Udara dingin menembus poro-pori kulit Eliana, ia menatap jauh ke arah balkon kamarya, rumah Reindra yang kini juga menjadi rumahnya. Menjadi begitu luas dan sangat indah. Eliana menatap takjub ke arah bangunan yang berdiri tegak di gang sana. Matahari mulai terbangun dari peraduannya, memancarkan sinarnya yang menghapus titik-titik embun di dedaunan. Menghangatkan tubuh Eliana dari udara dingin, dan membakar semangat baru di hari yang baru. Selamat pagi dunia yang kini seolah berpihak kepadanya. Eliana menatap wajah suaminya yang tertidur pulas, Eliana menatap wajah polos suaminya. Kehidupan memiliki alur yang tak pernah bisa ditebak oleh siapa pun. Entah besok akan berjalan lancar tentu menjadi jawaban yang paling menyenangkan. Setiap orang memiliki kesempatan yang bisa digunakan dengan sebaik mungkin. Tentu akan sayang jika Eliana lewatkan begitu saja. Begitupun dengan suaminya sebaik mungkin untuk menjemput segala kesempatan baik. Ia mengharapkan bisa mendapatkan banyak kesempatan
Udara dingin menembus poro-pori kulit Eliana, ia menatap jauh ke arah balkon kamar barunya, rumah yang baru dibelikan oleh Reindra lengkap dengan toko bunga yang ada di depan rumah. Karena Reindra tak mau melihat Eliana kelelahan. Eliana menatap takjub ke arah bangunan yang begitu indah hadiah dari suaminya. Matahari mulai terbangun dari peraduannya, memancarkan sinarnya yang menghapus titik-titik embun di dedaunan. Menghangatkan tubuh Eliana dari udara dingin, dan membakar semangat baru di hari yang baru. Selamat pagi dunia yang kini seolah berpihak kepadanya. Eliana menatap wajah suaminya yang tertidur pulas, Eliana menatap wajah polos suaminya. Kehidupan memiliki alur yang tak pernah bisa ditebak oleh siapa pun. Entah besok akan berjalan lancar tentu menjadi jawaban yang paling menyenangkan.Setiap orang memiliki kesempatan untuk berjuang sembuh dari penyakitnya yang bisa digunakan dengan sebaik mungkin. Tentu akan sayang jika Eliana lewatkan begitu saja. Begitupun dengan suaminya
Satria sudah berada ditempat dimana ia bertemu dengan rekan kerjanya. Rekan kerjanya setuju bengkel Satria akan mengerjakan di sebuah pabrik. Satria bernapas lega kali ini proposalnya disetujui. Rasa bahagia hinggap di dalam hatinya. Selesai meeting ia duduk dan minum air mineral kali ini akan memberi hadiah istrinya karena besok ulang tahun Eliana, Saat ia keluar kafe ponselnya berdering. [Kau bahagia ... bisa lepas dariku? Ingat! Jika aku tak bisa mendapatkan kamu lagi. Siapapun tak akan bisa mendapatkanmu.] Ancam wanita itu dari sebrang sana. Satria kesal suara Yolanda nyaring di telinganya dengan cepat ia mematikan ponselnya tanpa menjawabnya. Ia berjalan mendekati motor dan berjalan ia ingin cepat sampai di toko emas. Ia sudah ada janji dengan pemilik toko yang akan memilihkan sebuah kado untuknya buat Cika. Di ujung jalan Yolanda dan kekasihnya membawa mobil sedang mengawasi Satria. Ia akan berusaha mencelakai Satria kali ini rencananya tak boleh gagal. Bahkan ia sangat sulit
Dafa menggendong tubuh Mamanya ke ruang IGD, dan saat ini Eliana belum sadarkan diri dan masih di tangani oleh dokter. Dafa berlari ke arah kamar jenazah melihat siapa laki-laki yang berada di samping wanita itu. Ia begitu gugup seperti dihantam benda berat ke arah kepalanya. Ia harus kuat melihat jenazah itu untuk memastikan Papa Reindra atau bukan? Langkah kaki Dafa begitu berat, ia tak sanggup lagi berjalan. Hingga Dino menopang tubuh sahabatnya itu. "Ayo, aku bantu. Sabarlah, Daf.""Tolong aku Dino, bawa aku ke ruang jenazah, aku takut sekali, jika itu benar Papaku," pinta Dafa. "Baiklah ayo."Dino menuntun Dafa, hingga sampai ke ruang jenazah. Dino berusaha membuka wajah itu, namun sepertinya bukan Papanya. Dafa tertunduk ia tak berani melihat Papa yang sangat ia sayang terbujur kaku. "Sepertinya bukan, Papa Reindra. Daf, Papa kamu, yang kamu ajak beli sepatu tempo hari kan?" tanya Dino antusias senang. Mata Dafa membulat seolah energinya ke luar lagi dari tubuhnya. "Lo seriu
