Malam ini juga aku dan Mama pergi menuju ke Rumah Sakit. Dengan diantar Mas Deni tentunya. Dia buru-buru datang setelah Mama menyuruhku mengabari dan meminta bantuannya untuk mengantar kami.“Apalagi sih yang terjadi sama mereka, sampai Silvi masuk Rumah Sakit lagi.” Mama menggerutu dengan cemas. Sebentar-sebentar dia menoleh ke arahku yang duduk di kursi penumpang seorang diri. Aku juga tak kalah cemas. Suara Mas Raka pun terdengar begitu khawatir. Apa mereka bertengkar lagi? Bukankah aku yang menjadi sumber masalah mereka sudah angkat kaki dari rumah itu? Lalu, apa lagi yang mereka ributkan?Saat ini, aku hanya bisa berdoa agar kandungan Mbak Silvi tak kenapa-napa. Jika tidak, Mbak Silvi pasti akan bertambah stres, dan bisa saja menjadi depresi. Kalau begini, semua akan semakin bertambah rumit saja. Proses perceraian yang harusnya bisa rampung setelah Lara baikan, malah bertambah panjang lagi urusannya karena Mbak Silvi sedang sakit.Kami pun sampai. Mas Raka sedang duduk dengan t
“Maafin Mbak ya, Delima. Mbak udah terlalu jahat sama kamu. Kamu pasti sangat terkejut mendengar pengakuan Mbak waktu itu. Mbak memang pantas mendapatkan hukuman dari Tuhan. Sikap serakah Mbak yang membuat kamu dan Mas Raka jadi menderita seperti ini.”Ternyata Mbak Silvi belum juga mengetahui, kalau aku sudah tahu sejak awal tentang rencananya. Biarlah aku dan Mas Raka saja yang tahu soal ini. Tak perlu lagi kami ungkit-ungkit, yang nantinya akan membuat Mbak Silvi semakin merasa bersalah.“Delima udah maafin kok, Mbak. Delima udah melupakan semuanya. Delima nggak marah sama Mbak Silvi. Ini sudah takdir, Mbak. Kita jadikan pelajaran aja, ya. Setelah ini, kita mulai lagi kehidupan yang baru ya, Mbak. Anggap aja Delima sebagai adik Mbak. Kapan pun Mbak butuh teman bicara, Mbak bisa nelepon Delima.”“Nggak, Delima. Semua udah nggak lagi sama. Dan Mbak sudah menyadari itu. Mas Raka tetap nggak mau cerai dari kamu. Dan Mbak ikhlas, kalau kamu terus menjadi istrinya Mas Raka. Kita bisa jal
Aku menggeleng dengan cepat. Merasa semua orang sedang mempermainkan kehidupanku. Aku melangkah mundur menjauh darinya. Merasa kalau pembicaraan ini seperti sebuah perintah, hanya demi keuntungan sepihak saja."Kamu mau kan, Delima? Kamu bisa kembali lagi ke rumah. Atau kalau kamu masih merasa sakit hati sama Mbak, kamu boleh menerima tawaran Mas Raka untuk tinggal di rumah yang berbeda. Mas Raka akan membelikan kamu rumah di mana pun kamu mau. Kamu juga punya hak untuk menerima apa pun pemberian Mas Raka, Delima." Dia terdengar begitu antusias. Dia berusaha sekuat tenaga untuk bisa bangkit. Aku tak lagi peduli apa yang ingin dilakukannya. Napasku naik turun menyaksikan perjuangannya agar bisa bergerak. Hingga akhirnya dia berhasil untuk duduk, dengan kaki yang menjuntai dari ranjang."Delima. Kembalilah. Kita pulang sama-sama, ya?" Dia mencoba untuk tersenyum."Hentikan, Mbak!" Aku spontan berucap dengan keras. Mbak Silvi terdiam menatapku yang sebelumnya tak pernah bersikap sekasar
"Kamu mendengar semuanya?" Mbak Silvi memanjangkan leher, melihat ke arah belakang Mas Deni."Ya. Kenapa? Kamu juga berharap suami dan mertua kamu juga mendengar hal ini?" balas Mas Deni, sikapnya begitu terlihat berwibawa."Tidak, Den. Tolong jangan beritahu mereka. Aku bersalah. Aku khilaf. Aku tidak benar-benar ingin melakukan itu." Mbak Silvi tampak begitu ketakutan. Dan itu terasa sungguh memuakkan.Aku tak tahu lagi seperti apa sikap Mbak Silvi yang sebenarnya. Terkadang membuatku merasa iba, namun tak ayal sering juga membuatku merasa takut. Dia bahkan sampai mengancamku agar semua keinginannya dapat terpenuhi."Kamu sudah sangat keterlaluan, Silvi. Berani-beraninya kamu menggunakan kelemahan Delima untuk memuluskan semua niat buruk kamu. Tak henti-hentinya kamu memanfaatkan keadaan Delima hanya untuk kepentingan pribadi kamu," ucap Mas Deni tegas."Tidak, Den. Bukan seperti itu." Mbak Silvi semakin terpojok. " Delima, tolong katakan pada Deni, bahwa Mbak tidak seperti itu. Tol
