"Aku berharap keputusanku ini bisa diterima sama Ibu dan Bapak. Aku merasa ini yang terbaik."
Bicara dengan penuh harap, Kiandra bisa melihat sorot mata kedua orangtuanya redup. Seolah ikut bersedih atas apa yang barusan ia tuturkan."Bagaimana dengan Vano? Kamu yakin dia akan baik-baik saja?"Mendengar pertanyaan dengan suara lembut dari Ibunya, Kiandra tak bisa membendung perasaan lega. Perempuan itu menghambur ke pelukan ibunya."Kai akan baik-baik aja, Buk. Aku yakin itu. Masalah Nando dan Rina, biar aku yang urus. Mereka enggak akan terkena imbas."Masih memeluk ibunya, Kiandra merasakan kepalanya diusap. Oleh sang ayah. Semakin haru perasaan perempuan itu. Setelah sekian lama, akhirnya kedua orangtuanya bersedia setuju pada pilihan yang ia buat.Kiandra menghabiskan beberapa jam lagi di rumah orangtuanya, sebelum akhirnya pamit pulang. Tidak sendiri, perempuan itu meminta dijemput oleh sang suami."Kita makTurun dari sepeda motor sembari melepas helm, Kiandra membawa langkahnya yang ringan memasuki pekarangan rumah Evan. Satu tangan wanita dengan kemeja hitam itu menenteng sebuah kantung belanja. "Kai!" panggilnya senang seraya mengetuk pintu. Belum ada sahutan. Mengetuk lima kali lagi, akhirnya Sonya muncul. "Ibuk? Kai belum pulang. Lagi dijemput Buk Lidia." Sonya menjelaskan sambil mempersilakan Kiandra masuk. Pada gadis muda yang berpakaian lebar dan panjang itu, Kiandra mengangguk. Ia dituntun menuju ruang tamu, kemudian mendadak berdiri kaku saat tatapan bertemu dengan sang pemilik rumah. "Kai belum punya, Son," ucap Evan pada Sonya. Lelaki dengan kaus hitam itu memalingkan wajah dari tamunya. Sonya melirik sungkan pada Kiandra, kemudian mempersilakannya duduk. "Sebentar lagi juga sampai. Saya buatkan teh dulu, ya, Buk." Gadis itu pergi. Mengambil tempat di sofa single, Kiandra menatapi Sonya. Senyum kecilnya muncul. Per
"Gantikan Ferdi, cuci semua piring dan gelas di dapur!" Pada perintah yang barusan meluncur dari bibir si bos, Kiandra merespon dengan membuka mulut lebar-lebar. Ia menganga, tak habis pikir. "Salah saya apa, Pak?" tanya perempuan itu dengan nada yang sebisa mungkin dibuat sopan. Sebenar-benarnya Kia sudah ingin menarik rambut bos yang suka menyunat gajinya ini. Seingat Kia, yang melakukan kesalahan itu Juwi. Juwi yang tidak sengaja menumpahkan jus pesanan pelanggan. Kiandra hanya membantu membereskan kekacauan itu tadi. Lalu, kenapa ia dihukum? "Salah kamu apa? Kamu sok baik," ucap Raka dengan wajah judesnya. Laki-laki itu mengarahkan telunjuk ke arah dapur. "Pergi ke dapur, sekarang." Diam di tempatnya berdiri, mematung, Kiandra memandangi bosnya. Satu detik, dua detik .... Perempuan itu mengulas senyum. Ekspresi judes, mata besar dengan tatapan tak peduli, dagu terangkat dan kalimat perintah penuh dominasi yang terdengar
Berjalan sambil melamun, Kiandra tak sengaja tersandung. Perempuan itu menengok sekitar, lalu tersadar jika dirinya sedang berada di jalan menuju tempatnya bekerja. Kacau. Seharusnya Kia pulang. Selesai bertemu Kai, harusnya ia menuju rumah, bukan malah ke kafe. Kia libur hari ini. Tanggung, perempuan itu meneruskan jalan. Pulang pun sepertinya tak bisa mengurai pelik di kepala. Mungkin segelas jus di kafe dan menontoni orang-orang bisa membuatnya sedikit bernapas. Hari ini Kia mendengar kebenaran dari Lidia. Alasan mengapa tak jadi ada surat perjanjian soal hak asuh Kai. Ternyata, Lidia dan Evan membuat kesepakatan. Seperti yang kemarin Damar katakan, Evan memang sedikit aneh. Pria itu mengambil keputusan yang sulit untuk dipahami. Setahun lalu, karena Damar tak berhasil jua mengancam Kia, sepupunya Lidia itu membeberkan semuanya pada Evan. Damar mengajak Evan bertemu berdua, menurut cerita Lidia. "Evan tahu soal foto dan
