Damar lebih dari sekadar gila. Kiandra tak menemukan sebutan yang pantas untuk diberikan pada lelaki kejam dan aneh itu. Setelah berusaha mencelakai Kai, Damar masih tak berhenti.
Hari ini tepat tiga hari sudah Kia terkurung di sebuah kamar yang entah berada di mana. Ternyata Damar sudah mempersiapkan segalanya.Sepupunya Lidia itu sengaja membayar orang untuk menabrak Kai sewaktu pulang sekolah. Menjadikan itu pancingan agar Kia datang ke rumah Damar dan bisa diculik.Dibuat pingsan lalu dibawa kemari, ponsel, bahkan kemeja Kiandra diambil lelaki gila itu. Sejak kemarin si perempuan disekap di kamar ini, dengan tangan dan kaki terikat. Diberi makan tiga kali sehari, yang lebih tak masuk akal, yang mengantar makanan adalah Tia, istrinya Damar.Kiandra tak menemukan celah untuk bisa kabur. Ikatan di tangan dan kakinya sama sekali tak bisa dibuka Hanya menimbulkan luka lecet yang perih tiap kali Kia berusaha melepaskan benda itu.Ini maDuduk dengan dua tangan terikat di belakang punggung, Kiandra gemetar. Bukan hanya karena rasa sakit akibat beberapa pukulan yang tubuhnya dapatkan beberapa saat lalu--ulah Damar--melainkan juga karena pemandangan yang saat ini terlihat di depan mata. Di sofa yang berada tepat di hadapan ranjang yang Kiandra tempati, Damar sedang mencumbui Tia. Entah apa yang Damar inginkan hingga sampai berani melakukan hubungan suami-istri di hadapannya seperti saat ini. Menggigit bibir, menahan tangis ketakutan, Kiandra memejam saat Damar menoleh dan melempar senyum puas. Benak Kiandra penuh dengan harapan akan adanya keajaiban. Seseorang, entah siapa pun itu bisa datang kemari dan membebaskannya dari lelaki sinting di hadapan. Tia meringis dan memekik. Kiandra mengerjap, masih berusaha memalingkan wajah. "Kamu lihat itu? Dia sama sekali enggak seperti kamu. Suaranya bahkan bikin aku mual. Kalau aku enggak membayangkan wajah kamu, aku enggak akan sanggup me
Warn! 18+ Usai memukulkan kepala Kia ke dinding di belakang perempuan itu, Damar menjauh. Tubuh Kia tampak merosot pelan, lelaki itu mengusak rambut putus asa. Kembali, perempuan yang paling Damar inginkan itu menolak untuk disentuh. Damar tak habis pikir. Emosinya mendidih hingga terasa sudah membakar ubun--ubun. Atas penolakan yang Kia barusan suarakan, ia sungguh tak terima. "Aku cuma milik Evan. Walau kamu berhasil menyentuh atau bahkan meniduriku, hatiku tetap milik Evan, bukan pria kejam seperti kamu." Damar menendang kaki ranjang. Meski kondisinya sudah hampir tak sadarkan diri, Kia masih bisa mengulang kalimat menjijikkan sekaligus konyol yang berhasil membuat Damar merasa harga dirinya diinjak. Sialan. Sungguh Damar membenci Evan. Setelah merebut Lidia, lelaki itu juga bisa mencuci otak Kia hingga sanggup berucap seperti tadi, mengabaikan perasaan yang ada di antara mereka. "Uangku lebih banyak dari mantan suaminya
Lidia memantapkan langkah saat menapaki lantai ruang tamu Dina. Sengaja tak memberitahu sang ibu mertua atas kedatangannya, perempuan itu disambut Buk Ani, asisten rumah tangga. "Sebentar, Buk Dinanya dipanggilkan dulu." Duduk di sofa, Lidia meremat kesepuluh jemari. Berulang kali ia menarik napas guna mencari sedikit ketenangan. Hari ini, sebuah keputusan besar akan perempuan itu ambil. Lidia meyakinkan diri. Ini yang terbaik. Ini yang paling benar. Sebab terus-terusan mempertahankan sesuatu yang bukan milik kita adalah sebuah kesalahan. Egois hanya akan menyebabkan luka. "Lidia? Kenapa enggak kabarin Ibu?" Dina menghampir menantunya. Memberikan pelukan, kemudian duduk di sofa. "Ada yang ingin Lidia bicarakan, Buk." Dina tampak menanggapi dengan anggukan serius disertai heran. "Ada apa?" Lidia meraih tangan Dina untuk digenggam. Mencari kekuatan. Belum juga bibirnya berucap, air mata sudah tumpah. "Lidia mencinta
Sambil menggendong Vano, Evan menuruni tangga rumah. Sekarang pukul tiga sore, sang anak merengek ingin bertemu ibunya. Padahal, mereka baru saja menjenguk Kia kemarin. Awalnya, sikap Vano yang selalu ingin bersama Kia ini dianggap Evan aneh. Lidia hampir tak punya cacat saat mengurusi dan merawat anak mereka itu. Pun, masalah status, Evan membuat penjelasan yang mudahnya saja. Lidia Mamah, Kia Ibuk. Keduanya adalah ibu Vano. Namun, sepertinya naluri Vano cukup kuat. Karena itu selalu lebih ingin bersama Kia, walau Lidia tak kalah sempurna sebagai ibu. "Kalian mau ke mana?" Di ruang tamu, Evan mendapat tanya dari sang istri. "Vano mau ketemu Kia lagi katanya." Pria itu memperhatikan raut wajah sang istri. Lidia tampak resah. Perempuan itu ragu buka suara, tetapi pada akhirnya berkata, "Kita bisa bicara malam ini? Habis kalian dari rumah Kia?" Evan memasang ekspresi serius. Sudah kesekian kali Lidia mengatakan hal sama. Namu
