Aku dan Mas Raka sama-sama tercengang mendengar ucapan Mama. Tak lupa aku melirik Mas Deni yang baru saja bangun sembari mengusap darah di sudut bibirnya. Tak sampai hati aku melihatnya. Ingin rasanya aku berlari dan membantunya. Namun, hal itu urung kulakukan. Aku harus tetap menjaga sikapku saat ini.Ditambah lagi tangan Mas Raka yang masih setia mencekal lenganku. Entah dia sadar atau tidak, tapi cengkramannya sedikit menyakitiku. Mungkin pun kini lenganku sudah berbekas kemerahan akibat ulahnya."Apa yang Mama katakan, Ma?" Mas Raka bertanya heran. "Mana mungkin Raka menceraikan Silvi. Dan dia pun sama sekali tidak keberatan dengan kehadiran Delima.""Silvi tidak keberatan, tapi Delima yang keberatan," sanggah Mama dengan tegas."Kalau Delima tidak mau menjadi istri Raka, pernikahan ini tidak mungkin terjadi, Ma. Iya kan, Dek?" Mas Raka menatapku dengan hiba. "Kamu hanya marah karena ucapan Mbakmu yang ingin kita bercerai, kan? Mbakmu hanya khilaf, Dek. Kamu nggak perlu khawatir."
Malam ini Mama mengintrogasiku akibat ucapan Mas Deni yang entah keceplosan atau memang disengaja. Usai kepulangan Mas Raka tadi siang, Mama kembali syok dan tak lagi mau bicara. Langkahnya kembali gontai sembari berbalik menuju ke arah kamar.Sama persis seperti saat pertama kali membawaku ke rumah ini. Dia pasti membutuhkan sedikit waktu untuk menyendiri, menenangkan diri. Aku yang sudah mulai paham sifat dan kebiasaannya, tak lagi bertanya. Dia akan kembali bicara setelah tenang dan bisa mengendalikan diri lagi.Seperti malam ini. Dia keluar saat makan malam tiba. Dan tentu saja meja makan ini kembali menjadi saksi apa yang terjadi kali ini."Berapa uang yang Silvi berikan untuk kamu sebelum menikah dengan Raka?" Mama masih berbicara dengan tenang sembari mengunyah makanannya."Anu, Ma. Banyak." Aku menelan ludah. Merasa gugup. Bahkan lebih gugup dari saat bertemu dengan pengacara yang mengurus perceraianku tadi pagi.Aku menjelaskan uang mahar yang dia tawarkan. Dan itu pun aku gu
Keponakan? Memangnya keponakan laki-laki Mama ada berapa banyak? Atau jangan-jangan, yang Mama maksud itu adalah Mas Deni? Ingin sekali aku bertanya. Tapi, takut kalau jawaban Mama nanti malah akan membuatku malu sendiri.Tapi, kalau tidak ditanya, malah akan membuatku tak bisa tidur. Tanya, tidak, tanya, tidak. Tiba-tiba saja Mama menyudahi makan malam dan bergerak kembali menuju kamarnya. Aku yang masih dilanda rasa penasaran ikut bangkit dan mengikuti langkah Mama dari belakang.“Ma....”“Mama ngantuk, Delima,” potong Mama yang menyadari keberadaanku. Padahal aku sama sekali belum menanyakan apa pun. Aku pun beringsut menjauh, dan membiarkan Mama berjalan sendiri dengan memandang punggungnya dengan perasaan kecewa.*Usai membantu Bik Inah membereskan sisa makan malam, aku kembali ke kamar. Malam ini aku kembali melakukan video call ke ponsel Sidik untuk mengobrol bersama mereka. Membicarakan perbincangan sehari-hari yang biasa kami lakukan. Menanyakan bagaimana perkembangan keseh
Setidaknya malam ini aku sudah bisa tidur dengan nyenyak. Walau belum tentu Mas Deni mau menerimaku, tapi setidaknya Mama sama sekali tak menganggap rendah diriku. Dan tentu saja dia masih menginginkanku menjadi menantunya, meski hanya dari keponakan. Di mana lagi bisa kucari mertua sebaik mertuaku saat ini.*Siang ini, aku membuka aplikasi google. Mencari tahu tentang proses perceraian. Lama sekali ternyata. Belum lagi harus menjalani masa iddah selama tiga bulan. Apakah selama hampir setahun, aku harus hidup begini-begini saja?Kecuali ada sesuatu yang membuat Mas Raka menjatuhkan talak padaku. Aku akan bisa bebas lebih cepat dari dirinya. Soal akte cerai bisa diurus kapan-kapan. Andai ada sebuah keajaiban, atau mukjizat yang membuat Mas Raka harus rela menceraikan aku.Apa sebaiknya, aku minta izin pada Mama saja untuk bekerja. Mungkin dengan begitu, waktu tidak akan terasa lama saat kujalani. Lagi pula, mengingat soal perjodohan itu, aku jadi malu sendiri bertemu dengan Mas Deni.
