Lidia memantapkan langkah saat menapaki lantai ruang tamu Dina. Sengaja tak memberitahu sang ibu mertua atas kedatangannya, perempuan itu disambut Buk Ani, asisten rumah tangga.
"Sebentar, Buk Dinanya dipanggilkan dulu."Duduk di sofa, Lidia meremat kesepuluh jemari. Berulang kali ia menarik napas guna mencari sedikit ketenangan. Hari ini, sebuah keputusan besar akan perempuan itu ambil.Lidia meyakinkan diri. Ini yang terbaik. Ini yang paling benar. Sebab terus-terusan mempertahankan sesuatu yang bukan milik kita adalah sebuah kesalahan. Egois hanya akan menyebabkan luka."Lidia? Kenapa enggak kabarin Ibu?" Dina menghampir menantunya. Memberikan pelukan, kemudian duduk di sofa."Ada yang ingin Lidia bicarakan, Buk."Dina tampak menanggapi dengan anggukan serius disertai heran. "Ada apa?"Lidia meraih tangan Dina untuk digenggam. Mencari kekuatan. Belum juga bibirnya berucap, air mata sudah tumpah. "Lidia mencintaSambil menggendong Vano, Evan menuruni tangga rumah. Sekarang pukul tiga sore, sang anak merengek ingin bertemu ibunya. Padahal, mereka baru saja menjenguk Kia kemarin. Awalnya, sikap Vano yang selalu ingin bersama Kia ini dianggap Evan aneh. Lidia hampir tak punya cacat saat mengurusi dan merawat anak mereka itu. Pun, masalah status, Evan membuat penjelasan yang mudahnya saja. Lidia Mamah, Kia Ibuk. Keduanya adalah ibu Vano. Namun, sepertinya naluri Vano cukup kuat. Karena itu selalu lebih ingin bersama Kia, walau Lidia tak kalah sempurna sebagai ibu. "Kalian mau ke mana?" Di ruang tamu, Evan mendapat tanya dari sang istri. "Vano mau ketemu Kia lagi katanya." Pria itu memperhatikan raut wajah sang istri. Lidia tampak resah. Perempuan itu ragu buka suara, tetapi pada akhirnya berkata, "Kita bisa bicara malam ini? Habis kalian dari rumah Kia?" Evan memasang ekspresi serius. Sudah kesekian kali Lidia mengatakan hal sama. Namu
"Kamu kenapa mandi malam-malam?" tanya Kia pada Evan yang terlihat berjalan dari dapur dengan rambut basah. Evan melirik malas. Pria itu berjalan melewati Kia yang berdiri di depan kamar yang Vano tempati. Anaknya itu sudah tidur sejak satu jam lalu. Kiandra menyusul Evan yang duduk di tikar. "Enggak dingin?" Kembali Evan tak menanggapi. Pria itu mengibaskan kemejanya, sengaja tepat di depan Kia, hingga mengenai wajah perempuan itu. Kia meringis, memegangi mata. "Sakit, Evan." Kiandra memegangi matanya yang memerah. Sengaja sekali si lelaki mengibas kemeja di depan muka. "Aku titip Vano. Enggak usah macam-macam kamu selama dia di sini." Melihat Evan mengenakan kemeja, Kia cemberut. "Kamu pulang? Sekarang juga? Ini udah jam sembilan." Tangan Evan mengancing kemeja. "Apa, sih, enaknya kabur-kaburan? Pengin banget dicariin? Tukang cari perhatian." Tak pria itu lirik atau toleh wajah ibunya Vano. Ia kesal. K
Siang ini di kafe, Kia kembali masuk bekerja. Mengandalkan koneksi dengan si bos besar sekaligus memanfaatkan alasan kecelakaannya kemarin, perempuan itu masih bisa diterima bekerja. Seperti biasa, kafe yang berlokasi dekat dengan beberapa kampus itu mulai ramai di jam segini. Sejak tadi Kia sibuk mengantar pesanan pelanggan, bahkan beberapa kali sampai ikut menyiapkan jus dan kopi. Dirasa perut sudah menuntut untuk diisi, perempuan itu pamit pada rekan lain untuk istirahat makan siang. Membawa bekal sendiri, Kia memilih dapur sebagai tempat untuk menikmati setengah jam jatah istirahat. Seorang diri di sudut dapur, sembari sesekali bicara dengan pegawai lain yang lewat di dapur, dua puluh menit berlalu dan makanan di kotak bekal sudah habis. Kia tengah menyandarkan punggung ke kursi saat dilihatnya Raka datang. Tanpa minta izin, si bos duduk di depannya. Pertanyaan kelewat tak tahu tempat itu lolos begitu saja. "Jadi, bagaimana? Kamu
Duduk sendirian di ruang tamu rumah Evan, Kia seolah sedang mengulang masa lalu. Saat dirinya masih berstatus sebagai istri Evan dan selalu suka menghuni sofa di malam yang sudah larut. Hari ini, Kia menginap. Sonya tak mau dibujuk untuk tinggal, sedangkan Kia tak tega membiarkan mantan mertuanya yang terlihat lelah menjagai Kai. Dina sepertinya perlu istirahat dan mau tak mau Kia yang harus mengalah. Sekarang sudah pukul sebelas. Sang anak sudah tidur, Kia belum mengantuk. Tepatnya belum bisa tidur karena si tuan rumah belum juga menunjukkan batang hidung. Apa pekerjaan Evan berat? Harus pulang selarut ini setiap hari? Evan kan bos? Kenapa tidak bisa lebih santai? Sibuk menatapi ruangan itu, Kia mendengar suara pintu terbuka. Tak lama sosok Papanya Kai muncul. Perempuan itu langsung merasa iba ketika mendapati mata sayu dan raut letih si mantan suami. Kia terbayang semua tanggung jawab yang Evan pikul. Biaya hidup Kai, sekolahnya Na
