Nia menggeleng, air matanya menitik satu per satu. “Kamu tega sama aku, Mas ....” “Tidak usah bicara soal tega sama aku, kamu sendiri juga tega kan? Kurang apa aku sama kamu? Dari segi finansial bahkan seluruh perhatian, aku berikan ke kamu meski saat itu aku masih jadi suaminya Lila!” Nia menatap Gio dengan air mata berderai. “Kamu sadar tidak sih, aku bisa terjebak dengan Joey gara-gara patah hati dengan pernikahan kamu dan Lila! Seandainya kamu tidak menikah sama dia, aku tidak akan mungkin pergi ke klub malam dan bertemu Joey!” Gio mengepalkan tangannya. “Jadi kamu menyalahkan aku?!” katanya menggelegar. “Aku sudah bilang bahkan berjanji sama kamu kalau aku tidak akan pernah menganggap Lila sebagai istriku, apa itu belum cukup untuk meyakinkan kamu?” Nia terdiam. “Jangan menyalahkanku atas keputusan bodohmu yang memilih pergi ke klub malam dan mencari hiburan di sana,” sambung Gio dengan nada dingin. “Seharusnya kamu berdiam diri di rumah dan menunggu kedata
“Aku merasa sudah tidak memiliki masa lalu dengan siapapun,” katanya sambil menggelengkan kepala. “Jadi kamu tidak perlu khawatir.” Kalila tidak tahu harus menjawab apa, semua ini terlalu mendadak untuknya. “Apa? Kamu dan Nia sudah bercerai?” Soraya histeris saat Gio menghubunginya melalui sambungan telepon. “Kenapa kok tiba-tiba ...? Bukankah rencananya kalian akan meresmikan pernikahan?” “Untungnya tidak jadi, Bu.” Gio menarik napas berat. “Ternyata selama ini Nia sudah menipu kita semua, Sherin bukanlah anak kandungku.” “Apa? Sebentar, sebentar, ibu tidak mengerti apa yang kamu bicarakan ... Kalau Sherin bukan anak kamu, terus dia anak siapa?” Gio lantas menceritakan tentang kebohongan Nia dan juga tingkah lakunya yang berakibat fatal. “Astaga, kok bisa-bisanya kamu kecolongan sih, Dan?” protes Soraya gusar. “Sia-sia kamu memperjuangkan Nia sampai sebegitunya, apa kamu tidak lihat dulu bibit, bebet dan bobotnya sebelum memutuskan untuk menikah?” “Aku merasa suda
“Apa itu benar, Nia? Kamu sudah berkhianat dan karena itu Gio menceraikan kamu?” “A—aku tidak sengaja, Bu ....” “Sembrono sekali, sekarang lihat! Rugi kamu kehilangan suami seperti Gio, belum lagi dihina-hina sama mantan ibu mertua kamu tadi ... Kenapa sih kamu tidak bisa baik-baik sama Gio? Minimal sampai pernikahan kalian resmi di mata hukum, jadi kamu masih bisa dapat harta gono-gini kalau bercerai.” Nia diam saja sementara ibunya terus mengomel tiada henti. Satu hal yang dia sadari, berpisah dengan Gio benar-benar membuatnya rugi. “Bodoh kamu, Nia ....” “Bu, sudahlah! Yang penting sekarang adalah bagaimana caranya aku bisa mengembalikan uang Mas Gio, Ibu mau aku masuk penjara?” “Apa-apaan sih, uang tidak seberapa saja disuruh kembalikan.” “Mau bagaimana lagi, Mas Gio prinsipnya keras. Dia tidak bisa ditentang, apalagi setelah aku tidak sengaja berkhianat kepadanya ....” Menyesal? Tentu saja Nia sangat menyesalinya, andai peristiwa itu tidak perlu terjadi
“Kamu seharusnya dapat harta gono-gini kan? Pakai harta itu untuk mengembalikan uangnya,” suruh Joey seenaknya. “Kamu pikir semudah itu? Aku ini hanya dinikahi siri, mana bisa menuntut harta gono-gini!” “Astaga, benar-benar bodoh. Di jaman seperti sekarang mau-maunya dinikahi siri,” komentar Joey tidak percaya. “Kalau ada apa-apa begini, jadi repot sendiri kan? Terus bagaimana masa depan Sherin? Siapa yang akan membiayai kebutuhannya?” “Tentu saja kamu, pakai nanya!” “Aku?” “Kenapa? Bukankah dulu kamu dengan bangga mengatasnamakan ayah biologis Sherin saat mengancamku?” tuding Nia balik. “Kenapa sekarang nyali kamu jadi menciut seperti ini?” Joey mendengus. “Bukan seperti itu juga maksudku, tapi akan jauh lebih enak jika kamu bisa mendapatkan sedikit harta gono-gini dari mantan suami kamu.” “Dasar tidak modal,” umpat Nia, ini salah satu alasan kenapa dia enggan menerima Joey. Selain karena tidak cinta, Joey belum mapan seperti Gio secara finansial. “Aku ingin buka tok