"Ada apa, Delima?" tanya Mas Deni kemudian. Aku kembali melirik Mama yang senyum-senyum sendiri. Sepertinya Mama memang sengaja ingin mengerjaiku."Itu, Mas. Anu." "Anu lagi?" Mama menahan tawa mendengar ucapan Mas Deni.Sudah kebiasaan bagiku dan juga sebagian orang mengucapkan kata itu disaat gugup. Mungkin terdengar lucu dan aneh bagi mereka. Tapi yang namanya kebiasaan, memang sulit untuk dihilangkan."Itu, Mas. Delima mau nanya, Pak pengacara ada ngubungin Mas, belum?" Aku sengaja mengalihkan pembicaraanku dengan Mama tadi."Dih, yang udah nggak sabar pengen cerai." Mama lagi-lagi meledekku. Padahal yang mau bercerai itu anaknya sendiri. Bukannya merasa prihatin, malah kelihatan senang sekali."Atau, jangan-jangan Delima pengen ngebatalin, Bulek." Mas Deni ikut-ikutan."Eh, enggak kok, Mas. Delima masih tetap mau lanjut kok." Aku merasa salah tingkah."Beneran?""Iya. Malah kalau bisa lebih cepat.""Bisa kok.""Nggak bisa, Mas. Delima udah periksa google tadi. Banyak sekali pros
Hari ini aku mendapat izin dari Mama untuk pergi bersama Mas Deni melihat toko. Mas Deni katanya ingin memberikanku pekerjaan. Mama sudah tak lagi keberatan. Asal aku berjanji tetap tinggal bersamanya.Mungkin dia juga merasa kesepian. Dua anak perempuannya memilih untuk ikut dengan suami masing-masing. Bahkan Lara, adik bungsu Mas Raka sudah tinggal terpisah sejak sebelum menikah.Kata Bik Inah, dia mendapatkan pekerjaan di luar kota, hingga baru memutuskan berhenti setelah ingin menikah. Untung dia mendapatkan jodoh masih dari kota asalnya, hingga Mama bisa sering-sering berkunjung tanpa harus ke luar kota.Begitu juga dengan Mbak Dian. Setelah berpulangnya Almarhum suami Mama, Mbak Dian lah yang sibuk mengurus perusahaan. Saat itu Mas Raka masih kuliah. Hingga Mbak Dian tak punya banyak waktu lagi di rumah.Untuk itulah aku juga harus memikirkan perasaan Mama. Mama sudah menganggapku seperti anak perempuannya sendiri. Bukan lagi menantu yang sebentar lagi akan bercerai dari putrany
"Aneh-aneh saja sikap Mas Deni ini. Masa begini aja dibilang pekerjaan. Pakai upah segala. Harusnya kalau cuman begini, Delima yang bayarin Mas Deni, karena udah ngajak Delima keliling kota.""Ya udah. Kamu yang bayar. Mana?" tanyanya lagi sambil menjulurkan telapak tangan. Aku tercengang. Padahal aku hanya berbasa-basi. Tapi kalau dia tetap mau dibayar, ya mau bagaimana lagi."Berapa, Mas?"Mas Deni menaikkan bola matanya, memikirkan sesuatu. Untung uang yang diberikan Mas Raka masih banyak. Kemarin saat ingin kukembalikan, dengan keras dia menolaknya. Katanya sudah ikhlas dan memang sudah menjadi hakku sebagai istrinya. Padahal aku sama sekali tak ada melaksanakan kewajibanku sebagai istri."Berapa apanya?""Bayarannya.""Mas nggak mau dibayar pake uang.""Terus? Pake apa?""Temenin Mas makan. Titik. Nggak pake nawar."Lho, terus apa bedanya dengan upah yang mau dia kasi tadi? Makin aneh saja sikapnya hari ini..Kami tiba di restoran yang tak jauh dari toko Mas Deni. Tempatnya juga
