kamu kenapa-napa.""Makasih ya, Mas. Udah khawatirin Delima.""Iya, Delima. Lain kali kalau kamu kenapa-napa, jangan ragu hubungi Mas, ya.""Iya, Mas. Kalau Mas nggak keberatan.""Enggak kok. Mas d
Tanpa kami sadari, rupanya Mama sudah ada di dapur. Saking asyiknya kami mengobrol hingga tak mendengar suara langkah kaki Mama.“Eh, anu, Buk. Tadi Mas Raka datang.” Bik Inah dengan cepat menjawab.“Raka? Mau apa dia kemari?”Aku dan Bik Inah saling menoleh. Apa lagi alasanku kali ini agar Mama tak semakin marah dan membenci anak laki-lakinya itu.“Jawab, Delima!” Sepertinya Mama tak sabar menunggu jawaban.“Anu, Ma. Mas Raka hanya menanyakan kabar Delima aja.”“Terus?”“Mas Raka tidak mau menceraikan Delima, Ma.” Aku tak bisa lagi menyembunyikannya.“Kamunya gimana?” Aku mengernyit. Pertanyaan macam apa itu. Jelas-jelas aku sudah bilang ingin cepat-cepat bercerai.Apalagi melihat kelancangan Mas Raka tadi. Andai aku masih terus menjadi istrinya, dia pasti akan terus mencoba mendapatkan apa yang dia inginkan. Apa lagi saat ini Mbak Silvi belum juga bisa melayaninya layaknya seorang istri. Pada siapa lagi dia tuntaskan hasratnya itu, kalau bukan padaku.“Bagaimana, Delima?” Mama mengu
Apalagi sampai bisa tinggal dengan Bue dan Sidik segala. Ternyata Allah masih berbaik hati padaku. Meski perasaanku ini nantinya bisa menyakiti hatiku, tapi setidaknya untuk saat ini, aku telah terbebas dari menyakiti hati wanita lain.“Maaf, Mas Raka. Apa pun yang Mas Raka tawarkan, Delima tetap nggak bisa.” Aku menjawab tanpa berani menatap matanya.“Pikirkan lagi, Dek. Kita baru menikah dua bulan. Apa kamu mau pulang gitu aja, terus jadi bulan-bulanan orang di kampung? Mas nggak akan biarin hal itu, Dek.” Mas Raka tetap bersikeras.“Ma, tolong Mama yakini Delima, Ma. Raka nggak mau pisah. Raka....” Mas Raka juga memohon pada Mama.“Kamu kenapa?” tanya Mama, mendengar ucapan Mas Raka yang tadi sempat terhenti.“Raka... mencintai Delima, Ma. Raka tidak ingin kehilangan Delima. Raka tau Raka seperti sudah mengkhianati Silvi. Tapi bukankah ini juga atas andil dia sendiri? Andai dia tidak hamil seperti sekarang ini, apa mungkin dia membiarkan kami bercerai? Mengertilah, Ma. Hanya Mama y
"Ba_bagaimana, Say... eh,... Delima?" Mas Deni tampak takut-takut menanyakan itu padaku. Aku kembali terdiam. Masih syok dengan semua ini. Semuanya serba mendadak dan tiba-tiba. Membuatku bingung harus bertanya mulai dari mana.Lalu Mas Raka meminta sesuatu pada Mbak Silvi. Dengan senyum kebahagiaan Mbak Silvi merogoh sesuatu dari dalam tasnya. Dikeluarkan sebuah amplop ke tangan Mas Raka."Ini, Dek." Mas Raka menyodorkan kertas itu ke atas meja. Dengan ragu aku mengambil dan melihat apa isinya."I_ini?" Air mataku tumpah seketika."Iya, Dek. Itu surat cerai yang kamu inginkan. Kamu sudah bebas sekarang."Rasa di hatiku kini bercampur aduk tak menentu. Ada perasaan sedih, bahagia, juga lega."Jadi, gimana, Dek? Mas sendiri yang melamar kamu untuk Deni. Kamu mau, kan?"Aku menatap mereka semua secara bergantian. Lalu mengangguk."Iya, Mas. Delima mau.""Alhamdulilah...." Semua orang di ruangan ini mengucap syukur.*****Akhirnya hari bahagia yang dinantikan semua orang terjadi juga. M
Mataku menghangat melihat orang-orang itu kini berdiri di hadapanku. Aku merasa ini seperti sebuah mimpi. Aku berdiri terpaku dengan air mata yang mulai mengalir.Lalu tiba-tiba saja tubuhku direngkuh dan masuk dalam pelukan hangatnya."Mama?" Aku menangis sesenggukan."Iya, sayang. Ini Mama," ucap wanita yang sudah setengah tahun ini tak pernah lagi kutemui. "Kamu sehat-sehat aja kan, Delima?"Aku makin sesenggukan melihat sikap pedulinya. Lalu aku juga merasakan tangan seseorang ikut menyentuh dan mengusap bahuku. Benarkah apa yang sedang kulihat saat ini?Aku melepaskan pelukan Mama. Lalu menatap satu persatu wajah mereka yang ikut berkunjung ke rumahku."Mbak Silvi?""Iya, Delima. Mbak datang." Wanita yang pernah menamparku saat terakhir kali bertemu ini, tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca.Lalu kulihat Mas Raka dan Mas Deni tampak berdiri sejajar. Sepertinya semua orang sudah baik-baik saja. Dan mereka semua terlihat akur.Pasti sudah banyak hal yang terjadi selama aku tak a
