Berdiri di tepi kolam renang, Kia melempar senyum pada Kai yang melambaikan tangan. Perempuan itu merasa hatinya berbunga-bunga sekarang, sebab bisa ikut menemani sang anak.
Hari ini Kai ada les berenang. Sudah ada pelatih khusus yang Evan pilih, Kia hanya tinggal mengantar dan menemani. Terasa akan seratus persen menyenangkan, jika saja lelaki di samping tidak ada.Kurang sopan? Biar. Kia masih kesal pada Papanya Kai. Tega sekali pria itu membiarkan lamaran absurd kemarin tidak diperbarui sampai hari ini. Barusan juga, Evan kembali mengutarakan, masih dengan nuansa serupa. Datar, asal, tidak ada romantisnya sama sekali."Nanti kamu nginap lagi. Aku enggak mau Vano kesiangan ke sekolah."Pada ucapan Evan, Kiandra hanya melirik malas. Dua tangannya terlipat di depan dada."Cincin aku kemarin, mana?" Evan mengulurkan telapak tangan yang terbuka.Dasar! Ada-ada saja kelakuannya. Memang Kia bodoh akan mengembalikan cincin itu?Naik ke mobil Evan, Kia menutup pintu dengan kasar. Wajah perempuan itu ditekuk. Hatinya panas, cemburu, dan nelangsa. Bukan bermaksud menyesali perbuatan baik. Namun, Kia sedikit iri dengan perkembangan hubungan Raka dan Lidia. Barusan itu, Kia mendapat pesan dari Raka. Si mantan bosnya memberitahu bahwa sudah pacaran dengan Lidia. Mereka sudah merencanakan lamaran dan pernikahan. Baru beberapa minggu, tetapi lihatlah betapa Lidia sangat mujur. Sedangkan Kia? Ah, perempuan itu malas menjabarkan. Tak ada proges. Evan masih tak ingin menuruti syaratnya. "Nanti bibirmu makin panjang. Nanti Vano bingung mana bebek pelampung, mana ibuknya." Kiandra tertawa kencang. Hanya beberapa detik, kemudian diam tiba-tiba. Perempuan itu mengulurkan lengan yang memakai gelang besi dari Evan. "Mana kuncinya ini? Buka aja. Untuk apa aku pakai ini?" Gelang itu hadiah dari Evan. Diberikan diam-diam. Saat Kia tidur sepertinya. Karena b
Memang tidak benar berharap jika Evan bisa berlaku manis, barang sekali saja. Kiandra menyadari itu, setelah hampir seminggu berlalu dan mendapati tak ada perubahan pada sikap mantan suaminya. Evan masih sama saja. Terlampau tenang, datar, tak pedulian dan tentu saja tak akan sudi mengalah. Syarat diberi bunga, gagal. Kiandra menanti empat syarat lain dipenuhi. Memuji Kia cantik, jadi lebih perhatian, mengatakan cinta dan dijanjikan resepsi pernikahan sederhana. Sepertinya, semuanya tak akan ada yang berhasil. Sekarang Kia sedang ada di kos-an. Dalam aksi merajuk sebab Evan mengatainya kekanakan, setelah menuntut pernyataan cinta. Wajah ditekuk, bibir maju lima senti, Kiandra mengingat sikap Evan beberapa hari belakangan. Alhasil, perasaan perempuan itu kembali dongkol dan sedih. Bayangkan, Kia itu ingin dipuji. Tak perlu merangkai kalimat panjang. Inginnya KIa, Evan cukup mengakui bawah Kia itu cantik, atau paling tidak manis. Namun
Apa hobi Kiandra? Evan tahu ada beberapa. Pertama, menangis saat sedang marah. Kedua, memupuk keras kepala. Tiga, membantah tiap ucapan Evan. Empat, memikirkan hal-hal aneh. Dan kelima, kabur-kaburan. Hobi yang kelima, Kia sedang melakukannya sekarang. Hari ini, hari di mana Evan berharap perempuan itu bisa bersikap penurut sekali saja. Memarkir asal sepeda motor yang tadi dikendarai di dekat toilet SPBU, Evan didatangi Marcel, supir yang harusnya membawa Kiandra ke tempat akan dilaksanakannya acara pernikahan. Setengah jam lagi harusnya Evan dan Kia menikah. Harusnya mereka sudah berada di gedung acara, tetapi tidak. Evan masih harus mendatangi SPBU ini, demi menyusul pengantin wanitanya. Apalagi? Evan yakin, Kiandra sedang melakukan hobinya. Kabur-kaburan. Tadi itu, Evan menghubungi Marcel. Hendak menanyakan sudah berada di mana. Si supir malah memberi kabar aneh. "Di SPBU, Pak. Buk, Kia dari tadi belum keluar d
Membuka mata, bangun dari tidur, pagi ini Evan heran apa dirinya sedang ada di surga atau masih di Bumi. Sebab, pemandangan di depan pria itu sungguh bagus. Lebih indah dari apa pun. Ada Kia dan Vano. Mereka di dekat lemari pakaian, si istri sedang membantu anak mereka mengenakan seragam sekolah. Ditambah senyum indah yang di wajah dua orang itu, Evan sungguh merasa dirinya sudah di surga. "Papa! Papa udah bangun!" Vano berlari, menghampiri dan naik ke tempat tidur. Anak itu memeluk ayahnya yang baru saja duduk. "Ibuk ikut antar Kai ke sekolah hari ini." Anak itu kegirangan. "Beneran Ibuk tinggal di sini dan enggak pulang-pulang lagi?" Evan mengangguk. Mengecup pipi Vano. "Tadi pagi Vano lihat sendiri, 'kan? Ibuk boboknya sama kita." Kai mengangguk. Ia turun dari pangkuan Evan dan mendatangi Kia. Membiarkan ibunya itu mengancingkan kembali seragam sekolah. Senyumnya tak pudar dari wajah. "Oke. Seragam selesai. Turun, biar sarap
