"Gantikan Ferdi, cuci semua piring dan gelas di dapur!"
Pada perintah yang barusan meluncur dari bibir si bos, Kiandra merespon dengan membuka mulut lebar-lebar. Ia menganga, tak habis pikir."Salah saya apa, Pak?" tanya perempuan itu dengan nada yang sebisa mungkin dibuat sopan. Sebenar-benarnya Kia sudah ingin menarik rambut bos yang suka menyunat gajinya ini.Seingat Kia, yang melakukan kesalahan itu Juwi. Juwi yang tidak sengaja menumpahkan jus pesanan pelanggan. Kiandra hanya membantu membereskan kekacauan itu tadi. Lalu, kenapa ia dihukum?"Salah kamu apa? Kamu sok baik," ucap Raka dengan wajah judesnya. Laki-laki itu mengarahkan telunjuk ke arah dapur. "Pergi ke dapur, sekarang."Diam di tempatnya berdiri, mematung, Kiandra memandangi bosnya. Satu detik, dua detik .... Perempuan itu mengulas senyum.Ekspresi judes, mata besar dengan tatapan tak peduli, dagu terangkat dan kalimat perintah penuh dominasi yang terdengarBerjalan sambil melamun, Kiandra tak sengaja tersandung. Perempuan itu menengok sekitar, lalu tersadar jika dirinya sedang berada di jalan menuju tempatnya bekerja. Kacau. Seharusnya Kia pulang. Selesai bertemu Kai, harusnya ia menuju rumah, bukan malah ke kafe. Kia libur hari ini. Tanggung, perempuan itu meneruskan jalan. Pulang pun sepertinya tak bisa mengurai pelik di kepala. Mungkin segelas jus di kafe dan menontoni orang-orang bisa membuatnya sedikit bernapas. Hari ini Kia mendengar kebenaran dari Lidia. Alasan mengapa tak jadi ada surat perjanjian soal hak asuh Kai. Ternyata, Lidia dan Evan membuat kesepakatan. Seperti yang kemarin Damar katakan, Evan memang sedikit aneh. Pria itu mengambil keputusan yang sulit untuk dipahami. Setahun lalu, karena Damar tak berhasil jua mengancam Kia, sepupunya Lidia itu membeberkan semuanya pada Evan. Damar mengajak Evan bertemu berdua, menurut cerita Lidia. "Evan tahu soal foto dan
Berdiri di dekat meja kasir setelah pintu masuk, Raka melotot pada salah satu pegawainya yang baru saja lewat dan memicing seolah hendak mengajak perang. Siapa lagi kalau bukan Kiandra? Perempuan yang Raka kenal sebagai sahabat sepupunya itu sedang mengantar pesanan ke salah satu meja dekat sana. Begitu saja, atensi Raka beralih sepenuhnya ke wanita itu. Entahlah. Kiandra ini sedikit lain dari kebanyakan orang yang Raka temui. Perempuan itu mengesalkan. Dahinya yang kerap berkerut membuat Raka merasa seolah sedang diprovokasi untuk melakukan duel. Belum lagi mata coklat dengan bulu mata panjang dan lurus milik gadis itu. Tiap kali mereka saling bertatapan, Raka tanpa alasan jelas bisa merasa gemas sendiri. Akhir- akhir ini kadar menyebalkan Kia di mata Raka bertambah. Sejak pegawainya itu mengaku sudah pernah menikah, memiliki anak dan membiarkan anaknya itu tinggal bersama ibu sambung. "Kejam," ucap Raka terang-terangan saat Kiandra
Kiandra yang baru meninggalkan dapur berlari ke arah tangga saat menemukan Kai tengah turun. Perempuan itu langsung menggendong si bocah. "Kenapa turun? Ibuk mau naik, Nak." Telapak tangannya menyasar kening Kai. Syukur sekali sebab demam anak itu sudah turun. Kai tersenyum. Meski sedang kurang bugar, bocah lelaki itu tetap terlihat manis saat tersenyum. Kiandra bisa melihat jika tarikan senyum anaknya serupa dengan sang ayah. "Kai kira Ibuk udah pergi. Janji tidur di sini lagi, 'kan? Sampai Kai sehat." Dua hari sudah Kia menginap di rumah Lidia. Menemani dan merawat Kai. Beruntung karena Lidia sama sekali tak marah. Begitu pun Evan. Walau pria itu juga tak terlihat senang. Pada permintaan Kai, Kia mengangguk. "Kita naik ke kamar lagi, ya? Ibuk minta Kak Sonya bawa makanan Kai." Kai menggeleng. "Kai kuat, Ibuk. Kai mau makan di meja sama Papa dan Mamah." Kiandra tersenyum. Doanya ternyata terkabul. Kai tumbuh men
Kiandra menggigiti ujung ibu jari. Wajahnya gusar, mata itu berkedip berkali-kali, karena terlalu cemas. Saat ini ia tengah bertelepon dengan Lidia. "Tolong, ya, Lid. Kamu tahu Damar senekat apa, 'kan?" "Iya, Ki. Hari ini aku rencana tungguin Kai pulang dari sekolah. Biar kita lebih tenang." Kemarin malam Kiandra mendapat pesan ancaman dari Damar. Terang-terang sepupunya Lidia itu berkata akan menyakiti Kai. Karena itu Kiandra menghubungi Lidia dan meminta tolong agar menjaga anak mereka lebih intens dari sebelumnya. "Kayaknya kita harus kasih tahu Evan juga, Ki." Kiandra menimbang. Pikirannya bercabang. Mereka tahu sepintar apa Damar menyusun rencana untuk membuat susah. Kalau Kia memilih memberitahu ancaman ini pada Evan, apa itu baik?Bagaimana jika tujuan Damar memang ingin membuat Evan kelimpungan, khawatir dan melupakan pekerjaan, lalu Damar akan mengambil tindakan seperti waktu itu lagi. Menyuruh orang untuk membuat
