Tolong bantu nyalakan bintangnya ya, tulis ulasan untuk buku ini biar semakin ramai. terima kasih ....
“Kamu seharusnya dapat harta gono-gini kan? Pakai harta itu untuk mengembalikan uangnya,” suruh Joey seenaknya. “Kamu pikir semudah itu? Aku ini hanya dinikahi siri, mana bisa menuntut harta gono-gini!” “Astaga, benar-benar bodoh. Di jaman seperti sekarang mau-maunya dinikahi siri,” komentar Joey tidak percaya. “Kalau ada apa-apa begini, jadi repot sendiri kan? Terus bagaimana masa depan Sherin? Siapa yang akan membiayai kebutuhannya?” “Tentu saja kamu, pakai nanya!” “Aku?” “Kenapa? Bukankah dulu kamu dengan bangga mengatasnamakan ayah biologis Sherin saat mengancamku?” tuding Nia balik. “Kenapa sekarang nyali kamu jadi menciut seperti ini?” Joey mendengus. “Bukan seperti itu juga maksudku, tapi akan jauh lebih enak jika kamu bisa mendapatkan sedikit harta gono-gini dari mantan suami kamu.” “Dasar tidak modal,” umpat Nia, ini salah satu alasan kenapa dia enggan menerima Joey. Selain karena tidak cinta, Joey belum mapan seperti Gio secara finansial. “Aku ingin buka tok
Gio sangat menikmati kebersamaannya dengan sang putra, hingga sore itu tiba .... “Pantas saja kamu melupakan kami secepat itu, Mas. Ternyata ada dia,” komentar seorang wanita. Gio menoleh dan mendapati Nia yang sedang berdiri menggendong Sherin. “Dia yang kamu maksud adalah anak kandungku,” tegas Gio, ekspresi wajahnya sama sekali terlihat tidak ramah. “Siapa yang mempersilakan kamu untuk masuk ke sini tanpa seizinku?” Nia menarik napas. “Mas, aku mohon ... ini hanya kesalahpahaman di antara kita.” “Siapa yang kasih kamu izin masuk?” “Tadi aku lihat pintu gerbang terbuka, jadi aku masuk.” Nia menjelaskan dengan nada meminta maaf, dia melangkah mendekat ke arah teras. “Aku tidak pernah mempersilakan kamu untuk menginjakkan kaki di rumah ini.” “Mas, tolonglah ... Kita masih bisa memperbaiki rumah tangga kita yang telah hancur, asalkan kita punya niat untuk ....” “Sayangnya aku tidak berniat untuk memperbaiki apa pun sama kamu,” pungkas Gio, jemarinya membelai k
“Tidak, mungkin ayahnya Noah hanya mampir.” Gio menyipitkan mata ketika melihat Kalila yang membawa buket bunga di tangannya. Noah yang tertidur selama perjalanan, perlahan membuka mata ketika Bik Nuri melintasi halaman rumah. “Selamat sore, Tuan.” “Sore, Bik. Saya bawa belanjaan untuk keperluan Noah, termasuk beberapa setel baju.” “Kalau begitu biar saya bawa barangnya, Tuan. Noah ikut ayah dulu, ya?” Noah menguap kecil sebagai jawaban ketika Gio meraihnya. “Akhir-akhir ini kamu sering sekali menemui Noah,” komentar Kalila dengan dua tangan penuh dengan buket dan cokelat. “Memangnya kenapa, apa Arka saja yang bebas menemui Noah kapan saja dia mau?” balas Gio dari sudut mulutnya. Hawa tidak nyaman terasa sekali di udara saat Kalila membuang muka, Gio sama sekali tidak mengerti kenapa mantan istrinya itu terlihat masih menyimpan dendam untuknya. “Bik, saya duluan ya?” “Iya, Nyonya!” Kalila lekas melanjutkan langkahnya tanpa berpamitan dengan Gio. “
“Gampang itu, biar Sherin di sini sama ibu. Kalau perlu saat kalian rujuk, ibu yang akan mengasuh Sherin setiap hari ....” “Serius, Bu?” “Asalkan kamu kasih uang untuk biaya Sherin, tidak masalah.” Nia mengangguk-angguk paham. Rasa putus asa yang sedari tadi hinggap di hatinya, kini seolah hilang tak berbekas setelah bertukar pikiran dengan sang ibu. Karena itu dia tidak akan menyerah untuk bisa mendapatkan hati Gio kembali. Beberapa hari setelah itu .... Nia berpikir jika seharusnya tenggat waktu yang berlalu membuat Gio sudah melunak hatinya, karena itu dia rela belepotan di dapur untuk membuatkan bekal spesial bagi mantan suaminya. “Tumben kamu rajin ....” “Demi Mas Gio, apa pun akan aku lakukan, Bu.” “Itu bagus, jangan sampai Gio keburu dipepet wanita lain. Tidak rela ibu, sampai kapan pun tidak akan rela.” Nia mengangguk setuju. “Aku juga tidak rela, Bu. Makanya aku harus melakukan apa pun sebelum Mas Gio berkenalan dengan wanita lain.” Setelah mem