Berdiri di dekat meja kasir setelah pintu masuk, Raka melotot pada salah satu pegawainya yang baru saja lewat dan memicing seolah hendak mengajak perang. Siapa lagi kalau bukan Kiandra? Perempuan yang Raka kenal sebagai sahabat sepupunya itu sedang mengantar pesanan ke salah satu meja dekat sana. Begitu saja, atensi Raka beralih sepenuhnya ke wanita itu. Entahlah. Kiandra ini sedikit lain dari kebanyakan orang yang Raka temui. Perempuan itu mengesalkan. Dahinya yang kerap berkerut membuat Raka merasa seolah sedang diprovokasi untuk melakukan duel. Belum lagi mata coklat dengan bulu mata panjang dan lurus milik gadis itu. Tiap kali mereka saling bertatapan, Raka tanpa alasan jelas bisa merasa gemas sendiri. Akhir- akhir ini kadar menyebalkan Kia di mata Raka bertambah. Sejak pegawainya itu mengaku sudah pernah menikah, memiliki anak dan membiarkan anaknya itu tinggal bersama ibu sambung. "Kejam," ucap Raka terang-terangan saat Kiandra
Kiandra yang baru meninggalkan dapur berlari ke arah tangga saat menemukan Kai tengah turun. Perempuan itu langsung menggendong si bocah. "Kenapa turun? Ibuk mau naik, Nak." Telapak tangannya menyasar kening Kai. Syukur sekali sebab demam anak itu sudah turun. Kai tersenyum. Meski sedang kurang bugar, bocah lelaki itu tetap terlihat manis saat tersenyum. Kiandra bisa melihat jika tarikan senyum anaknya serupa dengan sang ayah. "Kai kira Ibuk udah pergi. Janji tidur di sini lagi, 'kan? Sampai Kai sehat." Dua hari sudah Kia menginap di rumah Lidia. Menemani dan merawat Kai. Beruntung karena Lidia sama sekali tak marah. Begitu pun Evan. Walau pria itu juga tak terlihat senang. Pada permintaan Kai, Kia mengangguk. "Kita naik ke kamar lagi, ya? Ibuk minta Kak Sonya bawa makanan Kai." Kai menggeleng. "Kai kuat, Ibuk. Kai mau makan di meja sama Papa dan Mamah." Kiandra tersenyum. Doanya ternyata terkabul. Kai tumbuh men
Kiandra menggigiti ujung ibu jari. Wajahnya gusar, mata itu berkedip berkali-kali, karena terlalu cemas. Saat ini ia tengah bertelepon dengan Lidia. "Tolong, ya, Lid. Kamu tahu Damar senekat apa, 'kan?" "Iya, Ki. Hari ini aku rencana tungguin Kai pulang dari sekolah. Biar kita lebih tenang." Kemarin malam Kiandra mendapat pesan ancaman dari Damar. Terang-terang sepupunya Lidia itu berkata akan menyakiti Kai. Karena itu Kiandra menghubungi Lidia dan meminta tolong agar menjaga anak mereka lebih intens dari sebelumnya. "Kayaknya kita harus kasih tahu Evan juga, Ki." Kiandra menimbang. Pikirannya bercabang. Mereka tahu sepintar apa Damar menyusun rencana untuk membuat susah. Kalau Kia memilih memberitahu ancaman ini pada Evan, apa itu baik?Bagaimana jika tujuan Damar memang ingin membuat Evan kelimpungan, khawatir dan melupakan pekerjaan, lalu Damar akan mengambil tindakan seperti waktu itu lagi. Menyuruh orang untuk membuat