Pagi harinya aku terbangun karena suara Bik Inah memanggil. Aku bergegas membuka pintu kamar yang sengaja aku kunci. Trauma akan kedatangan Mas Raka yang tiba-tiba tempo hari. Kepalaku benar-benar terasa pusing.Entah memang pusing karena tidak enak badan, ataukah karena memikirkan semua persoalan yang menimpaku saat ini. Yang jelas, ucapanku tentang tidak enak badan itu hanyalah sebuah alasan, karena tak ingin berlama-lama lagi tinggal di sana.Andai tak memikirkan kebaikan Mama selama ini, pasti sudah kutinggalkan saja rumah ini. Bingung bagaimana cara menghadapi semua orang, yang inginnya menang sendiri."Mbak Delima masih sakit?" tanya Bik Inah. "Sarapan yuk, Mbak. Bibik sudah buatin susu hangat buat Mbak Delima.""Iya, Bik. Delima baik-baik aja. Makasih ya, Bik.""Iya, Mbak. Ada Mas Deni juga di bawah. Lagi sarapan. Katanya mau balik ke rumah sakit nganterin baju ganti buat Ibuk.""Mas Deni ada di bawah, Bik?" Aku cukup terkejut. Tiba-tiba jadi merasa tidak enak. Teringat saat t
"Boleh, Mbak. Tanya aja. Kalau Bibik tau, Bibik akan jawab.""Anu, Bik. Begini. Sebenarnya... Mas Raka itu, kerjanya apa? Kok uangnya banyak banget. Pake mau beliin Delima rumah segala. Rumah di kota kan mahal-mahal, Bik," tanyaku ragu."Oh, Mas Raka itu kerja di perusahaan asing, Mbak. Tapi Bibik nggak ngerti jabatannya apa. Pake bahasa Inggris. Susah nyebutinnya. Gajinya gede.""Oh, pantes.""Tapi itu belum seberapa, Mbak. Lain lagi dengan bagian Mas Raka di perusahaan Almarhum Papanya. Sebagai anak laki-laki, dia punya bagian yang paling banyak. Nah, sekarang perusahaan itu dikelola sama Mbak Dian, dan suaminya. Jadi setiap bulan, Mas Raka, Mbak Lara, dan juga Ibuk, hanya tinggal menerima bagiannya aja. Setau Bibik sih gitu. Makanya Mbak Silvi nggak mungkin mau ngelepasin Mas Raka gitu aja. Rugi dong, kehilangan laki-laki tajir kayak Mas Raka."Aku mengangguk-angguk tanda mengerti. Pantas saja, uang bukanlah masalah bagi mereka. Hanya saja, aku masih belum tahu, apa sebenarnya maks
Pagi ini aku pergi bersama Mas Deni atas izin Mama. Tak kupedulikan lagi peringatan Mas Raka dulu, sebagai seorang istri aku tak boleh pergi dengan laki-laki lain tanpa seizinnya.Namun apa lagi yang bisa aku lakukan? Aku sudah tak lagi menganggapnya sebagai suami. Perasaanku waktu itu hanyalah sebatas rasa kagum akan fisiknya yang rupawan. Wanita mana pun pasti akan jatuh hati melihat pria tampan dan juga selalu terlihat berwibawa sepertinya. Apa lagi kesan yang dia tunjukkan jauh dari pria nakal.Namun, hanya sesaat saja hal itu kurasakan. Sikap dan perlakuannya yang tak pernah menganggapku sebagai istri, juga pikiran plin plannya yang sebentar ingin bercerai, sebentar tidak, membuatku jadi menarik kembali hati ini.Satu hal yang kupelajari dari jalan hidupku saat bersamanya. Apa pun alasannya, mencintai suami orang adalah sebuah kesalahan besar. Di mana pun dan dalam situasi apa pun, kita tetap akan jadi gunjingan orang dan selalu di salahkan."Kok melamun, Delima?" Ucapan Mas Deni
Aku jadi bingung menjawab pertanyaan Mas Deni."Ketemu aja nggak pernah, Mas. Gimana mau ngasi jawaban." Hanya itu yang bisa aku ucapkan."Nah, makanya itu. Nggak usah mau. Kamu kan punya hak untuk memilih laki-laki mana yang kamu inginkan."Maksud omongan Mas Deni ini apa? Apa maksudnya aku disuruh nolak tawaran Mama? Kenapa? Bukankah itu sama sekali bukan urusannya? "Maksud Mas Deni, Delima harus nolak, gitu?""Iya, tolak aja. Bilang aja kamu mau balikan sama mantan, yang kamu tinggal nikah.""Tapi Delima nggak punya pacar, Mas. Kan Delima udah bilang waktu itu.""Pura-pura aja. Yang penting kamu nggak dijodohin lagi sama Bulek." Dia terlihat gusar, sambil mengacak-acak rambutnya."Pura-pura itu capek lho, Mas." Lagi-lagi aku berusaha bersikap jujur.Berpura-pura kuat dengan tinggal serumah dengan Mbak Silvi dan Mas Raka pun rasanya aku sudah lelah. Apa lagi harus berpura-pura mencintai laki-laki yang tak pernah ada. "Maaf Mas Deni. Mungkin udah nasib Delima begini. Orang lemah se