Mama kembali cuek, tak ingin melihat wajah Mas Raka. Menyerahkan semua urusan pada Mas Deni. Usai insiden pemukulan yang dilakukan Mas Raka waktu itu, Mas Deni langsung melakukan visum untuk membuat laporan.Mama terpaksa menyetujui cara itu. Mas Raka tak akan mungkin mau di penjara. Selain merusak reputasi, dia juga tak mungkin membiarkan Mbak Silvi ditinggal sendirian dalam keadaan hamil saat ini. Sebenarnya, ini hanya inisiatif dari Mas Deni saja. Tak ada niat untuk memperkarakan hal sekecil itu. Namun, saat itu terlintas ide untuk mengancam Mas Raka. Agar mau tidak mau, Mas Raka harus menuruti apa pun keinginan Mas Deni sebagai syarat agar Mas Deni mencabut laporannya. Dan tentu saja syarat tersebut adalah menjatuhkan talak padaku.Dengan begitu, putuslah sudah ikatan kami sebagai suami istri secara agama. Tak ada kewajiban atau dosaku lagi untuk tak menuruti apa pun keinginannya. "Itu syarat dariku, Ka. Aku akan mencabut laporan asal kamu menceraikan Delima saat ini juga." Mas
"Ba_bagaimana, Say... eh,... Delima?" Mas Deni tampak takut-takut menanyakan itu padaku. Aku kembali terdiam. Masih syok dengan semua ini. Semuanya serba mendadak dan tiba-tiba. Membuatku bingung harus bertanya mulai dari mana.Lalu Mas Raka meminta sesuatu pada Mbak Silvi. Dengan senyum kebahagiaan Mbak Silvi merogoh sesuatu dari dalam tasnya. Dikeluarkan sebuah amplop ke tangan Mas Raka."Ini, Dek." Mas Raka menyodorkan kertas itu ke atas meja. Dengan ragu aku mengambil dan melihat apa isinya."I_ini?" Air mataku tumpah seketika."Iya, Dek. Itu surat cerai yang kamu inginkan. Kamu sudah bebas sekarang."Rasa di hatiku kini bercampur aduk tak menentu. Ada perasaan sedih, bahagia, juga lega."Jadi, gimana, Dek? Mas sendiri yang melamar kamu untuk Deni. Kamu mau, kan?"Aku menatap mereka semua secara bergantian. Lalu mengangguk."Iya, Mas. Delima mau.""Alhamdulilah...." Semua orang di ruangan ini mengucap syukur.*****Akhirnya hari bahagia yang dinantikan semua orang terjadi juga. M
Mataku menghangat melihat orang-orang itu kini berdiri di hadapanku. Aku merasa ini seperti sebuah mimpi. Aku berdiri terpaku dengan air mata yang mulai mengalir.Lalu tiba-tiba saja tubuhku direngkuh dan masuk dalam pelukan hangatnya."Mama?" Aku menangis sesenggukan."Iya, sayang. Ini Mama," ucap wanita yang sudah setengah tahun ini tak pernah lagi kutemui. "Kamu sehat-sehat aja kan, Delima?"Aku makin sesenggukan melihat sikap pedulinya. Lalu aku juga merasakan tangan seseorang ikut menyentuh dan mengusap bahuku. Benarkah apa yang sedang kulihat saat ini?Aku melepaskan pelukan Mama. Lalu menatap satu persatu wajah mereka yang ikut berkunjung ke rumahku."Mbak Silvi?""Iya, Delima. Mbak datang." Wanita yang pernah menamparku saat terakhir kali bertemu ini, tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca.Lalu kulihat Mas Raka dan Mas Deni tampak berdiri sejajar. Sepertinya semua orang sudah baik-baik saja. Dan mereka semua terlihat akur.Pasti sudah banyak hal yang terjadi selama aku tak a
Biarlah hanya kami berdua yang tahu tentang semua ini. Seperti yang dia katakan, itu untuk yang terakhir kalinya. Kuberikan sebagai upah, atas apa yang dia berikan selama ini. Dengan begitu, nantinya dia hanya akan mengingatku sebagai wanita bayaran saja. Yang bisa dia cumbu tanpa hati, dan juga rasa cinta.Aku harus benar-benar terlihat murahan di matanya.