"Jadi, kenapa waktu itu kamu cuma ngakuin Lidia?" Kiandra bertanya pada suaminya. Pukul satu dini hari. Kiandra tengah berbaring di pelukan Evan. Mereka berdua berbagi selimut. Evan menarik bibir Kia. "Hobi banget ngungkit masa lalu. Untuk apa?" "Jawab," desak Kia. Bibirnya yang barusan dicubit terasa sedikt sakit. "Ya biar enggak ribet. Kalau aku kasih tahu kamu juga istriku, kenalanku itu pasti banyak tanya. Atau, kalau dia enggak tanya langsung, dia pasti mikir aneh-aneh." Kiandra berbaring telungkup. Evan melirik sewot. Perempuan itu sepertinya sengaja pamer-pamer. Dari tempatnya, Evan bisa melihat dua benda cantik itu menggantung bebas. "Mikir aneh apa?" Kiandra bertanya seraya menarik Evan yang hendak tidur menyamping. "Pikir aja sendiri!" Evan menarik selimut, menyelimuti dirinya hingga ujung kepala. Pria itu mengulum senyum. "Evan! Jawab dulu! Mikir aneh apa?" Wah! Jebakan berhasil. Saat selimut di atas wajah Evan ditarik Kia
Menggandeng Kai dengan tangan kanan, Kiandra terlihat berjalan tergopoh memasuki rumah. Di balik helm yang masih terpasang, pipi wanita itu basah. "Evan!" panggilnya kencang. Sampai di ruang tamu, Kiandra langsung memeluk Evan yang terduduk di sofa. Tangisnya pecah. "Kenapa bisa? Mana yang sakit? Kamu geger otak?" Kiandra menyentuh perban kecil di dahi kiri Evan. Tadi, tepat setelah jam sekolah Kai usai, Kiandra dihubungi Evan. Lelaki itu mengabari jika dirinya ada di rumah, habis mengalami kecelakaan kecil. Sejak mendengar itu hingga di perjalanan menuju rumah, Kiandra tak berhenti menangis. Ia sungguh cemas dan sedih. Kenapa bisa Evan kecelakaan? Pria itu adalah orang yang selalu berhati-hati. Perasaannya makin tak tentu tadi, karena Evan menolak menjelaskan detail luka yang didapat. Saat melihat keadaan pria itu saat ini, Kiandra jadi makin ketakutan. Ada memar di pipi Evan. Atas pelipis kirinya ditempeli perba
Kiandra itu gila. Evan tidak akan meralat ucapan itu. Ia juga tak akan mau meminta maaf kalau pun istrinya itu mendengar apa yang barusan ia suarakan dalam hati."Kamu apa enggak bisa ambil libur satu hari aja?" Begitu rengek ibunya Kai di pagi saat Evan sudah akan berangkat bekerja. Tidak ada angin, hujan atau badai, Kiandra atau Vano juga tidak sakit. Evan menolak permintaan itu. Jelas. Untuk apa ia libur mendadak, sementara sudah ada jatah libur? Lagipula untuk apa? Kia mau apa? Tadi pagi itu, Evan sudah akan berangkat. Lalu apa? Kiandra yang berusia kepala tiga itu menangis dengan segelas air di tangan kanan dan kunci mobil Evan di tangan kiri. "Kalau kamu tetap berangkat, aku telan ini kunci mobilmu." Kia mengancam tepat di dekat tangga rumah, sedangkan suaminya di anak tangga. Reaksi Evan kala itu, hanya tertawa. "Telan, coba. Bisa memangnya?" Kia benar-benar menaruh ujung kunci mobil Evan di lidah
Menemukan Evan sedang duduk sendirian di ruang makan, Kiandra terkekeh pelan. Memasang raut datar setelahnya, perempuan itu duduk di pangkuan sang suami. "Nungguin siapa? Enggak dikasih jatah, kamu mau beneran selingkuh sama Nona Daster Putih?" Tidak dijawab, Kiandra mengalihkan tatap karena Evan malah memandangi. Dari jarak sedekat ini, dengan sorot mata dalam dan teduh pria itu, Kiandra sudah berdebar saja. "Lihat mataku," Evan meraih dagu Kia, membuat perempuan itu kembali menatapi. Evan suka saat melihat pantulan dirinya di beningnya netra coklat sang istri. Mengendalikan detak jantung, Kiandra tak bisa untuk tak memeluk lelakinya itu. "Kenapa duduk sendirian di sini?" "Pengin mi instan goreng. Buat, gih." Ah. Kia tak bisa tak tersenyum. Perempuan itu menjungkitkkan ujung bibir. Ia kecup pipi Evan lama. "Tumben," ejeknya sengaja. Evan menggeleng. Ia juga tak paham. Tadi itu sudah makan. Ikan goreng yang Kia siapkan, sungguh enak. Namun, entah k