Dia bangkit dan keluar dengan marah. Aku kembali terduduk lemah di atas ranjang. Merasa lega, karena kembali dapat terbebas darinya. Aku tak menyangka, kalau sikap Mas Raka jadi mengerikan seperti itu. Tak lama aku menyusul ke bawah. Kulihat Bik Inah dan Mas Deni sedang mengobrol berdua."Mas Raka nya mana, Bik?" tanyaku."Sudah pulang, Mbak," jawab Bik Inah."Oh, syukurlah." Aku menarik napas lega."Memangnya Raka kenapa, Delima? Apa yang udah dia lakuin sama kamu? Ngapain dia masuk ke kamar kamu? Bukannya kalian sudah mau bercerai?" Mas Deni terlihat seperti khawatir."Eh, anu. Enggak apa-apa, Mas. Mas Raka cuman mau tau kabar Delima aja. Karena pesan dari Mas Raka nggak pernah Delima balas." Aku beralasan."Oh, baguslah. Soalnya tadi pas Mas tegur, dia langsung pergi gitu aja. Mas takut kamu kenapa-napa.""Makasih ya, Mas. Udah khawatirin Delima.""Iya, Delima. Lain kali kalau kamu kenapa-napa, jangan ragu hubungi Mas, ya.""Iya, Mas. Kalau Mas nggak keberatan.""Enggak kok. Mas d
Tanpa kami sadari, rupanya Mama sudah ada di dapur. Saking asyiknya kami mengobrol hingga tak mendengar suara langkah kaki Mama.“Eh, anu, Buk. Tadi Mas Raka datang.” Bik Inah dengan cepat menjawab.“Raka? Mau apa dia kemari?”Aku dan Bik Inah saling menoleh. Apa lagi alasanku kali ini agar Mama tak semakin marah dan membenci anak laki-lakinya itu.“Jawab, Delima!” Sepertinya Mama tak sabar menunggu jawaban.“Anu, Ma. Mas Raka hanya menanyakan kabar Delima aja.”“Terus?”“Mas Raka tidak mau menceraikan Delima, Ma.” Aku tak bisa lagi menyembunyikannya.“Kamunya gimana?” Aku mengernyit. Pertanyaan macam apa itu. Jelas-jelas aku sudah bilang ingin cepat-cepat bercerai.Apalagi melihat kelancangan Mas Raka tadi. Andai aku masih terus menjadi istrinya, dia pasti akan terus mencoba mendapatkan apa yang dia inginkan. Apa lagi saat ini Mbak Silvi belum juga bisa melayaninya layaknya seorang istri. Pada siapa lagi dia tuntaskan hasratnya itu, kalau bukan padaku.“Bagaimana, Delima?” Mama mengu
Apalagi sampai bisa tinggal dengan Bue dan Sidik segala. Ternyata Allah masih berbaik hati padaku. Meski perasaanku ini nantinya bisa menyakiti hatiku, tapi setidaknya untuk saat ini, aku telah terbebas dari menyakiti hati wanita lain.“Maaf, Mas Raka. Apa pun yang Mas Raka tawarkan, Delima tetap nggak bisa.” Aku menjawab tanpa berani menatap matanya.“Pikirkan lagi, Dek. Kita baru menikah dua bulan. Apa kamu mau pulang gitu aja, terus jadi bulan-bulanan orang di kampung? Mas nggak akan biarin hal itu, Dek.” Mas Raka tetap bersikeras.“Ma, tolong Mama yakini Delima, Ma. Raka nggak mau pisah. Raka....” Mas Raka juga memohon pada Mama.“Kamu kenapa?” tanya Mama, mendengar ucapan Mas Raka yang tadi sempat terhenti.“Raka... mencintai Delima, Ma. Raka tidak ingin kehilangan Delima. Raka tau Raka seperti sudah mengkhianati Silvi. Tapi bukankah ini juga atas andil dia sendiri? Andai dia tidak hamil seperti sekarang ini, apa mungkin dia membiarkan kami bercerai? Mengertilah, Ma. Hanya Mama y
Malam ini juga aku dan Mama pergi menuju ke Rumah Sakit. Dengan diantar Mas Deni tentunya. Dia buru-buru datang setelah Mama menyuruhku mengabari dan meminta bantuannya untuk mengantar kami.“Apalagi sih yang terjadi sama mereka, sampai Silvi masuk Rumah Sakit lagi.” Mama menggerutu dengan cemas. Sebentar-sebentar dia menoleh ke arahku yang duduk di kursi penumpang seorang diri. Aku juga tak kalah cemas. Suara Mas Raka pun terdengar begitu khawatir. Apa mereka bertengkar lagi? Bukankah aku yang menjadi sumber masalah mereka sudah angkat kaki dari rumah itu? Lalu, apa lagi yang mereka ributkan?Saat ini, aku hanya bisa berdoa agar kandungan Mbak Silvi tak kenapa-napa. Jika tidak, Mbak Silvi pasti akan bertambah stres, dan bisa saja menjadi depresi. Kalau begini, semua akan semakin bertambah rumit saja. Proses perceraian yang harusnya bisa rampung setelah Lara baikan, malah bertambah panjang lagi urusannya karena Mbak Silvi sedang sakit.Kami pun sampai. Mas Raka sedang duduk dengan t