Biarlah hanya kami berdua yang tahu tentang semua ini. Seperti yang dia katakan, itu untuk yang terakhir kalinya. Kuberikan sebagai upah, atas apa yang dia berikan selama ini. Dengan begitu, nantinya dia hanya akan mengingatku sebagai wanita bayaran saja. Yang bisa dia cumbu tanpa hati, dan juga rasa cinta.Aku harus benar-benar terlihat murahan di matanya.*"Kamu kenapa, Sayang? Kenapa tiba-tiba ninggalin Mas seperti ini?" Mas Deni begitu syok saat aku tiba-tiba datang ke rumahnya untuk berpamitan."Maafin Delima, Mas. Delima bukanlah wanita yang baik untuk Mas Deni." Lagi-lagi aku membatukan hati agar tak lagi goyah.Berbicara dengan Mama pun rasanya hati ini sudah akan luluh melihat kekecewaan di wajahnya. Apa lagi saat berbicara dengan Mas Deni. Aku harus benar-benar bisa mengendalikan diriku. Rasa sakit yang aku rasakan tak boleh terlalu nampak. Aku lebih memilih Mas Deni kecewa dan membenciku saja, dari pada harus menangis dan mengiba, memohon agar aku tetap tinggal."Sampai h
Tanpa terasa enam bulan sudah aku kembali ke kampung. Kembali tinggal dengan Bue dan juga Sidik. Tak peduli lagi pada gunjingan tetangga dan warga sekitar atas statusku sekarang ini.Awal kepulanganku dulu, bisik-bisik mereka selalu terdengar. Katanya memang seperti itulah resiko menjadi wanita kedua. Hanya sebagai cadangan untuk bersenang-senang. Giliran bosan, pasti kembali ke pelukan istri pertama.Aku hanya diam, tak ambil pusing dengan pendapat mereka. Tak ada gunanya juga menceritakan hal yang sebenarnya. Asal Bue mengerti dan tidak terlalu memikirkannya hingga sakit, kurasa itu bukan masalah.Anggap saja memang ini adalah hukuman atas keserakahanku waktu itu. Lepas dari seorang pria beristri, malah berkhayal mendapatkan bujangan kaya raya.Tapi semua itu sudah berlalu. Tak ada lagi bisik-bisik seperti itu kudengar. Semuanya seakan lupa, dan aku bisa menjalani kehidupan dengan normal kembali.Kini aku tak perlu lagi bersusah payah bekerja dari pintu ke pintu untuk bekerja di rum
"Kita rujuk ya, Dek?" Napasnya makin memburu di telingaku. Aku kembali menggeleng dalam tangisan."Kasi kesempatan Mas satu kali lagi untuk membahagiakan kamu, Sayang." Aku semakin menggeleng."Dek?""Kalau Mas benar-benar mencintai Delima dan ingin melihat Delima bahagia, tolong bebaskan Delima. Kalau Mas ingin balas dendam dan tidak ingin melihat Delima bahagia dengan Mas Deni, Delima akan turuti. Delima akan putuskan hubungan dengan Mas Deni dan akan kembali ke kampung. Apa itu cukup membuat Mas Raka puas?""Enggak, Dek. Bukan seperti itu maksud Mas. Mas ingin kamu bahagia sama Mas, Sayang. Kenapa kamu nggak percaya sama perasaan Mas?" Dia tampak gelisah sembari menyentuh pipiku dengan kedua tangannya. Aku hanya bisa memejamkan mata dengan pasrah. Melawan pun percuma. Hanya akan membuat keributan malam-malam begini."Delima hanya ingin hubungan Mas Raka dan Mas Deni kembali baik, Mas. Jangan lagi bermusuhan seperti ini hanya gara-gara Delima. Delima bukan wanita yang pantas untuk