a few years later"Ma, tenanglah." Bian berusaha menenangkan sang Mama yang begitu gelisah. Wanita cantik itu menangis tersedu. Mngingat sang putri belasan tahun diculik saat bermain di depan rumahnya. Saat masih kecil. "Bagaimana Mama, bisa tenang Bian. Ini sudah sangat lama sekali, bahkah anak Mama sudah mati atau masih hidup. Bisa sekolah, apa dia baik-baik saja bisa makan enak sama seperti kita tidak. Bian menarik nafas panjang. " Semoga, Ma. Semoga kita bisa menemukannya.""Tapi kapan, Bian. Mama lelah.""Ma, sabar.""Jika, Mama meninggal terus, Asmara belum sempat ditemukan bagaimana?" "Hus, Mama ga bileh ngomong begitu, ah. percaya sama Allah, Ma. Allah pasti akan menjaganya ya."Lagi saat ini hanya beberapa detik, tetapi efek kerinduanku pada putriku berhasil meluruhkan benteng ketenanganku. Kesedihan dan kemarahan kembali menggeliat. Disusul bergulirnya cairan bening dari sudut mataku. Setelah susah payah memadamkan api emosi, kenapa aku harus anak gadisku menghilang? Takdi
Gelisah"Terima kasih Lintang, setidaknya kau mengurusku dengan sangat baik," ujarnya dengan angkuh suamiku berucap."Maksudnya, Mas apa?" "Kau wanita yang tak kuinginkan, kau tahu persis, pernikahan kita hanya sandiwara."Bagaikan disambar petir siang bolong, tubuhku lunglai kelantai, apa yang diucapkan suamiku seperti tamparan keras buatku, bagaimana bisa di usia pernikahanku yang sudah satu tahun, ia baru mengatakan ini padaku."Kau tidak pantas menjadi istriku, Sekarlah yang layak menjadi istriku, dia cantik tidak sepertimu kumel, " ucapnya di depanku."Selama ini, Mas baru mengatakan ini padaku, apa dosaku hingga kau menghukumku seperti ini," sergahku pada lelaki yang telah memberikanku gelar sebagai istri satu tahun yang lalu.Senja mulai menguning pertanda petang akan tiba saat malam berganti pagi dan seterusnya, begitu juga dengan kisah lukaku yang butuh waktu lama untuk menyembuhkannya. Aku perempuan yang terluka, inilah mungkin kisah hidupku, tersakiti.Terdengar Suara adza
Diam, hanya terdengar suara gunting yang kupakai untuk memotong kain. Haruskah aku menjawab pertanyaan yang menyakitkan ini."Lintang ...?""Eh ... iya Ma-sih, Bu, " jawabku keceplosan."Ayo anterin Ibu belanja, biar kamu tidak stess begitu di rumah terus?""Baiklah, Bu ...!"Mobil Ibu melaju membelah jalan raya, kami bercanda dan tertawa mendengar cerita lucu Tiara, mobil masih berjalan hingga pemandangan pun terlihat dengan jelas dari dalam mobil, Tiara adalah anak dari kakak iparku mbak Anggun.Kami membeli beberapa bahan dapur dan kebutuhan sembako, selesai memilih Mama mengajakku ke kasir, terdengar suara Tiara mengetahui pamannya, berjalan dengan perempuan cantik dan seksi. mamapun mengetahui kelakuan anaknya.Saat aku melihat wajah wanita itu tubuhku berguncang wanita itu begitu cantik. Seolah dunia berhenti berputar seperdetik, air mataku luluh lantah, luka yang ia berikan padaku begitu menyakitkan. Selama hidup dengannya aku bahkan lupa bagaimana berdandan aku hanya menguru
"Biarkan saja, Anggun. Lumayan kan kita tidak bayarin pembantu di rumah ini, sudah ada, Lintang yang membereskan semuanya," seru kakak iparku Wulan yang bicara sama kakak iparku satunya Anggun."Iya sih, Mbak. Coba antar jemput, Tiara, kalau pake jasa ojek online sudah berapa saja 'kan, " jelas mereka sambil tertawa.Mereka mempermainkanku, ya Allah andai saja Bapakku tidak berpesan padaku, untuk selalu menyayangi keluarga dari suamiku, mungkin aku tak semenderita ini. Mereka tak sadar jika aku mendengarkan ucapan mereka, di rumah ini hanya Tiara dan Ibu mertuaku yang baik padaku. Untuk apa aku bertahan di rumah mewah ini, penghuninya banyak, dan ga semua menyukaiku."Lintang, hari ini, Budhe yang dari, Jogya mau mampir kesini masak yang banyak ya?" suruh kakak iparku Mbak Wulan padaku sambil berdandan menor di depanku."Kamu itu, Wulan, bukannya bantuin adikmu Lintang, malah menyuruhnya terus, sana bantuin?" Suruh Ibu pada, Mbak Wulan, yang aku tahu pasti ibu membelaku.Kuiris kentan