Gio sangat menikmati kebersamaannya dengan sang putra, hingga sore itu tiba .... “Pantas saja kamu melupakan kami secepat itu, Mas. Ternyata ada dia,” komentar seorang wanita. Gio menoleh dan mendapati Nia yang sedang berdiri menggendong Sherin. “Dia yang kamu maksud adalah anak kandungku,” tegas Gio, ekspresi wajahnya sama sekali terlihat tidak ramah. “Siapa yang mempersilakan kamu untuk masuk ke sini tanpa seizinku?” Nia menarik napas. “Mas, aku mohon ... ini hanya kesalahpahaman di antara kita.” “Siapa yang kasih kamu izin masuk?” “Tadi aku lihat pintu gerbang terbuka, jadi aku masuk.” Nia menjelaskan dengan nada meminta maaf, dia melangkah mendekat ke arah teras. “Aku tidak pernah mempersilakan kamu untuk menginjakkan kaki di rumah ini.” “Mas, tolonglah ... Kita masih bisa memperbaiki rumah tangga kita yang telah hancur, asalkan kita punya niat untuk ....” “Sayangnya aku tidak berniat untuk memperbaiki apa pun sama kamu,” pungkas Gio, jemarinya membelai k
“Tidak, mungkin ayahnya Noah hanya mampir.” Gio menyipitkan mata ketika melihat Kalila yang membawa buket bunga di tangannya. Noah yang tertidur selama perjalanan, perlahan membuka mata ketika Bik Nuri melintasi halaman rumah. “Selamat sore, Tuan.” “Sore, Bik. Saya bawa belanjaan untuk keperluan Noah, termasuk beberapa setel baju.” “Kalau begitu biar saya bawa barangnya, Tuan. Noah ikut ayah dulu, ya?” Noah menguap kecil sebagai jawaban ketika Gio meraihnya. “Akhir-akhir ini kamu sering sekali menemui Noah,” komentar Kalila dengan dua tangan penuh dengan buket dan cokelat. “Memangnya kenapa, apa Arka saja yang bebas menemui Noah kapan saja dia mau?” balas Gio dari sudut mulutnya. Hawa tidak nyaman terasa sekali di udara saat Kalila membuang muka, Gio sama sekali tidak mengerti kenapa mantan istrinya itu terlihat masih menyimpan dendam untuknya. “Bik, saya duluan ya?” “Iya, Nyonya!” Kalila lekas melanjutkan langkahnya tanpa berpamitan dengan Gio. “
“Gampang itu, biar Sherin di sini sama ibu. Kalau perlu saat kalian rujuk, ibu yang akan mengasuh Sherin setiap hari ....” “Serius, Bu?” “Asalkan kamu kasih uang untuk biaya Sherin, tidak masalah.” Nia mengangguk-angguk paham. Rasa putus asa yang sedari tadi hinggap di hatinya, kini seolah hilang tak berbekas setelah bertukar pikiran dengan sang ibu. Karena itu dia tidak akan menyerah untuk bisa mendapatkan hati Gio kembali. Beberapa hari setelah itu .... Nia berpikir jika seharusnya tenggat waktu yang berlalu membuat Gio sudah melunak hatinya, karena itu dia rela belepotan di dapur untuk membuatkan bekal spesial bagi mantan suaminya. “Tumben kamu rajin ....” “Demi Mas Gio, apa pun akan aku lakukan, Bu.” “Itu bagus, jangan sampai Gio keburu dipepet wanita lain. Tidak rela ibu, sampai kapan pun tidak akan rela.” Nia mengangguk setuju. “Aku juga tidak rela, Bu. Makanya aku harus melakukan apa pun sebelum Mas Gio berkenalan dengan wanita lain.” Setelah mem
Bik Jani tidak lagi memaksa dan pamit pulang. Gio tiba di dapur rumahnya yang sunyi senyap, tidak ada orang lain selain dia seorang. Gio duduk dan menatap meja makan yang kosong, bayangan Kalila saat sedang melayaninya tiba-tiba menyeruak hadir tanpa permisi .... Masih lekat dalam ingatan Gio bagaimana awal-awal Kalila menjadi istrinya dulu dan hal apa saja berusaha dia lakukan demi mendapatkan sedikit saja perhatiannya. Namun, Gio dengan kejam tidak menganggap keberadaan Kalila sedikit pun. ‘Mas, aku sudah siapkan sarapan untuk kamu ....” ‘Handuk dan baju bersihnya sudah aku pilihkan ....” ‘Aku bawakan bekal buat kamu makan siang, Mas ....’ ‘Aku tidak lapar!’ ‘Berhentilah menarik perhatianku, kamu membuatku muak!’ ‘Aku tidak sudi makan masakan kamu ....’ “DIAM!” Gio berteriak ke udara kosong yang sunyi, suara-suara dalam kepalanya serentak terdiam dengan sendirinya. Dia mengacak rambutnya dengan frustrasi, lalu pergi meninggalkan dapur yang masih men