Aku segera menarik tanganku kembali. Namun Mas Raka tak mengizinkan dan malah menahannya. Dia terlihat begitu marah. Padahal saat di bawah tadi, dia terlihat biasa-biasa saja dan tak memperdulikan.Atau, jangan-jangan Mama bercerita tentang aktivitas aku dan Mas Deni tadi. Bukan salah Mama juga. Salahku yang tak berani bilang untuk merahasiakannya dari Mas Raka."Tega banget kamu, Dek. Mas udah bilang, jangan pergi sama Deni. Kenapa kamu masih nekat juga? Malah gantiin cincin Mas dengan cincin dari dia. Kamu pikir Mas main-main dengan ancaman Mas waktu itu?""Kenapa Mas melakukan itu? Kenapa Mas nggak ngijinin Delima sama Mas Deni? Jujur aja, Mas." Aku mulai berani."Kamu masih nanya? Kamu tau sendiri kenapa Mas melakukan itu, Dek.""Kenapa?" Aku meyakinkan."Tentu saja karena Mas mencintai kamu.""Bohong!" sanggahku dengan penuh amarah. "Mas Raka bohong. Mas Raka sama sekali nggak pernah mencintai Delima.""Itu nggak benar, Dek. Mas sayang sama kamu.""Delima nggak percaya. Mas Raka
"Oh, iya, Den. Soal pesta, nanti kita adakan di rumah kamu aja, ya. Biar kita buat acara yang meriah. Di kampung Delima kita adakan akad saja. Biar Delima nggak terlalu jadi sorotan orang kampung.""Kalau Deni nggak masalah, Bulek. Terserah Delimanya aja.""Kalau kamu, gimana, Delima?" Mama meminta pendapatku."Delima juga nurut, Ma. Gimana baiknya aja.""Ya sudah, nanti Mama tanyakan sama Ibu kamu. Setuju atau enggak.""Baik, Ma."Setelah Mas Deni pulang, aku langsung menuju ke kamar untuk menyimpan barang-barang yang aku beli tadi. Padahal aku tidak memintanya. Tapi dengan begitu royal dia membelikan semua ini untukku.Aku terduduk di ranjang sembari memegangi bibirku. Teringat saat Mas Deni mengecupnya tadi. Membuat perasaanku semakin tak karuan. Inilah ciuman pertamaku dengan seorang lelaki. Padahal sebelumnya aku berpikir, bahwa Mas Rakalah yang akan mengambil semuanya.Usai makan malam aku memijat punggung Mama. Mengobrol dan tertawa bersama. Tak lama Mas Raka datang dan bergabu
Dia menghentikan kata-katanya."Lagi apa, Mas?" tanyaku penasaran. "Eh, nggak. Mas juga jarang-jarang dengar suara kamu, kok." Mas Raka gelagapan. "Kamu kenapa belum tidur jam segini?" "Tadi sudah mau tidur. Tapi Mas Raka tiba-tiba nelpon. Apa lain kali tidak usah diangkat saja, kalau sudah mengantuk?""Eh, eh. Udah berani kamu, ya." Aku tertawa mendengarnya.Kudengar suara Mas Raka seperti bernapas lega. "Kenapa, Mas?" tanyaku lagi."Mas senang, kita bisa bicara santai seperti ini. Makasih ya, Dek. Kamu udah nggak takut lagi sama, Mas."Aku tertegun. Bahkan hal yang tak kusadari pun bisa membuat orang lain merasa lega.*Pagi ini aku pamit pada Mama untuk ikut Mas Deni. Sengaja menunggu Mas Raka berangkat ke kantor terlebih dahulu. Padahal Mama sendiri tidak tahu kalau aku dan Mas Deni sekarang lagi kucing-kucingan sama Mas Raka. Bertemu pun harus diam-diam.Aku bisa saja mengadu pada Mama. Tapi posisiku yang hanya menumpang membuatku tak bisa melakukannya. Seperti memakan buah si
Cih, pintar sekali wanita ini bersandiwara. Padahal baru saja dia bersikap seperti orang gila padaku."Kamu aja yang pulang. Dan tunggu surat cerai sampai ke tangan kamu.""Jangan, Mas. Aku nggak mau. Aku nggak mau cerai dari kamu. Kamu harus pulang sama aku. Kamu nggak boleh lagi tinggal sama pelacur ini.""Diam kamu, Silvi. Sekali lagi kamu hina Delima, aku nggak akan segan-segan lagi sama kamu.""Mas!""Jangan salahkan Delima untuk semuanya. Delima sama sekali nggak ada hubungannya dengan keputusanku.""Tapi aku istri kamu, Mas.""Kamu lupa kalau aku sudah menjatuhkan talak sama kamu?""Jadi kamu lebih memilih pelacur ini dari pada aku?"Plak!Aku menutup mulut dengan kedua tanganku saat Mas Raka menampar Mbak Silvi. Mbak Silvi menatap tajam suaminya sambil memegangi pipinya. "Tega kamu, Mas," rintihnya."Aku sudah memberi peringatan sebelumnya. Jangan pernah berani menghina Delima. Urusan kamu sama aku. Sekarang kamu pergi, atau aku panggil polisi karena kamu telah membuat keribu