Malam ini, aku dan Bik Inah makan malam berdua saja. Mama sama sekali tidak keluar sejak pulang tadi. Aku ingin memanggilnya, khawatir kalau terjadi apa-apa.Tapi kata Bik Inah, Mama memang seperti itu kalau sedang ada yang mengganggu pikirannya. Sama persis seperti yang diucapkan Mas Deni. Jadi tidak perlu diganggu. Nanti kalau mau, dia akan keluar sendiri. Kasihan Mama, gara-gara masalahku, dia jadi seperti ini.Usai makan malam dan membantu Bik Inah, aku langsung menuju lantai atas. Kamar ini, kamar yang kami gunakan saat mengganti pakaian bersama Mbak Silvi saat ada hajatan kemarin. Kata Bik Inah, kamar itu dulunya kamar Mas Raka. Dan masih selalu digunakan setiap Mas Raka dan Mbak Silvi menginap.Aku yang sedang berbaring di ranjang, tiba-tiba dikejutkan dengan nomor panggilan dari Mas Raka. Untuk apa dia meneleponku. Meski dengan tanda tanya, namun aku memilih mengabaikan panggilan itu.Tak berapa lama, sebuah pesan whatsapp masuk. Masih dari nomor yang sama.[Dek, Mbak mu sakit
Pagi harinya aku membantu Bik Inah beres-beres di dapur. Selesai Bik Inah membuat sarapan, aku mencucikan piringnya. "Mama masih nggak mau keluar ya, Bik?" tanyaku."Iya, Mbak. Kayaknya tadi malam Ibuk ndak makan malam," sahut Bik Inah."Delima jadi khawatir, Bik. Emang Mama sering gitu ya. Kalau sakit gimana? Delima bawain sarapan aja ke kamar, ya?" Aku merasa cemas."Bukan Mama yang harus kamu kuatirkan, Delima." Tiba-tiba Mama muncul. Dengan cepat aku menarik kursi dan mempersilahkannya duduk di kursi makan."Mama mau sarapan? Minum teh ya, Ma. Masih hangat. Baru aja mau Delima antar ke kamar." Aku merasa sedikit tenang karena akhirnya Mama keluar dari persembunyiannya."Duduk!" perintah Mama. Menunjuk kursi di depannya dengan anggukan kepala. Aku pun menurut."Bagaimana perasaan kamu sekarang?" tanya Mama. Jujur saja, aku tak lagi merasakan apa pun. Tak ada rasa kecewa, atau menyesal karena meninggalkan rumah itu. Yang kupikirkan sekarang hanyalah tentang kepulanganku ke kampung
"Terus hubungan Mas Raka sama Mbak Indah gimana? Masih sering ketemu?""Hubungan apa to, Delima? Ngomong aja jarang. Mama sudah bilang, suamimu itu aslinya pendiem. Sama Indah pun jarang ngomong. Pergi-pergi juga jarang. Tapi Indahnya masih sering datang. Sampai sekarang pun, dia masih sering ke sini. Kamu belum pernah ketemu, ya? Pas hajatan Lara kemarin dia juga ada kok."Dia juga hadir saat hajatan itu? Pantas saja dia tahu tentang keberadaanku. Dia pasti punya niatan yang tidak baik. Lagi pula, untuk apa juga dia sering-sering datang bertamu, padahal dia tahu kalau Mas Raka sudah menikah dengan Mbak Silvi. Dia pasti punya rencana untuk merebut Mas Raka kembali."Udah, udah. Mulai sekarang kamu tinggal sama Mama aja di sini. Nggak baik juga tinggal serumah sama madu. Pasti salah satu akan diperlakukan tidak adil nantinya. Pantas saja setiap Mama ke sana, kamu terus yang kerja. Rupanya mereka hanya menganggap kamu sebagai pembantu.""Eh, enggak kok, Ma. Itu karena Mbak Silvi lagi sa
Aku dan Bik Inah kembali saling menoleh. Aku mengunci rapat mulutku sendiri. Sama sekali tak berani lagi bicara apa pun. Itu baru meja yang digeprek. Kalau sampai salah bicara lagi, mungkin bisa berterbangan semua barang-barang di dapur ini.Akhirnya aku menemani Mama sarapan dengan penuh kesunyian. Untuk mengatakan bahwa Mas Raka menelepon dan mengabarkan kesehatan Mbak Silvi pun aku tak berani. Usai sarapan, Mama kembali lagi ke kamar. Sedangkan aku membersihkan meja sisa sarapan tadi."Mbak Delima yang sabar ya, Mbak," ucap Bik Inah. "Bibik turut prihatin dengan apa yang terjadi sama Mbak.""Iya, Bik. Delima nggak apa-apa kok. Malah akhirnya Delima bersyukur dengan ketidak adilan Mas Raka. Delima jadi masih seperti gadis saja saat ini.""Tapi, Mbak Delima nurut aja sama Ibuk, ya. Ibuk itu aslinya baik banget, lho. Nggak tegaan sama orang. Lagipula, benar kata Ibuk. Kasian Buenya Mbak Delima di kampung."Aku pun mengangguk saja. *Karena tak jadi pulang ke kampung, aku mulai berad