*"Kamu kenapa, Sayang? Kenapa tiba-tiba ninggalin Mas seperti ini?" Mas Deni begitu syok saat aku tiba-tiba datang ke rumahnya untuk berpamitan."Maafin Delima, Mas. Delima bukanlah wanita yang baik untuk Mas Deni." Lagi-lagi aku membatukan hati agar tak lagi goyah.Berbicara dengan Mama pun rasanya hati ini sudah akan luluh melihat kekecewaan di wajahnya. Apa lagi saat berbicara dengan Mas Deni. Aku harus benar-benar bisa mengendalikan diriku. Rasa sakit yang aku rasakan tak boleh terlalu nampak. Aku lebih memilih Mas Deni kecewa dan membenciku saja, dari pada harus menangis dan mengiba, memohon agar aku tetap tinggal."Sampai h
Tanpa terasa enam bulan sudah aku kembali ke kampung. Kembali tinggal dengan Bue dan juga Sidik. Tak peduli lagi pada gunjingan tetangga dan warga sekitar atas statusku sekarang ini.Awal kepulanganku dulu, bisik-bisik mereka selalu terdengar. Katanya memang seperti itulah resiko menjadi wanita kedua. Hanya sebagai cadangan untuk bersenang-senang. Giliran bosan, pasti kembali ke pelukan istri pertama.Aku hanya diam, tak ambil pusing dengan pendapat mereka. Tak ada gunanya juga menceritakan hal yang sebenarnya. Asal Bue mengerti dan tidak terlalu memikirkannya hingga sakit, kurasa itu bukan masalah.Anggap saja memang ini adalah hukuman atas keserakahanku waktu itu. Lepas dari seorang pria beristri, malah berkhayal mendapatkan bujangan kaya raya.Tapi semua itu sudah berlalu. Tak ada lagi bisik-bisik seperti itu kudengar. Semuanya seakan lupa, dan aku bisa menjalani kehidupan dengan normal kembali.Kini aku tak perlu lagi bersusah payah bekerja dari pintu ke pintu untuk bekerja di rum
"Kita rujuk ya, Dek?" Napasnya makin memburu di telingaku. Aku kembali menggeleng dalam tangisan."Kasi kesempatan Mas satu kali lagi untuk membahagiakan kamu, Sayang." Aku semakin menggeleng."Dek?""Kalau Mas benar-benar mencintai Delima dan ingin melihat Delima bahagia, tolong bebaskan Delima. Kalau Mas ingin balas dendam dan tidak ingin melihat Delima bahagia dengan Mas Deni, Delima akan turuti. Delima akan putuskan hubungan dengan Mas Deni dan akan kembali ke kampung. Apa itu cukup membuat Mas Raka puas?""Enggak, Dek. Bukan seperti itu maksud Mas. Mas ingin kamu bahagia sama Mas, Sayang. Kenapa kamu nggak percaya sama perasaan Mas?" Dia tampak gelisah sembari menyentuh pipiku dengan kedua tangannya. Aku hanya bisa memejamkan mata dengan pasrah. Melawan pun percuma. Hanya akan membuat keributan malam-malam begini."Delima hanya ingin hubungan Mas Raka dan Mas Deni kembali baik, Mas. Jangan lagi bermusuhan seperti ini hanya gara-gara Delima. Delima bukan wanita yang pantas untuk
Aku segera menarik tanganku kembali. Namun Mas Raka tak mengizinkan dan malah menahannya. Dia terlihat begitu marah. Padahal saat di bawah tadi, dia terlihat biasa-biasa saja dan tak memperdulikan.Atau, jangan-jangan Mama bercerita tentang aktivitas aku dan Mas Deni tadi. Bukan salah Mama juga. Salahku yang tak berani bilang untuk merahasiakannya dari Mas Raka."Tega banget kamu, Dek. Mas udah bilang, jangan pergi sama Deni. Kenapa kamu masih nekat juga? Malah gantiin cincin Mas dengan cincin dari dia. Kamu pikir Mas main-main dengan ancaman Mas waktu itu?""Kenapa Mas melakukan itu? Kenapa Mas nggak ngijinin Delima sama Mas Deni? Jujur aja, Mas." Aku mulai berani."Kamu masih nanya? Kamu tau sendiri kenapa Mas melakukan itu, Dek.""Kenapa?" Aku meyakinkan."Tentu saja karena Mas mencintai kamu.""Bohong!" sanggahku dengan penuh amarah. "Mas Raka bohong. Mas Raka sama sekali nggak pernah mencintai Delima.""Itu nggak benar, Dek. Mas sayang sama kamu.""Delima nggak percaya. Mas Raka