Damar lebih dari sekadar gila. Kiandra tak menemukan sebutan yang pantas untuk diberikan pada lelaki kejam dan aneh itu. Setelah berusaha mencelakai Kai, Damar masih tak berhenti. Hari ini tepat tiga hari sudah Kia terkurung di sebuah kamar yang entah berada di mana. Ternyata Damar sudah mempersiapkan segalanya.Sepupunya Lidia itu sengaja membayar orang untuk menabrak Kai sewaktu pulang sekolah. Menjadikan itu pancingan agar Kia datang ke rumah Damar dan bisa diculik. Dibuat pingsan lalu dibawa kemari, ponsel, bahkan kemeja Kiandra diambil lelaki gila itu. Sejak kemarin si perempuan disekap di kamar ini, dengan tangan dan kaki terikat. Diberi makan tiga kali sehari, yang lebih tak masuk akal, yang mengantar makanan adalah Tia, istrinya Damar. Kiandra tak menemukan celah untuk bisa kabur. Ikatan di tangan dan kakinya sama sekali tak bisa dibuka Hanya menimbulkan luka lecet yang perih tiap kali Kia berusaha melepaskan benda itu. Ini ma
Duduk dengan dua tangan terikat di belakang punggung, Kiandra gemetar. Bukan hanya karena rasa sakit akibat beberapa pukulan yang tubuhnya dapatkan beberapa saat lalu--ulah Damar--melainkan juga karena pemandangan yang saat ini terlihat di depan mata. Di sofa yang berada tepat di hadapan ranjang yang Kiandra tempati, Damar sedang mencumbui Tia. Entah apa yang Damar inginkan hingga sampai berani melakukan hubungan suami-istri di hadapannya seperti saat ini. Menggigit bibir, menahan tangis ketakutan, Kiandra memejam saat Damar menoleh dan melempar senyum puas. Benak Kiandra penuh dengan harapan akan adanya keajaiban. Seseorang, entah siapa pun itu bisa datang kemari dan membebaskannya dari lelaki sinting di hadapan. Tia meringis dan memekik. Kiandra mengerjap, masih berusaha memalingkan wajah. "Kamu lihat itu? Dia sama sekali enggak seperti kamu. Suaranya bahkan bikin aku mual. Kalau aku enggak membayangkan wajah kamu, aku enggak akan sanggup me
Warn! 18+ Usai memukulkan kepala Kia ke dinding di belakang perempuan itu, Damar menjauh. Tubuh Kia tampak merosot pelan, lelaki itu mengusak rambut putus asa. Kembali, perempuan yang paling Damar inginkan itu menolak untuk disentuh. Damar tak habis pikir. Emosinya mendidih hingga terasa sudah membakar ubun--ubun. Atas penolakan yang Kia barusan suarakan, ia sungguh tak terima. "Aku cuma milik Evan. Walau kamu berhasil menyentuh atau bahkan meniduriku, hatiku tetap milik Evan, bukan pria kejam seperti kamu." Damar menendang kaki ranjang. Meski kondisinya sudah hampir tak sadarkan diri, Kia masih bisa mengulang kalimat menjijikkan sekaligus konyol yang berhasil membuat Damar merasa harga dirinya diinjak. Sialan. Sungguh Damar membenci Evan. Setelah merebut Lidia, lelaki itu juga bisa mencuci otak Kia hingga sanggup berucap seperti tadi, mengabaikan perasaan yang ada di antara mereka. "Uangku lebih banyak dari mantan suaminya
Lidia memantapkan langkah saat menapaki lantai ruang tamu Dina. Sengaja tak memberitahu sang ibu mertua atas kedatangannya, perempuan itu disambut Buk Ani, asisten rumah tangga. "Sebentar, Buk Dinanya dipanggilkan dulu." Duduk di sofa, Lidia meremat kesepuluh jemari. Berulang kali ia menarik napas guna mencari sedikit ketenangan. Hari ini, sebuah keputusan besar akan perempuan itu ambil. Lidia meyakinkan diri. Ini yang terbaik. Ini yang paling benar. Sebab terus-terusan mempertahankan sesuatu yang bukan milik kita adalah sebuah kesalahan. Egois hanya akan menyebabkan luka. "Lidia? Kenapa enggak kabarin Ibu?" Dina menghampir menantunya. Memberikan pelukan, kemudian duduk di sofa. "Ada yang ingin Lidia bicarakan, Buk." Dina tampak menanggapi dengan anggukan serius disertai heran. "Ada apa?" Lidia meraih tangan Dina untuk digenggam. Mencari kekuatan. Belum juga bibirnya berucap, air mata sudah tumpah. "Lidia mencinta