Damar lebih dari sekadar gila. Kiandra tak menemukan sebutan yang pantas untuk diberikan pada lelaki kejam dan aneh itu. Setelah berusaha mencelakai Kai, Damar masih tak berhenti. Hari ini tepat tiga hari sudah Kia terkurung di sebuah kamar yang entah berada di mana. Ternyata Damar sudah mempersiapkan segalanya.Sepupunya Lidia itu sengaja membayar orang untuk menabrak Kai sewaktu pulang sekolah. Menjadikan itu pancingan agar Kia datang ke rumah Damar dan bisa diculik. Dibuat pingsan lalu dibawa kemari, ponsel, bahkan kemeja Kiandra diambil lelaki gila itu. Sejak kemarin si perempuan disekap di kamar ini, dengan tangan dan kaki terikat. Diberi makan tiga kali sehari, yang lebih tak masuk akal, yang mengantar makanan adalah Tia, istrinya Damar. Kiandra tak menemukan celah untuk bisa kabur. Ikatan di tangan dan kakinya sama sekali tak bisa dibuka Hanya menimbulkan luka lecet yang perih tiap kali Kia berusaha melepaskan benda itu. Ini ma
Duduk dengan dua tangan terikat di belakang punggung, Kiandra gemetar. Bukan hanya karena rasa sakit akibat beberapa pukulan yang tubuhnya dapatkan beberapa saat lalu--ulah Damar--melainkan juga karena pemandangan yang saat ini terlihat di depan mata. Di sofa yang berada tepat di hadapan ranjang yang Kiandra tempati, Damar sedang mencumbui Tia. Entah apa yang Damar inginkan hingga sampai berani melakukan hubungan suami-istri di hadapannya seperti saat ini. Menggigit bibir, menahan tangis ketakutan, Kiandra memejam saat Damar menoleh dan melempar senyum puas. Benak Kiandra penuh dengan harapan akan adanya keajaiban. Seseorang, entah siapa pun itu bisa datang kemari dan membebaskannya dari lelaki sinting di hadapan. Tia meringis dan memekik. Kiandra mengerjap, masih berusaha memalingkan wajah. "Kamu lihat itu? Dia sama sekali enggak seperti kamu. Suaranya bahkan bikin aku mual. Kalau aku enggak membayangkan wajah kamu, aku enggak akan sanggup me
Sudah akan pulang, sudah duduk di atas jok sepeda motornya, Kai menemukan Samara menghampiri. Lelaki ini yakin benar-benar didatangi, sebab setahunya, sepeda motor karwayan lepas ibunya itu ada di sebelah kanan. Sekarang pukul satu siang, Kai dan Samara baru saja pulang mengajar. Kebetulan aneh, Kai dan gadis yang bekerja sampingan sebagai pengantar nastar Kia itu diterima menjadi guru honor di SD yang sama. Bertemu di rumah, bertemu lagi di tempat kerja. Kai mulai terbiasa, tetapi tetap merasa risih saat gadis dengan iris mata sewarna madu itu mendatangi dan muncul di hadapan muka seperti sekarang. Menurut Kai, Samara itu tidak tegak akalnya. Agak miring. Bayangkan, di hari pertama masuk kerja dan mereka bertemu, si gadis dengan rambut hitam sepunggung itu mengaku menyukai Kai. Di depan Kiandra pula. "Apa?" tanya Kai ketus saat Samara hanya diam saja di samping sepeda motornya. Kai menjadi sedikit jengkel saat gadis yang ada di depannya memasang ekspresi wajah santai, menuju da
Hening. Sepi. Ketenangan yang ada di kediaman Evan terasa hampa kali ini. Rumah berlantai dua yang menjadi saksi lika-liku cinta Evan dan Kia itu tidaklah kosong. Bangunan itu berpenghuni, hanya saja masing-masing penghuninya tengah diselimuti kehampaan. Ada peristiwa jelek beberapa waktu lalu. Di kamar yang berada di lantai satu, yang beberapa tahun belakangan ditempati oleh sulung Wijaya. Di sana, Evan memergoki Vano hendak menyayat nadi. Kehebohan terjadi. Evan yang biasanya tenang menjerit histeris dan berusaha mencegah anaknya melanjutkan tindakan mengerikan itu. Dibantu istri dan putrinya, Evan akhirnya berhasil menjauhkan Vano dari pisau terkutuk tadi. Memang, Vano tak baik-baik saja setahun belakangan. Sejak kecelakaan tragis yang menyebabkan kaki kanannya pincang, Vano mengalami masa-masa sulit untuk beradaptasi dengan keadaan barunya. Mengasingkan diri, menarik diri, menjauhi semua orang, bahkan menunda pengerjaan tugas akhir kuliah. Evan tahu semua itu tidak mudah. Na