Aku tersenyum melihat Mas Deni yang tiba-tiba datang. Atau mungkin dia sudah mendengarkan ucapan kami barusan."Eh, kamu, Den. Ngagetin aja," ucap Mbak Indah. Hanya saja gaya bicaranya sedikit lemah lembut daripada saat bicara denganku tadi."Ngapain kamu?" tanya Mas Deni."Mau ketemu Tante Rima aja. Lagi bosan di rumah.""Bulek lagi nggak enak badan. Lagi nggak mau diganggu.""Tante sakit ya, Den. Aku mau jenguk ah. Raka di dalem juga, kan?"Wanita ini benar-benar tidak tahu malu. Terang-terangan menunjukkan sikapnya pada semua orang."Raka nggak ada.""Lho, tapi ini...." Dia memandangiku dari atas ke bawah. Dia pasti berpikir, kalau aku datang ke sini bersama Mas Raka."Delima ke sini karena permintaan mertuanya. Kangen sama mantu, makanya sampe sakit." Mas Deni mengarang cerita.Mbak Indah memasang wajah tak suka. Dia cemberut. "Aku juga pengen ketemu, kok. Tante juga pasti kangen sama aku. Aku kan juga dulu calon menantunya." Dia melirikku. Seolah ingin memanas-manasiku."Kamu ka
"Dih, emangnya Mas Deni kenapa? Harus dikerjain segala?" Aku mulai berani ikutan menggodanya. Aku tahu, Mas Deni pasti hanya ingin mengajakku bercanda. Berusaha untuk menghiburku saja. Dia pasti berpikir, kalau aku ini sedang larut dalam kesedihan. Padahal, memang perceraian inilah yang aku harapkan."Eh, itu. Maksud Mas, ya seperti yang Mas bilang tadi. Nanti Mas carikan kerjaan buat kamu." Anehnya dia malah terlihat gugup. Padahal aku sudah bisa menangkap maksud ucapannya."Wah, makasih ya, Mas. Jadi tukang bersih-bersih juga Delima mau kok. Yang penting kerja.""Iya, iya. Nanti Mas usahakan." Dia mengusap-usap leher belakangnya. Aneh..Aku menceritakan pembicaraan itu saat makan malam. Mama tampak tersenyum mendengar ucapanku yang begitu bersemangat. Kali ini Mama makan dengan begitu lahap. Sepertinya suasana hatinya sudah jauh lebih tenang."Kenapa nggak diajak makan malam aja Deninya tadi?" tanya Mama kemudian."Astaghfirullah alaziim. Delima nggak kepikiran, Ma. Aduh, kira-ki
"La, iya. Mas Deni kan tinggal sendiri. Jadi, seminggu sekali, Bibik ke sana buat bersih-bersih.""Oh, gitu. Delima boleh ikut nggak, Bik?" Aku juga ingin sekali melihat tempat tinggalnya Mas Deni. Sejak tinggal di sini, tak sekalipun aku pernah diajak ke sana.Mungkin karena dia tinggal sendiri. Lagipula, mana mungkin dia mau mengajakku ke rumahnya. Jelas-jelas aku ini masih jadi istri sepupunya. Dasar aku nya saja yang tidak tahu diri, dan terlalu banyak berharap."Boleh, Mbak. Ayuk."Bik Inah seperti sudah terbiasa. Dia membuka pintu dengan kunci yang dia pegang. Mas Deni tidak ada di rumah. Pasti mengantar Mama ke rumah Lara. Seperti yang biasa dia lakukan saat ke rumah Mas Raka. Dan sepertinya, Bik Inah sudah menjadi orang kepercayaan memegang kunci rumahnya.Rumah Mas Deni tak kalah besar sama rumah Mama. Heran juga melihat rumah-rumah di kota. Untuk apa mereka membangun rumah besar-besar, kalau toh akhirnya tinggal sendirian juga. Sama halnya dengan Mama. Kalau bukan karena ada
"Mas Raka?" Mataku membesar, melihat dia yang tiba-tiba datang.Dia berjalan dengan perlahan mendekatiku. Aku refleks melangkah mundur.Sedang apa dia di sini? Apa Bik Inah belum juga kembali? Apa saat ini kami sedang berdua saja di rumah? Kenapa dia mengunci pintu? Apa dia berniat berbuat yang tidak-tidak padaku? Berbagai pertanyaan berkecamuk di pikiranku."Mas Raka? Sedang apa di sini?" Aku memberanikan diri bertanya."Ini kan kamar Mas, Dek," jawabnya, semakin mendekatiku."I-iya. Maaf. Mama yang nyuruh Delima nempati kamar ini." Aku semakin gugup."Ya, nggak papa. Mas kan nggak ada ngelarang, atau nyuruh kamu keluar.""Maksud Delima, Mas Raka mau apa ke sini? Mama lagi nggak ada. Emang Mas Raka, belum tau, kalau Lara sudah mau lahiran?""Mas kangen sama kamu, Dek." Dia semakin mendekat. Aku yang merasa terpojok, berusaha untuk menghindar. Namun, tangannya dengan cepat menarik pinggangku hingga kini berada dalam dekapannya."Mas Raka mau apa?" Aku semakin ketakutan. Tubuhku meron