"Kamu kenapa mandi malam-malam?" tanya Kia pada Evan yang terlihat berjalan dari dapur dengan rambut basah. Evan melirik malas. Pria itu berjalan melewati Kia yang berdiri di depan kamar yang Vano tempati. Anaknya itu sudah tidur sejak satu jam lalu. Kiandra menyusul Evan yang duduk di tikar. "Enggak dingin?" Kembali Evan tak menanggapi. Pria itu mengibaskan kemejanya, sengaja tepat di depan Kia, hingga mengenai wajah perempuan itu. Kia meringis, memegangi mata. "Sakit, Evan." Kiandra memegangi matanya yang memerah. Sengaja sekali si lelaki mengibas kemeja di depan muka. "Aku titip Vano. Enggak usah macam-macam kamu selama dia di sini." Melihat Evan mengenakan kemeja, Kia cemberut. "Kamu pulang? Sekarang juga? Ini udah jam sembilan." Tangan Evan mengancing kemeja. "Apa, sih, enaknya kabur-kaburan? Pengin banget dicariin? Tukang cari perhatian." Tak pria itu lirik atau toleh wajah ibunya Vano. Ia kesal. K
Siang ini di kafe, Kia kembali masuk bekerja. Mengandalkan koneksi dengan si bos besar sekaligus memanfaatkan alasan kecelakaannya kemarin, perempuan itu masih bisa diterima bekerja. Seperti biasa, kafe yang berlokasi dekat dengan beberapa kampus itu mulai ramai di jam segini. Sejak tadi Kia sibuk mengantar pesanan pelanggan, bahkan beberapa kali sampai ikut menyiapkan jus dan kopi. Dirasa perut sudah menuntut untuk diisi, perempuan itu pamit pada rekan lain untuk istirahat makan siang. Membawa bekal sendiri, Kia memilih dapur sebagai tempat untuk menikmati setengah jam jatah istirahat. Seorang diri di sudut dapur, sembari sesekali bicara dengan pegawai lain yang lewat di dapur, dua puluh menit berlalu dan makanan di kotak bekal sudah habis. Kia tengah menyandarkan punggung ke kursi saat dilihatnya Raka datang. Tanpa minta izin, si bos duduk di depannya. Pertanyaan kelewat tak tahu tempat itu lolos begitu saja. "Jadi, bagaimana? Kamu
Duduk sendirian di ruang tamu rumah Evan, Kia seolah sedang mengulang masa lalu. Saat dirinya masih berstatus sebagai istri Evan dan selalu suka menghuni sofa di malam yang sudah larut. Hari ini, Kia menginap. Sonya tak mau dibujuk untuk tinggal, sedangkan Kia tak tega membiarkan mantan mertuanya yang terlihat lelah menjagai Kai. Dina sepertinya perlu istirahat dan mau tak mau Kia yang harus mengalah. Sekarang sudah pukul sebelas. Sang anak sudah tidur, Kia belum mengantuk. Tepatnya belum bisa tidur karena si tuan rumah belum juga menunjukkan batang hidung. Apa pekerjaan Evan berat? Harus pulang selarut ini setiap hari? Evan kan bos? Kenapa tidak bisa lebih santai? Sibuk menatapi ruangan itu, Kia mendengar suara pintu terbuka. Tak lama sosok Papanya Kai muncul. Perempuan itu langsung merasa iba ketika mendapati mata sayu dan raut letih si mantan suami. Kia terbayang semua tanggung jawab yang Evan pikul. Biaya hidup Kai, sekolahnya Na
Kia menerima tawaran pekerjaan dari Evan. Memang sedikit canggung awalnya, tetapi mau tak mau harus kesampingkan rasa malu. Demi bisa menghasilkan beberapa rupiah uang. Perempuan itu kukuh bekerja, makan gaji di warungnya Evan juga tak masalah. Sebab ada Kai yang harus ia tanggungjawabi. Memang, anak itu sepenuhnya tanggungan Evan, tetapi Kia merasa perlu ikut membantu. Kai itu anak mereka. Bukan hanya anak Evan seorang. Kia juga tak mau merepotkan orang tuanya. Ia ingin bisa menghidupi diri sendiri. Meski tidak berlebihan, yang penting Kia tak minta pada siapa pun untuk urusan perut. Bekerja di rumah makan, ternyata lumayan menguras tenaga. Lain dengan di kafe kemarin, di sini, Kia harus curi-curi waktu untuk bisa istirahat. Pengunjungnya tak berhenti datang. Ada saja pelanggan, entah itu makan di tempat atau dibawa pulang. Tugas Kia pun cukup melelahkan. Ia harus menyediakan air minum dan air cuci tangan jika ada pelanggan yang baru datang.