"Oh, iya, Den. Soal pesta, nanti kita adakan di rumah kamu aja, ya. Biar kita buat acara yang meriah. Di kampung Delima kita adakan akad saja. Biar Delima nggak terlalu jadi sorotan orang kampung.""Kalau Deni nggak masalah, Bulek. Terserah Delimanya aja.""Kalau kamu, gimana, Delima?" Mama meminta pendapatku."Delima juga nurut, Ma. Gimana baiknya aja.""Ya sudah, nanti Mama tanyakan sama Ibu kamu. Setuju atau enggak.""Baik, Ma."Setelah Mas Deni pulang, aku langsung menuju ke kamar untuk menyimpan barang-barang yang aku beli tadi. Padahal aku tidak memintanya. Tapi dengan begitu royal dia membelikan semua ini untukku.Aku terduduk di ranjang sembari memegangi bibirku. Teringat saat Mas Deni mengecupnya tadi. Membuat perasaanku semakin tak karuan. Inilah ciuman pertamaku dengan seorang lelaki. Padahal sebelumnya aku berpikir, bahwa Mas Rakalah yang akan mengambil semuanya.Usai makan malam aku memijat punggung Mama. Mengobrol dan tertawa bersama. Tak lama Mas Raka datang dan bergabu
Dia menghentikan kata-katanya."Lagi apa, Mas?" tanyaku penasaran. "Eh, nggak. Mas juga jarang-jarang dengar suara kamu, kok." Mas Raka gelagapan. "Kamu kenapa belum tidur jam segini?" "Tadi sudah mau tidur. Tapi Mas Raka tiba-tiba nelpon. Apa lain kali tidak usah diangkat saja, kalau sudah mengantuk?""Eh, eh. Udah berani kamu, ya." Aku tertawa mendengarnya.Kudengar suara Mas Raka seperti bernapas lega. "Kenapa, Mas?" tanyaku lagi."Mas senang, kita bisa bicara santai seperti ini. Makasih ya, Dek. Kamu udah nggak takut lagi sama, Mas."Aku tertegun. Bahkan hal yang tak kusadari pun bisa membuat orang lain merasa lega.*Pagi ini aku pamit pada Mama untuk ikut Mas Deni. Sengaja menunggu Mas Raka berangkat ke kantor terlebih dahulu. Padahal Mama sendiri tidak tahu kalau aku dan Mas Deni sekarang lagi kucing-kucingan sama Mas Raka. Bertemu pun harus diam-diam.Aku bisa saja mengadu pada Mama. Tapi posisiku yang hanya menumpang membuatku tak bisa melakukannya. Seperti memakan buah si
Cih, pintar sekali wanita ini bersandiwara. Padahal baru saja dia bersikap seperti orang gila padaku."Kamu aja yang pulang. Dan tunggu surat cerai sampai ke tangan kamu.""Jangan, Mas. Aku nggak mau. Aku nggak mau cerai dari kamu. Kamu harus pulang sama aku. Kamu nggak boleh lagi tinggal sama pelacur ini.""Diam kamu, Silvi. Sekali lagi kamu hina Delima, aku nggak akan segan-segan lagi sama kamu.""Mas!""Jangan salahkan Delima untuk semuanya. Delima sama sekali nggak ada hubungannya dengan keputusanku.""Tapi aku istri kamu, Mas.""Kamu lupa kalau aku sudah menjatuhkan talak sama kamu?""Jadi kamu lebih memilih pelacur ini dari pada aku?"Plak!Aku menutup mulut dengan kedua tanganku saat Mas Raka menampar Mbak Silvi. Mbak Silvi menatap tajam suaminya sambil memegangi pipinya. "Tega kamu, Mas," rintihnya."Aku sudah memberi peringatan sebelumnya. Jangan pernah berani menghina Delima. Urusan kamu sama aku. Sekarang kamu pergi, atau aku panggil polisi karena kamu telah membuat keribu