Kia menerima tawaran pekerjaan dari Evan. Memang sedikit canggung awalnya, tetapi mau tak mau harus kesampingkan rasa malu. Demi bisa menghasilkan beberapa rupiah uang. Perempuan itu kukuh bekerja, makan gaji di warungnya Evan juga tak masalah. Sebab ada Kai yang harus ia tanggungjawabi. Memang, anak itu sepenuhnya tanggungan Evan, tetapi Kia merasa perlu ikut membantu. Kai itu anak mereka. Bukan hanya anak Evan seorang. Kia juga tak mau merepotkan orang tuanya. Ia ingin bisa menghidupi diri sendiri. Meski tidak berlebihan, yang penting Kia tak minta pada siapa pun untuk urusan perut. Bekerja di rumah makan, ternyata lumayan menguras tenaga. Lain dengan di kafe kemarin, di sini, Kia harus curi-curi waktu untuk bisa istirahat. Pengunjungnya tak berhenti datang. Ada saja pelanggan, entah itu makan di tempat atau dibawa pulang. Tugas Kia pun cukup melelahkan. Ia harus menyediakan air minum dan air cuci tangan jika ada pelanggan yang baru datang.
Berdiri di tepi kolam renang, Kia melempar senyum pada Kai yang melambaikan tangan. Perempuan itu merasa hatinya berbunga-bunga sekarang, sebab bisa ikut menemani sang anak. Hari ini Kai ada les berenang. Sudah ada pelatih khusus yang Evan pilih, Kia hanya tinggal mengantar dan menemani. Terasa akan seratus persen menyenangkan, jika saja lelaki di samping tidak ada. Kurang sopan? Biar. Kia masih kesal pada Papanya Kai. Tega sekali pria itu membiarkan lamaran absurd kemarin tidak diperbarui sampai hari ini. Barusan juga, Evan kembali mengutarakan, masih dengan nuansa serupa. Datar, asal, tidak ada romantisnya sama sekali. "Nanti kamu nginap lagi. Aku enggak mau Vano kesiangan ke sekolah." Pada ucapan Evan, Kiandra hanya melirik malas. Dua tangannya terlipat di depan dada. "Cincin aku kemarin, mana?" Evan mengulurkan telapak tangan yang terbuka. Dasar! Ada-ada saja kelakuannya. Memang Kia bodoh akan mengembalikan cincin itu?
Naik ke mobil Evan, Kia menutup pintu dengan kasar. Wajah perempuan itu ditekuk. Hatinya panas, cemburu, dan nelangsa. Bukan bermaksud menyesali perbuatan baik. Namun, Kia sedikit iri dengan perkembangan hubungan Raka dan Lidia. Barusan itu, Kia mendapat pesan dari Raka. Si mantan bosnya memberitahu bahwa sudah pacaran dengan Lidia. Mereka sudah merencanakan lamaran dan pernikahan. Baru beberapa minggu, tetapi lihatlah betapa Lidia sangat mujur. Sedangkan Kia? Ah, perempuan itu malas menjabarkan. Tak ada proges. Evan masih tak ingin menuruti syaratnya. "Nanti bibirmu makin panjang. Nanti Vano bingung mana bebek pelampung, mana ibuknya." Kiandra tertawa kencang. Hanya beberapa detik, kemudian diam tiba-tiba. Perempuan itu mengulurkan lengan yang memakai gelang besi dari Evan. "Mana kuncinya ini? Buka aja. Untuk apa aku pakai ini?" Gelang itu hadiah dari Evan. Diberikan diam-diam. Saat Kia tidur sepertinya. Karena b
Memang tidak benar berharap jika Evan bisa berlaku manis, barang sekali saja. Kiandra menyadari itu, setelah hampir seminggu berlalu dan mendapati tak ada perubahan pada sikap mantan suaminya. Evan masih sama saja. Terlampau tenang, datar, tak pedulian dan tentu saja tak akan sudi mengalah. Syarat diberi bunga, gagal. Kiandra menanti empat syarat lain dipenuhi. Memuji Kia cantik, jadi lebih perhatian, mengatakan cinta dan dijanjikan resepsi pernikahan sederhana. Sepertinya, semuanya tak akan ada yang berhasil. Sekarang Kia sedang ada di kos-an. Dalam aksi merajuk sebab Evan mengatainya kekanakan, setelah menuntut pernyataan cinta. Wajah ditekuk, bibir maju lima senti, Kiandra mengingat sikap Evan beberapa hari belakangan. Alhasil, perasaan perempuan itu kembali dongkol dan sedih. Bayangkan, Kia itu ingin dipuji. Tak perlu merangkai kalimat panjang. Inginnya KIa, Evan cukup mengakui bawah Kia itu cantik, atau paling tidak manis. Namun