"Papa enggak sayang Vian!" Kalimat keramat, batin Evan. Di depan putrinya yang masih mengenakan seragam putih abu-abu, lelaki itu mengepalkan tangan. "Apa salahnya, Pa? Vian udah gede! Udah tujuh belas! Pacaran aja enggak boleh?" Pipi Vian merah. Ia mengingat bagaimana ayahnya memarahi Glen di muka umum tadi. Kekasihnya itu pasti malu. Tahu sendiri kalau ayahnya sudah murka, mulutnya lebih pedas dari sambal rawit buatan nenek. Mengusap wajah, Evan menarik napas. "Pacaran? Untuk apa? Dengan siapa? Kamu bahkan enggak mengenalkan dia ke Papa, Vian. Kamu sehat?" Rahangnya yang tirus mengetat, mata si gadis memerah. "Papa udah enggak sayang Vian!" tuduhnya dengan wajah terluka. Kemudian, remaja itu berbalik, menaiki tangga dengan tergesa. "Vian?" Evan memanggil. "Navian Kaiandra Wijaya!" Suaranya menggelegar ke seluruh penjuru rumah. Langkah Vian berhenti. Ia berbalik, menoleh dengan sorot marah pada ayahnya. "Papa udah enggak sayang Vian! Vian kesal! Vian enggak mau ngomong dulu sa
"Abang, kok, kita dilihatin mereka?" Gadis kecil dengan kaus kuning itu bergeser ke kanan agar semakin dekat dengan sang kakak. Kai melirik pada beberapa pegawai di rumah makan itu. Anak lelaki itu tahu apa yang adiknya maksud. Memang, mereka sedang jadi bahan tontonan sekarang. Bukan hanya pegawai bagian dapur yang ada di sini, pekerja yang biasanya siap siaga di depan pun sudah silih berganti muncul. Sekadar pura-pura lewat, demi bisa melihat mereka. "Abang?" Si gadis kecil menyenggol bahu kakaknya. Tangannya yang kecil itu terus berusaha mencuci kentang dalam ember yang penuh air. "Enggak apa, Vian. Mereka itu teman Papa. Vian takut?" Kai melempar senyum tulus pada sang adik. Gadis kecil berambut hitam sepundak itu mengangguk. Matanya yang sedikit bengkak mulai berkaca-kaca lagi. "Salah Vian. Maafin Vian, ya, Bang?" Ia membersit hidung. Kai mengangguk. Tangannya basah, anak itu menyentuh kepala sang adik dengan lengan. "Abang juga salah." Kai dan Vian sedang dihukum. Oleh ay
Menemukan Evan sedang duduk sendirian di ruang makan, Kiandra terkekeh pelan. Memasang raut datar setelahnya, perempuan itu duduk di pangkuan sang suami. "Nungguin siapa? Enggak dikasih jatah, kamu mau beneran selingkuh sama Nona Daster Putih?" Tidak dijawab, Kiandra mengalihkan tatap karena Evan malah memandangi. Dari jarak sedekat ini, dengan sorot mata dalam dan teduh pria itu, Kiandra sudah berdebar saja. "Lihat mataku," Evan meraih dagu Kia, membuat perempuan itu kembali menatapi. Evan suka saat melihat pantulan dirinya di beningnya netra coklat sang istri. Mengendalikan detak jantung, Kiandra tak bisa untuk tak memeluk lelakinya itu. "Kenapa duduk sendirian di sini?" "Pengin mi instan goreng. Buat, gih." Ah. Kia tak bisa tak tersenyum. Perempuan itu menjungkitkkan ujung bibir. Ia kecup pipi Evan lama. "Tumben," ejeknya sengaja. Evan menggeleng. Ia juga tak paham. Tadi itu sudah makan. Ikan goreng yang Kia siapkan, sungguh enak. Namun, entah k