Bik Jani tidak lagi memaksa dan pamit pulang. Gio tiba di dapur rumahnya yang sunyi senyap, tidak ada orang lain selain dia seorang. Gio duduk dan menatap meja makan yang kosong, bayangan Kalila saat sedang melayaninya tiba-tiba menyeruak hadir tanpa permisi .... Masih lekat dalam ingatan Gio bagaimana awal-awal Kalila menjadi istrinya dulu dan hal apa saja berusaha dia lakukan demi mendapatkan sedikit saja perhatiannya. Namun, Gio dengan kejam tidak menganggap keberadaan Kalila sedikit pun. ‘Mas, aku sudah siapkan sarapan untuk kamu ....” ‘Handuk dan baju bersihnya sudah aku pilihkan ....” ‘Aku bawakan bekal buat kamu makan siang, Mas ....’ ‘Aku tidak lapar!’ ‘Berhentilah menarik perhatianku, kamu membuatku muak!’ ‘Aku tidak sudi makan masakan kamu ....’ “DIAM!” Gio berteriak ke udara kosong yang sunyi, suara-suara dalam kepalanya serentak terdiam dengan sendirinya. Dia mengacak rambutnya dengan frustrasi, lalu pergi meninggalkan dapur yang masih men
Dendam itu semakin menyala-nyala di dadanya, meski Kalila juga sama-sama telah bercerai dari Gio. “Kenapa kamu marah-marah begitu?” Joey mengernyit heran ketika Nia muncul di rumahnya dengan wajah masam. “Jangan bilang kalau kamu diusir?” Tebakan Joey yang jitu justru membuat Nia semakin kesal. “Aku benci sekali sama mantan maduku.” “Mantan madu? Jangan bilang kalau suami kamu punya istri dua?” “Dulunya iya,” angguk Nia. “Sebelum akhirnya mereka berpisah dan Mas Gio mempertahankan aku sebagai istri pertama.” Joey mengangguk paham. “Terus kenapa kamu masih membencinya, bukankah dia juga sudah berpisah?” “Karena sejak awal, dialah sumber masalahnya! Coba kalau dia tidak pernah hadir dalam hubungan kami, pasti saat ini aku masih jadi istrinya Mas Gio.” Joey mengangkat bahu mendengar gerutuan Nia. “Ingin rasanya aku kasih pelajaran berharga ke dia, biar tahu rasa.” “Apa maksudmu?” Nia menatap Joey dengan sorot mata penuh benci, seolah pria itulah yang sudah
“Cepat!” “Tahan dia!” Kalila pun berteriak. “Bik, kunci pintu! Bawa Noah pergi!” Kurir perempuan itu terus menahan Kalila yang ingin menyusul si kurir pria tadi. “Lepas, tolong!” Kalila tidak memiliki jalan lain kecuali berteriak sekeras mungkin. “Ada penculik di sini!” Kurir perempuan itu membekap mulut Kalila dan menyebabkan teriakannya terhenti. Namun, Kalila berontak dan terjadilah tarik menarik di antara keduanya. “Kamu ini sebenarnya siapa sih?” Kalila merenggut masker dari wajah si kurir perempuan dan terbelalak seketika. “Nia?!” “Kurang ajar!” Kurir perempuan yang ternyata adalah Nia itu berusaha merebut masker dari tangan Kalila, tetapi gagal. “Berani-beraninya kamu datang ke sini untuk mengganggu keluargaku!” “Kamu yang lebih dulu mengganggu hubunganku dengan Mas Gio!” “Kalian berdua yang menjebakku, jangan lupa!” “Banyak omong kamu—Hey cepat ambil anak itu!” Kalila menatap tajam kepada Nia yang hendak masuk menyusul rekan pria tadi. “St
“Jangan bicara seperti itu, namanya musibah kan? Aku yakin Nia dan orang itu akan dapat hukumannya.” “Aku benar-benar tidak habis pikir, Arka. Kenapa Nia sampai bertindak sejauh itu ... Urusan dia hanya dengan Mas Gio kan?” “Motifnya bisa apa saja, nanti seharusnya pihak berwajib bisa menggali motif itu.” “Di mana Noah?” tanya Kalila seolah teringat sesuatu. “Dia tidak boleh sendirian!” “Tenang saja, Noah aman bersama Gio di depan. Ada Bik Nuri dan Bik Jani juga ... kalian berdua aman di sini.” Kalila menarik napas lega. “Habis Nyonya pingsan itu, orang-orang langsung mengamankan Bu Nia sama laki-laki yang mau culik Noah. Benar-benar menegangkan, kami takut Nyonya kenapa-kenapa ....” “... hampir saja Bu Nia dan laki-laki itu diamuk massa karena bikin keributan, sampai pihak keamanan datang untuk mengamankan situasi ....” Kalila mengangguk-angguk mendengarkan penuturan Bik Nuri dan Bik Jani. “Saya jadi takut kembali ke rumah itu, Bik ... Bagaimana kalau Nia dan laki-l