“Maafin Mbak ya, Delima. Mbak udah terlalu jahat sama kamu. Kamu pasti sangat terkejut mendengar pengakuan Mbak waktu itu. Mbak memang pantas mendapatkan hukuman dari Tuhan. Sikap serakah Mbak yang membuat kamu dan Mas Raka jadi menderita seperti ini.”Ternyata Mbak Silvi belum juga mengetahui, kalau aku sudah tahu sejak awal tentang rencananya. Biarlah aku dan Mas Raka saja yang tahu soal ini. Tak perlu lagi kami ungkit-ungkit, yang nantinya akan membuat Mbak Silvi semakin merasa bersalah.“Delima udah maafin kok, Mbak. Delima udah melupakan semuanya. Delima nggak marah sama Mbak Silvi. Ini sudah takdir, Mbak. Kita jadikan pelajaran aja, ya. Setelah ini, kita mulai lagi kehidupan yang baru ya, Mbak. Anggap aja Delima sebagai adik Mbak. Kapan pun Mbak butuh teman bicara, Mbak bisa nelepon Delima.”“Nggak, Delima. Semua udah nggak lagi sama. Dan Mbak sudah menyadari itu. Mas Raka tetap nggak mau cerai dari kamu. Dan Mbak ikhlas, kalau kamu terus menjadi istrinya Mas Raka. Kita bisa jal
Aku menggeleng dengan cepat. Merasa semua orang sedang mempermainkan kehidupanku. Aku melangkah mundur menjauh darinya. Merasa kalau pembicaraan ini seperti sebuah perintah, hanya demi keuntungan sepihak saja."Kamu mau kan, Delima? Kamu bisa kembali lagi ke rumah. Atau kalau kamu masih merasa sakit hati sama Mbak, kamu boleh menerima tawaran Mas Raka untuk tinggal di rumah yang berbeda. Mas Raka akan membelikan kamu rumah di mana pun kamu mau. Kamu juga punya hak untuk menerima apa pun pemberian Mas Raka, Delima." Dia terdengar begitu antusias. Dia berusaha sekuat tenaga untuk bisa bangkit. Aku tak lagi peduli apa yang ingin dilakukannya. Napasku naik turun menyaksikan perjuangannya agar bisa bergerak. Hingga akhirnya dia berhasil untuk duduk, dengan kaki yang menjuntai dari ranjang."Delima. Kembalilah. Kita pulang sama-sama, ya?" Dia mencoba untuk tersenyum."Hentikan, Mbak!" Aku spontan berucap dengan keras. Mbak Silvi terdiam menatapku yang sebelumnya tak pernah bersikap sekasar
"Kamu mendengar semuanya?" Mbak Silvi memanjangkan leher, melihat ke arah belakang Mas Deni."Ya. Kenapa? Kamu juga berharap suami dan mertua kamu juga mendengar hal ini?" balas Mas Deni, sikapnya begitu terlihat berwibawa."Tidak, Den. Tolong jangan beritahu mereka. Aku bersalah. Aku khilaf. Aku tidak benar-benar ingin melakukan itu." Mbak Silvi tampak begitu ketakutan. Dan itu terasa sungguh memuakkan.Aku tak tahu lagi seperti apa sikap Mbak Silvi yang sebenarnya. Terkadang membuatku merasa iba, namun tak ayal sering juga membuatku merasa takut. Dia bahkan sampai mengancamku agar semua keinginannya dapat terpenuhi."Kamu sudah sangat keterlaluan, Silvi. Berani-beraninya kamu menggunakan kelemahan Delima untuk memuluskan semua niat buruk kamu. Tak henti-hentinya kamu memanfaatkan keadaan Delima hanya untuk kepentingan pribadi kamu," ucap Mas Deni tegas."Tidak, Den. Bukan seperti itu." Mbak Silvi semakin terpojok. " Delima, tolong katakan pada Deni, bahwa Mbak tidak seperti itu. Tol
Pagi harinya aku terbangun karena suara Bik Inah memanggil. Aku bergegas membuka pintu kamar yang sengaja aku kunci. Trauma akan kedatangan Mas Raka yang tiba-tiba tempo hari. Kepalaku benar-benar terasa pusing.Entah memang pusing karena tidak enak badan, ataukah karena memikirkan semua persoalan yang menimpaku saat ini. Yang jelas, ucapanku tentang tidak enak badan itu hanyalah sebuah alasan, karena tak ingin berlama-lama lagi tinggal di sana.Andai tak memikirkan kebaikan Mama selama ini, pasti sudah kutinggalkan saja rumah ini. Bingung bagaimana cara menghadapi semua orang, yang inginnya menang sendiri."Mbak Delima masih sakit?" tanya Bik Inah. "Sarapan yuk, Mbak. Bibik sudah buatin susu hangat buat Mbak Delima.""Iya, Bik. Delima baik-baik aja. Makasih ya, Bik.""Iya, Mbak. Ada Mas Deni juga di bawah. Lagi sarapan. Katanya mau balik ke rumah sakit nganterin baju ganti buat Ibuk.""Mas Deni ada di bawah, Bik?" Aku cukup terkejut. Tiba-tiba jadi merasa tidak enak. Teringat saat t