Kiandra itu gila. Evan tidak akan meralat ucapan itu. Ia juga tak akan mau meminta maaf kalau pun istrinya itu mendengar apa yang barusan ia suarakan dalam hati."Kamu apa enggak bisa ambil libur satu hari aja?" Begitu rengek ibunya Kai di pagi saat Evan sudah akan berangkat bekerja. Tidak ada angin, hujan atau badai, Kiandra atau Vano juga tidak sakit. Evan menolak permintaan itu. Jelas. Untuk apa ia libur mendadak, sementara sudah ada jatah libur? Lagipula untuk apa? Kia mau apa? Tadi pagi itu, Evan sudah akan berangkat. Lalu apa? Kiandra yang berusia kepala tiga itu menangis dengan segelas air di tangan kanan dan kunci mobil Evan di tangan kiri. "Kalau kamu tetap berangkat, aku telan ini kunci mobilmu." Kia mengancam tepat di dekat tangga rumah, sedangkan suaminya di anak tangga. Reaksi Evan kala itu, hanya tertawa. "Telan, coba. Bisa memangnya?" Kia benar-benar menaruh ujung kunci mobil Evan di lidah
Menggandeng Kai dengan tangan kanan, Kiandra terlihat berjalan tergopoh memasuki rumah. Di balik helm yang masih terpasang, pipi wanita itu basah. "Evan!" panggilnya kencang. Sampai di ruang tamu, Kiandra langsung memeluk Evan yang terduduk di sofa. Tangisnya pecah. "Kenapa bisa? Mana yang sakit? Kamu geger otak?" Kiandra menyentuh perban kecil di dahi kiri Evan. Tadi, tepat setelah jam sekolah Kai usai, Kiandra dihubungi Evan. Lelaki itu mengabari jika dirinya ada di rumah, habis mengalami kecelakaan kecil. Sejak mendengar itu hingga di perjalanan menuju rumah, Kiandra tak berhenti menangis. Ia sungguh cemas dan sedih. Kenapa bisa Evan kecelakaan? Pria itu adalah orang yang selalu berhati-hati. Perasaannya makin tak tentu tadi, karena Evan menolak menjelaskan detail luka yang didapat. Saat melihat keadaan pria itu saat ini, Kiandra jadi makin ketakutan. Ada memar di pipi Evan. Atas pelipis kirinya ditempeli perba
"Jadi, kenapa waktu itu kamu cuma ngakuin Lidia?" Kiandra bertanya pada suaminya. Pukul satu dini hari. Kiandra tengah berbaring di pelukan Evan. Mereka berdua berbagi selimut. Evan menarik bibir Kia. "Hobi banget ngungkit masa lalu. Untuk apa?" "Jawab," desak Kia. Bibirnya yang barusan dicubit terasa sedikt sakit. "Ya biar enggak ribet. Kalau aku kasih tahu kamu juga istriku, kenalanku itu pasti banyak tanya. Atau, kalau dia enggak tanya langsung, dia pasti mikir aneh-aneh." Kiandra berbaring telungkup. Evan melirik sewot. Perempuan itu sepertinya sengaja pamer-pamer. Dari tempatnya, Evan bisa melihat dua benda cantik itu menggantung bebas. "Mikir aneh apa?" Kiandra bertanya seraya menarik Evan yang hendak tidur menyamping. "Pikir aja sendiri!" Evan menarik selimut, menyelimuti dirinya hingga ujung kepala. Pria itu mengulum senyum. "Evan! Jawab dulu! Mikir aneh apa?" Wah! Jebakan berhasil. Saat selimut di atas wajah Evan ditarik Kia
Membuka mata, bangun dari tidur, pagi ini Evan heran apa dirinya sedang ada di surga atau masih di Bumi. Sebab, pemandangan di depan pria itu sungguh bagus. Lebih indah dari apa pun. Ada Kia dan Vano. Mereka di dekat lemari pakaian, si istri sedang membantu anak mereka mengenakan seragam sekolah. Ditambah senyum indah yang di wajah dua orang itu, Evan sungguh merasa dirinya sudah di surga. "Papa! Papa udah bangun!" Vano berlari, menghampiri dan naik ke tempat tidur. Anak itu memeluk ayahnya yang baru saja duduk. "Ibuk ikut antar Kai ke sekolah hari ini." Anak itu kegirangan. "Beneran Ibuk tinggal di sini dan enggak pulang-pulang lagi?" Evan mengangguk. Mengecup pipi Vano. "Tadi pagi Vano lihat sendiri, 'kan? Ibuk boboknya sama kita." Kai mengangguk. Ia turun dari pangkuan Evan dan mendatangi Kia. Membiarkan ibunya itu mengancingkan kembali seragam sekolah. Senyumnya tak pudar dari wajah. "Oke. Seragam selesai. Turun, biar sarap